Raja Pedang Chapter 22

Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Dengan bekal pakaian dan uang pemberian orang-orang Pek-lian-pai kepadanya, Beng San dapat melakukan perjalanan sebagai seorang pelancong yang pantas. Benar saja, dengan berpakaian seperti seorang pemuda terpelajar, dia sama sekali tidak mengalami gangguan-gangguan di tengah perjalanan.

Lima belas hari kemudian dia telah sampai di daerah Hoa-san dan beberapa hari mendaki pegunungan, dia akhirnya tiba di puncak Hoa-san yang dijadikan pusat dari perkumpulan Hoa-san-pai. Hatinya berdebar pada saat dia melihat tempat yang sudah dikenalnya baik ketika delapan tahun yang lalu itu.

Dari jauh dia melihat betapa tempat itu sudah mulai dihias. Banyak sekali tosu mendirikan bangunan darurat yang besar. Ramai orang bekerja. Beng San sengaja mengambil jalan memutar. la hendak memasuki Hoa-san-pai dari belakang, menuju ke taman bunga di mana dahulu dia bermain-main dengan Kwa Hong, Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui Lok.

Apakah mereka berada pula di sini? Dan bagaimana dengan ketua Hoa-san-pai? Ah, di antara Hoa-san Sie-eng, hanya tinggal dua orang yang hidup, yaitu ayah Kwa Hong, Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa. Bagaimana nanti sikap mereka jika mereka melihat aku? Bermacam pikiran dan dugaan berkecamuk dalam pikiran Beng San, membuat hatinya berdebar tegang ketika dia mendekati taman bunga di belakang kelenteng Hoa-san-pai.

Tiba-tiba Beng San melompat ke belakang pohon, lalu menyelinap menyembunyikan diri. Dengan gerakan yang tanpa menimbulkan suara sama sekali dia pindah bersembunyi ke atas sebatang pohon besar yang sangat lebat daunnya. Dia bukan seorang yang suka mengintai orang lain, akan tetapi apa yang terlihat oleh matanya yang tajam luar biasa itu memaksa dia bersembunyi dan mengintai.

Di tengah taman yang sunyi dia melihat seorang gadis yang cantik sekali tengah duduk di atas bangku dekat kolam ikan yang penuh teratai merah. Di depannya berdiri seorang pemuda tampan yang menundukkan mukanya. Gadis itu kelihatan cerah sekali mukanya, bibirnya tersenyum akan tetapi sepasang matanya bergerak-gerak setengah marah.

Pemandangan yang membuat Beng San terheran-heran dan cepat bersembunyi sambil berwaspada adalah ketika matanya yang tajam dapat melihat adanya seorang gadis lain yang juga berada di taman itu. Akan tetapi gadis ini kelakuannya sangat mencurigakan, yaitu ia sedang mengintai sepasang muda-mudi itu dari balik rumpun kembang dan batu penghias taman!

Diam-diam Beng San memperhatikan tiga orang itu. Si pemuda adalah seorang pemuda yang wajahnya tampan, matanya tajam dan mukanya membayangkan keangkuhan dan kegembiraan sekaligus. Pakaiannya indah, akan tetapi serba putih seperti orang sedang berkabung. Bentuk tubuhnya sedang dan dia nampak gagah dengan topi bulu di kepala serta sebatang pedang yang tergantung di pinggang.

Ada pun dara jelita yang dihadapinya itu adalah seorang dara yang memiliki bentuk tubuh langsing tinggi. Gerakannya lemah gemulai tetapi mengandung kegesitan dan kekuatan yang tidak terlepas dari pandang mata seorang ahli. Mukanya bulat telur, kulitnya putih sekali, putih kemerahan serta halus terpelihara. Sepasang matanya seperti mata burung hong yang kadang-kadang dapat menyinarkan kemesraan dan kehalusan akan tetapi kadang-kadang nampak tajam menusuk dan galak.

Pakaiannya berkembang indah, akan tetapi dasarnya merah sehingga mudah diduga bahwa dia memang menyukai warna merah. Juga gadis cantik jelita ini membawa pedang yang dipasang di belakang punggungnya sehingga di balik segala kecantik jelitaannya ini membayang keangkeran dan kegagahan.

Setelah melihat dengan teliti, hampir Beng San tak dapat menahan ketawanya. Mudah saja dia mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Kui Lok. Telinganya yang lebar itu takkan dia lupakan. Dan gadis cantik jelita yang nampak manja ini siapa lagi kalau bukan si kuntilanak? Kwa Hong, tak bisa lain orang. Mana ada lain orang memiliki mata seperti itu?

Juga gadis ke dua yang bersembunyi sambil mengintai, yang tadinya menimbulkan rasa kecurigaan di hati Beng San, setelah dia pandang dengan teliti, dia merasa yakin bahwa gadis ini tentulah Thio Bwee. Gadis ini juga memiliki bentuk tubuh yang padat langsing, kulitnya halus dan tak seputih Kwa Hong, akan tetapi juga tak dapat dikatakan hitam. Kulit berwarna kegelapan yang malah menambah kemanisannya.

Wajahnya juga cantik sekali, hidungnya membayangkan hati yang keras. Seperti Kui Lok, gadis ini juga berpakaian serba putih, tapi tidak putih polos, melainkan putih berkembang. Di punggungnya, seperti juga Kwa Hong, dia membawa sebatang pedang yang dironce putih pula.

"Hemmm, seperti menonton sandiwara wayang saja," pikir Beng San geli.

Apakah yang sedang terjadi dengan anak-anak yang dahulu nakal-nakal ini? Teringat dia bahwa dia sendiri pun memperlihatkan kenakalannya, buktinya dia mengintai seperti yang dilakukan oleh Thio Bwee. Mengingat ini, tak terasa lagi Beng San tertawa lebar tanpa mengeluarkan bunyi, sambil menekan perutnya.

Kui Lok mengangkat mukanya yang tampan. Mulutnya yang selalu tersenyum mengejek itu berkata, "Hong-moi, sekali lagi kutegaskan bahwa sejak dulu aku selalu mencintamu, bukan sebagai saudara seperguruan, bukan sebagai kakak beradik, akan tetapi sebagai seorang pria terhadap seorang wanita pujaan hatinya. Hong-moi, aku cinta...”

"Sudahlah, Lok-ko, jangan kau ulang-ulang lagi," Kwa Hong berkata sambil memandang tajam, kemudian mendadak matanya bersinar nakal ketika dia berkata, "Tak enak bicara cara begini, kau berdiri dan aku duduk. Kau duduklah di rumput supaya aku tidak selalu berdongak kalau bicara denganmu."

Kui Lok memandang ke bawah. Tidak bersih tanah itu, biar pun ditumbuhi rumput hijau, tentu akan mengotorkan pakaiannya. Akan tetapi tanpa ragu-ragu dia menjatuhkan diri duduk di depan Kwa Hong, di atas tanah. Karena dara itu duduk di depannya dan dia duduk di tanah, kelihatan dia seperti berlutut di depan orang yang lebih tinggi tingkatnya!

Wajah Kwa Hong yang jelita itu nampak berseri ketika memandang ke bawah, kepada muka yang tampan dan penuh penyerahan, penuh harapan dan penuh ketaatan itu. Dan sebaliknya, Kui Lok yang sekarang harus menengadah memandang wajah cantik jelita di sebelah atasnya.

"Lok-ko," kata Kwa Hong sambil tersenyum semanis-manisnya, "aku tak suka bila setiap kali bertemu kau selalu menyatakan rasa cinta kasihmu. Aku jadi bosan mendengarnya. Sudah kukatakan kepadamu, sekarang belum tiba saatnya bagiku untuk memikirkan soal itu. Kau bersabarlah karena aku belum dapat memastikan siapa yang akan kupilih kelak. Kau sendiri tahu, ayahku bermaksud menjodohkan aku dengan Ki-ko, tapi itu pun kutolak mentah-mentah. Aku akan memilih sendiri, tetapi kelak!"

"Baiklah, Moi-moi (Adinda), baiklah. Aku tak akan mengulang lagi, tapi perbolehkan aku memujamu... alangkah cantik jelitanya engkau, Hong-moi. Kalau kupandang dari bawah, wajahmu mengalahkan kecemerlangan matahari di waktu pagi atau bulan di waktu senja. Aku sudah akan merasa hidup ini bahagia kalau dapat memandangi mukamu yang indah, mendengar suaramu yang merdu bagaikan..."

"Sssttttt... ada orang...!" Kwa Hong yang amat tajam pendengarannya itu bangkit berdiri dari duduknya.

Sebetulnya dalam hal ini Kui Lok takkan kalah olehnya, akan tetapi karena pemuda itu tadi baru mabuk asmara, maka menjadi kurang hati-hati. Mereka berdua meloncat ke satu arah, yaitu arah gerombolan kembang dan sempat melihat tubuh Thio Bwee berlari pergi sambil menutupkan kedua tangan di depan muka.


Keduanya berdiri bengong, dan keduanya memerah muka.

"Celaka, Enci Bwee melihat dan mendengar semua tadi!" Kwa Hong membanting-banting kaki kanannya. "Semua ini salahmu, Lok-ko! Kau tentu tahu betapa dia mencintamu dan sekarang kau suguhi ia adegan seperti ini. Bukankah ini berarti kau menyiksa batinnya?"

Kui Lok tunduk dan berkata membela diri, "Apa dayaku, Hong-moi? Apa dayaku apa bila tidak ada wanita lain di dunia ini yang merobohkan hatiku?"

"Bodoh kau! Enci Bwee cantik manis, lihai ilmu silatnya, sungguh amat cocok menjadi... ehhh... menjadi jodohmu."

"Tapi kau lebih cantik, Hong-moi. Kau lebih..."

Kembali Kwa Hong membanting kakinya dengan gemas. "Sudah cukup! Kau pergilah dari sini, Lok-ko. Setelah Enci Bwee melihatnya, apakah kau ingin lain orang melihat sikapmu yang memalukan tadi? Sudah cukup kataku!"

Kui Lok menarik napas panjang, lalu ia berkata lemah, "Aku hanya mengharapkan belas kasihanmu..." dan dia pun pergi dari situ dengan tubuh lemas. Kwa Hong juga menarik napas panjang, kelihatan tak senang dan duduknya gelisah.

Semua ini dilihat dan didengar oieh Beng San yang menghadapi semua ini dengan hati tidak karuan rasanya. Dia merasa geli dan ingin tertawa keras-keras, akan tetapi juga merasa terharu dan khawatir. la yang selama hidupnya belum pernah mimpi tentang cinta kasih orang muda, sekarang dihadapkan dengan pemandangan yang amat mengharukan hatinya.

Ah, betapa membingungkan, pikirnya tanpa bergerak di tempat duduknya, di atas cabang dalam pohon itu. Kui Lok dicintai Thio Bwee, sebaliknya pemuda ini mencinta Kwa Hong yang agaknya tidak menerimanya! Dan menurut pendengarannya tadi, ayah Kwa Hong malah bermaksud menjodohkan Kwa Hong dengan Thio Ki. Alangkah berbelit-belit cinta asmara menggoda hati muda.

Selagi dia berpikir bagaimana dia harus berbuat selanjutnya di tempat itu, dia mendengar suara orang mendatangi. Hampir meledak ketawanya ketika dari jauh dia melihat seorang pemuda dengan tergesa-gesa memasuki ke taman itu.

Pemuda ini tinggi kurus. Wajahnya tampan membayangkan kekerasaan dan keangkuhan hati. Pada pinggang kirinya tergantung sebatang pedang pula dan pakaiannya juga serba putih seperti yang dipakai Kui Lok dan Thio Bwee tadi. Sekali pandang saja, Beng San mengenalnya sebagai Thio Ki.

"Aduh, akan ramai kali ini..." Beng San tersenyum.

Sementara itu, Thio Ki berjalan terburu-buru menuju ke tempat duduk Kwa Hong. Setelah menengok ke kanan kiri dengan hati-hati, pemuda ini segera menjatuhkan diri berlutut di depan Kwa Hong! Gadis itu membelalakkan kedua matanya, memandang pemuda yang tak mengucapkan sepatah pun kata di depannya itu.

"Ehh, ehhh... apa-apa kau ini, Ki-ko (Kakak Ki)?"

"Kwa Hong-moi, jangan kau menyiksa hati kami kakak beradik yang sudah tak berayah lagi."

Kwa Hong mengerutkan keningnya. “Aihhh... apa maksudmu, Ki-ko? Apakah kesalahanku terhadap kau atau terhadap enci Bwee?"

Dengan muka membayangkan kekerasan hatinya, biar pun dia sedang berlutut, Thio Ki memandang tajam kepada gadis itu. "Kau tahu betapa aku mencintamu dan bahwa Kwa Supek juga sudah setuju akan perjodohan antara kau dan aku. Dan kau pun tahu bahwa adikku Bwee-moi mencinta Lok-te (adik Lok)."

Kwa Hong tersenyum mengejek, keningnya masih berkerut. "Hemmm, habis mengapa?” Suaranya penuh tantangan.

"Janganlah kau merusak hatiku dan hati adikku dengan bermain cinta dengan Kui Lok."

Kwa Hong menjadi marah, berdiri dan membanting kakinya. Agaknya kebiasaan di waktu kecil ini, yaitu membanting kaki kalau marah, masih melekat pada diri Kwa Hong. "Ah, enci Bwee setelah tak tahu malu mengintai orang, lalu lari merengek-rengek kepadamu minta bantuan?"

Thio Ki juga bangun berdiri, menghadapi gadis itu. Sikapnya keras akan tetapi suaranya mengandung kasih sayang, "Hong-moi, adikku sudah tak berayah lagi, kini aku sebagai kakaknya menjadi pengganti ayah."

"Hemmm, apa saja yang ia ceritakan padamu?"

"Tadi dia melihat Kui Lok menyatakan cintanya kepadamu di sini. Betulkah itu? Ingatlah, Hong-moi. Aku mencintamu sepenuh jiwaku sedangkan adikku mencinta Kui Lok dengan sepenuh hatinya pula. Bukankah sudah tepat sekali kalau di antara kita para cucu murid Hoa-san-pai terjalin ikatan ini? Kau dengan aku sedangkan Kui Lok dengan adik Bwee? Bukankah ikatan ini akan memperkuat kedudukan Hoa-san-pai yang selalu diganggu oleh musuh?"

"Ki-ko! Enak saja kau bicara. Urusan perjodohan mana ada aturannya main paksa? Kalian semua goblok dan yang dipikir hanya urusan asmara saja. Aku... seujung rambut pun tak pernah memikirkan urusan begitu. Aku lebih suka memikirkan pembasmian musuh-musuh besar kita. Cih, sungguh tidak tahu pribudi kalian bertiga!"

"Hong-moi... katakanlah sejujurnya... apakah kau mencinta Lok-te?"

"Kalau memang aku mencinta siapa pun juga, kau dan semua orang peduli apa?" Kwa Hong membentak dengan kedua pipi merah dan dua titik air mata membasahi pipinya itu. "Akan tetapi aku tidak mencinta siapa-siapa! Lok-ko boleh datang di sini dan seperti gila menyatakan cinta, apakah itu salahku? Aku sendiri tidak mencinta siapa-siapa, kau pun tidak, Lok-ko pun tidak. Nah, jelaskah sekarang?"

Thio Ki menjadi agak pucat mukanya. "Begitukah? Jadi kalau begitu, Kui Lok yang sudah merusakkan semua ini. Aku harus mencarinya dan memberi hajaran kepadanya!" Dengan sigap Thio Ki membalikkan tubuh dan pergi dari situ meninggalkan Kwa Hong.

Untuk beberapa saat Kwa Hong berdiri melongo. Matanya bergerak liar dan mukanya menjadi agak pucat, kemudian gadis ini pun berlari meninggalkan taman bunga.

Tinggal Beng San yang kini termenung seorang diri di atas pohon. la masih merasakan ketegangan semua yang telah dia dengar dan lihat dari tempat persembunyiannya. Hebat, pikirnya. Urusan orang-orang muda ini bisa mengakibatkan hal yang amat hebat!

Mengingat akan sikap Thio Ki yang keras hati itu, mudah diduga bahwa tentu akan terjadi pertempuran antara saudara seperguruan sendiri, antara Thio Ki dan Kui Lok yang secara kasarnya memperebutkan Kwa Hong! Masih ada kemungkinan buruk lagi, yaitu bukan hal yang aneh kalau Thio Bwee memusuhi Kwa Hong pula karena dianggap merampas pria yang dicintainya.

Berkali-kali Beng San menarik napas panjang dan berkata kepada diri sendiri. "Nah, kau sudah tahu sekarang? Hatimu mudah tertarik wajah cantik. Baru saja turun gunung sudah terpikat oleh gadis yang bernama Eng itu. Sekarang melihat Kwa Hong dan Thio Bwee hatimu berdebar dan amat tertarik. Kau lihat kesengsaraan mereka itu? Lihat Thio Ki dan Kui Lok, dua orang muda gagah perkasa, tidak kekurangan sesuatu, sekarang sebagai saudara seperguruan menjadi saling bermusuhan. Semua ini hanya gara-gara hati lemah menghadapi wajah cantik."

Akan tetapi perhatiannya segera tertarik oleh bergeraknya daun-daun di pohon-pohon. Pergerakan bukan oleh meniupnya angin biasa, melainkan tiupan angin yang ditimbulkan oleh kepandaian seseorang yang bergerak cepat sekali, melintas tak jauh dari depannya. Sekali lagi dia dikejutkan oleh kepandaian yang tinggi dari orang baru ini.

Ah, sudah banyak dia melihat orang-orang muda berkepandaian tinggi. Pertama kali nona Eng, kedua kalinya orang muda yang sekarang lewat ini. la juga merasa seakan pernah melihat orang muda ini, entah di mana.

Seorang pemuda yang bertubuh kecil berwajah tampan sekali, kulit mukanya pucat putih, pakaiannya kuning. Muka yang pucat itu, mata yang selalu memandang rendah, mulut yang tidak pernah berhenti tersenyum lebar, angkuh dan sombong. Di mana dia pernah melihat orang ini?

Dengan hati penuh kecurigaan, Beng San lalu melesat, diam-diam mengikuti bayangan orang itu yang berlari cepat ke depan. la mengikuti terus orang muda yang berjalan cepat itu, setelah keluar dari taman lalu membelok ke kanan dan menuju ke sebuah lereng yang sunyi.

Lereng ini indah sekali, penuh dengan padang rumput menghijau dan di sana-sini terdapat pohon yang kembangnya berwarna kuning dan merah. Inilah sebuah taman alam yang luas dan sunyi, dan bagi Beng San bahkan lebih indah dari pada taman bunga yang baru ditinggalkannya tadi.

Dengan hati-hati dia terus mengikuti orang itu. Di tempat yang agak terbuka ini ia harus berhati-hati karena yang diikuti adalah orang yang berkepandaian tinggi. Ia mengikuti dari jauh dan terpaksa berhenti untuk menyelinap di belakang pohon apa bila yang diikutinya itu melintasi tempat yang terbuka.

Akhirnya dia melihat orang itu berhenti di tempat yang penuh pohon kembang dan orang itu mengintai. Beng San cepat menyelinap mendekati dan kini dia pun dapat melihat apa yang diintai oleh pemuda yang di depannya itu.

Ternyata bahwa Thio Bwee, gadis yang tadi mendengarkan percakapan antara Kui Lok dan Kwa Hong, duduk di atas sebuah batu besar hitam di tempat sunyi itu dan menangis terisak-isak dengan amat sedihnya. Beng San menjadi terharu juga.

Ia telah mengenal Thio Bwee ketika kecil, malah pernah dia menggendong Thio Bwee dan Kwa Hong ketika terculik oleh orang jahat. la maklum sedalamnya apa yang dirisaukan oleh hati gadis muda itu. Siapa orangnya takkan merasa sedih dan malu kalau melihat laki-laki yang dicintainya berlutut memohon cinta kasih seorang gadis lain?

"Nona yang baik, harap kau jangan menangis, jangan bersedih. Dunia ini bukan hanya setelapak tangan lebarnya dan tidak kurang banyaknya pria yang baik dan setia, bahkan lebih baik dari orang she Ku itu..."

Mendengar suara ini, tangis Thio Bwee makin menjadi-jadi. Akan tetapi tiba-tiba gadis itu mengangkat muka dengan kaget, memandang pemuda yang sudah muncul di depannya. Ia meloncat berdiri dan menudingkan telunjuknya ke muka orang sambil membentak.

"Siapa kau...?! Kurang ajar, berani lancang mulut? Pergi dari sini!" la mengusir pemuda tampan yang bermuka pucat dan tersenyum-senyum itu.

"Kita orang segolongan, Nona Thio, jangan kau menyangka yang bukan-bukan. Aku pun bukannya orang sembarangan. Kalau kau adalah cucu murid Hoa-san-pai, aku pun murid seorang sakti. Namaku Giam Kin, dan nama guruku kiranya tak kalah besarnya oleh nama kakek gurumu, Lian Bu Tojin." Pemuda tampan yang pucat itu berkata sambil tersenyum memikat. "Aku datang dengan hati suci, tidak bermaksud jahat, aku hanya kasihan melihat nasibmu dan ingin menghibur hatimu, nona manis. Percayalah, aku akan menjadi sahabat yang lebih baik dan lebih setia dalam cinta dari pada Kui Lok..."

"Tutup mulut! Pergi kau dari sini, kalau tidak jangan anggap aku keterlaluan. Daerah ini termasuk wilayah kekuasaan kami dari Hoa-san-pai, kau sudah masuk tanpa ijin. Pergilah sebelum pedangku bicara!" Mendadak Thio Bwee bersikap gagah dan dengan gerakan yang sebat sekali tahu-tahu pedangnya sudah terhunus dan berada di tangan kanannya, sikapnya angkuh dan galak, namun gagah berani.

Ada pun Beng San yang sejak tadi diam saja, tercengang ketika mendengar pemuda itu menyebutkan namanya. Giam Kin? Pernah dia mendengar nama ini dan pernah pula dia melihat muka yang pucat itu, tapi bila dan di mana?

la memandang terus, siap untuk menolong Thio Bwee yang dia duga tentu berada dalam bahaya berhadapan dengan pemuda seperti itu. Akan tetapi dia pun ingin menyaksikan sampai di mana kepandaian Thio Bwee dan terutama kepandaian pemuda aneh itu.

Melihat Thio Bwee menghunus pedang, Giam Kin hanya tertawa mengejek. "Bagus sekali! Memang betapa pun cantik jelitanya seorang dara, dia tidak berharga menjadi sahabat baikku kalau tidak pandai mainkan pedang. Nona Thio yang manis, biarlah kita main-main sebentar. Hendak kulihat sampai di mana kelincahanmu bermain pedang, apakah cocok dengan keindahan wajahmu yang manis itu..."

"Keparat, lihat pedang!" Begitu teriakan keluar dari mulut Thio Bwee segulung sinar putih menyambar ke arah dada Giam Kin.

Diam-diam Beng San kaget dan kagum juga. Ilmu pedang Hoa-san Kiam-hoat yang baru dimainkan oleh nona ini betul-betul tak boleh dipandang ringan. Demikian pula agaknya pendapat Giam Kin karena pemuda ini cepat melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik beberapa kali. Setelah terhindar dari ancaman pedang dan dapat kembali berdiri tegak, wajah yang pucat itu kelihatan semakin pucat.

"Bagus! Kau benar-benar nona manis yang berkepandaian lihai. Pantas kulayani dengan senjata pula!" Sambil berkata begitu pemuda ini meraba pinggangnya dan mengeluarkan sebatang benda yang aneh.

Tak salah lagi, benda ini tentulah sebuah suling karena ada lubang-lubangnya, juga ada tempat peniupnya, akan tetapi bentuknya bagaikan ular! Giam Kin memegang di bagian yang runcing, yaitu bagian ekor ular dengan cara seperti memegang gagang pedang.

"Ahh, diakah...??" Beng San tiba-tiba teringat.

Terbayanglah dia akan ratusan ekor ular yang datang mengeroyok dia dan Tan Hok ketika seorang bocah bermuka pucat meniup sulingnya. Inilah dia, Giam Kin bocah yang dulu pernah dia pukul, bocah yang mengerikan, pandai memanggil datang ratusan ekor ular berbisa. Seketika kebenciannya timbul. Inilah musuh besarnya!

Pada waktu kecil pun dia sudah amat jahat, dengan ular-ularnya membunuh para petani kelaparan secara kejam sekali. Apa lagi sekarang. Orang semacam ini harus menjadi musuhnya.

Akan tetapi Beng San tak mau lancang turun tangan. la melihat bahwa Thio Bwee bukan seorang yang lemah. Berarti memandang rendah kalau dia turun tangan sekarang. Apa lagi, bukankah dia sedang berusaha menyembunyikan kepandaiannya?

la dengan tenang menonton pertandingan antara Thio Bwee dan Giam Kin itu, akan tetapi selalu siap menolong apa bila gadis itu terancam bahaya. Betapa pun juga dia merasa yakin bahwa tak mungkin Giam Kin mau mencelakai gadis ini, apa lagi membunuhnya. Dari sikapnya tadi jelas bahwa Giam Kin tergila-gila akan kecantikan Thio Bwee, mana dia mau melukai atau membunuhnya?

Pedang di tangan Thio Bwee lihai sekali. Gerakannya cepat dan ganas dan teringatlah Beng San ketika dia melihat gadis ini di waktu kecilnya sudah memperlihatkan bakat ilmu pedangnya.

Akan tetapi jika gadis itu lihai, ternyata Giam Kin lebih lihai lagi. Gerakan-gerakan suling berbentuk ular yang dimainkan sebagai pedang itu benar-benar hebat dan aneh, penuh dengan gerak tipu yang sukar dijaga. Tidak mengherankan apa bila perlahan-lahan Thio Bwee terdesak hebat, terkurung oleh gulungan sinar yang diakibatkan oleh gerakan suling ular.

Betul saja dugaan Beng San. Giam Kin tidak bermaksud merobohkan Thio Bwee. Kalau dia kehendaki, kiranya sudah sejak tadi dia dapat merobohkan gadis itu. Sebaliknya, dia hanya main-main dan tidak ada hentinya mulutnya tersenyum sambil terus mengeluarkan ucapan-ucapan menggoda.

"Kau lihatlah, nona manis. Bukankah aku juga cukup lihai untuk menjadi sahabat baikmu. Simpanlah pedangmu dan aku Giam Kin bersedia mengaku kalah, bahkan aku pun suka berlutut asal kau mau menjadi sahabat baikku..."

Mendengar ini, Beng San diam-diam merasa geli. Alangkah lucunya kalau laki-laki sudah jatuh oleh kecantikan wajah seorang wanita. Lucu dan tak waras lagi otaknya, lebih patut disebut edan!

Beng San masih terlalu hijau untuk mengenal watak laki-laki seperti Giam Kin. Dikiranya bahwa Giam Kin juga jatuh hati dan mencinta Thio Bwee, sama sekali tidak tahu bahwa memang pemuda muka pucat itu berwatak mata keranjang dan tentu dia akan ‘mencinta’ setiap orang wanita yang cantik dan manis, apa lagi seperti Thio Bwee!

Apa bila ucapan Giam Kin itu menggelikan hati Beng San, sebaliknya amat memanaskan hati Thio Bwee. Biar pun ia terdesak hebat, gadis ini mengertak giginya, menggenggam gagang pedang dengan lebih erat lalu menyerang nekat sambil membentak.

"Murid Hoa-san-pai pantang mengaku kalah sebelum putus lehernya!"

Pedang di tangannya meluncur cepat ke depan, tergetar sehingga sukar diketahui bagian tubuh lawan yang mana hendak ditusuknya, dada ataukah leher. Terkesiap juga Giam Kin menghadapi jurus ini. Inilah jurus dari Hoa-san Kiam-hoat yang disebut jurus Kwan-kong Sia-ciok (Kwan Kong Memanah Batu). Ujung pedang di tangan Thio Bwee tergetar dan agaknya kali ini ia akan berhasil kalau saja tidak menghadapi lawan yang demikian lihai seperti Giam Kin.

Sebagaimana telah kita ketahui, Giam Kin adalah murid dari Siauw-ong-kwi, itu orang sakti dan jagoan nomor satu dari daerah utara. Tidaklah mengherankan apa bila Giam Kin memiliki ilmu silat yang amat tinggi.

Menghadapi serangan jurus Kwan-kong-sia-ciok tadi, hanya sedetik saja dia terkesiap dan terkejut, akan tetapi ia segera dapat menenangkan hatinya dan sempat menggulingkan tubuhnya ke belakang. Tubuhnya menggelundung terus ke sana ke mari seperti seekor binatang trenggiling dan dengan akal seperti ini, jurus Kwan-kong Sia-ciok yang dimainkan Thio Bwee menjadi gagal sama sekali.

Tiba-tiba tubuh Giam Kin itu menggelundung ke arah lawannya sedangkan suling ularnya bergerak menyambar-nyambar dari bawah mengarah pada kaki Thio Bwee. Serangan dari bawah ini berbahaya sekali, terpaksa Thio Bwee harus meloncat-loncat ke atas. Giam Kin tertawa-tawa dan menyerang terus, kadang-kadang menyerang kaki, kadang meloncat ke atas menyerang pundak.

Thio Bwee menjadi makin terdesak dan kewalahan. Jalan satu-satunya baginya hanya mengeluarkan jurus ilmu pedangnya yang khusus untuk mempertahankan diri, yaitu jurus Tian-mo Po-in (Payung Kilat Sapu Awan). Dengan jurus ini sinar pedangnya berkelebatan merupakan segulungan cahaya yang melindungi seluruh tubuhnya.

"Ha-ha-ha-ha, nona manis. Mana aku tega memutuskan lehermu? Memutuskan sehelai rambut pun aku tidak mau, apa lagi lehermu. Lebih baik kita sudahi saja main-main ini dan kau suka menerima aku menjadi sahabatmu, bukanlah itu baik sekali?" Sambil berkata demikian, dengan gerakan aneh sekali suling itu dapat menahan pedang Thio Bwee, dan kedua buah senjata ini saling tempel tak dapat terlepas lagi!

Thio Bwee mengerahkan tenaga dan berusaha membetot pedangnya, akan tetapi sia-sia, pedangnya seperti berakar pada senjata lawannya. Diam-diam Beng San yang menonton pertempuran ini mengangguk-angguk, maklum dan kagum akan kehebatan Iweekang dari pemuda pucat itu.

"Ha, nona jelita. Kau lihat, sedangkan senjata-senjata kita begini rukun, saling melekat tak mau lepas. Bukankah baik sekali kalau kita meniru mereka...?" kata pula Giam Kin dengan nada suara ceriwis sekali. Tangan kirinya bergerak maju dan secara kurang ajar dia lalu mengelus-elus lengan kanan Thio Bwee yang berkulit halus!

Gadis itu marah, membentak keras dan memukulkan tangan kirinya. Namun ia memang sudah kalah tenaga, begitu mengeluarkan bentakan tiba-tiba pedangnya dapat terbetot oleh lawan dan terlepas dari tangannya. Betapa pun juga, murid Hoa-san-pai ini tidak mau menyerah begitu saja. la cepat menubruk maju mengirim pukulan-pukulan dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya merampas pedangnya kembali.

Memang Thio Bwee amat hebat, dalam keadaan demikian ia masih mampu memperbaiki kedudukannya yang sudah hampir kalah. Kenekatan gadis ini sama sekali tidak pernah terduga oleh Giam Kin yang masih memandang rendah, maka begitu melihat datangnya pukulan-pukulan yang amat berbahaya, terpaksa ia melangkah mundur sehingga pedang rampasannya dapat dirampas kembali oleh Thio Bwee.

Pada saat itu berkelebat dua sosok bayangan dan terdengar bentakan.

"Siapa berani bermain gila di Hoa-san?!"

Giam Kin melangkah mundur dua tindak dan mengangkat kepala, lalu tersenyum nakal memandang kepada dua orang yang baru datang.

Yang seorang adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa, sikapnya keren sekali. Biar pun sudah lebih empat puluh tahun usianya, namun masih nampak muda dan gagah. Yang seorang wanita, belum tiga puluh tahun, cantik berpakaian sederhana, juga wajah yang cantik ini keren dan berpengaruh.

Sekali pandang saja Beng San dengan girang dapat mengenal bahwa laki-laki itu adalah Hoa-san It-kiam Kwa Tin Siong sedangkan yang wanita adalah Kiam-eng-cu Liem Sian Hwa, dua orang dari Hoa-san Sie-eng yang tersohor.

Yang tadi membentak adalah Liem Sian Hwa yang terkenal keras wataknya. Sebaliknya Kwa Tin Siong bermata tajam, dapat melihat bahwa orang muda itu meski pun mukanya pucat dan tersenyum-senyum selalu, namun bukanlah orang sembarangan.

Di lain pihak Giam Kin memperhatikan dua orang itu, lalu tertawa dan berkata seenaknya, "Siapa berani main gila? Tidak ada yang bermain gila kecuali orang-orang Hoa-san-pai sendiri. Suheng-nya gagah perkasa dan tampan, sumoi-nya cantik jelita dan lihai, aihhh… benar-benar mengagumkan..." Ia tertawa lagi dan aneh sekali, wajah Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa menjadi merah ketika mereka saling lirik.

Kwa Tin Siong maju menghampiri Giam Kin dan berkata. "Sahabat di depan siapakah, dari partai mana dan apa alasannya bermain-main senjata dengan murid keponakanku?"

Kini Giam Kin mengangkat kedua tangan menghormat, tetapi sikapnya masih penuh sifat main-main dan mengejek. "Aku yang muda bernama Giam. Aku memenuhi pesanan suhu untuk menghadiri ulang tahun Hoa-san-pai dan melihat-lihat. Siapa tahu begitu sampai di sini belum ada apa-apa. Kebetulan bertemu dengan nona cilik murid Hoa-san-pai, ingin berkenalan secara baik-baik..."

Liem Sian Hwa sudah marah sekali, akan tetapi Kwa Tin Siong memberi tanda dengan kedipan mata, lalu berkata lagi, "Orang muda she Giam, siapakah nama gurumu yang mulia?"

"Ha-ha-ha, orang-orang Hoa-san-pai, kalian bermata tajam. Memang guruku orang mulia, kecil-kecil dia masih raja di utara... Ha-ha-ha..."

Kalau Liem Sian Hwa menjadi makin mendongkol, adalah Kwa Tin Siong yang menjadi kaget betul. Cepat dia menjura, memberi hormat sambil berkata, "Apakah yang dijuluki orang Siauw-ong-kwi...?"

Giam Kin tersenyum lagi sambil memutar-mutar biji matanya. "Kau juga berani menyebut suhu-ku Setan Kecil? Awas kau, Hoa-san It-kiam, kalau guruku mendengar kau tak akan berkepala lagi!"

Kwa Tin Siong tersenyum masam. "Kurasa Siauw-ong-kwi locianpwe tidak berpandangan sesingkat kau, orang muda. Kau datang terlampau pagi, perayaan baru akan diadakan satu pekan lagi. Harap kau nanti datang pada waktunya dan sementara itu harap jangan main-main dan membikin takut pada anak-anak murid Hoa-san-pai. Bukankah kau datang dengan maksud baik?"

"Baik sekali, tentu, maksudku baik sekali. Sayang terlampau pagi, biar sepekan kemudian aku datang lagi. Sampai berjumpa kembali, nona manis." Giam Kin lantas membalikkan tubuhnya, kemudian meniup sulingnya secara aneh.

Tiba-tiba Kwa Tin Siong, Liem Sian Hwa, dan Thio Bwee membelalakkan mata saking kagetnya pada saat dari mana-mana datang ular-ular besar kecil mengikuti di belakang pemuda aneh itu. Makin lama makin banyak sehingga Giam Kin diikuti puluhan ekor ular seperti bebek-bebek mengikuti penggembalanya!

"Hebat... berbahaya sekali dia...,” terpaksa Sian Hwa mengakui.

Kwa Tin Siong menarik napas panjang pula. "Sudah lama aku mendengar nama gurunya, Siauw-ong-kwi. Baru muridnya saja sudah demikian lihainya, apa lagi gurunya. Apa sih kehendak Setan Raja Kecil dari utara itu dengan mengirim muridnya ke sini?"

Kemudian dia menoleh kepada Thio Bwee yang berdiri dengan muka pucat. "Bwee-ji, kau seorang diri di sini sedang mengerjakan apa? Bagaimana bisa bertempur dengan dia?" Di dalam suara Kwa Tin Siong terkandung kasih sayang dan perhatian, biar pun suaranya terdengarnya kereng dan galak.

"Aku... aku sedang berlatih, Supek. Dia datang dan bicaranya kurang ajar, ingin belajar kenal. Aku... aku lalu menyerangnya."

Hemmm, pikir Beng San yang mendengar jawaban ini. Urusan asmara memang runyam! Sampai-sampai Thio Bwee berani membohong kepada supek-nya. Setelah berpikir begitu, tubuhnya melesat pergi mengejar Giam Kin yang sudah tidak kelihatan lagi, hanya suara sulingnya yang aneh itu masih terdengar sayup-sayup sampai.

Giam Kin berjalan seenaknya sambil meniup suling. Hatinya senang. la telah melihat Kwa Hong dan Thio Bwee. Cantik-cantik dan manis-manis cucu murid Hoa-san-pai, pikirnya. Apa lagi Kwa Hong! Tidak rugi aku mewakili suhu ke Hoa-san. Seorang di antara mereka harus kudapatkan.

Tiba-tiba pemuda ini menunda sulingnya, lalu menari-nari dan berloncat-loncatan di antara ular-ular yang kini menjadi bingung dan lari ke sana ke mari. Anehnya, ular-ular itu yang terinjak-injak, bahkan ada yang terinjak sampai mati sekali pun, tidak ada yang berani menggigit Giam Kin.

Seperti orang gila pemuda tampan bermuka pucat ini menari-nari dan tertawa-tawa, pasti akan menimbulkan rasa seram dan ngeri pada yang melihatnya. Siapa tak akan merasa seram melihat seorang pemuda yang mukanya pucat seperti muka mayat itu menari-nari di antara ular-ular yang buas dan tertawa-tawa seperti setan?

"Giam Kin, kau benar-benar sudah gila!" terdengar suara teguran, suara yang besar dan bergema di seluruh tempat itu.

Giam Kin terkejut, menghentikan tariannya dan menengok ke arah suara datang. Matanya terbelalak kaget dan mulutnya ternganga ketika dia melihat seorang laki-laki berdiri tak jauh dari situ dengan kedua kaki terpentang lebar dan kedua tangan bertolak pinggang, Yang membuat dia kaget setengah mati adalah muka orang itu, muka yang hitam seperti pantat kwali, tidak kelihatan apa-apanya kecuali sepasang matanya yang tajam seperti mata iblis!

"Ssseeeee... tan… kau… setan..." Giam Kin tergagap.

Laki-laki itu tertawa. "Kau dan perkatanmu yang patut disebut setan!"

Dalam kaget dan gugupnya, Giam Kin kemudian meniup sulingnya. Ular-ular yang tadinya kacau-balau, mendadak menjadi marah dan menyerbu ke arah laki-laki bermuka hitam itu. Ular besar kecil, sebagian besar ular-ular berbisa yang amat berbahaya, mendesis-desis dan berlenggak-lenggok menyerbu.

Laki-laki muka hitam itu menggerak-gerakkan kedua tangannya ke depan dan... seperti daun-daun kering disapu ular-ular itu bergulung-gulung menjadi satu dan terlempar ke belakang, seekor pun tidak ada yang dapat mendekatinya!

Giam Kin mengeluarkan pekik mengerikan dan tubuhnya melayang ke depan. Sekaligus pemuda murid Siauw-ong-kwi ini mengirim serangan maut dengan suling ularnya, secara berturut-turut menikam leher dan menotok ulu hati.

"Heh-heh-heh, bocah nakal dan gila, jangan kau berani lagi mengacau di sini." Orang itu berkata perlahan.

Dengan sekali tangkis saja dia membuat suling itu menyeleweng dan tubuh Giam Kin terhuyung-huyung. Sebelum Giam sempat mempertahankan diri, tangan kira orang itu melayang.

"Plakk…!" pipi kanan Giam Kin sudah ditamparnya.

Giam Kin menjerit, merasa pipinya bagai terbakar. Pada pipi itu tampak jelas membayang bekas jari tangan menghitam! Sambil memaki-maki dan menjerit-jerit Giam Kin kemudian meloncat dan lari pergi dari tempat itu tanpa menoleh lagi, diikuti suara ketawa orang bermuka hitam yang menyeramkan tadi.

Setelah Giam Kin pergi jauh, muka yang tadinya hitam seperti pantat kwali itu perlahan-lahan berubah menjadi putih dan biasa kembali. Beng San tersenyum seorang diri. la tadi memang sengaja menggunakan hawa dalam tubuhnya yang mengandung Yang-kang untuk mendatangkan warna hitam pada mukanya agar tidak dikenal oleh Giam Kin dan sengaja dia menakut-nakuti pemuda edan itu agar tidak berani lagi mengganggu Thio Bwee.

Setelah melihat Giam Kin pergi, dia pun meloncat dan tubuhnya melesat ke arah puncak Hoa-san…..

********************

Pada bagian lain dari puncak itu, dua orang pemuda saling berhadapan dengan muka merah. Mereka ini adalah Thio Ki dan Kui Lok. Setelah pertemuannya dengan Kwa Hong di dalam taman, Thio Ki yang memiliki watak keras hati langsung mengejar dan mencari Kui Lok. Sekarang kedua orang jago muda Hoa-san-pai ini berhadapan muka di tempat sunyi, sikap mereka saling mengancam.

"Thio-heng (kakak Thio), apakah keperluanmu mencari aku ke sini hanya untuk menegur yang bukan-bukan itu?" Kui Lok bertanya dengan nada suara penuh ejekan.

"Sudah tentu!" jawab Thio Ki marah. "Kui-te (adik Kui), kita ini masih terhitung saudara seperguruan dan karena aku lebih tua, maka sudah sepatutnya kalau aku yang memberi peringatan apa bila kau menyeleweng dari kebenaran! Sungguh tidak patut apa bila kau mencoba untuk membujuk dan menggoda hati Hong-moi, sungguh tidak pantas sekali hal ini dilakukan oleh seorang murid Hoa-san-pai!"

Kui Lok tersenyum mengejek, malah sengaja tertawa masam. "He-heh-heh, bagus sekali ucapanmu, Suhengl Di dunia ini, mana ada orang berhak melarangku bersikap manis kepada Hong-moi? Ha-ha-ha, kau sendiri pun selalu bermuka-muka dan bersikap manis bukan main terhadap Kwa Hong. Mengapa aku tidak boleh?” Kui Lok menantang.

"Aku lain!" bentak Thio Ki. "Aku cinta kepadanya dan... dan... Kwa Supek agaknya setuju kalau aku berjodoh dengan Hong-moi."

Kui Lok tertawa mengejek. “Apa hanya engkau seorang di dunia ini yang boleh mencinta? Dan mengenai persetujuan Kwa Supek, hemmm... kita lihat dulu nanti, Suheng. Kurasa Hong-moi sendiri belum tentu setuju, dan kau belum bertunangan secara resmi."

Thio Ki yang berwatak keras itu tidak dapat lagi mengendalikan kemarahan hatinya yang dibangkitkan oleh rasa cemburu, "Kui Lok! Pendeknya mulai sekarang aku melarang kau mengaku mencinta Hong-moi, kularang kau bersikap terlalu manis!"

Kui Lok adalah seorang anak yang biasanya nakal dan gembira. Akan tetapi dalam urusan ini dia pun tidak mau mengalah dan sudah menjadi marah pula.

"Thio-heng, kau sungguh keterlaluan sekali. Ada hak apa kau melarang aku? Kau adalah suheng dari Hong-moi, aku pun demikian. Harapan kita masih setengah-setengah. Marilah kita berlomba secara jujur, siapa yang akhirnya bisa menjatuhkan hati Hong-moi, dialah yang beruntung. Kenapa kau bersikap begini kasar dan hendak main menang sendiri?"

"Cukup! Di sana ada Bwee-moi yang mengharapkanmu, kau malah mengganggu orang yang menjadi cahaya harapanku. Pendeknya, aku melarang kau mendekati Kwa Hong."

"Ehh..ehh..ehhh, enaknya bicara! Kalau aku tetap mendekatinya, kau mau apa?"

Thio Ki mencabut pedangnya. "Terpaksa aku melupakan persaudaraan!"

"Bagus! Orang she Thio, kau kira aku takut padamu?"

Kui Lok juga sudah mencabut pedang dengan tangan kirinya. Dua orang muda itu sudah saling berhadapan dengan pedang terhunus, bersiap untuk saling serbu, saling tikam dan saling bunuh.

Beginilah orang-orang muda kalau sudah dimabuk cinta. Lupa akan persaudaraan, lupa kewaspadaan dan tak tahu malu. Ya, tak tahu malu. Bukankah terang-terangan Kwa Hong menyatakan bahwa gadis ini tidak memilih seorang di antara mereka? Namun, tetap saja mereka memperebutkannya dengan persiapan mengorbankan nyawa.

"Bagus... bagus... Saudara Thio Ki dan Kui Lok, lekaslah kalian bertari pedang. Biarkan aku menontonnya, tentu indah dilihat." Beng San muncul dari balik sebatang pohon sambil bertepuk tangan dan tertawa-tawa.

Kui Lok dan Thio Ki yang tadinya sudah tegang dan siap untuk saling serang, menjadi terkejut dan menengok. Mereka melihat seorang pemuda tampan berpakaian sutera biru seperti seorang pemuda pelajar. Tentu saja mereka tidak mengenal Beng San yang dulu mereka kenal sebagai seorang anak yang berpakaian seperti jembel.

Namun karena mereka ini memang jago-jago muda Hoa-san-pai yang berwatak angkuh dan merasa diri sendiri paling gagah dan paling lihai, mereka segera merasa tidak senang dengan datangnya seorang asing ini.

"Kau siapa? Mau apa lancang masuk ke sini?" tanya Thio Ki mengerutkan keningnya. Juga Kui Lok memandang tajam dengan mata dipelototkan untuk memperlihatkan ketidak senangan hatinya.

Beng San tertawa, wajahnya berseri-seri. "Saudara-saudara Thio dan Kui agaknya sudah lupa lagi kepadaku. Padahal belum ada sepuluh tahun kita berpisah. Aku Beng San."

Thio Ki dan Kui Lok saling pandang, untuk detik itu lenyap permusuhan di antara mereka. Terang bahwa mereka heran melihat Beng San yang sekarang sudah berubah menjadi seorang pemuda yang bertubuh tegap dan berwajah tampan.

"Uuuhhhhh... Beng San...?" Thio Ki berkata dengan suara menghina.

"Hemmm, kau di sini? Mau apa kau ke sini? Kau mengintai kami, ya?" berkata Kui Lok dengan nada mengancam.

"Ah, tidak. Aku datang dan melihat kalian hendak bermain pedang, sungguh aku jadi ingin melihatnya. Dahulu pun kalian sangat pandai, apa lagi sekarang, tentu indah permainan pedang kalian."

Kembali Kui Lok dan Thio Ki saling pandang dan keduanya menjadi curiga. Tentu Beng San sudah mendengar pertengkaran mereka tadi!

"Kau tadi sudah lama mengintai kami? Juga mendengar apa yang kami bicarakan?" Thio Ki menuntut.

Beng San tersenyum. "Tidak tahu, agaknya kalian bicara tentang angin atau burung."

la sengaja mengatakan demikian tanpa menyinggung nama Kwa Hong, sedangkan kata ‘Hong’ dapat diartikan sebagai angin atau juga nama burung hong!

Thio Ki yang keras hati itu timbul kembali keangkuhannya. "Beng San, kau sangat kurang ajar. Orang macam kau ini mengapa berani muncul di sini tanpa ijin? Kau patut dipukul."

"Benar, Suheng. Kita pukul saja jembel ini biar dia minggat dari sini!" kata Kui Lok yang teringat betapa dahulu bersama Thio Ki dia pernah memukuli Beng San.

Dua orang pemuda itu melangkah maju dan tangan mereka melayang untuk menampar pipi dan memukul pundak Beng San. Bagaimana pun juga, sebagai jago-jago muda dari Hoa-san mereka tidak sudi membunuh orang yang lemah, hanya memukul untuk memberi hajaran saja dan untuk mengusir Beng San.

"Ehh, ehh, ehhh... kenapa main pukul? Aku tidak bersalah apa-apa..."

Beng San terhuyung-huyung ke belakang setelah terkena gamparan dan pukulan. Tentu saja serangan-serangan yang dilakukan tidak untuk membunuhnya ini sama sekali tidak dia rasakan, akan tetapi dia pura-pura kesakitan dan terhuyung-huyung ke belakang.

Thio Ki dan Kui Lok tidak peduli. Mereka mendesak terus hendak memukuli Beng San sampai pemuda itu melarikan diri.

Beng San pura-pura mengangkat kedua tangan melindungi kepala dan mukanya sambil berteriak-teriak, ”Jangan pukul... jangan pukul!"

"Ki-ko dan Lok-ko, siapa yang kalian pukuli itu?" Tiba-tiba Kwa Hong sudah berdiri di situ. Wajah dara ini agak pucat, apa lagi ketika ia melihat bahwa di tangan Thio Ki dan Kui Lok masih memegang pedang terhunus.

Memang ketika memukuli Beng San, Kui Lok masih memegang pedang dengan tangan kirinya sedangkan tangan kanan Thio Ki juga masih memegang pedang.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar