Raja Pedang Chapter 26

Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Apa yang menyebabkan Beng San pergi dari Hoa-san-pai secara diam-diam, serentak tanpa pamit? Ada banyak hal yang menyebabkan dia terburu-buru itu. Ternyata selama di tempat pesta tadi dia telah mengalami hal-hal yang mengguncangkan hati dan membuat bingung pikirannya.

Mula-mula pertemuannya dengan teman Souw Kian Bi, pemuda tinggi tegap yang she Tan itu cukup hebat mengguncang perasaannya karena dia menduga keras bahwa orang itu adalah kakak kandungnya, Tan Beng Kui. Akan tetapi kenapa kalau benar pemuda itu kakak kandungnya, tidak mengenal dia dan malah tadi melihatnya lalu membuang ludah dengan amat menyolok dan menghina? Hal ini perlu penyelidikannya.

Hal ke dua adalah Thio Eng dan Bun Lim Kwi. Dia sudah berjanji kepada mendiang Bun Si Teng untuk mengamat-amati pemuda itu, tapi sekarang dia bisa menduga bahwa Thio Eng tentu akan berusaha untuk membunuh Lim Kwi. la tidak boleh membiarkan Lim Kwi terbunuh tanpa berbuat sesuatu. Apa lagi kalau yang hendak membunuh itu Thio Eng, gadis yang... ah yang dia suka dan yang dia kasihani nasibnya. Soal ini pun memerlukan dia turun tangan dan mencarikan pemecahannya.

Hal ketiga yang benar-benar mengguncangkan hatinya adalah kemunculan nona she Cia berbaju merah tadi. Bukan, sama sekali bukan karena wajah yang cantik jelita melebihi semua wanita yang pernah dilihatnya, bukan karena bentuk tubuh serta tarian-tariannya. Sama sekali bukan!

Akan tetapi ketika nona tadi mencabut sepasang pedang, pedang berkilau-kilauan seperti mengeluarkan api, yang sebuah panjang dan satu lagi pendek, yang membuat matanya silau, adalah... Liong-cu Siang-kiam yang dicuri orang dari tangan Lo-tong Souw Lee! Jadi gadis jeiita inikah pencurinya?

Berdebar tidak karuan hati Beng San bila ingat akan hal ini. la harus merampas sepasang pedang itu kembali dan... kedua pipinya menjadi merah dan terasa mukanya panas kalau dia teringat akan pesan Lo-tong Souw Lee bahwa dia harus mencari pencuri pedang dan kalau pencuri itu seorang wanita, dia harus mengambilnya sebagai isteri! Dia mengambil isteri nona Cia yang seperti bidadari tadi? Hebat!

Hal ke empat yang tidak kalah pentingnya adalah persoalan yang menyangkut diri Kwee Sin, jago termuda dari Kun-lun-pai itu. Memang harus diakui bahwa orang inilah yang menjadi biang keladi segala peristiwa permusuhan itu. Dia merasa yakin bahwa jika dia bisa mengajak Kwee Sin datang ke Hoa-san-pai untuk mempertanggung jawabkan semua tuduhan yang dijatuhkan kepadanya, maka segala permusuhan akan menjadi beres.

Melihat sikap Kwee Sin pada saat datang ke Hoa-san-pai, Beng San masih cukup percaya bahwa jago itu masih mempunyai cukup sifat ksatria untuk mempertanggung jawabkan semua perbuatannya atau setidaknya perbuatan yang diperkirakan orang kepadanya.

Empat hal yang sama pentingnya inilah yang membuat Beng San tidak mau lama-lama membuang waktu di Hoa-san, biar pun jauh di lubuk hatinya dia merasa berat juga harus meninggalkan Hoa-san... ehh, sesungguhnya, pergi meninggalkan Kwa Hong begitu saja! la sudah merasa cukup berbahagia bahwa sedikit jerih payah usahanya yang diharapkan oleh Ciu Goan Ciang dan Tan Hok serta semua pejuang, yakni mencegah Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai bertempur, untuk sementara ini mencapai hasil baik…..

********************

Kita ikuti perjalanan Bun Lim Kwi yang pergi meninggalkan Hoa-san bersama gurunya, Pek Gan Siansu. Ketika mereka tiba di kaki gunung, tiba-tiba Lim Kwi menjatuhkan diri berlutut di depan suhu-nya dan menangis! Pek Gan Siansu berhenti, memandang kepada muridnya itu dan dengan wajah murung kakek tua ini menggeleng-geleng kepalanya, lalu mengelus jenggotnya.

"Lim Kwi, aku tahu bahwa walau pun selama ini kau diam saja tak pernah membantah semua perintahku, namun sesungguhnya kau menyimpan ganjalan hati yang membuat kau banyak menderita batin. Muridku, sekarang di tempat sunyi ini kau keluarkanlah isi hatimu, berlakulah jujur kepada gurumu. Seorang enghiong (ksatria) harus selalu dapat menjaga satunya pikiran, kata-kata dan perbuatan. Satu saja di antara ketiganya ini tidak cocok, tak patut dia disebut enghiong. Selama ini kata-kata dan perbuatanmu mentaati aku, akan tetapi aku khawatir sekali bahwa pikiranmu berbeda."

"Ampunkan teecu yang tidak berbakti ini, Suhu. Sesungguhnya telah susah payah teecu memaksa diri untuk berbakti kepada Suhu, akan tetapi apa daya, hati dan pikiran teecu selalu tergoda, selalu terbayang wajah ayah dan paman yang dulu telah terbunuh orang. Setelah mendengar semua kata-kata yang sudah diucapkan orang di Hoa-san tadi, teecu berpendapat bahwa kalau ganjalan hati ini belum dilaksanakan, selalu teecu akan berbakti secara palsu, yaitu tidak terus ke dalam hati."

"Hemmm, lebih baik berterus terang begitu. Kau bukan kanak-kanak lagi, kau kini sudah menjadi seorang pemuda dewasa dan tentu saja kau berhak untuk mempunyai pendapat sendiri. Sekarang katakan, apa yang hendak kau lakukan? Apakah kau akan menurutkan nafsu hatimu menyerbu ke Hoa-san-pai dan menantang orang-orang Hoa-san-pai?"

Kakek itu mengerutkan alisnya yang sudah putih semua.

"Tak akan sekali-kali teecu berani melanggar garis yang sudah diambil oleh Suhu. Teecu menyetujui garis perdamaian itu, bahkan teecu juga takkan membantah tentang soal usul perjodohan yang diajukan Suhu tadi. Akan tetapi... Suhu, apakah kematian ayah beserta paman harus teecu diamkan dan biarkan begitu saja? Apakah roh mereka akan dapat tenteram melihat teecu berpeluk tangan saja?"

"Hemmm, orang muda... betapa jauh perkiraanmu tentang roh! Bila tak keliru wawasanku, roh ayahmu dan pamanmu sampai sekarang masih merasa menyesal, mengapa tadinya mereka terseret ke dalam nafsu bermusuhan dan bunuh-membunuh. Agaknya mereka akan lebih menyesal lagi kalau kelak melihat kau melanjutkan kekeliruan mereka sewaktu hidup. Tetapi, aku tak akan berkeras mencegah dan merusak hatimu, muridku. Sekarang katakan sejujurnya, apa yang hendak kau lakukan?"

"Teecu tadi sudah banyak mendengar mengenai Kwee-susiok (paman guru Kwee) dan teecu berpendapat bahwa hanya Kwee-susiok seoranglah yang akan dapat menerangkan ini semua. Kalau dari mulut Kwee-susiok sendiri..."

”Hemmm, jangan kau menyebut paman guru kepada Kwee Sin. Aku sudah tidak mau mengakui dia sebagai muridku lagi!" kata-kata Pek Gan Siansu terdengar keras.

"Baiklah, Suhu. Teecu ingin mendengar dari mulut Kwee Sin sendiri apa yang telah terjadi ketika mendiang ayah dan paman naik ke Hoa-san. Kalau memang benar bahwa ayah dan paman yang salah, yaitu membantu Kwee Sin yang memusuhi Hoa-san-pai, maka sakit hati teecu akan teecu alihkan kepada diri Kwee Sin."

"Hemmm, kau hendak mengajak dia bertanding?"

"Kalau perlu, apa boleh buat, Suhu. Kalau dia mau, teecu hendak mengajak dia pergi ke Hoa-san secara baik-baik agar segala persoalan menjadi beres dan dapat diketahui siapa salah siapa benar."

"Ha-ha-ha, kau hendak berlomba dengan bocah sastrawan yang luar biasa tadi? Heh, kau takkan menang, Lim Kwi!" Ketua Kun-lun-pai tertawa dan agaknya hatinya sudah gembira lagi mendengar keputusan yang diambil muridnya ini. Tadinya dia merasa amat gelisah, takut kalau-kalau Lim Kwi hendak memusuhi orang Hoa-san-pai secara langsung.

Bun Lim Kwi memandang gurunya, tak percaya dengan kata-kata gurunya barusan.

"Lim Kwi, jangan kau pandang ringan bocah sastrawan tadi. Aku sudah tua, sudah banyak pengalaman. Orang seperti dia itu bukanlah orang sembarangan. Nyali dan sikapnya jelas menonjolkan keluar biasaannya. Dia bukan manusia biasa dan percayalah kepadaku, apa bila kau bertemu kembali dengan dia, kau boleh mendengarkan semua nasihatnya. Aku menyetujui rencanamu, biar aku pulang sendiri ke Kun-lun dan menanti beritamu di sana. Semoga kau tak akan menyeleweng dari jalan kebenaran dan selamanya dapat bersikap sebagai seorang enghiong dari Kun-lun-pai yang mesti kau junjung tinggi nama besarnya."

Setelah berkata demikian, sekali berkelebat kakek ini lenyap dari situ, meninggalkan Lim Kwi yang tahu-tahu kehilangan pedang pusaka yang tadi masih dipegangnya. la segera berlutut dan diam-diam merasa amat kagum.

Gurunya itu biar tua akan tetapi masih luar biasa sekali kelihaian ilmunya sampai-sampai mengambil kembali pedang pusaka Kun-lu-pai dan pergi dari situ tanpa dia rasai dan tak dapat dia ikuti dengan pandang matanya. Setelah berlutut memberi hormat, pemuda ini bangun dan menarik napas panjang.

“Aku masih harus banyak belajar untuk dapat mencapai tingkat seperti suhu,” pikirnya.

Kemudian dia teringat kepada Kwee Sin. Ke mana dia harus mencari orang itu? Ia banyak mendengar tentang Kwee Sin bekas paman gurunya itu. Kabarnya selalu muncul bersama Ngo-lian-pai, malah banyak hubungannya dengan tentara Mongol. Ada kabar lagi bahwa Kwee Sin sudah diangkat oleh kerajaan menjadi perwira tinggi tentara Kerajaan Mongol.

Ngo-lian-pai atau Ngo-lian-kauw adalah partai rahasia yang tidak mempunyai markas tertentu, maka takkan mudah mencari sarang partai ini. Lebih baik kalau mencari berita atau keterangan tentang Kwee Sin di pusat tentara Mongol. Di mana lagi kalau tidak di kota raja?

Bun Lim Kwi maklum akan bahayanya kalau berani memasuki kota raja. Akan tetapi dia sudah bertekat bulat untuk mencari Kwee Sin, maka tanpa pedulikan segala ancaman bahaya, berangkatlah dia menuju ke kota raja.

Tetapi baru saja dia keluar dari daerah berhutan di kaki Gunung Hoa-san itu, sesosok bayangan hijau berkelebat dibarengi bentakan, "Orang she Bun, kau bersiaplah menebus dosa ayahmu!"

Dan di depannya sudah berdiri gadis cantik berbaju hijau yang tadi telah menyerangnya di puncak Hoa-san! Gadis itu kini dengan muka agak pucat sudah berdiri menghadangnya dengan pedang tajam melintang di dada, pedang yang ujungnya sudah buntung sedikit oleh pedang nona baju merah tadi.

Bun Lim Kwi menarik napas panjang, wajahnya yang tampan menjadi muram.

"Nona," dia menjura sebagai tanda penghormatan dan suaranya mengandung kesedihan besar, “kenapa Nona memusuhi saya? Apakah dosaku dan apa pula gerangan kesalahan mendiang ayahku yang sudah tidak ada di dunia ini?"

Thio Eng, gadis baju hijau itu, menggigit bibirnya dengan gemas, matanya memancarkan sinar kemarahan. "Dua saudara Bun dari Kun-lun-pai telah membunuh ayahku ketika aku masih kecil."

"Nona, kalau ayah dan pamanku yang membunuh ayahmu, kenapa kau memusuhi aku? Apa salahku dalam hal ini?” bantahnya.

"Aku hendak membalas kepada ayah dan pamanmu tapi mereka sudah mampus, kaulah anaknya yang harus mempertanggung jawabkan pembalasannya. Orang she Bun, tidak usah banyak cakap. Aku sudah cukup bersabar, cabut pedangmu dan mari kita lanjutkan pertempuran tadi!" la sudah marah sekali dan pedang di tangannya sudah gemetar.

Tiba-tiba saja Lim Kwi merasa tubuhnya lemas. Entah mengapa, melihat wajah nona ini, melihat sinar matanya yang redup dan sayu penuh kedukaan, kekerasan hatinya mencair seperti lilin dekat api. Timbul rasa kasihan di hatinya, bahkan ada rasa suka yang timbul karena persamaan penderitaan. la menganggap dara ini senasib dengan dirinya, ayahnya dibunuh orang, kemudian hidup menderita dendam.

Dia tersenyum pahit, merasa betapa sama nasibnya dengan nona ini. Akan tetapi dia menyalahkan sikap Thio Eng. Andai kata dia berpendapat seperti nona ini lalu memusuhi anak-anak dari musuh yang membunuh ayahnya, tentu dia tidak akan sudi dicalonkan sebagai jodoh seorang gadis yang masih keturunan musuh-musuh pembunuh ayahnya!

Juga timbul ingatannya bahwa segala persoalan, seperti juga persoalannya sendiri, harus diselidiki secara teliti. Andai kata benar ayah dan pamannya membunuh ayah gadis itu, pasti ada sebab-sebabnya.

"Nona, apa bila ayah dan pamanku benar-benar sudah membunuh ayahmu, sudah dapat dipastikan bahwa ayahmu melakukan sesuatu yang tidak baik. Ayah dan pamanku adalah dua orang tertua dari Kun-lun Sam-hengte yang bernama bersih tak ternoda."

Wajah yang agak pucat dari nona ini sekarang berubah merah sekali, bahkan matanya kini berkilat-kilat.

"Apa kau kata? Tidak peduli mereka itu Kun-lun Sam-hengte atau pendekar-pendekar dari langit sekali pun, kalau sudah bermusuhan dengan ayahku sudah pasti kesalahan terletak di tangan ayah dan pamanmu! Ayahku adalah seorang patriot besar, seorang pejuang. Siapakah di antara para pejuang yang belum pernah mendengar nama besar Thio San? Kesalahannya sudah tentu terletak pada ayah dan pamanmu. Kun-lun Sam-hengte? Huh, buktinya yang termuda juga bukan orang baik-baik!"

Setelah berkata demikian, pedangnya bergerak menyerang pemuda itu. Serangan yang hebat, cepat dan kuat sekali. Akan tetapi Bun Lim Kwi dapat melompat ke samping dan menghindarkan diri.

"Tahan dulu, Nona..."

Namun nona yang sudah marah itu makin penasaran dan menyerang lagi lebih hebat. Lim Kwi maklum bahwa menghadapi nona ini yang sudah dia kenal kepandaiannya bermain pedang yang hebat, akan berbahaya sekali kalau dia tetap bertangan kosong. Terpaksa dia mencabut keluar pedangnya yang juga sudah buntung ujungnya, lantas menangkis. Bunga api berpijar ketika sepasang pedang itu bertemu.

"Nona, aku... aku maklum akan isi hatimu. Keadaanmu sama persis dengan keadaanku. Aku maklum akan penderitaanmu, akan dendammu..."

Thio Eng menahan pedangnya, mendengarkan dengan pandang mata heran.

"Nona, percayalah, aku tidak menyalahkan kau kalau kau mendendam sakit hati. Aku pun demikian. Ayahku terbunuh orang. Tapi, berilah kesempatan padaku untuk membereskan urusanku. Kau sudah mendengar semua di Hoa-san tadi. Biarkan aku mencari susiok... eh, mencari Kwee Sin sampai dapat sehingga urusan pembunuhan terhadap orang tuaku bisa diselesaikan. Setelah itu, nah... setelah itu kalau kau hendak membalas dendammu kepadaku, silakan. Aku akan memberikan kepalaku kepadamu."

"Cih, siapa sudi mendengar obrolanmu.”

"Sungguh, Nona. Entahlah... hatiku tidak mengijinkan aku marah kepadamu. Aku kasihan kepadamu yang bernasib buruk. Aku dapat merasakan penderitaanmu. Andai kata sakit hatimu itu dapat dipuaskan karena kematianku sebagai penebus dosa ayahku, biarlah aku berkorban. Tapi tunggulah sampai aku selesai mengurus urusanku sendiri."

"Bohong! Kau hanya mencari alasan untuk melepaskan diri dariku. Hemmm, orang she Bun, jangan harap aku dapat kau bodohi. Atau kau pengecut... tidak berani menghadapi pedangku!"

Betapa pun juga, Lim Kwi adalah seorang pemuda. Dia memang penyabar sekali, dan memang sudah menjadi dasar wataknya yang jujur dan sabar, berani mengalah. Akan tetapi karena sekarang didesak sedemikian rupa oleh nona ini, apa lagi karena dianggap pengecut, sifat jantannya menonjol. la cepat menggerakkan pedangnya menangkis dan berkata.

"Nona Thio, sungguh aku tidak ingin bertempur denganmu. Jangan kau memaksaku!"

Namun Thio Eng terus mendesak dan sebentar saja dua orang muda itu sudah bermain pedang dengan hebatnya. Serangan-serangan Thio Eng benar-benar sangat berbahaya. Sebagai murid Swi Lek Hosiang, tentu saja kepandaiannya amat tinggi. Ilmu pedangnya sudah masak dan juga ilmu pedang yang berasal dari daerah pantai timur ini mempunyai gaya tersendiri, mempunyai keistimewaan sendiri. Permainan pedangnya cepat, tangkas, lincah, serta mengandung tenaga yang bergelombang, seperti gelombang samudera yang memecah di pantai timur!

Akan tetapi Bun Lim Kwi adalah murid termuda Kun-lun-pai yang sangat disayangi oleh gurunya. Hampir seluruh ilmu pedang yang dimiliki Pek Gan Sian-Su diturunkan kepada muridnya ini sehingga dalam permainan Kun-lun Kiam-hoat boleh dibilang di masa itu Bun Lim Kwi menjadi orang ke dua di Kun-lun setelah gurunya sendiri.

Bahkan tingkat ilmu pedang yang dimiliki oleh paman dan ayahnya, juga yang dimiliki oleh Kwee Sin, masih kalah setingkat olehnya. Tentu saja ia masih banyak membutuhkan pengalaman pertempuran untuk mematangkan ilmunya. Gaya permainannya tenang dan kuat seperti batu karang di pantai laut, akan tetapi juga kadang-kadang kalau dia mau dia bisa melancarkan serangan yang mematikan.

Betapa pun juga, menghadapi Thio Eng dia tidak tega untuk melakukan serangan maut, hanya mempertahankan dan melindungi tubuhnya, serta kadang-kadang memancing dan menggertak untuk mengurangi daya tekanan lawan. Hatinya merasa sedih sekali dengan kenekatan gadis ini yang agaknya tak dapat ditahannya lagi. Bun Lim Kwi maklum bahwa percuma saja dia membujuk, maka dia mengambil keputusan untuk merobohkan gadis ini tanpa melukai berat atau kalau mungkin meninggalkannya lari.

Yang pertama tadi, yaitu merobohkan tanpa melukai agaknya lebih mudah dipikirkan dari pada dilakukan. Tingkat kepandaian gadis ini boleh dibilang seimbang dengan tingkatnya sendiri, mana mungkin dia merobohkannya tanpa melukai?

Setelah berpikir demikian, Bun Lim Kwi mengambil keputusan untuk lari meninggalkannya saja, tak peduli dia dicap pengecut atau takut. Karena soalnya bukan dia takut, akan tetapi karena dia tidak mau bermusuhan dengan gadis yang sekaligus menarik cinta kasihnya dan juga menimbulkan kasihan di hatinya ini.

"Maaf, Nona Thio, aku tak dapat melayanimu lebih lama lagi!"

Pedangnya berkelebat cepat dan pedang nona itu tertangkis dengan kerasnya sehingga terpental. Thio Eng kaget sekali sebab merasa telapak tangannya sakit. Baiknya dia masih dapat menjaga sehingga pedangnya tidak terlepas dari pegangan. Ketika dia telah dapat menguasai keadaannya, pemuda itu sudah meloncat jauh dan berlari cepat.

"Orang she Bun, kau hendak lari ke mana?!" bentaknya marah dan cepat dia mengejar.

Dari bertanding pedang, dua orang muda ini sekarang melakukan perlombaan lari cepat. Dalam ilmu ini keduanya juga memiliki tingkat yang seimbang. Thio Eng sulit sekali untuk dapat menyusul lawannya, juga amat sukar bagi Lim Kwi untuk memperjauh jarak antara dia dan pengejarnya. Gadis itu seakan-akan menjadi bayangannya, terus mengikuti ke mana pun juga dia lari atau meloncat.

Ada sejam mereka berkejaran. Lim Kwi mulai merasa gelisah. la memasuki hutan-hutan dan sengaja mengambil jalan pegunungan yang amat sukar dengan harapan agar gadis itu akhirnya membiarkan dia pergi. Akan tetapi, dengan penuh semangat Thio Eng terus mengejar.

Karena merasa tak sanggup lari pergi dari gadis itu, Bun Lim Kwi membalikkan tubuhnya dan kembali dia membujuk.

"Nona Thio, kenapa kau bertekat hendak membunuhku sekarang juga? Tidak kasihankah kau kepadaku yang juga mempunyai semacam sakit hati dan penasaran seperti yang kau derita? Aku minta waktu tiga bulan, Nona. Berilah tiga bulan agar aku lebih dahulu dapat menyelesaikan urusanku sendiri. Setelah itu, aku akan mencarimu dan terserah kalau kau hendak membalaskan sakit hati ayahmu."

Tertegun juga hati Thio Eng mendengar ini. Pemuda ini lihai, belum tentu ia akan dapat menang kalau mereka bertempur. Juga buktinya tadi, walau pun dia sudah mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat, sampai sedemikian lamanya belum juga dia mampu menyusulnya. Kiranya pemuda ini merupakan tandingan yang seimbang dan belum tentu kalah kalau melawan.

Mengapa pemuda ini tidak mau melawan dan bahkan memberi janji akan suka dibunuh tiga bulan kemudian? Bukankah ini aneh sekali? Akan tetapi pikiran ini hanya sebentar saja memenuhi kepalanya, segera terganti oleh rasa dendam yang sudah ditanggungnya semenjak ia kecil.

Kemarahannya datang lagi. Pedangnya bergerak menyerang disusul bentakan. ”Tak usah banyak cakap, seorang di antara kita harus mati!"

Bun Lim Kwi merasa sedih sekali sehingga dia agak terlambat mengelak. Pedang yang menusuk lehernya itu kini menyerempet pundaknya. Baju Lim Kwi robek berikut kulit dan sedikit dagingnya.


Darah mulai mengucur deras membasahi baju. Kembali Thio Eng tertegun, akan tetapi segera ia menyerang lagi lebih hebat. Lim Kwi sudah bersiap dan pedangnya menangkis. Kembali dua orang ini bertempur hebat sampai lenyap tubuh mereka terbungkus gulungan dua sinar pedang.

Dua orang itu saking hebatnya mecurahkan perhatiannya di ujung senjata masing-masing, tidak tahu bahwa sesosok bayangan datang mendekat. Setelah melihat jelas siapa yang sedang bertempur, bayangan ini mengeluarkan segenggam benda lalu dengan kecepatan kilat dia menyambitkan benda-benda kecil dalam genggaman itu ke arah Bun Lim Kwi.

Pemuda Kun-lun ini tidak dapat mempertahankan diri terhadap serangan gelap ini karena benda-benda itu ternyata adalah jarum-jarum halus sekali yang ketika melayang ke arah tubuhnya tak mengeluarkan bunyi sedikit pun. Tahu-tahu dia merasa punggungnya panas dan gatal-gatal, tubuhnya kaku-kaku, sehingga tanpa dapat ditahannya lagi dia terguling dan pedangnya terlepas dari pegangannya!

Thio Eng heran bukan main. Masih sempat dia menarik kembali pedangnya dan dengan mata terbelalak dia melihat betapa Bun Lim Kwi sudah roboh telentang dalam keadaan mengerikan. Muka pemuda yang tampan itu menjadi biru menghitam, tubuhnya kaku tak bergerak lagi.

Pada saat gadis ini mengangkat muka, dia melihat seorang pemuda sudah berdiri sambil tersenyum-senyum di hadapannya. Pemuda ini bukan lain adalah Giam Kin! Tahulah Thio Eng sekarang bahwa diam-diam Giam Kin membantunya dan menyerang Lim Kwi dengan senjata rahasia yang aneh.

"Nona Eng, puaskah kau sekarang melihat musuhmu menggeletak di depan kakimu? Nah, jangan buang waktu lagi, segera kau penggal lehernya!" kata Giam Kin sambil tersenyum lebar.

Akan tetapi alangkah herannya ketika dia melihat nona itu dengan mulut cemberut serta mata berapi malah membentak.

"Kenapa kau mencampuri urusanku?! Kenapa kau membunuhnya?"

"Ehh, Nona. Bukankah dia musuhmu? Tadi kulihat kau tidak kuat mengalahkannya, maka aku membantumu."

"Siapa sudi bantuanmu? Siapa butuh pertolonganmu? Lagi pula, kau menyerang secara pengecut!" Gadis itu dengan marah lalu meloncat dan lari pergi dari situ.

Giam Kin berdiri terpaku di tempatnya. Dia menyeringai, tersenyum kemalu-maluan dan juga penasaran. Akhirnya dengan marah dia lalu menoleh ke arah tubuh Lim Kwi yang masih menggeletak di situ, meludahinya dan mengomel, "Sialan!"

Dengan hati murung Giam Kin lalu pergi dari situ juga. la tertarik oleh kecantikan Thio Eng, akan tetapi berbeda dengan menghadapi gadis-gadis lain, terhadap Thio Eng dia tak berani bersikap sembrono. Selain gadis ini memiliki kepandaian yang cukup lihai, juga dia harus mengingat guru gadis itu, Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang yang tidak boleh dipandang ringan.

Belum lama Giam Kin pergi, tubuh Bun Lim Kwi bergerak-gerak dan terdengar ia merintih perlahan. Pada waktu itu Beng San sedang berlari-lari cepat dalam usahanya mengejar Thio Eng dan mencari Bun Lim Kwi.

"Celaka, terlambat...!" katanya ketika dari jauh ia melihat tubuh pemuda murid Kun-lun itu menggeletak di situ. Cepat dia memeriksa dan alangkah kagetnya melihat betapa seluruh tubuh pemuda ini membiru, napasnya kempas-kempis.

Beng San adalah seorang pemuda yang telah mewarisi ilmu yang hebat, akan tetapi dia bukanlah seorang ahli pengobatan. Betapa pun juga, setelah mendapat kenyataan bahwa di punggung pemuda ini terdapat jarum-jarum halus yang menancap, dia dapat menduga bahwa tentu Bun Lim Kwi terkena racun yang amat berbahaya. Dicabutnya jarum-jarum halus berjumlah tujuh buah itu, kemudian dengan hati-hati dia membungkus jarum-jarum itu dan dimasukkan ke dalam saku bajunya.

"Terlalu sekali Thio Eng. Benarkah nona itu sampai hati menggunakan senjata rahasia begini ganas dan keji?" Dia merasa penasaran.

Tanpa ragu-ragu lagi Beng San lalu menempelkan bibirnya pada luka-luka di punggung Lim Kwi, kemudian mengecupnya kuat-kuat. Darah-darah yang menghitam dapat dia isap keluar dan diludahkan, akan tetapi dia hanya berhasil mengeluarkan darah beracun yang berada di sekitar luka.

Segera Beng San menggunakan kepandaiannya. Dengan menempel kedua pundak Bun Lim Kwi dengan kedua telapak tangannya, dia menahan napas dan mengerahkan tenaga dalamnya, menggunakan tenaga Im Yang berganti-ganti untuk mendorong hawa beracun dari tubuh Bun Lim Kwi. Karena dia tidak tahu tergolong apakah racun itu, Im atau Yang, dia tidak tahu harus mempergunakan tenaga apa untuk melawannya.

Baiknya hawa mukjijat di dalam tubuh Beng San memang hebat sekali. Pada waktu dia menggunakan tenaga Im, banyak darah hitam segera mengucur keluar dari luka-luka di punggung Lim Kwi. Akhirnya muka pemuda ini tidak biru lagi dan napasnya agak lega. Akan tetapi dia masih kaku dan pingsan.

Beng San teringat akan ular pemberian Giam Kin kepada ketua Hoa-san-pai, "Ah, kenapa aku begini bodoh? Hoa-san belum terlalu jauh, kalau kubawa ke sana dan minta Lian Bu Tojin memberikan ular-ular itu untuk menolong, bukankah Lim Kwi akan dapat tertolong segera?" Tanpa ragu-ragu lagi dia lalu memondong tubuh Lim Kwi dan mempergunakan kepandaiannya untuk berlari cepat sekali naik ke puncak Hoa-san.

Setelah tiba di puncak, dia segera berjalan seperti biasa menuju ke tempat tinggal Lian Bu Tojin. la melihat bahwa di tempat pesta itu masih ada sedikit tamu. Supaya tidak menarik perhatian orang, Beng San lalu menggunakan kepandaiannya meloncat dan menyelinap menuju ke belakang, kemudian memasuki bangunan itu dari belakang.

Beberapa orang tosu melihatnya dan menegur heran. "Beng San, kau dari mana dan... eh, Siapa itu...?"

Para tosu terheran-heran, apa lagi setelah mereka mendapat kenyataan bahwa orang yang dipondong Beng San itu bukan lain adalah Bun Lim Kwi, murid Kun-lun-pai yang tadi datang bersama Pek Gan Siansu.

"Harap para Totiang tenang-tenang saja dan tolonglah panggilkan Lian Bu totiang, katakan aku Beng San mohon bertemu, ada urusan amat penting.”

Para tosu segera melaporkan kepada Lian Bu Tojin yang masih duduk di ruangan depan menanti habisnya para tamu. Begitu mendengar laporan, tosu tua ini cepat mengundurkan diri dan menuju ke belakang, membiarkan Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa melayani para tamu.

Akan tetapi Kwa Hong yang berada di dekatnya ketika ada tosu memberi laporan, segera mengikutinya. Hal ini terlihat oleh Thio Bwee, Kui Lok dan Thio Ki yang segera mengikuti pula dari belakang.

"Beng San, kenapakah dia itu...?" Lian Bu Tojin menegur dengan kaget setelah melihat Bun Lim Kwi menggeletak di atas sebuah dipan dalam keadaan amat payah.

"Totiang yang baik, saya memohon belas kasihan Totiang. Tolonglah Bun Lim Kwi yang teecu (saya) ketemukan sudah menggeletak dalam keadaan begini di lereng bukit. Melihat keadaannya, teecu rasa dia terkena senjata beracun dan... teecu teringat akan pemberian Giam Kin. Bukankah ular-ular kecil itu adalah ular penolak racun?"

Lian Bu Tojin tidak menjawab, tetapi dia cepat memeriksa tubuh Bun Lim Kwi. Sebagai seorang ketua partai persilatan besar tentu saja kakek ini mengerti pula mengenai ilmu pengobatan. Wajahnya berubah ketika dia memeriksa pemuda itu.

"Dia telah terkena racun yang amat berbahaya," katanya. "Pinto sendiri tidak mempunyai penolak racun yang akan dapat melawan racun ini."

"Totiang, bukankah Giam Kin telah memberi hadiah ular-ular penolak racun itu?"

Kakek itu mengangguk-angguk, akan tetapi ia nampak ragu-ragu. "Hemmm, pinto pernah mendengar kemanjuran Ngo-tok-coa, akan tetapi belum pernah membuktikannya sendiri. Memang kata orang Ngo-tok-coa dapat menyembuhkan segala macam penyakit akibat keracunan, akan tetapi pinto belum pernah melihat kenyataannya, bahkan ularnya pun baru kini pinto melihatnya. Keadaan pemuda ini benar-benar hebat dan amat berbahaya, kalau tidak mendapatkan obat yang cocok, dia takkan kuat bertahan sampai dua pekan." Tosu itu nampak ragu-ragu dan khawatir.

"Totiang, kalau begitu, tolonglah Totiang berikan Ngo-tok-coa kepada teecu untuk dipakai mengobati Lim Kwi," Beng San berkata gelisah.

"Baiklah... memang seharusnya begitu...," kata kakek itu.

Tiba-tiba Thio Ki berkata dengan suara tak senang, "Sukong, dia itu adalah anak murid Kun-lun-pai, seorang musuh besar. Luka atau matinya bukan merupakan urusan kita dari Hoa-san-pai!"

Thio Bwee dan Kui Lok menyatakan persetujuannya, malah Kui Lok menyambung, "Inilah tanda bahwa Thian akan selalu menghukum mereka yang jahat. Kun-lun-pai sudah terlalu amat jahat terhadap kita, maka dia ini murid Kun-lun-pai juga mengalami nasib seburuk ini. Sukong, dia ini musuh kita, tak ada perlunya kita menolongnya."

Akan tetapi Kwa Hong yang selama ini amat bersemangat dalam permusuhan golongan Hoa-san-pai terhadap Kun-lun-pai, agaknya berpikiran lain. Entah bagaimana, gadis ini sudah menaruh simpati besar terhadap Beng San dan berlawanan dengan suara hatinya kalau menentang pemuda ini.

"Teecu tidak setuju dengan kedua Suheng," katanya kepada kakek ketua Hoa-san-pai itu. "Walau pun dia ini musuh besar kita, akan tetapi dia terluka di Hoa-san, tentu orang luar akan menyangka bahwa kita yang melukainya dengan cara yang begini keji."

"Peduli apa dengan segala fitnah? Pokoknya kita tidak melakukan penyerangan gelap dan habis perkara. Biarkan orang lain menuduh!" Thio Ki bersikeras dengan sikapnya.

"Apa lagi Beng San ini selalu memperlihatkan sikapnya memihak golongan Kun-lun-pai. Dahulu, bertahun-tahun yang lalu juga dia sudah memperlihatkan sikap membela Kun-lun, sekarang pun dia mati-matian hendak menolong orang Kun-lun. Sukong, kita harus sangat berhati-hati terhadap orang ini dan jangan mendengarkan omongannya!" kata Kui Lok.

Semua ucapan cucu-cucu muridnya ini berkesan juga dalam hati Lian Bu Tojin. Dengan pandang mata tajam dia bertanya kepada Beng San, "Beng San, mengapa kau selalu berpihak kepada Kun-lun? Kenapa kau bersusah payah hendak menolong Lim Kwi murid Kun-lun ini?"

Beng San sudah marah sekali mendengar ucapan Thio Ki dan Kui Lok tadi. Makin marah dia setelah mendengar pertanyaan Lian Bu Tojin yang jelas-jelas sudah terpengaruh oleh ucapan-ucapan itu.

"Lian Bu totiang, saya harap Totiang suka ingat akan beberapa hal ini. Pertama, seorang yang sudah menjunjung tinggi keadilan, menilai baik buruk seseorang dari perbuatannya, bukanlah dari keturunannya! Meski pun Lim Kwi seorang murid Kun-lun, tapi kesalahan apakah yang pernah dia lakukan terhadap Hoa-san-pai? Kedua, seorang yang tahu akan Ke-Tuhan-an tahu pula bahwa soal keturunan adalah hasil pekerjaan Tuhan. Bun Lim Kwi menjadi anak keluarga Bun bukanlah karena kehendaknya, melainkan karena kehendak Tuhan. Maka apa bila ada orang menyalahkannya karena keturunannya, sama artinya dengan orang itu menyalahkan hasil pekerjaan Tuhan! Ke tiga, seorang kuncu (budiman) selama hidupnya takkan meninggalkan peri kemanusiaan dan akan menolong siapa saja yang membutuhkan pertolongan. Lian Bu totiang, saya menolong Lim Kwi karena dua hal, pertama karena saya selalu teringat akan hal-hal yang saya sebutkan tadi, kedua kalinya, kiranya Totiang ingat juga akan pesan terakhir Bun Si Teng kepada saya di dekat ajalnya. Pesan orang yang sudah meninggal dunia adalah pesan keramat yang harus kita hargai, asal saja pesan itu demi kebaikan. Nah, sekarang hendaknya Totiang segera mengambil keputusan, Totiang suka menolongnya ataukah tidak?"

Wajah kakek itu menjadi merah. Dia merasa terpukul oleh ucapan-ucapan pemuda itu. Sambil menoleh kepada cucu-cucu muridnya, ia pun berkata lirih, "Ambilkan Ngo-tok-coa itu..."

Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui Lok tidak bergerak dari tempatnya, malah memandang marah kepada Beng San. Akan tetapi Kwa Hong segera berlari dan tak lama kemudian dia sudah kembali membawa tabung-tabung bambu yang berisi dua ekor ular kecil.

Lian Bu Tojin menerima dua tabung itu dan berkata kepada Beng San. "Inilah dua ekor Ngo-tok-coa itu, Beng San. Pinto hanya menggunakan cara yang biasa untuk mengambil racun ular ini, kemudian meminumkannya sebagian dan sebagian lagi digosokkan pada luka-lukanya. Namun karena pinto belum membuktikan dan menyatakan sendiri khasiat racun Ngo-tok-coa, maka hasilnya pinto tidak berani menanggung."

"Totiang," kata Beng San dengan hormat dan berterima kasih, "keadaan Lim Kwi sudah payah. Kalau Totiang suka berusaha mengobati, itu saja sudah merupakan budi besar, tentang riwayatnya hanya terserah kepada Thian."

Lian Bu Tojin lalu membuka tutup tabung, menangkap ular pada belakang lehernya.

"Buka mulutnya," katanya kepada Beng San yang cepat membuka mulut Lim Kwi.

Dengan menekan pada leher dan belakang kepala ular itu, keluarlah cairan menguning dari mulut dan gigi ular, menetes-netes ke dalam mulut Lim Kwi. Kwa Hong sudah datang membawa secangkir air yang segera dipergunakan oleh Lian Bu Tojin untuk diminumkan pula sehingga racun tadi dapat masuk ke dalam perut.

Setelah racunnya habis dan dilepas, ular itu menjadi lemas dan tidak dapat berkutik lagi. Ular ke dua dikeluarkan dan seperti tadi, racunnya dikeluarkan, ditadahi cangkir kemudian dengan tangannya Lian Bu Tojin menggosok-gosokkan racun ini di punggung Lim Kwi. Pengerahan tenaga dalamnya dapat mendorong racun ini masuk tubuh melalui luka-luka kecil itu. Setelah selesai, Lian Bu Tojin dengan napas agak terengah-engah lalu mundur dan mencuci tangannya.

Beng San merasa berterima kasih sekali. Dari napas kakek itu dia maklum bahwa tadi Lian Bu Tojin telah mengerahkan seluruh Iweekang-nya dan dia merasa kagum akan budi kakek ini. Ia tidak pedulikan lagi kepada tiga orang cucu murid Hoa-san yang memandang semua itu dengan mulut cemberut dan sinar mata penuh kemarahan kepadanya. Hanya Kwa Hong yang dengan setulus hati membantu pengobatan tadi dan diam-diam dia pun berterima kasih sekali kepada nona ini.

Tubuh Bun Lim Kwi bergerak dan mulutnya mengeluh. Semua orang memandang dengan penuh perhatian. Girang hati Beng San ketika melihat betapa tubuh yang kaku tadi kini mulai menjadi lemas, warna kehitaman lenyap dan makin lama muka itu menjadi makin pucat. Lalu tubuh itu berhenti bergerak dan Lim Kwi kelihatan seperti orang tidur nyenyak, hanya napasnya agak terengah-engah.

Lian Bu Tojin lalu mendekat dan memeriksa pergelangan tangan dan detak jantungnya.

"Celaka...!" Tosu itu berteriak kaget, wajahnya berubah pucat. "Keparat betul Giam Kin!" Saking marahnya tosu ini mengeluarkan makian.

"Bagaimana, Totiang?" Beng San berseru heran dan kaget.

Kakek menggeleng-geleng kepala dan memandang sedih ke arah Bun Lim Kwi.

"Tidak baik, tidak baik... racun ular itu bukan menyembuhkan, malah menambah payah. Agaknya bukan Ngo-tok-coa..." Mendadak kakek itu menghentikan ucapannya, wajahnya makin pucat pada saat dia berbisik, "... ngo-tok (lima racun)...? Ahhh, jangan-jangan ada hubungannya dengan Ngo-lian-kauw, bukannya ular-ular obat yang diberikan, malah ular beracun berbahaya."

Kalau Beng San menjadi kaget bukan main, adalah Thio Ki dan Kui Lok sekarang girang sekali.

"Beng San, lekas bawa pergi dia dari sini, tidak ada tempat untuk mengubur mayat orang Kun-lun!” kata Kui Lok.

Pada saat itu Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa muncul. Para tamu yang melihat Lian Bu Tojin mengundurkan diri, lalu berpamit sehingga di puncak Hoa-san sudah menjadi sunyi.

"Bagaimana, Suhu?" tanya Kwa Tin Siong yang tadi sudah mendengar tentang peristiwa yang terjadi atas diri Bun Lim Kwi.

"Kita ditipu Giam Kin," kakek itu menjawab. "Dua ekor ular itu bukanlah ular obat. Setelah dipergunakan racunnya malah membuat dia makin parah."

"Bagaimana baiknya sekarang? Totiang, Kwa lo-enghiong, tolong beri petunjuk padaku," kata Beng San, nampak gelisah sekali.

Kwa Hong menjadi terharu melihat sikap Beng San. Akan tetapi gadis ini diam saja dan hanya menahan air mata yang hendak keluar dari matanya.

"Tidak ada obat di dunia ini dapat menolongnya... kecuali Thian turun tangan sendiri...," kata Lian Bu Tojin.

"Hanya ada satu jalan...," tiba-tiba Kwa Tin Siong berkata.

Semua mata ditujukan kepada jago Hoa-san-pai ini, tapi Kwa Tin Siong melihat dengan pandang mata jauh ke arah kaki gunung di sebelah utara.

"Ahh, dia...?" Kui Lok dan Thio Ki berkata dengan nada mentertawakan.

"Ayah, tidak mungkin...," kata Kwa Hong penuh kekhawatiran memandang kepada Beng San. Ada pun Lian Bu Tojin hanya menggeleng-geleng kepala saja.

"Kwa-enghiong, siapakah dia itu? Siapa yang dapat menolong Lim Kwi dan apakah yang kau maksudkan dengan satu jalan tadi?" Beng San mendesak, akan tetapi Kwa Tin Siong hanya menggeleng kepala.

Beng San segera mendesak Lian Bu Tojin. "Totiang, harap berbelas kasihan dan berilah petunjuk. Siapakah dia yang dimaksudkan oleh Kwa-enghiong dan yang bisa menolong Lim Kwi?"

"Tidak ada, tidak ada... tak mungkin ditolong lagi...," kata kakek ini pula.

Melihat bahwa Kwa Tin Siong dan ketua Hoa-san-pai agaknya hendak menyembunyikan nama orang yang kiranya dapat menolong Lim Kwi, Beng San lalu menoleh kepada Kwa Hong, "Adik Hong, maukah kau memberi penjelasan kepadaku?"

Bukan main panasnya hati Thio Ki dan Kui Lok mendengar pemuda itu menyebut ‘adik’ kepada Kwa Hong. Menurut pendapat mereka, pemuda ini tidak patut menyebut ‘adik’, seharusnya menyebut nona.

"Sebenarnya bukan karena Ayah dan Sukong tidak mau memberi tahu, San-ko. Akan tetapi memang tiada gunanya mendatangi orang itu, malah amat berbahaya. Ketahuilah, di kaki gunung ini sebelah utara terdapat seorang sakti yang amat aneh, terkenal disebut Toat-beng Yok-mo (Setan Obat Pencabut Nyawa). Namanya saja sudah menerangkan bahwa dia itu adalah seorang ahli obat sampai disebut Setan Obat. Akan tetapi, sebutan Toat-beng sudah jelas pula bahwa dia mempunyai satu kesukaan, yaitu mencabut nyawa orang. Menurut kabar, dia dapat menyembuhkan segala macam penyakit, akan tetapi begitu orangnya sembuh, dia lalu turun tangan membunuhnya. Karena inilah maka Ayah dan Sukong tidak tidak mau menyebut namanya."

"Apa dia gila...?" Beng San berseru marah dan heran.

Kwa Tin Siong menarik napas panjang sebelum berkata. "Sama sekali kami tidak tahu bagaimana keadaannya sebetulnya, Beng San, dan kami tidak mau mencoba-coba untuk menanam permusuhan dengan orang kang-ouw. Dia tidak mengganggu kami dan kami tidak pedulikan dia, akan tetapi tentang kepandaiannya mengobati sudah amat terkenal di dunia kang-ouw."

Lian Bu Tojin mengarigguk-angguk. "Dia sama terkenalnya dengan Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan, keduanya adalah keturunan tokoh-tokoh hebat di jaman dahulu. Kalau Ciu Hui Gan masih keturunan dari si dewi pedang Ang I Niocu, adalah dia itu masih keturunan dari Yok-ong (Raja Obat). Sayangnya... hemmm, dia mempunyai kebiasaan yang sangat keji dan aneh itu."

Beng San tidak berkata apa-apa, lalu menghampiri dipan dan memondong tubuh Lim Kwi yang masih pingsan dan lemas.

"Beng San, kau hendak ke mana?" tanya Kwa Tin Siong dan semua orang memandang kepada pemuda ini.

"Ke mana lagi, Kwa-enghiong? Ke kaki gunung sebelah utara itu untuk minta pertolongan Toat-beng Yok-mo.”

"San-ko! Kau akan dibunuhnya!" seru Kwa Hong, wajahnya pucat. Sikap gadis ini amat menarik perhatian sampai ayahnya sendiri menoleh dan memandang heran.

Beng San menoleh kepada Kwa Hong dan tersenyum pahit. "Apa boleh buat, tapi akan kuusahakan supaya dia dapat menyembuhkan Lim Kwi."

"Beng San, dia ini apamu dan ada hubungan apakah kau dengan Kun-lun-pai maka kau bertekad mengorbankan nyawa untuk menolongnya?" Lian Bu Tojin bertanya, mata kakek ini memandang kagum.

"Totiang, menolong orang lain dengan pamrih untuk keuntungan bagi diri sendiri bukanlah pertolongan namanya. Manusia hidup harus saling tolong-menolong dan apakah artinya pertolongan tanpa disertai pengorbanan?"

Setelah berkata demikian, dia berjalan pergi sambil memondong tubuh Lim Kwi, sengaja dia memberatkan langkahnya sehingga kelihatan keberatan memondong tubuh itu.

Semua mata mengikutinya, mata Kwa Hong basah air mata. Lian Bu Tojin menggeleng kepalanya, menarik napas panjang berkali-kali dan berkata penuh pujian.

"Siancai... siancai... selama hidupku baru kali ini pinto melihat orang dengan budi pekerti sebaik dia... kalian semua lihatlah baik-baik dan ingat baik-baik, dialah orang yang patut dihormati, dialah yang patut disebut seorang gagah!"

Setelah berkata demikian kakek ini terbongkok-bongkok memasuki pondoknya.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar