Raja Pedang Chapter 23

Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Kedatangan Kwa Hong itu sebetulnya karena ia merasa amat gelisah, takut kalau-kalau dua orang pemuda itu mengadu nyawa. Maka pada waktu melihat mereka memegang pedang, ia menjadi khawatir sekali. Hanya ia merasa terheran-heran mengapa dua orang pemuda itu malah memukuli seorang pemuda yang kelihatan lemah dan tidak pandai ilmu silat.

Thio Ki dan Kui Lok dengan muka merah karena jengah lalu meloncat mundur. Setelah dua orang pemuda yang keranjingan itu mundur, barulah Beng San berani menurunkan kedua tangan dari mukanya. la memandang Kwa Hong, sebaliknya gadis itu memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu, dari pihak Beng San penuh kekaguman.

Sekarang dia dapat melihat jelas keadaan Kwa Hong. Benar-benar melebihi yang sering kali dia bayangkan. Cantik molek dan gagah perkasa. Sepasang mata yang beningnya melebihi mata ikan emas, rambut yang hitam mengkilap, alis yang panjang kecil dan hitam sekali di atas kulit muka yang putih kemerahan, hidung yang kecil, mulut yang manis, ah... bukan main, sekarang Kwa Hong si kuntilanak itu sudah berubah menjadi seorang dara yang jelita.

Di pihak Kwa Hong, sinar mata gadis ini perlahan-lahan berseri-seri, mulutnya tersenyum lucu ketika ia mengenal Beng San, lalu terbukalah bibirnya berkata setengah tertawa.

"Kau... kau... ehh, si bunglon...!"

Beng San cemberut. "Benar," katanya dingin, "dan kau si kuntilanak masih tetap galak..."

Thio Ki dan Kui Lok melangkah maju, hendak memukul lagi. Akan tetapi Kwa Hong yang sudah maklum akan maksud mereka, segera mendahului.

"Aha, Beng San. Benar-benar kaukah ini? Eh, Ki-ko dan Lok-ko, apakah kalian lupa? Dia ini Beng San. Hi-hi-hi, benar Beng San...!" Serta merta Kwa Hong melangkah maju dan memegang tangan Beng San, mengamat-amati wajah pemuda itu yang seketika menjadi agak kemerahan.

"Hi-hi-hi, kau Beng San yang bisa berubah-ubah mukamu. Benar, kau sudah menjadi... orang sekarang. Ahh, hampir aku pangling kalau tidak melihat matamu. Kau dari mana? Hendak ke mana? Ada keperluan apa datang ke sini?"

Bingung juga Beng San dihujani petanyaan dari mulut yang manis itu.

"Aku... aku sengaja datang, mendengar bahwa Hoa-san-pai akan mengadakan perayaan seratus tahun. Aku datang sampai ke sini, lalu melihat dua saudara Thio dan Kui bertari pedang. Mereka agaknya tidak mengenalku, dan menyangka aku orang jahat maka aku hendak dipukuli. Baiknya kau keburu datang... ehhh, Nona Hong...”

Kwa Hong tertawa. Lega bahwa dua orang suheng-nya itu tidak jadi mengadu nyawa. la seorang yang cerdik sekali. Tentu dua orang suheng itu tadinya memang sudah hendak bertempur, buktinya sudah mencabut pedang. Kalau hanya menghadapi seorang lemah seperti Beng San, tidak mungkin kedua jago muda itu menghunus pedang. Tentu selagi mereka hendak bertempur, tiba-tiba datang Beng San, kemudian membuat mereka marah dan memukulinya.

"Bagus sekali kau datang, Beng San. Apakah kau sudah bertemu dengan ayah? Dengan sukong? Mereka tentu terheran-heran melihat kau datang. Baik sekali kau mau datang, jadi tidak melupakan hubungan lama." Dengan ramah-tamah Kwa Hong bicara.

Dua orang kakak seperguruannya memandang dengan hati penuh cemburu dan iri hati. Tak pernah Kwa Hong memperlihatkan sikap demikian manis terhadap mereka.

"Ki-ko dan Lok-ko, masa kalian tidak mengenalnya. Lihat itu sepasang matanya, mana ada orang lain bermata seperti dia? Mestinya kalian mengenalnya dan tidak memukulnya. Dia jauh-jauh sudah datang untuk menghadiri perayaan, menjadi seorang tamu, masa harus dipukuli? Kalian benar-benar sembrono sekali. Apa bila terdengar oleh ayah atau sukong, bukankah kalian mendapat marah?"

Tiba-tiba Kwa Hong berhenti bicara karena mendengar suara kaki mendatangi, dan tidak lama kemudian muncullah Thio Bwee, Kwa Tin Siong, dan Liem Sian Hwa. Mereka bertiga ini baru saja kembali dari tempat di mana mereka bertemu dengan Giam Kin.

Karena baru saja ada seorang pemuda membuat onar, kini melihat bahwa tiga orang anak murid Hoa-san-pai berdiri berhadapan dengan seorang pemuda asing lagi, segera Kwa Tin Siong menjadi curiga dan cepat menghampiri sambil memandang tajam.

"Siapakah saudara muda yang asing ini?" tanyanya.

Kwa Hong lari menghampiri ayahnya, memegang tangan ayahnya dengan sikap manja. "Ki-ko dan Lok-ko, jangan beri tahu ayah dulu! Ayah, coba lihat baik-baik, dan Bibi juga. Kau pun lihatlah baik-baik Enci Bwee, perhatikan dia dan coba katakan, siapa dia ini?"

Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa memandang penuh perhatian, akan tetapi dua orang anggota Hoa-san Sie-eng ini tak dapat mengenali pemuda tampan berbadan tegap yang berpakaian seperti seorang pelajar itu. Terlalu banyak persoalan dan urusan yang sangat meruwetkan pikiran, membuat mereka sama sekali tak dapat ingat lagi kepada Beng San.

Akan tetapi tidak demikian dengan Thio Bwee. Seperti juga Kwa Hong, gadis ini dahulu pernah ditolong oleh Beng San. Biar pun ia tak pernah mengenangkan Beng San, namun kiranya wajah pemuda ini tak dapat ia lupakan begitu saja.

"Bukankah kau... kau saudara Beng San?" tanyanya penuh ragu karena biar pun ia masih mengenal pemuda yang bermata tajam dan aneh ini, namun dia tetap ragu-ragu melihat pemuda ini seperti seorang terpelajar.

la tidak ingat bahwa Beng San yang dulu, yang berpakaian buruk itu, memang semenjak kecil adalah seorang yang pandai baca tulis, jauh lebih pandai dari pada dia sendiri mau pun para murid Hoa-san-pai yang lain. Karena itulah sukong-nya, Lian Bu Tojin, sayang kepada Beng San dan dijadikan kacungnya dan diberi pelajaran tentang kebatinan To.

Kwa Hong tertawa. "Enci Bwee masih ingat." la memuji.

Beng San juga tersenyum sambil menjura kepada Thio Bwee sebagai penghormatan.

"Ahh, benar... kau Beng San...!" Kwa Tin Siong juga teringat sekarang setelah mendengar kata-kata Thio Bwee. Juga Liem Sian Hwa teringat dan memandang kagum ketika Beng San menjura untuk memberi hormat kepada mereka.

Kwa Tin Siong lalu teringat akan peristiwa dahulu, ketika kedua orang saudara Bun dari Kun-lun-pai tewas di Hoa-san-pai dan bagaimana sikap Beng San yang membela pihak Kun-lun. Walau pun ucapan bocah ini dahulu ternyata cocok dengan keadaannya, yakni bahwa Ngo-lian-kauw yang melakukan fitnah sehingga dua partai besar itu bermusuhan, akan tetapi sikap bocah ini dahulu sudah mencurigakan. Kenapa ia membela Kun-lun-pai sedangkan bocah itu mondok di Hoa-san?

"Beng San, kau dulu yang sudah meninggalkan kami, sekarang kau datang ke sini dengan maksud apakah?" tanya Kwa Tin Siong, suaranya membayangkan kecurigaan.

Kwa Hong memandang ayahnya dengan kening berkerut dan dia menoleh ke arah Beng San, pandang matanya penuh kekhawatiran. Akan tetapi pemuda itu tersenyum penuh arti kepadanya, meminta supaya dara itu jangan khawatir. Kemudian dia menjura kepada Kwa Tin Siong dan berkata.

"Kwa-enghiong, mohon maaf sebanyaknya bila kedatangan saya ini merupakan gangguan terhadap Lo-enghiong sekalian. Sesungguhnya kedatangan saya ke Hoa-san ini memiliki dua maksud. Pertama, karena saya merasa amat rindu kepada Lian Bu Totiang dan para Lo-enghiong sekalian, kedua kalinya, karena dalam perjalanan saya mendengar bahwa sebentar lagi Hoa-san-pai hendak merayakan ulang tahun, maka saya sengaja datang hendak memberi selamat dan menonton keramaian. Betapa pun juga, saya masih belum lupa akan kebaikan budi Lian Bu Totiang sekalian yang dulu sudah sudi menerima saya menjadi kacung di sini." Ucapan Beng San terang sekali amat merendahkan diri.

Dua orang pemuda Hoa-san-pai mendengarkan sambil bersikap angkuh. Hanya bekas kacung, perlu apa diladeni? Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa mendengarkan dengan hati senang menyaksikan sikap yang amat sopan santun dari Beng San, sedangkan Thio Bwee dan Kwa Hong memandang dengan mata berseri. Dua orang dara ini mana bisa melupakan ketika Beng San memanggul mereka seorang satu di kedua pundak ketika menyeberangi rawa-rawa?

Dan sekarang Beng San telah menjadi seorang pemuda yang tampan dan tegap, bahkan bagi Kwa Hong, di dalam lubuk hati kecilnya, dia mengakui bahwa dibandingkan dengan dua orang suheng-nya, dalam hal ketampanan Beng San jauh lebih menang!

Dulu, dalam pergaulannya dengan Beng San, Kwa Hong memandang Beng San sebagai seorang anak perempuan nakal memandang seorang bocah laki-laki yang dianggapnya nakal pula. Akan tetapi sekarang, pandang matanya adalah pandang mata seorang dara remaja terhadap seorang jejaka. Tentu jauh berbeda.

"Bagus sekali kalau kau masih ingat kepada kami, Beng San. Tetapi kedatanganmu agak terlampau pagi. Perayaan baru diadakan sepekan kemudian. Biarlah sementara itu kau berada di sini. Mari kubawa kau pergi menghadap suhu."

Beramai-ramai mereka semua kembali ke puncak. Hanya Thio Ki beserta Kui Lok yang merasa tidak puas. Pertama karena urusan di antara mereka belum juga diselesaikan, kedua kalinya mereka merasa iri hati dan cemburu menyaksikan Beng San anak jembel itu sebagai tamu, apa-lagi ketika melihat sikap Kwa Hong yang tersenyum-senyum dan amat manis terhadap Beng San.

Beng San dengan hati terharu melihat bahwa Lian Bu Tojin, kakek tua ketua Hoa-san-pai yang baik hati itu sekarang kelihatan sangat tua. Mukanya berkerut-kerut tanda bahwa di hari tuanya kakek ini menderita tekanan batin yang hebat. Beng San dapat menduga bahwa yang menyebabkan ini semua tentulah pertentangan dengan pihak Kun-lun-pai itu. la cepat menjatuhkan diri berlutut memberi hormat.

"Totiang yang mulia, teecu Beng San datang menghadap dan memberi hormat, semoga Totiang selalu bahagia dan panjang usia."

Lian Bu Tojin, ketua Hoa-san-pai, kelihatan lebih tinggi dan lebih kurus dari pada delapan tahun yang lalu. Tongkat bambu yang butut masih selalu dipegangnya dan tangan kirinya mengelus-elus jenggotnya yang panjang, dan yang sekarang sudah hampir putih semua. la mengangguk-angguk dan tersenyum senang.

"Ah, Beng San, kau mengingatkan pinto akan kejadian dahulu." la menarik napas panjang. "Ternyata kau jauh lebih waspada dari pada pinto. Kalau saja pinto dahulu mendengarkan omonganmu ketika kau masih kecil... ahh, kau benar, memang Hoa-san-pai telah menjadi kotor, menanam permusuhan. Baiknya kau pergi dari sini, kalau tidak, kiranya kau pun akan terseret." Tosu itu menarik napas berulang-ulang dan nampaknya berduka.

Beng San merasa kasihan sekali.

"Totiang, tidak baik kalau bersedih dalam usia tua! Teecu teringat akan ujar-ujar dalam To-tek-keng yang berbunyi: ‘Aku menderita karena memiliki diri. Andaikan tak memiliki diri, penderitaan apa yang dapat kualami?’ Bukankah demikian, Totiang?”

Tosu tua itu tertawa. “Bagus! Kalimat dalam ujar-ujar nomor tiga belas! Memang demikian adanya, Beng San. Mala petaka menimpa manusia hanya semata-mata karena manusia selalu mementingkan diri sendiri. Karena manusia mementingkan diri pribadi maka selalu hendak menang, selalu ingin senang sendiri, enak sendiri tanpa mempedulikan keadaan lain orang. Ingatkah kau akan beberapa kalimat dalam ujar-ujar nomor dua puluh tiga?"

Beng San berpikir dan menghubungkan kalimat-kalimat dalam ujar-ujar yang dulu sudah dihafalnya baik-baik itu dengan keadaan yang dihadapi oleh tosu in. la lalu menjawab,

"Apakah yang Totiang maksudkan itu kalimat-kalimat yang berbunyi:
Angin keras takkan berlangsung sepenuh pagi,
hujan lebat takkan berlangsung sepenuh hari.
Siapakah penyebab ini selat edar pada langit dan bumi?
Kalau langit dan bumi pun tidak dapat berbuat tanpa henti,
apa lagi seorang manusia?
Demikian yang teecu ingat, Totiang."

"Ha-ha-ha, bagus sekali, Beng San. Ahh, memang kau lebih benar. Seribu kali lebih baik mempelajari filsafat tetapi mengerti, sadar, serta menuruti inti sarinya disesuaikan dalam hidup, dari pada mempelajari segala macam ilmu kasar seperti ilmu silat yang akhirnya hanya mendatangkan mala petaka dan permusuhan belaka...” Kembali dia menarik napas panjang. Kemudian wajahnya kembali berseri ketika dia bertanya, "Bagaimana, anak yang baik, bagaimana kabarnya dengan Lo-tong Souw Lee? Apakah jago tua yang sakti itu pun masih kuat menentang kehendak alam?"

"Tidak ada kekekalan di dunia ini, Totiang. Lo-tong Souw Lee sudah kembali ke tempat asalnya, beberapa bulan yang lalu."

"Ahhh, ke sanalah jua tujuan akhir dari hidup. Siapa kuat melawannya? Baik dia raja mau pun jembel, semua akan berakhir sama. Pertentangan? Pertempuran mati-matian? Yang kalah akan mati, apakah kiranya yang menang akhirnya takkan mati juga? Menang kalah hanyalah soal sementara, kalau sudah seperti Lo-tong Souw Lee, di mana pula letaknya kemenangan dan kekalahan? Aaahhh, kalau manusia ingat akan hal ini..."

Beng San merasa betapa kata-kata ini amat mendalam artinya dan dia yang sejak kecil memperhatikan filsafat, jadi termenung. Keadaan di ruangan itu menjadi sunyi. Pada saat menghadap ini, Beng San menghadap seorang diri, karena semua murid Hoa-san-pai pun maklum bahwa tanpa diundang mereka sama sekali tidak boleh mengganggu kakek itu.

"Kedatanganmu ini apakah hanya untuk menengok kami?" mendadak kakek itu bertanya setelah sadar dari lamunannya.

"Teecu mendengar berita bahwa Hoa-san-pai hendak merayakan ulang tahunnya yang ke seratus, maka teecu sengaja datang ke mari untuk memberi selamat dan juga menonton keramaian."

"Tidak diperingati berarti tidak menghormati kepada pendiri Hoa-san-pai. Diperingati pasti akan memancing datangnya kekeruhan. Pada jaman yang keruh ini, setiap peristiwa akan memancing datangnya peristiwa lain yang selalu memusingkan. Beng San, pinto memiliki firasat bahwa dalam perayaan sepekan kemudian ini pasti akan terjadi hal-hal yang tidak enak. Pertentangan antara kami dan Kun-lun-pai semakin menjadi-jadi, makin diperpanas oleh para anak murid kedua pihak. Aku mendengar desas-desus bahwa Pek Gan Siansu sendiri akan datang. Baik sekali kalau demikian, kami orang-orang tua tentu akan dapat membikin perhitungan secara damai. Kau seorang anak yang mendalam pengertianmu, Beng San. Pinto girang sekali kau datang, kau tinggallah di sini dan kau menjadi saksi dari usaha kami orang-orang tua mencari jalan damai. Dengan hadirmu di sini, pinto merasa lebih tenang."

Beng San merasa heran sekali. Apa gerangan yang mendatangkan perasaan ini di dalam hati Lian Bu Tojin? la merasa bangga dan juga berterima kasih sekali, karena itu tanpa ragu-ragu dia berkata, "To-tiang, percayalah, teecu yang bodoh pasti akan membantu dan menyokong pendirian Totiang yang mulia ini.”

"Beng San, apakah kau sudah mewarisi kepandaian Lo-tong Souw Lee?" pertanyaan ini tiba-tiba diajukan.

Ketika Beng San mendongak, ia terkejut sekali melihat sepasang mata tua itu mencorong dengan tajamnya memandang matanya penuh selidik.

Celaka, pikirnya. la hendak menyembunyikan kepandaiannya, dan dia pun tidak mungkin dapat berbohong kepada kakek ini.

"Semenjak kecil teecu amat suka mempelajari filsafat. Selama teecu berkumpul dengan Lo-tong Souw Lee, kiranya semua petuah dan wejangan orang tua itu telah teecu pelajari dengan baik." Jawabannya menyimpang dan dia berpura-pura tidak tahu menahu tentang maksud pertanyaan tadi yang tentu saja dimaksudkan pelajaran ilmu silat.

"Kau tidak mempelajari ilmu silat?" Sifat pertanyaan ini menggirangkan hati Beng San. la tak usah berbohong lagi sekarang.

"Teecu memang pernah mempelajari satu dua macam pukulan, akan tetapi tidak pantas disebut-sebut di depan Totiang."

Kakek itu menarik napas panjang. "Kau benar. Ilmu silat tidak patut dibicarakan, karena pada akhirnya hanya mendatangkan keributan belaka. Andai kata Hoa-san-pai dulu tidak mengembangkan ilmu silat, kiranya sampai sekarang pun Hoa-san-pai takkan mempunyai musuh..."

Mulai hari itu, Beng San diperkenankan tinggal di Hoa-san, malah mendapat kehormatan untuk tinggal satu rumah dengan Lian Bu Tojin. Kakek ini sangat suka bercakap-cakap dengan Beng San yang juga amat rajin. tidak melupakan pekerjaannya yang dahulu, yaitu dia dengan tekun membersihkan tempat tinggal kakek itu, melayani segala keperluan Lian Bu Tojin.

Pada suatu hari, Lian Bu Tojin yang melihat Beng San mencuci lantai rumahnya, menarik napas panjang, mengelus-elus jenggotnya dan berkata.

"Sayang kau tidak suka ilmu sitat, Beng San. Kalau kau suka, pinto tentu akan merasa senang dan lega sekali menarik kau menjadi murid pinto. Kau memenuhi syarat-syarat untuk menjadi murid terbaik. Kau mengenal bakti, mengenal pribudi, mengenal kesetiaan dan wawasanmu tepat, pandanganmu jauh dan luas. Pinto benar-benar mengharapkan bantuanmu dalam menghadapi cobaan pada beberapa hari yang akan datang ini. Kiranya pandanganmu dan kata-katamu akan dapat membantu banyak untuk meredakan semua ketegangan.”

"Akan teecu coba sekuat tenaga teecu, Totiang," demikian jawaban Beng San, jawaban yang keluar dari lubuk hatinya.

Sementara itu, sikap Thio Ki dan Kui Lok masih tetap angkuh sekali terhadap Beng San. Kwa Hong dan Thio Bwee bersikap manis, akan tetapi juga kelihatan memandang rendah. Tentu hal ini karena mereka berempat merasa menjadi murid-murid Hoa-san-pai yang mempunyai ilmu silat tinggi, sedangkan Beng San itu pemuda apakah?

Lemah dan ‘hanya pandai membersihkan lantai’, kata Thio Ki. Bahkan Kui Lok pernah menyatakan kekhawatirannya bahwa Beng San yang pandai menjilat-jilat itu kelak akan membujuk Lian Bu Tojin untuk menurunkan ilmunya.

"Ha-ha-ha, andai kata dia pandai menjilat dan berhasil membujuk, tanpa memiliki dasar ilmu silat, mana dia bisa berlatih?"

Kadang-kadang kalau Beng San berada di taman, keempat orang murid Hoa-san-pai ini berlatih silat dengan sungguh-sungguh. Memang hebat ilmu pedang mereka, setiap orang memiliki gaya masing-masing dan keampuhan tersendiri. Agaknya mereka sengaja ingin memamerkan kepandaian mereka di depan Beng San dan pemuda ini cukup cerdik untuk memperlihatkan muka kagum. Malah pada suatu hari, setelah melihat Thio Ki dan Kui Lok bermain pedang, dia berkata.

"Aduh... aduh, sampai silau mataku, pening kepalaku... tarian pedang saudara Thio dan saudara Kui hebat bukan main! Hebat, seperti kilat menyambar-nyambar!"

Thio Ki dan Kui Lok girang juga mendengar pujian ini. Biar pun mereka kadang-kadang masih merasa iri hati dan cemburu melihat sikap Kwa Hong yang manis terhadap Beng San, namun mereka tidak berani memukuli lagi karena Kwa Hong mengancam demikian.

"Kalau kalian berani mengganggu Beng San lagi, aku akan melaporkan kepada sukong. Kalian tahu, sukong amat sayang kepadanya!"

Bangunan darurat yang didirikan oleh para tosu Hoa-san-pai sudah hampir selesai. Waktu yang ditentukan kurang dua hari lagi. Beng San selalu turun tangan membantu para tosu sehingga para tosu juga merasa suka kepada pemuda yang sopan, merendah dan ringan tangan ini.

Sore hari itu sebelum gelap bulan sudah muncul, merupakan bola merah yang amat besar dan indah. Beng San baru saja mandi setelah sehari sibuk membantu para tosu menghias halaman depan.

"Beng San, mengapa kau sembunyi saja?" tiba-tiba dia mendengar suara. Ternyata Kwa Hong yang datang, lalu gadis ini bisik-bisik, "Di mana sukong?" Gadis ini memang paling takut terhadap Lian Bu Tojin.

"Totiang berada di dalam, sedang siulian," bisik Beng San kembali.

Kwa Hong menaruh jari di depan bibirnya, lalu memberi isyarat supaya Beng San keluar. Setibanya di luar ia berkata, "Beng San, semenjak datang kau sibuk dengan sukong atau dengan para supek menghias puncak. Kau sama sekali tidak peduli kepadaku. Kenapa?"

Beng San tersenyum. la lalu menatap wajah yang hebat itu, wajah yang sekarang agak cemberut memandang kepadanya, sepasang mata yang bening bercahaya memandang penuh selidik.

"Nona Hong..."

"Apa itu nona-nonaan segala? Sudah kukatakan beberapa kali, aku memanggil kau Beng San saja, kau pun tidak boleh pakai nona-nonaan segala macam!"

"Habis, bagaimana?"

"Semua orang memanggil aku Hong Hong, kau pun harus begitu."

”Baiklah Hong Hong... tentang pertanyaanmu tadi, sebagai tamu tentu saja aku harus melayani totiang dan membantu para tosu di sini. Tentang kau... bukankah kau sudah ada tiga orang teman baik? Aku... aku bodoh dan lemah, mana kau suka bicara dengan aku?"

"Rendah hati! Selalu rendah hati, ke mana kenakalanmu yang dulu? Aku lebih suka kau seperti dulu. Berani dan sombong! Eh, Beng San, tahukah kau?" Gadis itu mendekat dan bicaranya bisik-bisik, "Menghadapi perayaan seratus tahunan ini, sukong dan ayah telah menganjurkan kami semua ciak-jai (makan sayur pantang barang berjiwa). Wah, setengah mati aku. Harus satu bulan penuh ciak-jai, mana aku kuat? Tadi aku melihat di sana... ada kelinci gemuk sekali. Hayo kau temani aku ke sana, aku yang tangkap kelinci, kau yang memanggangnya, aku yang makan."

Menghadapi seorang dara seperti ini, mana bisa orang bersikap dingin dan pendiam? Demikian pun Beng San. Timbul kenakalannya yang dahulu. Kalau dituruti saja gadis ini, bisa-bisa dia disuruh menggunduli kepalanya sendiri!

"Enaknya kau ini! Kalau kau ingin makan daging, pergi kau tangkap sendiri, kau masak sendiri. Sesudah matang, barulah kau panggil aku dan beri bagian. Sebagai tamu sudah sepantasnya aku menerima jamuanmu."

"Eh, banyak bantahan, bodoh kau! Bukannya karena aku tidak bisa memanggang sendiri. Aku minta bantuanmu karena kalau sampai ketahuan sukong, aku tidak akan mendapat marah. Bukankah kau yang memanggang daging dan bukan aku? Kau tolonglah aku, aku sudah kemecer (ingin sekali)...!"

Beng San tersenyum menggoda "Kalau aku tidak mau...?"

Mulut yang manis itu cemberut. "Kalau tak mau, aku akan maki kau... bung..." la berhenti dan tidak melanjutkan makiannya. Beng San tahu bahwa dia akan dimaki bunglon, maka dia tertawa.

"Nona... ehh, Adik Hong. Kau ini aneh. Punya teman baik tiga orang di sini, kenapa tidak mengajak mereka? Kenapa kau mengajak aku bersekongkol. Ajaklah mereka bertiga itu."

"Huh, kau tahu apa? Mereka bertiga itu tidak mempunyai nyali."

"Tidak punya nyali? Apa maksudmu?"

"Mana mereka berani untuk melanggar larangan sukong? Hayolah, kau jangan putar-putar omongan. Kau mau atau tidak?"

Tentu saja tidak mungkin bilang ‘tidak mau’ terhadap desakan seorang dara seperti Kwa Hong.

"Baiklah... baiklah..." Beng San berkata dan serentak Kwa Hong memegang lengannya terus menariknya dan mengajaknya lari cepat sekali.

"Ehh... ehh... bagaimana ini... ihh, Nona... ehh, Hong Hong, aku jatuh nanti..." Beng San berteriak-tenak lirih.

"Cepat sedikit kenapa sih? Kau ini laki-laki atau perempuan?"

Jantung Beng San berdebar. Teringat dia akan gadis baju hijau bernama Eng. Kenapa sama benar pendapat Eng dan Hong? Eng dahulu juga bertanya seperti itu.

"Kau lihat saja sendiri. Aku ini laki-laki atau perempuan?" balasnya seperti dulu pula ketika dia menjawab pertanyaan Eng.

Gadis baju hijau itu dahulu mengatakan bahwa dia bukan laki-laki bukan perempuan, tapi banci. Apa yang akan dikatakan Kwa Hong?

Kwa Hong tertawa, lalu membetot lagi tangan Beng San diajak lari melalui tempat yang tersembunyi. "Tentu saja kau laki-laki, tapi laki-laki yang lemah melebihi perempuan."

"Kau tidak suka? Kau kecewa melihat aku lemah seperti perempuan?"

"Tidak... tidak...! Aku malah suka melihat kau lemah seperti ini. Laki-laki yang memiliki kepandaian selalu banyak tingkah, berlagak pandai dan gagah sendiri. Cih, menjemukan malah. Kalau kau berkepandaian tentu kau pun akan berubah tingkahmu, tentu berlagak dan sombong seperti... seperti..."

"Seperti Kui Lok dan Thio Ki?" Beng San menyambung.

Kwa Hong melepaskan tangannya. Kini mereka berdiri berhadapan di bawah sinar bulan purnama, saling pandang.

"Kenapa kau berkata begitu?" tuntut Kwa Hong.

"Mudah saja. Kau hanya melihat dua orang itu di sini, tentu merekalah yang kau jadikan perbandingan. Akan tetapi kau keliru, Adik Hong yang manis. Banyak di dunia ini laki-laki berkepandaian yang tidak sombong seperti mereka."

"Coba ulangi lagi..."

"Ulangi apa?"

"Sebutanmu terhadapku tadi..."

"Adik Hong yang manis?"

Kwa Hong tertawa girang, matanya berseri memandang kepada Beng San. Pemuda ini merasa kagum dan heran akan kepolosan hati gadis ini. Masih seperti kanak-kanak saja, begitu girang kalau dipuji. Ia tidak ingat sama sekali betapa Kwa Hong tidak senang, malah nampak marah dan bosan ketika dipuji-puji oleh Kui Lok dan Thio Ki. Kini gadis itu tertawa-tawa memandang padanya, dengan mukanya yang menjadi merah dan matanya yang bersinar-sinar.

"Beng San, tidak bohongkah kau?"

"Bohong tentang apa?"

"Bahwa aku manis... betulkah itu?"

Beng San merasa geli. Wanita memang amat aneh, kadang-kadang seperti kanak-kanak, sewaktu-waktu malah seperti kaum ibu. "Tentu saja kau manis, kau cantik sekali, Hong Hong. Ketika melihatmu, hampir aku tidak mengenalmu lagi."

"Kau dulu bilang aku seperti kuntilanak...”

Beng San tertawa ditahan. "Habis, kau pun memaki aku seperti bunglon sih. Apa mukaku benar-benar seperti bunglon? Hayo katakan!"

Kwa Hong berhenti melangkah, menoleh dan memandang kepada Beng San.

"Tidak, dulu memang kau buruk sekali, lebih buruk dari pada seekor bunglon! Akan tetapi sekarang... hemmm, jika saja kau pandai silat, kiranya kau lebih gagah dan ganteng dari pada Lok-ko atau pun Ki-ko.”

Muka Beng San menjadi merah juga menerima pujian yang begini terus terang dari Kwa Hong. Gadis ini memang polos dan jujur bukan main. Mereka berlari lagi.

”Hayo cepatan sedikit, takut kemalaman," kata Kwa Hong sambil mempercepat larinya.

”Nah, itu dia...”

Mata Kwa Hong yang tajam sudah melihat beberapa ekor kelinci berlari-larian menyusup rumpun ilalang. Cepat ia mengejar. Akan tetapi binatang-binatang itu meski pun kakinya pendek-pendek, ternyata dapat berlari cepat dan gesit sekali. Ditubruk sana menyusup sini, dicegat sini lari ke sana. Sambil tertawa-tawa Kwa Hong seperti anak kecil mengejar-ngejar kelinci dan memilih yang paling gemuk.

Beng San menjadi gembira juga melihat ini. Timbul sifat kanak-kanaknya dan dia pun ikut tertawa-tawa serta mengejar ke sana-sini. Tetapi kelinci yang paling gemuk lari ke tengah hutan, dikejar Kwa Hong. Beng San juga mengejarnya. Kelinci itu memang amat gemuk lagi pula masih muda dan bulunya putih bersih. Tentu enak lunak dan sedap dagingnya.

Di bawah sebatang pohon besar Kwa Hong berhasil menangkap kelinci, dipegang pada dua telinganya. Gadis itu tertawa-tawa gembira, sambil tangannya memegangi binatang yang meronta-ronta itu.

"Nah, akhirnya dapat yang gemuk ini. Beng San, nih kau bawa dan kau yang bertugas menyembelih dan memanggangnya!”

Sambil tertawa Beng San menerima kelinci itu. Tiba-tiba terdengar auman keras sekali sampai bumi yang mereka pijak seakan bergetar, daun-daun pohon bergoyang-goyang dan yang kering rontok berhamburan. Kwa Hong menjadi pucat dan segera mencabut pedangnya.

"Beng San... cepat kau panjat pohon ini," la mendorong-dorong tubuh Beng San arah batang pohon, dia sendri menjaga keselamatan Beng San dengan pedang di tangan.

”Kenapa aku mesti memanjat pohon?"

"Rewel kau! Ada harimau... biar aku melawannya, tetapi kau... kau harus memanjat pohon. Susah kalau melawan dan sekaligus melindungimu..." Gadis itu berbisik, matanya tetap memandang ke arah gerombolan alang-alang yang sudah mulai bergerak-gerak.

Beng San tersenyum geli dan juga kagum disertai terima kasih. Betapa pun galaknya, gadis ini ternyata berhati baik terhadapnya. Seorang diri hendak menghadapi harimau, sedangkan dia disuruh menyelamatkan diri di atas pohon! Gadis mana segagah ini?

Karena Kwa Hong sedang mencurahkan perhatiannya ke arah gerombolan alang-alang, gadis ini tidak melihat betapa dengan amat mudahnya, sambil membawa kelinci itu, Beng San sebentar saja sudah duduk di atas dahan pohon yang tinggi.

Dugaan Kwa Hong segera terbukti. Seekor harimau perlahan-lahan muncul dari belakang gerombolan alang-alang itu. Beng San sampai terkejut melihatnya. Harimau yang besar sekali, sebesar anak sapi. Kepalanya besar, matanya sipit berkilauan, taringnya sengaja diperlihatkan dan kulitnya loreng-loreng agak putih.

"Hati-hatilah kau... Hong-moi (adik Hong)...!" kata-kata ini keluar dari hati Beng San.

Pemuda ini belum pernah menghadapi seekor harimau yang kelihatan begitu mengerikan, tentu saja dia menjadi gelisah sekali. Biar pun dia sudah maklum bahwa dirinya memiliki bekal ilmu yang tinggi dan tenaga yang hebat, namun karena belum pernah berhadapan dengan binatang buas sebesar itu, dia merasa khawatir akan keselamatan Kwa Hong.

Kwa Hong mengangkat tangan kiri ke arah Beng San dengan maksud supaya pemuda itu tenang dan jangan khawatir. Hatinya lega mendengar suara Beng San dari atas, tanda bahwa pemuda itu sudah berada di atas pohon.

Akan tetapi, agaknya gerakan tangan kirinya itu menjadi isyarat bagi sang harimau untuk bergerak. Dengan suara geraman hebat, tubuhnya yang tadi agak mendekam sekarang meloncat tinggi menerkam ke arah Kwa Hong dengan tenaga yang dahsyat.

”Awas...!” Beng San berseru, seluruh urat di tubuhnya menegang.

Dia sudah siap dengan kelinci di tangan untuk turun tangan menolong seandainya gadis itu terancam bahaya. Akan tetapi, lega hatinya ketika dia melihat betapa dengan gerakan yang amat lincah gadis itu sudah dapat meloncat ke samping dan tubuh harimau yang besar itu lewat cepat menubruk tempat kosong. Pedang gadis itu berkelebat, tapi meleset tidak dapat menusuk perut harimau karena ekor harimau yang panjang itu menyabet dan menangkis!

Dengan geraman mengerikan harimau itu sudah membalik dan kembali menubruk, lebih dahsyat dari pada tadi. Akan tetapi, begitu melihat gerakan Kwa Hong tadi, Beng San lantas lenyap kekhawatirannya. Sekarang dia malah memandang kagum. Dia mendapat kenyataan bahwa gerakan gadis ini benar-benar lincah dan cepat sekali.

Dari gerakan-gerakan itu dia bisa mendapat kenyataan bahwa kepandaian Kwa Hong tidak kalah oleh Thio Bwee mau pun Kui Lok dan Thio Ki. Namun, walau telah diserang empat lima kali, belum juga Kwa Hong mampu menusuk harimau itu. Tusukannya selalu meleset saking cepatnya harimau itu mengelak, atau menangkis dengan cakar atau pun ekornya.

"Bacok kaki belakangnya...!" Beng San yang mulai khawatir lagi memberi nasihat.

Harimau melompat lagi. Gadis itu yang agaknya sadar akan akal yang diteriakkan Beng San, tidak meloncat ke pinggir untuk mengelak seperti tadi, malah menerobos ke depan, ke bawah tubuh harimau yang sedang melompat tinggi menubruknya. Kemudian, sebelum tubuh harimau tiba di tanah, gadis ini sudah menggerakkan kaki membalik, pedangnya berkelebat dan... harimau itu roboh dengan paha belakang sebelah kanan robek oleh sabetan pedang!

la menggereng, mencoba untuk merangsek lagi, tapi karena luka itu gerakannya menjadi kurang cepat. Dengan mudah Kwa Hong mengelak dan mengirimkan bacokan-bacokan bertubi-tubi ke arah kedua kaki belakang.

Setelah binatang buas itu roboh tak berdaya karena dua kaki belakangnya hampir putus, dengan mudahnya Kwa Hong menusukkan leher dan perutnya. Harimau itu mengeluarkan auman terakhir, tubuhnya berkelojotan lalu diam tak bergerak lagi. la mati mandi darah di depan kedua kaki dara perkasa itu!

Beng San melorot turun, lalu bertepuk tangan. "Hebat... hebat... kau gagah sekali, Hong Hong..."


"Kau tadi menyebutku Hong-moi..."

Beng San mengingat-ingat. Betul saja, dalam kekhawatirannya tadi dia sudah menyebut adik Hong kepada gadis itu. Wajahnya langsung memerah.

"Memang aku lebih tua, sudah pantas menyebutmu Hong-moi. Boleh, kan?"

"Tentu saja boleh. Kau malah sudah berjasa. Kalau tidak kau ingatkan untuk menyerang kaki belakangnya, agaknya akan lama untuk dapat merobohkannya. Ehhh, mana kelinci tadi?"

Beng San mengambil kelinci yang tadi dikempitnya di antara kedua pahanya ketika dia bertepuk tangan. Gadis itu tertawa dan membersihkan pedang pada bulu harimau.

"Hayo kita pulang, sudah hampir gelap dan perutku makin lapar saja oleh perkelahian tadi."

"Bangkai harimau itu... kan dagingnya enak sekali dan dapat menambah kuat tubuh. Pula, kulitnya juga indah sekali, sayang kalau dibiarkan saja membusuk di sini."

"Bawalah kalau kau mau. Tapi... terlalu banyak daging itu, tidak akan habis. Kalau sukong melihatnya, bukankah akan terbuka rahasiaku?"

"Jangan khawatir, kau yang membunuhnya karena diserang harimau, aku yang makan dagingnya."

"Dan aku akan mendapat bagian dengan diam-diam." Kwa Hong tertawa-tawa. "Kau amat cerdik, Beng San... ehhh, tidak enak juga kalau kau menyebutku adik tapi aku menyebut namamu begitu saja. Kau bilang leblh tua, sebetulnya berapa sih usiamu? Aku sudah delapan belas tahun!"

Beng San tertawa. "Sedikitnya aku dua tahun lebih tua dari padamu. Kau seharusnya menyebut kakak kepadaku."

"Hemmm, San-ko (kakak San)... hemmm, enak juga terdengarnya. Baiklah Beng San koko, kau bawa bangkai harimau itu. Tapi dagingnya terlalu banyak, tidak akan termakan habis olehmu biar pun dibantu olehku secara diam-diam."

"Jangan khawatir, selebihnya dapat kubuat dendeng. Kau punya banyak garam, kan?"

"Bisa kucuri dari dapur para supek tukang masak!" Kwa Hong tertawa nakal.

"Aha, kulihat kau hanya maju dalam ilmu silat, Agaknya segala petuah sukong-mu tentang kebajikan tak pernah kau taati, buktinya kau mau nyolong garam."

Keduanya tertawa lagi dan Beng San segera memanggul bangkai harimau itu setelah menyerahkan kelinci kepada Kwa Hong.

"Ehh, tidak kusangka kau kuat juga. Bangkai harimau ini sedikitnya ada lima puluh kilo!” Kwa Hong memandang kagum.

Beng San terhuyung-huyung, kelihatan keberatan. Baru kini ia teringat bahwa ia hendak menyembunyikan kepandaian. Hampir saja dia lupa kalau Kwa Hong tidak memujinya. la cepat-cepat beraksi dan kelihatan amat berat menggendong bangkai itu.

"Wah, berat sekali..."

Kwa Hong tersenyum, "Tapi kau kuat menggendongnya. Hemmm, kiranya kau tak begitu lemah seperti yang kukira. Sayang kau tidak belajar ilmu silat."

"Tadi kau bilang lebih baik aku tidak bisa silat," Beng San memperingatkan.

Kwa Hong mengangkat kedua pundaknya, gerakan yang manis dipandang.

"Bukan begitu maksudku... entahlah, yang tak kusuka adalah sikap angkuh dan jumawa, menganggap diri sendiri paling pandai dan kuat. Sikap inilah yang tak kusuka, sikap yang banyak terdapat di kalangan orang kang-ouw."

"Kau benar," Beng San nnengangguk-angguk, "dan kiranya sikap yang demikian itu pula, sikap mau menang sendiri dan tidak mau mengalah sedikit pun juga, yang menimbulkan keributan-keributan dan permusuhan-permusuhan di antara golongan yang satu dengan golongan yang lainnya."

Dua orang muda itu makin lama merasa makin cocok. Watak Beng San yang sederhana, jujur, sabar dan kadang-kadang dapat pula lincah jenaka dapat mengimbangi watak Kwa Hong yang lincah, gembira dan ada kalanya keras tapi ada kalanya halus lembut penuh kemesraan. Tidak mengherankan bahwa dalam beberapa hari itu mereka nampak makin akrab dalam pergaulan.

Kwa Hong yang mempunyai hati terbuka, secara terang-terangan memperlihatkan rasa sukanya bergaul dengan Beng San sehingga tentu saja dua orang pemuda Hoa-san-pai, Kui Lok dan Thio Ki, merasa dada mereka seperti mau meledak saking panas hatinya. Akan tetapi, Beng San adalah seorang tamu di Hoa-san-pai, lebih lagi agaknya sukong mereka suka kepada Beng San, juga Kwa Hong selalu ‘melindunginya’.

Di lain pihak, Thio Bwee bernapas lega melihat bahwa Kwa Hong ternyata tidak menaruh perhatian kepada Kui Lok, pemuda idaman hatinya itu…..

********************

Beng San mendapat kenyataan betapa cocok kata-kata Tan Hok ketika menceritakan tentang keadaan Hoa-san-pai dalam permusuhannya dengan Kun-lun-pai. Tidak saja dia melihat banyaknya tosu Hoa-san-pai yang berkumpul di gunung itu, mendekati seratus jumlahnya, akan tetapi menjelang datangnya hari perayaan ulang tahun ke seratus dari Hoa-san-pai, berturut-turut datang murid-murid Hoa-san-pai yang tinggal jauh dari gunung Hoa-san. Tiga hari sebelum hari perayaan, di sana sudah berkumpul seluruh anggota Hoa-san-pai yang jumlahnya mendekati seratus dua puluh orang!

Keadaan Hoa-san-pai sungguh angker sekali. Tosu-tosu dengan pakaian seragam putih melakukan penjagaan dengan sikap mereka yang alim dan amat gagah. Jalan kecil yang menuju ke pendakian puncak itu, dihias dengan bunga-bunga kertas, setiap seperempat kilometer dijaga oleh tiga orang tosu di pinggir jalan, merupakan tiang-tiang hidup. Hal ini diadakan bukan hanya untuk memberi penghormatan kepada para tamu, tetapi kiranya terutama sekali untuk ‘unjuk gigi’ kepada para tamu yang datang dengan maksud-maksud buruk tertentu.

Sebagai sebuah partai besar yang sudah terkenal namanya di seluruh dunia kang-ouw, kali ini Hoa-san-pai mengadakan persiapan besar-besaran. Beberapa hari sebelumnya, para tosu sudah sibuk berbelanja, menyediakan segala bahan makanan dan minuman untuk menjamu para tamu. Ratusan bangku baru dibuat dan diatur di ruangan depan.

Ruangan ini menjadi luas sekali karena diberi bangunan tambahan darurat. Ruangan yang amat luas ini dibagi-bagi, untuk para tamu kehormatan di sebelah dalam dan menghadap keluar, untuk tamu wanita di sebelah kiri dan agak tertutup, dan untuk yang muda-muda di sebelah kanan.

Di belakang ke tiga tempat ini yang paling luas, disediakan bangku-bangku panjang untuk tempat para tamu lain yang dianggap sebagai pengikut-pengikut saja. Pihak tuan rumah mengambil tempat di ruangan yang mepet dinding dalam, dekat tempat tamu kehormatan, membelakangi pintu besar yang dapat menuju ke dalam ‘rumah besar’. Di tengah-tengah ruangan merupakan tempat terbuka yang cukup luas untuk memberi tempat bagi para pelayan hilir-mudik.

Menurut berita yang dibawa oleh para tosu penjaga kaki gunung, dua hari sebelum pesta dimulai, sudah banyak sekali tamu yang datang sampai di kaki Gunung Hoa-san. Mereka menginap di kampung-kampung, menanti datangnya hari yang ditentukan untuk mendaki puncak. Tentu saja para tosu itu di antaranya ada yang bertugas menyelidiki siapa-siapa yang akan datang, kawan ataukah lawan!

Pada hari itu, pagi-pagi sekali sudah kelihatan para tamu berbondong-bondong mendaki puncak Hoa-san. Banyak sekali tamu yang datang. Para tosu Hoa-san-pai yang menjaga di sepanjang jalan sampai ke puncak, mewakili ketua mereka, melihat dengan hati kaget betapa partai-partai lain datang lengkap dengan para anak murid yang pilihan. Bahkan partai-partai Khong-tong-pai, Bu-tong-pai, dan Bu-eng-pai datang dengan puluhan orang anak murid masing-masing sehingga merupakan pasukan yang kuat!

Lian Bu-Tojin memang tidak mau memperlihatkan diri lebih dahulu, malah dia sengaja melarang Kwa Tin Siong, Liem Sian Hwa dan cucu-cucu muridnya untuk keluar lebih dulu sebelum para tamu lengkap. Kakek ini amat berhati-hati. la mau melihat murid-murid dan cucu-cucu muridnya muncul lalu dipancing oleh pihak lawan untuk mengacaukan pesta ulang tahun perkumpulannya.

Setelah ruangan tamu di depan penuh oleh para tamu, barulah Lian Bu Tojin diiringkan oleh Kwa Tin Siong, Liem Sian Hwa, Kwa Hong, Thio Bwee, Thio Ki dan Kui Lok, keluar dari dalam menuju ke tempat duduk yang disediakan untuk pihak tuan rumah. Para tamu segera berdiri memberi hormat yang dibalas oleh Kwa Tin Siong sebagai wakil pihak tuan rumah. Lian Bu Tojin sebagai seorang yang tingkatnya lebih tinggi, hanya mengangguk dan hanya mengangkat kedua tangan membalas penghormatan para tamu yang duduk di bagian terhormat.

Walau pun baru sekarang Lian Bu Tojin keluar, namun kakek ini sudah tahu siapa saja tamu-tamunya yang hadir. Tadi Kwa Tin Siong mengintai dari dalam dan memberi tahu kepada gurunya tentang para tamu yang sebagian besar dikenal oleh jago pertama dari Hoa-san-pai ini.

Yang amat mengherankan hati Lian Bu Tojin dan Kwa Tin Siong adalah ketidak hadiran orang-orang Kun-lun-pai. Padahal mereka melihat bahwa Khong-tong-pai dan Bu-eng-pai, dua partai yang selalu memperlihatkan sikap membela Kun-lun-pai, sudah lengkap hadir di situ. Diam-diam mereka juga merasa gembira bukan main dengan hadirnya jago-jago dari Bu-tong-pai, karena partai ini selalu memperlihatkan sikap baik kepada Hoa-san-pai.

Banyak terdapat jago-jago silat yang sudah terkenal namanya hadir di ruangan itu. Nama Hoa-san-pai sudah terlalu terkenal sehingga kali ini dapat menarik kedatangan jago-jago silat dari seluruh negeri. Tapi yang paling penting disebutkan di sini hanyalah beberapa orang saja.

Di antaranya pemimpin rombongan Khong-tong-pai, seorang lelaki gemuk pendek berusia lima puluh tahun. Dia adalah murid pertama dari Khong-tong-pai bernama Liu Ta, seorang ahli Iweekeng dan ahli golok. Karena terlalu dipercaya oleh gurunya yang sudah tua, Liu Ta ini sering kali bertindak mewakili Khong-tong-pai tanpa setahu gurunya.

Dari pihak Bu-eng-pai, rombongan ini dipimpin oleh dua orang jago Bu-eng-pai yang telah terkenal namanya, yaitu Ang Kim Seng yang tinggi kurus berusia empat puluh tahun lebih dan adiknya, Ang Kim Nio yang cantik genit berusia tiga puluh tahun lebih. Kakak beradik ini terkenal sebagai ahli pedang dari Bu-eng-pai. Seperti juga pihak Khong-tong-pai, kakak beradik ini lebih condong membantu Kun-lun-pai dari pada Hoa-san-pai.

Beng Tek Cu, seorang tosu yang tinggi besar serta bermata lebar adalah seorang tokoh Bu-tong-pai, usianya lima puluh lima tahun. Orangnya jujur dan keras hati, akan tetapi kepandaiannya tinggi dan namanya ditakuti orang-orang jahat karena tosu Bu-tong-pai ini tak pernah menaruh kasihan kepada para penjahat. la menjadi sahabat Kwa Tin Siong, maka dalam urusan antara Hoa-san dan Kun-lun, tosu tinggi besar ini dan rombongannya berpihak kepada Hoa-san-pai.

Masih banyak tokoh-tokoh besar yang hadir di pertemuan itu, akan tetapi agaknya akan terlalu panjang kalau disebut satu persatu. Apa lagi karena mesti pindah jilid.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar