Raja Pedang Chapter 25

Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Liu Ta menjadi merah mukanya, mengangguk dan duduk kembali.

Beng Tek Cu juga merah mukanya dan melanjutkan, "Tadi sudah pinto katakan, pendapat pinto keluar dari hati yang jujur, tak peduli diterima atau tidak oleh yang mendengarkan. Pinto ulangi lagi, pokok pangkal urusan permusuhan ini terjadi karena gara-gara Kwee Sin. Menurut Lian Bu totiang, pada saat itu Kwee Sin ditolong dan dilarikan oleh Hek-hwa Kui-bo, guru dari ketua Ngo-lian-kauw. Dari sini saja sudah terbukti bahwa lagi-lagi Kwee Sin yang bersekongkol dengan pihak Ngo-lian-kauw dan akhir-akhir ini kita semua bahkan sudah mendengar sepak terjangnya membantu Ngo-lian-kauw. Oleh karena itu, menurut pendapat pinto begini, usul Pek Gan Siansu untuk mengakhiri permusuhan dengan ikatan jodoh antara murid Kun-lun-pai dan murid Hoa-san-pai adalah usul yang amat sempurna dan boleh dipuji dan dihormati. Akan tetapi sudah tentu saja luka di hati pihak Hoa-san-pai takkan terobati kalau di samping usul baik ini pihak Kun-lun-pai tidak mengambil tindakan yang tegas terhadap bekas anak muridnya, Kwee Sin. Maka sebaiknya pihak Hoa-san-pai memberi syarat bahwa Kwee Sin harus dapat diantar ke Hoa-san-pai oleh pihak Kun-lun mati atau hidup, dan setelah itu barulah diadakan perundingan tentang ikatan jodoh. Nah, pinto sudah bicara, terserahlah!" la duduk kembali sambil menghapus keringatnya dengan ujung lengan baju.

Liu Ta meloncat berdiri, memandang kepada Pek Gan Siansu. "Siansu, harap kau orang tua izinkan saya bicara untuk membersihkan nama baik Kun-lun yang dicoreng hitam oleh orang sombong!"

Pek Gan Siansu sejak tadi sudah menjadi muram wajahnya. Hatinya kecewa bukan main bahwa maksud baiknya ternyata tidak mendapatkan sambutan yang baik pula. Ia sudah ribut lebih dulu di Kun-lun dengan muridnya Bun Lim Kwi sebelum datang ke Hoa-san. la sudah menggunakan banyak kata-kata bujukan supaya Lim Kwi mentaati kehendaknya dan mau dijodohkan dengan salah satu anak murid Hoa-san-pai demi untuk memperbaiki dan melenyapkan ketegangan.

Ketua Kun-lun-pai ini maklum, alangkah beratnya hal ini bagi Lim Kwi. Akan tetapi karena ketaatan dan kebaktiannya, pemuda itu akhirnya tunduk. Tetapi siapa kira di sini kembali dia menghadapi pertentangan-pertentangan yang agaknya akan berakibat tidak baik.

Sekarang melihat pihaknya dibantu orang, tentu saja dia hanya dapat mengangguk sambil berkata, "Boleh saja, Liu-enghiong, hanya kuharap kau tetap tak melupakan maksud baik yang kubawa jauh-jauh dari Kun-lun."

"Lian Bu totiang," kata tokoh Khong-tong ini sambil menjura kepada ketua Hoa-san-pai. "Harap saja Totiang tidak mendengarkan omongan mereka yang memanaskan suasana. Pek Gan Siansu sudah datang membawa maksud yang amat mulia dan sikap yang sudah amat mengalah. Jika hendak bicara tentang pokok pangkal pertentangan, aku sama sekali tidak setuju bila dalam hal ini Kun-lun-pai dipersalahkan. Boleh orang menyalahkan Kwee Sin, namun harus diingat bahwa Kwee Sin sudah tidak diakui sebagai murid Kun-lun-pai lagi oleh ketuanya. Jika diingat lagi tentang soal sakit hati, mana yang lebih sakit hatinya? Dua orang murid Kun-lun-pai terang-terangan telah terbunuh di Hoa-san oleh murid-murid Hoa-san-pai. Sedangkan pihak Hoa-san-pai yang tewas, apakah ada yang terbunuh oleh Kun-lun-pai? Semua ini adalah gara-gara satu orang saja, Kwee Sin yang bukan orang Kun-lun-pai lagi. Maka, menurut pendapatku usul yang amat mulia dari Pek Gan Siansu ini sudah sewajarnya jika diterima oleh Totiang sehingga permusuhan berakhir sampai di sini saja."

Ang Kim Seng yang memang sudah tak senang kepada Beng Tek Cu, lalu menyambung omongan Liu Ta dengan suara keras.

"Sudah terang musuh besar Hoa-san-pai bukanlah Kun-lun-pai, melainkan Kwee Sin dan Ngo-lian-kauw. Mengapa pihak Hoa-san-pai tidak pergi menangkap sendiri Kwee Sin dan memusuhi Ngo-lian-kauw? Apakah takut karena di sana ada Hek-hwa Kui-bo?” Ia tertawa mengejek sambil melirik ke arah Beng Tek Cu.

Beng Tek Cu adalah seorang tosu, artinya seorang yang memeluk Agama To. Akan tetapi dasar dia berwatak keras, jujur dan galak, maka mendengar omongan ini dia pun serentak bangun berdiri dan berkata.

"Siapa bicara tentang takut dan berani? Jika mengira Hoa-san-pai takut, bisa dia buktikan, tak usah Hoa-san-pai, pinto saja juga tidak mengenal takut! Kita berunding tentang cengli (peraturan), bukan mau menang sendiri apa lagi mengadu-adu golongan. Terang sudah bahwa Kwee Sin adalah orang termuda dari Kun-lun Sam-hengte, jadi terang dia murid Kun-lun-pai. Kalau dia melakukan kejahatan, biar pun dia dinyatakan bukan murid Kun-lun lagi, namun sudah sewajarnya kalau Kun-lun-pai bertanggung jawab dan menghukumnya. Ataukah barang kali Kun-lun-pai memang diam saja kalau namanya dirusak oleh seorang anak muridnya yang menyeleweng? Hemmm, kami dari Bu-tong-pai memiliki satu aturan khusus, yaitu bila ada seorang anak murid yang menyeleweng dan melakukan kejahatan menodai nama baik Bu-tong-pai, tidak boleh ada orang lain yang bertindak, kami sendiri dari pihak pimpinan akan menghukumnya!"

"Bu-tong-pai mana bisa disejajarkan dengan Kun-lun-pai?!" bentak Liu Ta sambil bangkit berdiri, matanya membelalak.

"Memang tidak bisa, apa lagi kalau dibandingkan dengan Khong-tong-pai dan Bu-eng-pai. Kami dari Bu-tong-pai menang jauh dalam hal memegang peraturan!" Beng Tek Cu ganti membentak sambil membusungkan dada, menantang.

"Beng Tek Cu manusia sombong! Kau-kira aku takut kepada Bu-tong-pai?” bentak Liu Ta sambil melangkah maju.

"Jagoan Khong-tong-pai adalah tukang pukul, mana kenal takut? Baru takut kalau sudah kalah!" Beng Tek Cu mengejek.

"Wakil Bu-tong-pai sombong! Hal ini lebih baik diselesaikan di ujung pedang!" Ang Kim Seng dan Ang Kim Nio berteriak sambil berdiri dan meraba gagang pedangnya.

Keadaan sudah menjadi tegang sekali. Bahkan kini para pengikut masing-masing pihak sudah siap untuk bertempur begitu mendapat perintah pimpinan masing-masing.

Pek Gan Siansu dan Lian Bu Tojin memandang penuh kekhawatiran. Di lubuk hati kedua orang kakek ini sebetulnya sama sekali tidak menghendaki permusuhan yang makin hebat dan berlarut-larut. Mereka adalah orang-orang yang selain memiliki ilmu silat tinggi, juga memiliki ilmu batin yang kuat, maka tentu saja lebih luas pandangan dan tidak menyukai digunakannya kekerasan, apa lagi sampai menyangkut dan menyeret golongan-golongan lain.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa keras sekali. Yang tertawa ini adalah Giam Kin. Pemuda ini sudah berdiri, ular yang tadi didudukinya sekarang merayap naik dan melingkar-lingkar di tubuhnya.

"Ha-ha-ha-ha, memang seharusnya begitu! Belum pernah aku melihat partai persilatan mengadakan perayaan tanpa pertunjukan silat! Lian Bu totiang dan Pek Gan Siansu! Kita adalah laki-laki gagah, tidak seperti perempuan, tidak pandai banyak bicara, lebih pandai mempergunakan kepalan dan pedang. Ada urusan? Tidak perlu bicara bertele-tele, tarik pedang gunakan kepalan mencari keputusan siapa yang menang siapa yang kalah. Yang menang dialah yang benar, yang kalah tentu saja salah! Ha-ha-ha!"

Souw Kian Bi, Pangeran Mongol yang pesolek tampan itu juga berdiri dan bertepuk-tepuk tangan. "Tepat sekali! Ucapan Giam-taihiap adalah ucapan seorang jantan. Memang lebih baik diadakan pertandingan, ruangan cukup lebar! Semua dibagi menjadi dua golongan, pihak Hoa-san-pai dan pihak Kun-lun-pai. Masing-masing mengeluarkan seorang jagonya secara bergiliran, lalu diadakan pertandingan. Yang kalah harus mengakui kesalahannya. Bukankah ini tepat sekali bagi kita orang-orang yang biasa membawa pedang?"

Sebagian besar orang-orang muda yang hadir di situ menjadi gembira. Tentu saja mereka setuju jika diadakan pibu (adu kepandaian), maka dari sana-sini terdengar sorakan tanda setuju. Bagi orang-orang yang sudah biasa bermain pedang untuk menyelesaikan sesuatu urusan, tentu saja mereka tidak suka mendengarkan banyak kata-kata yang muluk-muluk. Apa lagi di waktu keadaan negara sekacau itu, di mana hukum seakan-akan tidak berlaku lagi dan hukum yang mereka kenal hanyalah siapa menang dia benar, dan siapa kalah dia salah. Hukum rimba selalu berkuasa di dalam kekacauan.

Pek Gan Siansu dan Lian Bu Tojin menjadi serba salah. Mereka juga adalah ketua-ketua dari partai persilatan yang besar. Tentu saja mereka pun sukar untuk melangkah mundur, sulit untuk menyatakan sikap ragu-ragu menghadapi perlombaan adu kepandaian. Dalam dunia kang-ouw sudah jelas bahwa siapa mundur dalam menghadapi pibu, dia dianggap takut dan pengecut!

Apa lagi sekarang Thio Ki beserta Kui Lok sudah melompat maju dengan tangan meraba gagang pedang, keduanya berlomba berkata, "Akulah jago pertama yang maju membela nama baik Hoa-sanpai!"

Dan Bun Lim Kwi yang tadinya bermuka muram, sekarang nampak berseri-seri mukanya. Matanya yang lebar itu bersinar-sinar. Ia memandang kepada suhu-nya dengan pandang mata penuh permohonan agar diberi ijin untuk mempertahankan nama baik Kun-lun-pai. Agaknya pertandingan sebagai gantinya perjodohan untuk menyelesaikan perkara itu tak dapat dihindarkan lagi.

Tiba-tiba seorang pemuda berlari-lari keluar dari kelompok pengikut yang berada paling belakang. Pemuda ini bukan lain adalah Beng San. Melihat keadaan sudah begitu gawat, pemuda ini tak dapat menyembunyikan dirinya lagi.

Ia tidak peduli akan pandangan orang banyak kepadanya, juga dia menahan hatinya agar tidak menengok ke arah dua orang yang pada saat itu mengeluarkan seruan heran. Yang seorang adalah Thio Eng.

Begitu gadis berbaju hijau ini melihat Beng San berlari-lari menghampiri dua orang ketua yang sedang bersitegang, gadis ini berseru. "Saudara Tan...”

Dia dapat segera menahan keheranannya dan tidak melanjutkan kata-katanya. Dia hanya memandang dengan mata terbuka lebar ke arah Beng San yang dengan tersaruk-saruk berlari mendekati dua orang kakek ketua itu.

Orang ke dua yang berseru heran tertahan adalah pemuda teman Souw Kian Bi. Pemuda ini sampai bangkit dari bangkunya ketika memandang Beng San. Tentu saja perbuatan dua orang ini tidak menyolok benar sebab pada saat itu semua tamu juga memperhatikan Beng San, apa lagi setelah pemuda ini berteriak-teriak.

"Ji-wi Locianpwe (kedua orang tua gagah), harap tahan dulu! Saya mempunyai dua benda untuk diberikan kepada Ji-wi!" Beng San yang masih ingin menyembunyikan kepandaian dirinya sengaja lari tersaruk-saruk dan terengah-engah.

Pek Gan Siansu memandang heran, dan Lian Bu Tojin tersenyum, lalu berkata halus.

"Beng San, kau hendak memberi apakah kepada kami?"

Sementara itu, para tamu sudah saling pandang dan saling bertanya. Siapakah pemuda yang berpakaian sastrawan itu? Apa maunya bocah ketolol-tololan itu?

Beng San dengan gugup merogoh-rogoh saku dalam bajunya dan mengeluarkan dua lipat kertas. Pemuda ini cukup cerdik untuk tidak mau menyebut-nyebut nama Ciu Goan Ciang. Ia maklum bahwa di situ banyak mata-mata pemerintah dan dia ingat pula bahwa Souw Kian Bi adalah seorang Pangeran Mongol, maka katanya.

"Ji-wi Locianpwe, pada saat saya hendak naik ke Hoa-san, di tengah jalan saya dititipi dua pucuk surat ini untuk Ji-wi dari seorang gagah. Pesannya agar supaya saya memberikan surat ini kepada Ji-wi untuk mencegah terjadinya pertempuran dan permusuhan. Silakan Jiwi menerima dan membacanya." Ia menyerahkan sebuah surat kepada Lian Bu Tojin dan sebuah lagi kepada Pek Gan Siansu.

Tentu saja kedua orang tua itu menjadi heran sekali, akan tetapi dengan tenang mereka menerima surat-surat itu. Bahkan Lian Bu Tojin sendiri juga amat terheran karena belum pernah Beng San menyebut-nyebut mengenai dua surat ini. Wajah mereka yang tadinya terheran itu menjadi semakin heran dan berubah merah ketika mereka sudah membuka lipatan surat-surat itu.

Pek Gan Siansu menujukan matanya yang putih itu kepada Beng San sambil berkata, “Orang muda, apa maksudmu dengan kelakar ini?"

Juga Lian Bu Tojin menjadi heran sekali setelah membuka surat, malah segera menegur, "Beng San, mengapa kau mempermainkan kami seperti ini? Katakanlah, apa maksudmu dengan main-main ini?"

Beng San terkejut sekali, lebih-lebih lagi kagetnya ketika dia melihat dua orang kakek itu membalik kertas surat kepadanya dan setelah dia memandangnya, ternyata bahwa yang dipegang oleh kedua orang kakek itu adalah sehelai kertas yang tidak ada tulisannya lagi! Pada kertas hanya ada bekas-bekas tulisan-tulisan yang sudah tak dapat terbaca karena tulisan-tulisan tinta itu telah lenyap tersapu air menjadi sehelai kertas kosong!

Otaknya yang cerdik cepat bekerja dan tahulah dia sekarang bahwa ini adalah gara-gara pertemuannya dengan gadis baju hijau! la pernah terjatuh ke dalam air dan tentu saja, ah, alangkah bodohnya, surat itu telah basah oleh air dan tintanya tersapu hilang!

Jika orang lain yang berada dalam keadaan seperti Beng San, kiranya dia akan kehabisan akal dan menjadi bingung sekali. Akan tetapi, tidak demikian dengan pemuda ini. Sedetik kemudian dia sudah dapat mengatasi keadaannya dan dapat pula mencari akal. Melihat dua orang ketua itu memandangnya dengan penuh penasaran dan pertanyaan, dia malah tertawa lebar.

"Ji-wi Locianpwe tentu menghendaki penjelasan, bukan?"

"Jelaskanlah maksudmu main-main ini!" Pek Gan Siansu menegur.

"Beng San, kau bicaralah," kata Lian Bu Tojin.

Kembali Beng San tertawa. "Ji-wi (kalian berdua) adalah ahli-ahli kebatinan, masa tidak tahu akan maksud orang gagah yang memberi surat? Kertas itu kosong dan bersih? Apa yang lebih sempurna dari pada kosong dan bersih? Kalau Ji-wi dapat mengosongkan hati dan membersihkan pikiran, kiranya segala keruwetan dunia akan bisa dipecahkan dengan mudah. Bukankah Nabi Locu dan Nabi Khong-cu sama-sama menganjurkan supaya kita dalam menghadapi segala hal dapat mengosongkan hati dan pikiran?"

Pek Gan Siansu dan Lian Bu Tojin saling pandang, lalu mengangguk-angguk. Mata hati mereka kini seperti terbuka. Memang tadi mereka terlalu menurutkan perasaan hati dan jalannya pikiran, maka hampir saja keduanya tak dapat menguasai keadaan lagi.

Sekarang keduanya serentak mengangkat tangan ke arah pengikut dan pembela masing-masing sambil berkata, "Biarkan orang muda ini bicara sampai habis!"

Perbuatan ini mereka lakukan karena di sana-sini terdengar suara ejekan serta celaan terhadap Beng San yang dianggap sebagai orang gila.

Beng San menjadi lega. Langkah pertama sudah dia ambil dan agaknya telah berhasil pula. Kemudian dia berkata lagi, suaranya lantang, "Ji-wi Locianpwe, terima kasih kalau jiwi sudi mendengarkan kata-kata saya selanjutnya. Tetapi lebih dahulu saya peringatkan bahwa mungkin apa yang akan saya katakan ini tidak enak didengarnya. Bukankah Nabi Lo-cu pernah bersabda demikian…” Setelah mengambil satu tarikan napas panjang, Beng San mulai membacakan sabda yang dia maksudkan.

Kata-kata jujur tak enak didengar,
kata-kata enak didengar tidak jujur.
Orang yang mengerti tidak mau cekcok,
yang suka cekcok tidak mengerti.
Orang yang tahu tidak sombong,
yang sombong tidaklah tahu.
Orang bijaksana tidak kikir,
Ia menyumbang sehabis-habisnya,
namun ia makin menjadi kaya.
la memberi sehabis-habisnya,
namun ia makin berlebihan.
Jalan yang ditempuh langit
selalu menguntungkan, tidak pernah merugikan.
Jalan yang ditempuh orang bijaksana selalu memberi,
tidak pernah merebut
.”

Kembali dua orang kakek itu mengangguk-angguk dan Lian Bu Tojin sambil tersenyum berkata lirih, "Syair dalam To-tek-keng bagian terakhir."

Beng San makin senang melihat bahwa Lian Bu Tojin sudah bisa tersenyum dan wajah Pek Gan Siansu kembali sabar seperti tadi.

"Ji-wi Locianpwe hampir saja lupa akan sifat-sifat kebajikan dan hampir saja membiarkan terjadinya kekerasan yang nantinya amat patut disayangkan. Bukankah Nabi Locu pernah pula mencela kekerasan?”

Dengan suara lantang kembali Beng San membacakan ujar-ujar dari kitab To-tek-keng.

Di waktu hidup, manusia lemah dan lemas,
kalau mati menjadi kaku dan keras.
Segala benda hidup di waktu tumbuh lemah dan lemas
kalau mati menjadi kering dan getas (mudah patah)
Maka dari itu,
KAKU KERAS adalah teman kematian,
LEMAH LEMAS adalah teman kehidupan.
Inilah sebabnya maka senjata keras mudah menjadi rusak
Pohon kayu keras mudah menjadi tumbang dan patah.
Oleh karena itu,
Yang kuat keras akan tumbang menduduki tempat bawah,
yang lemah dan lemas akan terus bersemi di tempat yang atas
.”

Dua orang kakek itu kembali saling panjang dan mengangguk-angguk. Memang semua ujar-ujar To-tek-keng yang diucapkan Beng San untuk mengingatkan mereka ini sangat cocok dengan isi hati mereka tadi sebelum mereka dibikin panas oleh orang-orang yang lebih muda.

"Heee! Apakah kita ini disuruh mendengarkan bualan penjual obat?" seorang muda yang duduk di belakang, yang tadi sudah ‘panas’ sekarang berteriak mengejek.

“Kita semua mau dijadikan banci-banci yang tidak memiliki kejantanan!" Giam Kin tertawa menghina. "Urusan hendak dibicarakan melalui segala macam syair busuk oleh seorang sastrawan jembel. Apakah kedua pihak sudah tidak punya nyali lagi untuk mengandalkan kepandaian sendiri?"

"Ha-ha-ha! Betul itu." Souw Kian Bi menambah minyak ke dalam api. "Aku tidak mengerti yang manakah yang sebetulnya tidak berani, Kun-lun-pai ataukah Hoa-san-pai?"

Mendengar suara-suara mengejek ini, habis sudah kesabaran Kiam-eng-cu Liem Sian Hwa. Kebencian nona ini terhadap Kun-lun-pai memang sudah amat mendalam. Hal ini tidak aneh karena nona ini merasa sakit hati sekali kepada bekas tunangannya, Kwee Sin yang dianggapnya sudah membunuh ayahnya, kemudian malah membunuh dua orang suheng-nya, Thio Wan It dan Kui Keng.

Tadi pun dia sudah kurang sabar melihat gurunya hendak berunding secara damai. Kini dengan api dan minyak yang dinyalakan oleh Giam Kin dan Souw Kian Bi melalui mulut mereka yang berbisa, nona jagoan Hoa-san-pai ini telah meloncat maju sambil mencabut pedang.

"Keparat Souw Kian Bi! Siapa yang takut? Hoa-san-pai tidak pernah takut, meski harus menghadapi seorang manusia macammu sekali pun!" Nona ini memang juga amat benci kepada Souw Kian Bi yang pernah menghinanya dahulu.

Souw Kian Bi tersenyum-senyum sedangkan para tamu lain berdebar tegang dan tambah gembira. Pangeran Mongol ini menggerakkan pundaknya.

"Nona manis, kita semua sekarang sedang mengurus persoalan antara Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai, mengapa kau memilih aku untuk ditantang? Kalau kau tidak berani terhadap Kun-lun-pai, jangan mencari musuh lain. Ha-ha-ha!"

"Setan busuk, siapa takut? Boleh orang-orang Kun-lun-pai maju, aku Kiam-eng-cu Liem Sian Hwa takkan mundur setapak!" Sepasang pedangnya sudah siap di kedua tangan dan mukanya yang cantik itu menjadi merah, matanya berapi-api.

Beng San melototkan matanya ke arah Giam Kin dan Souw Kian Bi. Hatinya ingin sekali memberi hajaran kepada dua orang itu, akan tetapi dia menenangkan hatinya, lalu berkata lagi keras-keras.

"Ji-wi Locianpwe, harap suka mendengarkan kata-kataku sampai habis!"

Pek Gan Siansu dan Lian Bu Tojin memang amat tertarik oleh ucapan Beng San tadi, maka mereka segera memberi tanda dengan tangan, mencegah orang-orang itu supaya tidak ribut sendiri.

Lian Bu Tojin bahkan membentak Sian Hwa, "Sian Hwa kau duduklah kembali, jangan lancang mendahului pinto!"

Keadaan menjadi tenang kembali dan Beng San melanjutkan kata-katanya dengan suara nyaring.

"Ji-wi Locianpwe sebagai dua ciangbunjin (ketua) partai besar, hendaknya bertindak wajar dan sesuai dengan ujar-ujar yang mulia itu. Urusan antara kedua partai Ji-wi seyogianya diurus mempergunakan kelemasan, yaitu dengan secara damai dan mengusut keadaan yang sebenarnya. Asal sudah didapatkan siapa ‘salah’, kemudian yang salah mengakui kesalahannya, bukankah semua masalah akan menjadi beres? Pembunuhan tidak dapat diselesaikan dengan pembunuhan lain lagi, karena hal itu akan menjadi makin berlarut, dendam dan sakit hati akan bertumpuk-tumpuk tiada habisnya."

Kembali kedua orang kakek itu mengangguk-angguk dan semua tamu sekarang mulai memperhatikan Beng San. Siapakah pemuda ini? Aneh dan berani sekali sungguh pun kelihatan tidak memiliki kepandaian silat sama sekali.

"Tadi ada beberapa orang saudara yang menyinggung-nyinggung bahwa biang keladi dari pokok persoalan ini adalah Kwee Sin orang termuda dari Kun-lun Sam-hengte. Pendapat itu keliru! Pek-lek-jiu Kwee Sin memang mempunyai kelemahan dan kesalahan, namun bukanlah dia yang melakukan pembunuhan terhadap ayah Liem-lihiap!"

Kembali suasana menjadi ramai. Akan tetapi dengan isyarat tangan, kedua orang ketua partai itu dapat menenteramkan suasana.

"Baik Kun-lun-pai mau pun Hoa-san-pai adalah partai-partai yang terkena fitnah jahat dan yang menyebar fitnah ini memang sengaja melakukan hal ini untuk mengadu domba antara Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai. Mengapa demikian? Tentunya mudah sekali diduga. Ada orang-orang atau pihak tertentu yang tidak ingin melihat dua partai besar ini bersatu dan umumnya mereka pun tidak ingin melihat rakyat bersatu padu, lebih senang melihat perpecahan-perpecahan di mana-mana. Orang gagah yang menitipkan surat kepadaku berkata bahwa apa bila Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai dapat membuang perasaan mau menang sendiri dan mau bersatu, maka dua partai itu akan merupakan kekuatan yang maha hebat dan dapat dipergunakan untuk menolong negara dan rakyat. Ji-wi Locianpwe, sekarang rakyat sedang menderita, negara sedang kacau-balau, pergerakan patriotik kini bangkit di mana-mana, orang-orang gagah tidak ada yang ketinggalan untuk menanam sahamnya dalam perjuangan, untuk menyumbangkan setitik keringat, setetes darah, kalau perlu bahkan selembar nyawanya untuk tanah air. Masa dalam waktu seperti ini, Ji-wi Locianpwe hendak membawa anak murid masing-masing untuk saling gempur dan saling bermusuhan? Di manakah letaknya jiwa ksatria Ji-wi Locianpwe? Di manakah letak jiwa patriotik jika Ji-wi (kalian) yang mengaku pendekar-pendekar bangsa tidak turut berusaha membela tanah air sebaliknya malah saling gempur dan saling bunuh? Semestinya Ji-wi malah bekerja sama membangun dan menghalau musuh, ehh, siapa kira, tanpa disadari Ji-wi malah bekerja sama untuk merusak dan tanpa disadari pula malah membantu musuh rakyat dengan jalan mentaati kehendak mereka. Ya, memang kehendak merekalah agar supaya kita saling hantam dan karenanya kita menjadi lemah sehingga kelak mereka mudah menguasai kita!"

Kini ramailah lagi para tamu. Giam Kin, Souw Kian Bi dan temannya yang semenjak tadi memandang Beng San, bangkit berdiri, muka mereka sebentar merah sebentar pucat. Inilah kata-kata berbahaya sekali, kata-kata seorang pemberontak terhadap pemerintah Mongol!

"Ketahuilah, Ji-wi Locianpwe," Beng San bicara terus tanpa pedulikan sikap para tamu. "Ji-wi telah kena dipermainkan oleh pihak Ngo-lian-kauw! Ngo-lian-kauw yang mengatur semua ini, yang menyamar sebagai Pek-lian-pai dan yang mendorong Kwee Sin ke dalam jurang lumpur. Ngo-lian-kauw yang melakukan semua pembunuhan sambil menyamar, jadi dalam hal ini, pihak Hoa-san-pai mau pun Kun-lun-pai tidak salah. Seharusnya Ji-wi memusuhi Ngo-lian-kauw!"

Berubah air muka dua orang kakek itu. "Tapi..., tapi kenapa Kwee Sin tidak mau mengaku salah dan malah pergi dengan orang-orang Ngo-lian-kauw? Kenapa pula dia melakukan semua itu? Beng San, apa bila kau sedang berusaha membersihkan diri Kwee Sin, kau kurang berhasil," kata Lian Bu Tojin menggeleng kepala dengan sangsi.

"Toyu, memang bekas muridku Kwee Sin itu menyeleweng, akan tetapi sekarang dia tidak kuanggap muridku lagi. Andai kata kau suka mengulurkan tangan kepada Kun-lun-pai dan mengajak kami bersama kalian menggempur Ngo-lian-kauw, percayalah, aku sendiri tidak akan ragu-ragu untuk menghancurkan kepala manusia durhaka bernama Kwee Sin!” kata Pek Gan Siansu gemas.

"Baguslah kalau begitu." Lian Bu Tojin berseru girang. "Pek Gan Siansu, mendengarkan kesanggupanmu, pinto nyatakan bahwa mulai sekarang Hoa-san-pai tidak menganggap Kun-lun-pai sebagai lawan, bahkan sebagai kawan untuk bersama-sama membasmi kaum Ngo-lian-kauw yang jahat dan menangkap Kwee Sin!"

Orang-orang yang menyetujui dilakukan perdamaian antara dua partai ini bersorak girang, tetapi mereka yang menghendaki perpecahan menjadi marah dan kecewa.

"Enak benar bocah ini!" Souw Kian Bi membentak marah. "Ji-wi ciangbunjin (dua ketua) dari Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai yang sudah tua-tua mengapa mudah saja ditipu dan dibohongi bocah seperti ini? Ji-wi harus ingat bahwa bocah ini bukanlah apa-apa, kenapa percaya begitu saja? Enak benar dia kalau kelak ternyata bahwa kata-katanya itu bohong semua, bukankah ji-wi akan ditertawai oleh seluruh kolong langit? Dua orang ketua yang besar dan terkenal sudah diingusi oleh seorang bocah tak bernama. Apa lagi mendengar kata-katanya bocah ini, sudah sepatutnya dia kutangkap atau kubunuh mampus. Dia patut kucurigai sebagai pemberontak! Ji-wi Lo-cianpwe, saya tidak mau bertindak demikian di sini karena menghormatinya sebagai tamu Hoa-san ciangbunjin. Akan tetapi, dia harus bisa membuktikan dulu omongannya. Dia harus bisa membuktikannya dengan membawa Kwee Sin ke sini agar semua kata-katanya itu dapat dicocokkan dengan pengakuan Kwee Sin. Bukankah ini adil namanya?"

Dalam kata-kata ini terkandung ancaman hebat. Memang, semua orang maklum bahwa Souw Kian Bi adalah orang Mongol, maka dia itu berhak mengecap siapa saja menjadi pemberontak.

Dua orang kakek itu saling pandang, Pek Gan Siansu bertanya, "Orang muda, kau tadi bicara tentang orang gagah yang menitipkan surat dan pesanan, siapakah dia itu?"

Beng San yang sudah merasa kepalang tanggung, tak dapat mundur kembali, menjawab dengan sejujurnya, “beliau she Ciu."

Mendengar ini, dua orang kakek itu menjadi pucat mukanya. Mereka cepat membungkuk tanda menghormat.

Sebaliknya, Souw Kian Bi menyumpah-nyumpah dan berteriak, "Awaslah siapa saja yang merasa berdosa, aku Souw Kian Bi sudah mendengar dan melihat semua. Hayo, saudara Tan, kita pergi!"

Beng San dengan berani memandang ke arah mereka, terutama sekali ke arah orang she Tan yang dia yakini adalah kakak kandungnya, Tan Beng Kui itu. Akan tetapi, orang she Tan ini memandang kepadanya dengan mata melotot, lalu membuang ludah dengan sikap menghina, mengebutkan lengan baju dan pergi mengikuti Souw Kian Bi.

Para tamu yang merasa tidak setuju dengan omongan Beng San dan yang selama ini malah membantu pemerintah Mongol menentang para pemberontak, memandang dengan sikap mengancam, malah ada yang ikut meniru perbuatan Souw Kian Bi meninggalkan tempat itu tanpa pamit.

Pek Gan Siansu menarik napas panjang. "Saudara muda ini ternyata lebih gagah dan berani dari pada kita orang-orang tua... ahh, Lian Bu toyu, aku benar merasa menyesal kalau kedatanganku ini hanya menjadi pengganggu perayaan ulang tahunmu. Tentang usulku perjodohan tadi, biarlah sementara kutunda dulu, kelak kalau kau merasa setuju, kau boleh memberi kabar. Tentang Kwee Sin, aku orang tua akan merasa berterima kasih kalau saudara muda ini mampu membuktikan segala ucapannya dan mendatangkan Kwee Sin sebagai saksi utama. Lim Kwi, hayo kita pergi!"

Bu Lim Kwi, pemuda gagah ini mengangguk. Tapi baru saja guru dan murid ini melangkah sejauh lima tindak, tiba-tiba melayang bayangan hijau yang disusul bentakan nyaring.

"Orang she Bun! Hutang nyawa bayar nyawa!"

Hebat sekali gerakan Bu Lim Kwi dan Beng San memandang kagum. Nampak pemuda ini seakan-akan tidak menghiraukan bayangan hijau yang datang menyambar ke arahnya, akan tetapi tahu-tahu…

"Traanggg...!"

Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika pedang di tangan nona baju hijau terpental karena tangkisannya, menggunakan pedang yang tadinya tergantung pada pinggangnya. Tangkisan ini dia lakukan dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya tetap saja memondong pedang pusaka Kun-lun-pai!

Bentrokan pedang ini tidak berhenti sampai di situ saja karena wanita baju hijau itu, Thio Eng, sudah melanjutkan serangannya bertubi-tubi secara hebat dan dahsyat sampai lima kali. Terdengar bunyi pedang bertemu sampai lima kali dan pertemuan yang terakhir itu demikian kuatnya sehingga baik Thio Eng mau pun Bun Lim Kwi terhuyung mundur! Semua ini berjalan dengan cepat sekali, hanya beberapa detik dan selama itu Pek Gan Siansu menoleh pun tidak!

Melihat dua orang pemuda ini sudah terhuyung mundur, Beng San mendapat kesempatan bertindak tanpa memperlihatkan kepandaiannya. la berlari-lari kemudian berdiri di tengah-tengah antara mereka.

"Eng-moi (adik Eng)... tahan pedang."

"Tan-ko (kakak Tan), kau minggirlah dan jangan turut campur, ini urusan sakit hati yang terpendam bertahun-tahun lamanya!" Wajah Thio Eng masih beringas bibirnya digigit dan matanya bersinar-sinar mengandung api kemarahan.

"Tidak, Eng-moi. Apakah kau hendak merusak semua usahaku tadi? Eng-moi, ingatlah, kau menjadi tamu di sini, tidak selayaknya kalau kau melakukan apa saja sesukamu tanpa memandang muka tuan rumah."

Thio Eng terpukul oleh kata-kata ini. Semenjak kecil ia dididik oleh orang sakti, tentu saja ia mengenal aturan kang-ouw dan benar sekali apa yang dikatakan Beng San. Tadi ketika mendengar bahwa pemuda murid Kun-lun-pai itu bernama Bun Lim Kwi putera mendiang Bun Si Teng, ia tak dapat menahan kemarahannya lagi.

Ayahnya, Thio San, dibunuh oleh kedua orang saudara Bun dan inilah keturunan mereka, inilah musuh besarnya. Saking marahnya, ia tadi sampai lupa bahwa dia dan pemuda musuh besarnya itu kini sedang menjadi tamu Hoa-san-pai, maka tidak selayaknya dia menyerangnya di tempat itu.

Akan tetapi Thio Eng sudah terlalu marah, juga penasaran karena lima kali serangannya yang hebat tadi dapat ditangkis oleh lawannya. Kemarahannya telah memuncak sehingga peringatan Beng Sen tidak berapa dipedulikannya.

"Maafkan aku, Tan-ko. Kali ini aku tidak mendengarkan siapa-siapa kecuali suara hatiku sendiri. He, orang she Bun. Jika kau bukan pengecut, mari kita berkelahi sampai seorang di antara kita mati di sini!" tantangnya mendesak kembali.

Bun Lim Kwi menjawab dengan nada duka, "Nona, aku tidak mengenalmu... bagaimana kau bisa memusuhiku...?" Suara pemuda ini tenang dan sabar sekali. Sepasang matanya memandang wajah Thio Eng penuh penyesalan, penuh kedukaan sehingga untuk sedetik hati Thio Eng terpukul.

"Ayahmu membunuh ayahku." Thio Eng menyerang lagi

"Adik Eng, jangan berkelahi di sini. Kau tamu...!" Beng San coba membujuk.

Akan tetapi Thio Eng yang sudah marah sekali telah mengirim tusukan kilat ke arah dada Bun Lim Kwi.

Tiba-tiba mata Beng San menjadi silau ketika sesosok bayangan merah menyambar dari luar. Gerakan bayangan marah ini luar biasa cepatnya, seperti seekor burung garuda saja. Sambil melayang bayangan merah ini mengeluarkan sepasang senjata yang berkilauan seperti mengeluarkan api, sekali sepasang pedang digerakan sekaligus sudah menangkis pedang Thio Eng yang ditusukkan ke arah dada Lim Kwi dan pedang Lim Kwi yang hendak menangkis.

"Trang... tranggg...!"

Thio Eng dan Lim Kwi berseru kaget sambil melompat mundur. Ternyata pedang di tangan mereka itu ujungnya telah patah terkena tangkisan aneh dari bayangan merah ini.

Sementara itu, dengan gerakan cepat hampir tidak dapat diikuti pandang mata, bayangan merah itu telah menyimpan sepasang pedangnya kembali ke dalam sarung pedang besar di punggungnya.

Sepasang mata bersinar-sinar tajam, sebuah mulut mungil berbibir merah segar, wajah cantik seperti bidadari akan tetapi juga amat angkuh dan mengandung kekerasan hati yang mengerikan. Seorang gadis cantik jelita sebaya Kwa Hong, berpakaian serba merah indah dari sutera merah panjang melambai-lambai. Sepatunya juga merah berkembang batu kemala dengan kedua ujung sepatu dipasangi baja. meruncing. Seorang nona yang berpakaian serba merah dan luar biasa cantik, akan tetapi juga nampak gagah perkasa!

"Benar ucapan dia itu. Tamu tidak boleh meremehkan tuan rumah dan berbuat seenaknya sendiri!" Suaranya merdu dan halus, akan tetapi mengandung keangkuhan tinggi seperti suara seorang puteri terhadap para abdinya! Kemudian dara jubah merah ini meloncat ringan, tahu-tahu sudah berada di depan Lian Bu Tojin, menjura dan berkata.

"Ayahku karena repot tidak dapat berkunjung ke Hoa-san. Oleh karena itu, aku mewakili keluarga Cia dari selatan sengaja berkunjung mengucapkan selamat kepada Hoa-san-pai. Selain itu, juga ayah menyuruh aku memberi tahu kepada semua orang gagah yang berkumpul ini hari di Hoa-san-pai, bahwa sebagai pemegang gelar Raja Pedang terakhir, ayah menetapkan hari perlombaan gelar Raja Pedang satu tahun kemudian dihitung mulai bulan ini, pada pertengahan bulan purnama, di puncak gunung Thaisan. Nah, aku sudah berbicara, selamat tinggal, Lian Bu totiang!" Suara gadis jelita ini selain angkuh, juga amat nyaring dan jelas, membuat semua tamu melongo kagum.

"Ayaaa, kiranya anak Bu-tek Kiam-ong (Raja Pedang Tak Terlawan) Cia Hui Gan? Bagus, sudah lama pinto ingin berkenalan dengan ilmu pedangnya!" kata-kata ini lantas disusul meloncatnya dua orang kakek berkepala gundul. Mereka adalah dua orang hwesio yang duduk di ruang tamu kehormatan dan yang semenjak tadi duduk diam saja.

Seperti diceritakan di bagian depan, di dalam ruang tamu kehormatan ini selain duduk para pimpinan partai besar, juga duduk dua orang hwesio ini, dua orang kakek petani dan tiga orang tosu. Sejak tadi tujuh orang kakek ini duduk diam dan menonton sambil mendengarkan saja, akan tetapi begitu muncul nona baju merah ini, mereka kelihatan memperhatikan sekali. Kini dua orang hwesio itu melompat dan tahu-tahu mereka telah berdiri di depan nona tadi sambil menggerak-gerakkan tongkat baja masing-masing yang panjang dan berat.

Nona itu menggerakkan alisnya yang kecil hitam, matanya menyambar-nyambar lalu ia tersenyum. Senyum yang manis sekali akan tetapi matanya mengerling tajam laksana pisau. la memperhatikan kedudukan kaki dan cara dua orang hwesio memegang tongkat, lalu berkata.

"Agaknya Hwesio Hitam dan Hwesio Putih yang menegurku. Dulu kalian berdua pernah dirobohkan dalam lima jurus oleh ayah, apa hubungannya dengan aku? Siapa yang ingin menonton pameran tongkat hitam dan putih kalian itu?" Suaranya masih nyaring tinggi, mengandung penuh ejekan dan tidak memandang mata sedikit pun juga.

Dua orang hwesio itu diam-diam terkejut. Lima tahun yang lalu mereka pernah dirobohkan dalam lima jurus saja oleh Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan. Ketika itu tentu dara ini masih kecil, kenapa sekarang sekali lihat saja sudah tahu? Mereka ini adalah hwesio-hwesio yang berilmu tinggi, tokoh pelarian dari Siauw-lim-pai yang memiliki ilmu tongkat tingkat tinggi.

Memang, oleh karena kehebatan ilmu tongkatnya, maka keduanya dijuluki orang Hek-tung Hwesio (Hwesio Tongkat Hitam) dan Pek-tung Hwesio (Hwesio Tongkat Putih). Karena julukan ini pula maka sengaja Hek-tung Hwesio membuat tongkat dari logam baja hitam sedangkan Pek-tung Hwesio membuat tongkat dari logam baja putih. Mereka telah kenal dengan Lian Bu Tojin yang menganggap mereka orang setingkat karena memang ilmu silat mereka sudah amat tinggi, maka mereka diberi tempaf di ruang tamu kehormatan.

"Ha-ha-ha, Nona. Kau sombong sekali. Agaknya kau mengandalkan kepandaian ayahmu untuk menjual lagak di sini. Pinceng (aku) berdua bukan hendak melawan anak kecil, akan tetapi mengingat bahwa kau puteri tunggal Raja Pedang tentu ilmu pedangmu hebat. Kami hendak mencoba untuk mengalahkan pedangmu dalam lima jurus pula. Beranikah kau menghadapi kami?" kata Pek-tung Hwesio.

Terang bahwa hwesio ini hanya bermaksud menebus penghinaan dahulu dan hanya ingin mengalahkan nona itu dalam lima jurus sehingga kalau hal ini terjadi, sedikitnya dia dapat membersihkan mukanya.

Nona itu mencibirkan mulutnya. “Kalian dua hwesio tua bangka hanya namanya saja yang menakutkan, bagiku tongkat-tongkat macam ini hanya dapat untuk menakut-nakuti anjing dan maling kecil. Mengapa aku takut? Tapi kedatanganku ke sini bukan untuk melayani segala macam hwesio tua bangka tak tahu malu."

Benar-benar galak nona ini, pikir Beng San mengerutkan keningnya. Masa terhadap dua orang hwesio tua sama sekali tidak menaruh hormat? Galak dan kurang ajar!

Dua orang hwesio itu marah sekali, akan tetapi sebagai orang-orang tua mereka dapat menahan kemarahan, malu untuk mengumbar nafsu kemarahan di tempat umum.

“Bagus, kalau begitu!" kata Pek-tung Hwesio. "Coba kau layani kami selama lima jurus, Nona."

Baru saja kata-kata ini habis diucapkan, dua batang tongkat panjang yang amat berat itu sudah melayang ke atas, menyambar-nyambar mengeluarkan suara mengaung. Beng San kaget dan ngeri juga. Semua tamu juga merasa ngeri, bahkan Lian Bu Tojin berseru.

"Harap Ji-wi (saudara berdua) maafkan seorang muda!"

Tak disangka sama sekali bahwa ucapan ini justru diterima dengan marah oleh nona itu. Matanya berapi-api dan kedua tangannya bergerak.

"Srattt...!"

Semua orang menjadi silau ketika nona itu sekarang sudah mencabut keluar sepasang pedang yang luar biasa tajam sampai sinarnya berkilauan. Kemudian nona itu berkelebat, terdengar suaranya,

"Lian Bu totiang, jangan pandang rendah orang muda!"

Kemudian dia menari! Ya, menari di antara sambaran-sambaran dua batang tongkat itu. Gerakannya indah bukan main, sama sekali tidak seperti orang bersilat, melainkan seperti orang menari-nari. Pedangnya bermain menjadi dua gulung sinar seperti bunga, dan ikat pinggangnya yang merah bergulung-gulung pula laksana hidup. Tubuhnya yang langsing bergerak-gerak dengan indahnya.

Beng San sampai melongo. Baginya yang sudah memiliki pandang mata tajam sekali, maklum bahwa biar pun nona itu menitik beratkan gerakan untuk keindahan, namun justru di dalam keindahan inilah letaknya kehebatan dan kelihaian ilmu pedang itu.

Hanya dengan tekukan pinggang yang indah, sambaran tongkat putih ke arah tubuhnya dapat dihindarkan, dan hanya dengan mengembangkan pedang di kedua tangan dan meloncat lincah ke atas, serampangan tongkat hitam mengenai angin. Untuk menambah keindahan yang tiada bandingnya ini, si nona baju merah masih menambah dengan senyum simpul yang manis menarik.

"Heee, mana ada aturan dua orang laki-laki mengeroyok seorang wanita?" Beng San berteriak-teriak tanpa menyatakan bahwa mereka sudah bertempur sampai sepuluh jurus lebih. la bersikap ketolol-tololan.

Nona baju merah itu tertawa. "Dua hwesio kerbau! Kalian mau merobohkan aku dalam lima jurus, sekarang sudah belasan jurus. Kiranya aku tidak segoblok kalian ketika roboh oleh ayah dalam lima jurus."

Tiba-tiba sepasang pedangnya bergerak cepat sekali, setelah saling bentur mengeluarkan api berpijar. Bunga api ini menyambar ke arah muka dua orang lawannya yang menjadi kaget dan lebih gugup ketika tahu-tahu sepasang pedang itu sudah meluncur mendekati leher mereka. Cepat mereka membuang diri ke belakang dan...

"Trang…! Tranggg…!"

Tongkat mereka ternyata telah terbabat putus saat mereka dalam gugup tadi tak sempat mengerahkan tenaga.

Si nona baju merah menjura ke arah Lian Bu Tojin setelah tanpa dapat diikuti lagi dengan mata dia sudah menyimpan kembali sepasang pedangnya, kemudian dia berkata keras, "Selamat tinggal!"

Tubuhnya lenyap, yang nampak hanyalah bayangan merah melesat keluar dari tempat itu.

Dua orang hwesio itu menjadi pucat sekali mukanya. Mereka melempar sisa potongan tongkat ke atas tanah, lalu menjura kepada Lian Bu Tojin dan keluar dengan langkah lebar.

Sementara itu, setelah tadi berhenti sebentar menonton pertandingan ini, Pek Gan Siansu yang tadi sudah berpamit, lalu mengajak Bun Lim Kwi melanjutkan perjalanan, keluar dari tempat itu. Thio Eng dengan sinar mata marah segera mengejarnya, pergi tanpa pamit.

Lian Bu Tojin menarik napas panjang berulang-ulang, malah tidak peduli lagi ketika Giam Kin juga tertawa-tawa dan bertindak keluar dengan langkah panjang. Kwa Tin Siong masih berusaha keras untuk melanjutkan perayaan itu, dan semua hidangan dapat juga dibagi-bagikan biar pun keadaan pesta tidak semeriah tadi.

Kwa Hong dengan penuh keheranan melihat bahwa di situ tidak ada lagi bayangan Beng San yang tadi menimbulkan heboh. Pemuda ini juga sudah lenyap entah ke mana pula larinya. Kwa Hong yang menjadi penasaran segera mencari sampai ke belakang, sampai ke tempat di mana pemuda itu menginap, tapi alangkah herannya ketika ia melihat bahwa bungkusan pakaian pemuda itu pun sudah lenyap pula!

"Ahh, dia aneh sekali...," pikir dara ini kecewa, “aneh dan gagah bukan main. Alangkah beraninya dia tadi... hemmm, sayang tidak pandai ilmu silat..."

la melamun membayangkan betapa akan mengagumkan kalau seorang pemuda dengan keberanian sebesar itu memiliki kepandaian ilmu silat pula. Pada saat dengan kecewa ia hendak meninggalkan kamar Beng San, ia tertarik dengan sepotong kertas di atas meja. Cepat diambilnya kertas itu dan ternyata ada tulisannya, tulisan tangan yang jelas dan indah, tulisan tangan Beng San.

BENG SAN BERJANJI MENCARl KWEE SIN.

Cepat Kwa Hong membawa surat itu kepada ayahnya dan memperlihatkannya. Wajah Kwa Tin Siong berubah.

"Anak itu aneh, sepak terjangnya tak dapat diduga semua. Bagaimana mungkin dia dapat membawa Kwee Sin ke sini?" Betapa pun juga dia memperlihatkan surat itu kepada gurunya yang menarik napas panjang.

"Memang bocah luar biasa Beng San itu. Kita Hoa-san-pai hari ini telah berhutang budi kepadanya yang berhasil mencegah pertempuran. Kalau dia bisa membawa Kwee Sin ke sini, budinya bertumpuk. Tapi... dapatkah kiranya dia berhasil?"

"Meragukan sekali, Suhu," berkata Kwa Tin Siong. Juga Liem Sian Hwa dan para murid Hoa-san-pai tidak percaya kalau Beng San akan berhasil membawa musuh besar itu ke Hoa-san.

Akan tetapi tiba-tiba Kwa Hong berkata, suaranya nyaring dan matanya bersinar-sinar. "Aku merasa yakin bahwa pada suatu hari dia akan datang bersama Kwee Sin ke sini!"

Semua mata memandangnya, terutama mata Kwa Tin Siong yang seakan-akan hendak menembus dada anaknya. Kwa Hong menjadi merah mukanya dan pergi tanpa pamit lagi.

Pergi meninggalkan jilid ini.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar