Raja Pedang Chapter 17

Beng San menarik napas panjang. Sebetulnya dia keberatan untuk kembali karena takut kalau-kalau dia akan mendapat marah. Tetapi dia tidak tega pula kalau harus membiarkan kedua orang nona ini kembali berdua saja. Bagaimana nanti apa bila Thio Bwee tergelincir seperti tadi? Bagaimana kalau kaki Kwa Hong digigit lintah lagi seperti tadi? Jika sampai seberang di antara dua orang nona ini terkena celaka, bukankah tanggung jawabnya akan lebih besar pula dan lebih berat?

"Baiklah," akhirnya dia berkata. "Mari kita kembali."

Da kemudian menggandeng tangan kedua orang nona cilik itu yang tidak menolak. Sambil bergandengan tangan, Beng San ditengah-tengah, tiga orang anak itu menyeberang dan kembali ke tempat tadi.

"Ayah...! Tunggulah, kami kembali ke sana...!" Kwa Hong berteriak keras-keras ke arah tepi rawa.

Mendadak mereka melihat lampu penerangan dipasang di tepi rawa itu sehingga semakin mudahlah bagi mereka karena sekarang tempat yang dituju kelihatan nyata.

Setelah dekat tepi rawa, dengan heran mereka melihat Hoa-san Sie-eng lengkap bersama Lian Bu Tojin. Tokoh-tokoh Hoa-san ini bersama Souw Kian Bi si penculik, serta seorang hwesio tinggi besar dan beberapa orang panglima Mongol! Bagaimana mereka bisa rukun seperti itu setelah Souw Kian Bi menculik mereka?

Kwa Hong dan Thio Bwee terheran, akan tetapi juga girang sekali. Setelah tiba di tempat dangkal, mereka berlari meninggalkan Beng San untuk menjumpai ayah masing-masing. Pakaian mereka, bahkan muka mereka kotor berlumpur. Apa lagi Beng San!

Ketika anak ini tiba di tempat dangkal, baru dia melihat bahwa lebih dari tujuh ekor lintah menempel di tubuhnya, di kaki kanan kiri dan di paha dan perut! Ia marah sekali dan andai kata mukanya tidak berlumpur, tentu muka itu akan kelihatan merah.

la cepat mengerahkan hawa di tubuhnya dan seketika itu lintah-lintah itu bergelimpangan, terlepas dari tubuhnya dalam keadaan mati! Tak ada seorang pun memperhatikan hal ini karena lintah-lintah yang penuh lumpur itu pun tidak kentara.

"Keparat, berani kau mengganggu nona-nona tawananku?"

Mendadak Souw Kian Bi meloncat dan sebelum lain orang dapat mencegahnya, putera pangeran ini sudah menjambak rambut Beng San dan diseretnya ke pinggir rawa sambil dipukulinya sekehendak hatinya.

Beng San marah sekali, akan tetapi ketika merasa betapa pukulan orang itu mengandung hawa panas, dia cepat-cepat mengerahkan tenaga dalamnya dan menggunakan tenaga Im untuk melawannya. Pada saat itu, Kwa Hong dan Thio Bwee sudah meloncat dan menerjang Souw Kian Bi sambil berteriak-teriak.

"Jangan pukul Beng San!" bentak Kwa Hong.

"Kau yang jahat menculik kami, dia penolong kami!" bentak Thio Bwee.

Menghadapi serbuan dua orang nona cilik yang hendak membalas dendam ini, Souw Kian Bi tentu saja tidak takut. Namun dia merasa tidak enak sendiri untuk melayani anak-anak kecil, maka setelah sekali lagi memukulkan tangannya ke arah dada Beng San, dia lantas meloncat mundur.

"Bleeek!"

Pukulan itu keras sekali, Beng San sampai terpental ke belakang, akan tetapi dia tidak terluka.

"Dia adalah kacung Hoa-san-pai, tidak boleh diganggu orang luar!" tiba-tiba Lian Bu Tojin berkata dengan suaranya yang berpengaruh.

Mula-mula kakek ini marah sekali kepada Beng San yang dianggapnya lancang sekali. Pertama, lancang karena berani meninggalkan puncak Hoa-san, ke dua, lancang karena berani mencoba-coba menolong dua orang cucu muridnya sehingga hal ini mendatangkan malu kepadanya.

Masa kedua cucu muridnya harus ditolong oleh seorang kacungnya? Padahal di situ ada Hoa-san Sie-eng lengkap dan ada dia pula. Maka ketika tadi melihat Beng San dipukuli, kakek ini diam saja dengan keputusan hati akan diobati kelak kalau terluka.

Akan tetapi ketika melihat betapa dua orang cucu muridnya menyerbu, kakek ini baru ingat bahwa betapa pun juga, Beng San sudah berjasa dan memperlihatkan pribudi yang baik dalam usahanya menolong tanpa memperhitungkan bahaya untuk diri sendiri yang tiada kepandaian. Maka dia kemudian mengeluarkan kata-kata itu untuk mencegah pihak Mongol menyerang Beng San.

Lian Bu Tojin kemudian memberi tanda kepada murid-muridnya untuk pergi meninggalkan tempat itu. Juga Beng San berjalan di sebelah belakang sambil menundukkan mukanya.

Apa lagi Hoa-san Sie-eng atau dua orang gadis cilik itu, bahkan Lian Bu Tojin sendiri tidak tahu betapa sepergi mereka, Souw Kian Bi terguling roboh dan muntah-muntah darah, mukanya berubah kehijauan seperti orang keracunan. Tentu saja keadaan di situ segera menjadi geger.

Swi Lek Hosiang segera memeriksa dan hwesio tua ini terkejut setengah mati. Ternyata bahwa putera pangeran itu telah menderita luka dalam yang cukup hebat juga. Cepat dia memberi pengobatan dan tak habis heran bagaimana Souw Kian Bi bisa menderita luka seperti ini.

Setelah putera pangeran itu sembuh tiga hari kemudian, Swi Lek Hosiang lalu minta penjelasan. "Siapakah yang melukaimu?"

Souw Kian Bi sendiri juga tidak mengerti. "Aku tidak bertempur dengan siapa pun juga. Hanya kupukul dada anak kotor itu... ahhh, benar dia! Aku sudah merasa aneh sekali mengapa ketika aku memukul dadanya, aku merasa seakan-akan memukul benda yang lunak sekali dan terasa sakit pada dadaku!"

Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak mungkin. Anak itu kelihatannya tidak tahu apa-apa, lagi pula dia hanya kacung di Hoa-san-pai, masa bisa memiliki kepandaian yang tinggi seperti itu? Aneh sekali!"

"Betul, Losuhu. Aku ingat sekarang. Anak itu tentu mempunyai sesuatu yang luar biasa. Siapa tahu kalau-kalau dia sudah menerima warisan kepandaian dari Lian Bu Tojin. Dia kacungnya, bukan? Siapa tahu diam-diam kakek tosu bau itu menurunkan ilmunya..."

"Mungkin, akan tetapi tetap saja aneh." Hwesio itu merenung karena dia teringat akan murid angkatnya yang ditinggalkan di kelenteng.

Muridnya itu biar pun hanya seorang anak perempuan, namun juga memiliki bakat yang luar biasa dalam ilmu silat. Apakah anak laki-laki kotor itu sedemikian baik bakatnya sehingga sekecil itu sudah menyimpan tenaga dalam yang mampu menangkis pukulan Souw Kian Bi bahkan melukainya? Agaknya tak mungkin…..

********************

Lima bulan telah lewat sejak Kun-lun Sam-hengte berjanji hendak mengunjungi Hoa-san Sie-eng di puncak Hoa-san. Kini Hoa-san Sie-eng sudah berkumpul di puncak Gunung Hoa-san, setiap hari menanti kedatangan tiga orang murid Kun-lun-pai, terutama Kwee Sin, dengan hati tak sabar lagi.

Sesudah melihat Beng San, Kwa Tin Siong segera mengenalinya sebagai bocah aneh yang pernah dia jumpai dahulu di tengah hutan. la segera memberi tahukan hal ini kepada adik-adik seperguruannya, juga kepada suhu-nya dan menyatakan kecurigaannya.

"Sekarang ini jamannya sedang kacau-balau, banyak terjadi fitnah dan musuh rahasia di sekeliling kita. Siapa tahu kalau-kalau anak ini seorang mata-mata yang sengaja dilepas oleh pihak lawan untuk menyelidiki keadaan kita." Demikian kata-katanya dan adik-adik seperguruannya membenarkan wawasan ini.

Hanya Lian Bu Tojin yang tidak setuju di dalam hatinya karena adanya surat pengenal dari Lo-tong Souw Lee. Tiba-tiba berpikir sampai di sini, ketika teringat kepada Lo-tong Souw Lee, sekaligus kakek ini teringat pula kepada Souw Kian Bi. Dua orang she Souw itu. apakah tidak ada hubungan apa-apa? Souw Kian Bi dihormati panglima-panglima Mongol, sedangkan dia tahu benar bahwa Lo-tong Souw Lee berasal dari keluarga bangsawan Mongol pula.

Ahh, jangan-jangan benar kecurigaan muridnya yang tertua, siapa tahu kalau-kalau antara Beng San dan Souw Kian Bi memang ada permainan sandiwara! Kakek ini mengerutkan keningnya. Besar sekali kemungkinannya.

Beng San tidak mengerti ilmu silat, akan tetapi kenapa ketika dipukul oleh Souw Kian Bi tidak terluka? Bukankah itu menandakan bahwa Souw Kian Bi hanya pura-pura memukul saja? Ataukah Beng San yang tahu akan ilmu silat akan tetapi sengaja berpura-pura tidak tahu?

"Ucapanmu berdasar juga, Tin Siong. Akan tetapi tanpa bukti tak mungkin kita menuduh Beng San yang bukan-bukan. Dia hanya seorang anak kecil, kita lihat-lihat sajalah. Kalau betul dia kaki tangan orang jahat, dia bisa berbuat apa terhadap kita," demikian kakek ketua Hoa-san-pai ini berkata.

Selanjutnya kakek ini kemudian memanggil Beng San dan memesan kepada anak itu agar supaya jangan mencampuri lagi urusan luar dan selalu berada di dalam kelenteng serta melakukan tugas pekerjaannya baik-baik.

Hari yang dinanti-nantikan dengan hati berdebar tiba juga. Pada suatu hari, saat matahari belum naik tinggi benar….

Seorang tosu berlari-lari melaporkan bahwa Kun-lun Sam-hengte sudah datang mendaki puncak Hoa-san! Karena urusan yang dihadapi adalah urusan besar dan karena tidak ingin melihat murid-muridnya berlaku lancang, Lian Bu Tojin sendiri berkenan menerima kedatangan tiga orang jago dari Kun-lun-pai itu.

Liang Bu Tojin dengan diikuti oleh empat orang muridnya melakukan penyambutan di luar tempat kediamannya, di halaman depan yang bersih dan lapang, halaman yang dikelilingi pohon-pohon besar, amat sejuk dan enak untuk dijadikan tempat perundingan soal yang amat pelik dan penting itu.

Kun-lun Sam-hengte datang berjalan dengan langkah tegap. Kwee Sin kelihatan tampan akan tetapi mukanya putih sekali seperti pucat, pedangnya tergantung di pinggang kiri. la berjalan di tengah-tengah diapit oleh Bun Si Teng dan Bun Si Liong.

Bun Si Teng yang tinggi besar dan gagah itu benar-benar menarik perhatian. Pedangnya di pinggang dan busurnya terselip di sebelah kanan. Bun Si Liong yang bermuka hitam itu berjalan dengan langkap tegap, mukanya berseri dan matanya yang bersinar-sinar seperti orang sedang gembira, mukanya lebih menunjukkan kegembiraan seorang yang sedang pelesir dari pada kesungguhan seorang menghadapi urusan besar. Sepasang senjatanya, golok dan pedang, tergantung di kanan kiri.

Dari jauh tiga orang gagah itu sudah mengangkat tangan memberi hormat. Mereka agak tercengang, akan tetapi juga bangga pada saat melihat bahwa ketua Hoa-san-pai sendiri menyambut kedatangan mereka.

Ketika bertemu pandang dengan tunangannya dan melihat sepasang mata tunangannya itu berapi-api tetapi berlinangan air mata, Kwee Sin merasa hatinya seperti tertusuk. Dia sudah mendengar dari para suheng-nya bahwa ayah tunangannya itu terbunuh orang dan si nona menyangka bahwa dialah yang membunuhnya.

Kepanasan hatinya ketika menyaksikan tunangannya menangis di dada Kwa Tin Siong dahulu itu menjadi dingin karena sekarang dia dapat menduga bahwa nona itu sedang berduka hatinya dan dihibur oleh Kwa Tin Siong. la merasa menyesal sekali telah terburu nafsu. Juga dia diam-diam merasa malu sekali kalau teringat akan hubungannya dengan Coa Kim Li si cantik jelita.

"Kami bertiga saudara jauh-jauh sengaja datang memenuhi janji kami terhadap Hoa-san Sie-eng. Tidak nyana bahwa Hoa-san-ciangbunjin (ketua) juga sudah turut menyambut. Sungguh telah membikin lelah pada orang tua yang terhormat," kata Bun Si Teng mewakili rombongannya.

"Kun-lun Sam-hengte kini datang, itulah bagus. Memang murid Pek Gan Siansu terkenal gagah dan takkan mungkir janji, juga adil dan jujur. Pinto orang tua hanya menjadi saksi saja dalam urusan ini, harap kalian bertiga berurusan dengan murid-murid pinto secara langsung." Kakek ini lalu melangkah ke pinggir, membiarkan tiga orang jago Kun-lun itu menghadapi empat orang muridnya.

Kwa Tin Siong mewakili rombongannya melangkah maju. Ia mengangkat tangan memberi hormat. "Kami merasa lega sekali bahwa ternyata Kun-lun Sam-hengte memenuhi janji dan penjahat Kwee Sin sudah diajak pula datang ke sini untuk menebus dosa.”

Bun Si Teng tersenyum sedangkan Kwee Sin menjadi makin pucat mukanya.

"Harap Hoa-san It-kiam suka bersabar dan jangan datang-datang sute-ku dijatuhi fitnah yang bukan-bukan. Sebelumnya aku sendiri sudah memeriksa Sute dan ternyata bahwa semua yang dituduhkan kepada Kwee-sute hanyalah fitnah kosong belaka. Kwee-sute tak pernah melakukan pembunuhan terhadap ayah Kiam-eng-cu Liem Sian Hwa seperti telah kalian katakan," kata Bun Si Teng, senyumnya mengeras. Kwee Sin mengangguk-angguk membenarkan ucapan suheng-nya.

"Lidah memang tak bertulang!" tiba-tiba Sian Hwa membentak, dia tidak dapat menahan kemarahannya lagi. "Tidak ada pencuri yang mengaku, dan menyangkal adalah pekerjaan yang paling mudah. Akan tetapi aku tidak sudi menjatuhkan fitnah kepada siapa pun juga. Bukti-bukti jelas menunjukkan bahwa ayahku telah dibunuh secara pengecut oleh pukulan Pek-lek-jiu dan paku Pek-lian-ting, di samping ini masih ada saksi utama, yaitu almarhum ayahku sendiri!"

Kwee Sin makin pucat mendengar kata-kata dan melihat sikap tunangannya itu.

"Biarlah aku bersumpah disaksikan oleh langit dan bumi, kalau aku membunuh ayahmu, Thian semoga menghukumku dengan kematian yang mengerikan!" seru Kwee Sin dengan muka pucat dan suara lemah.

Kwa Tin Siong tertawa mengejek. "Urusan pembunuhan sekeji dan sebesar ini mana bisa diselesaikan dengan segala macam sumpah? Sumoi, agar persoalannya bisa dibicarakan dari awalnya, harap kau ulangi lagi ceritamu tentang kematian ayahmu."

Dengan lantang Sian Hwa mengisahkan kembali semua yang dialami ayahnya dan dia sendiri, matanya tajam menantang Kwee Sin yang tunduk dan muka pemuda ini sebentar merah sebentar pucat. Akan tetapi ketika dia menceritakan bagian ayahnya yang terluka dan meninggalkan kesaksian terakhir bahwa yang membunuhnya adalah Kwee Sin dan perempuan Pek-lian-pai, Sian Hwa tak dapat menahan air matanya yang mengucur deras. Setelah selesai menuturkan semua ini, ia menggerakkan tangannya dan….

"Sraaattt!" pedangnya yang sepasang itu sudah tercabut di kedua tangan.

"Ayah terbunuh secara keji. Kalau penasaran ini tidak dibalas, aku Liem Sian Hwa tidak mau hidup lagi di muka bumi!"

Kwee Sin hanya mengangkat muka dan memandang sedih, tapi sama sekali dia tidak mengeluarkan pedangnya.

Bun Si Teng melangkah maju dan berkata, suaranya mengandung ejekan. "Bagus! Apa Hoa-san-pai hendak menghukum orang tanpa memberikan kesempatan membela diri dan tanpa bukti-bukti yang sah dan saksi-saksi yang masih hidup?"

"Sudah terang jahanam Kwee Sin ini pembunuh ayahku, aku harus membalas dendam!" bentak Sian Hwa.

"Enak saja orang bicara! Andai kata Kwee-sute segan untuk melawan, apakah kami akan mendiamkan saja orang membunuh sute kami tanpa dosa?" Bun Si Teng meraba gagang pedangnya, siap melawan.

Juga Bun Si Liong meraba gagang golok dan pedangnya. Pendeknya, kakak beradik she Bun ini tidak nanti akan membiarkan sute mereka dibunuh orang begitu saja. Mereka kini datang justru untuk membuktikan kebersihan diri Kwee Sin, bukan untuk mengantar sute mereka dihukum bunuh!

"Manusia Kun-lun sombong! Sudah terang bahwa jahanam she Kwee main gila dengan perempuan jalang dan telah bersekongkol membunuh ayah Sumoi, masih hendak dibela? Kalau memang begitu, sudah kewajiban orang-orang gagah untuk membasmi gerombolan orang jahat!" Thio Wan It sudah mengeluarkan pedangnya dan meloncat maju.

"Keparat, siapa takut kepada Bu-eng-kiam?" bentak Bun Si Liong.

Dengan amarah yang meluap-luap, Sian Hwa sudah berhadapan dengan Bun Si Teng, sedangkan Thio Wan It sudah saling melotot dengan Bun Si Liong. Pertempuran agaknya tidak akan dapat dicegah lagi.

"Twa-suheng, Ji-suheng... jangan... ah, siauwte yang menjadi gara-gara semua ini..., Ji-wi Suheng, simpanlah pedangmu..." Kwee Sin bicara dengan suara yang mengandung isak tertahan.

Kwa Tin Siong juga maju menahan dua orang adik seperguruannya yang hendak turun tangan itu. "Ji-sute, Sumoi, tahan dulu senjata kalian! Tidak semestinya kalau urusan ini harus diakhiri dengan pertempuran tanpa sebab-sebab yang jelas. Kita berpegang kepada keadilan dan kebenaran, maka seharusnya kita juga memberi kesempatan kepada Kwee Sin untuk membela diri dan memberi keterangan-keterangan."

Biar pun sedang marah sekali, Thio Wan It dan Liem Sian Hwa terpaksa mundur juga ketika ditahan oleh twa-suheng mereka ini.

"Kwee Sin!" kata Kwa Tin Siong dengan suara keras dan tegas. "Sudah kau dengar baik semua keterangan sumoi-ku yang menuduhmu sebagai pembunuh ayahnya dan sudah mengadakan persekongkolan dengan perempuan jahat dari Pek-lian-pai. Lalu bagaimana jawabmu? Kalau memang kau melakukan hal itu, bagaimana tanggung jawabmu dan apa bila kau tidak melakukan, bagaimana pula keterangan pembelaanmu? Ingat, sudah jelas bahwa sebelum meninggal dunia, ayah Sumoi terang-terangan menyatakan bahwa kau dan seorang perempuan yang menyerang dan melukainya.”

Muka Kwee Sin pucat sekali, kedua matanya agak basah dan merah menahan air mata yang hendak mengucur. Dia maklum bahwa dirinya kena fitnah. Tentu saja dia percaya bahwa Hoa-san Sie-eng takkan mau memfitnahnya kalau tidak ada dasarnya. Dia tahu bahwa dia sudah difitnah oleh orang-orang yang memusuhinya, entah siapa orang-orang itu. Bagaimana dia harus menjawab?

"Hoa-san Sie-eng," katanya, tidak berani langsung kepada Sian Hwa, "apa yang harus kukatakan lagi? Aku sudah bersumpah bahwa aku sama sekali tidak merasa melakukan pembunuhan terhadap ayah Nona Liem Sian Hwa. Sebagai orang termuda dari Kun-lun Sam-hengte, aku selamanya tak pernah membohong. Aku tidak melakukan pembunuhan itu dan kalian percaya atau tidak, terserah. Aku hanya mengharapkan kebijaksanaan dan keadilan dari Hoa-san-ciangbunjin." la menjura ke arah Lian Bu Tojin yang semenjak tadi berdiri di pinggiran sambil menundukkan mukanya.

Hoa-san It-kiam Kwa Tin Siong tertawa lirih. "Ha-ha-ha-ha, lagi-lagi Kwee Sin yang dijuluki orang Pek-lek-jiu, orang termuda dari Kun-lun Sam-hengte yang terkenal gagah perkasa, lari bersembunyi di balik sumpah-sumpahnya. Orang she Kwee, tidak perlu bersumpah keras-keras. Sebaliknya kau menjawab pertanyaan-pertanyaanku agar jelas."

Kwee Sin sebetulnya mendongkol sekali menyaksikan sikap Hoa-san Sie-eng yang amat menghinanya. Akan tetapi dia tidak ingin melihat persoalan ini menjadi semakin panas, maka dia menjawab tenang.

"Tanyalah, Hoa-san It-kiam, aku akan menjawab."

"Awal mula terjadinya urusan ini, ayah Sumoi, Liem-lopek, melihat kau bersama seorang perempuan muda cantik berpelesir di Telaga Pok-yang sehingga menimbulkan marahnya. Betulkah pada waktu itu kau memang berpelesir bersama seorang perempuan cantik dari Pek-lian-pai di Telaga Pok-yang?"

Wajah Kwee Sin menjadi merah sekali, lalu pucat dan merah lagi. la menundukkan muka, menggigit-gigit bibir dan sampai lama tidak dapat menjawab! Semua mata memandang kepadanya, bahkan Lian Bu Tojin yang semenjak tadi tunduk saja, sekarang juga sudah mengerling ke arahnya. Apa lagi Sian Hwa, gadis ini memandang dengan sepasang mata berapi-api.

Kwee Sin benar-benar merasa bingung. Bagaimana dia harus menjawab? Tidak dapat disangkal lagi bahwa dahulu dia telah berpelesir di Telaga Pok-yang bersama Coa Kim Li! Dan tentu pada saat itu, celaka sekali baginya, ayah Liem Sian Hwa melihat dia bersama Coa Kim Li dan pulang sambil marah-marah. Bagaimana dia harus menjawab?

Untuk berterus terang mengaku bahwa dia memang berpelesir bersama seorang wanita muda cantik, tentu saja ia amat malu. Akan tetapi juga bukan wataknya untuk berbohong. Oleh karena berada dalam keadaan yang terjepit inilah Kwee Sin tidak dapat menjawab, hanya menunduk dengan bingung dan malu.

"Kwee Sin, bagaimana jawabanmu? Mengapa kau diam saja?" Kwa Tin Siong bertanya dengan nada mengejek.

"Kwee-sute jawablah, jangan diam saja!" Bun Si Teng juga menegur sute-nya karena dia amat mendongkol melihat sikap Kwa Tin Siong.

Setelah berulang kali menarik napas panjang, baru Kwee Sin bisa menjawab, meski tanpa mengangkat mukanya, "Memang benar aku berada di Telaga Pok-yang pada beberapa bulan yang lalu..."

"Berpelesir bersama seorang perempuan muda cantik anggota Pek-lian-pai,” desak Kwa Tin Siong.

"Bersama seorang teman perempuan..." lanjut Kwee Sin, tetapi segera terpotong.

"Siapa dia? Hayo katakan terus terang, bukankah dia itu yang kau ajak membunuh ayah Sumoi?" Kwa Tin Siong mendesak lagi, penuh amarah. Kwee Sin diam saja.

"Kwee-sute, mengapa kau diam saja. Siapakah perempuan itu?" Bun Si Teng bertanya, suaranya mengandung kekecewaan.

"Aku tidak bisa bilang dia itu siapa, sudah kukatakan temanku, cukuplah. Akan tetapi, dia dan aku tidak bersekongkol membunuh siapa pun juga."

"Hah?!" Kwa Tin Siong sekarang marah sekali, merasa yakin bahwa pemuda ini tentulah pembunuh ayahnya Sian Hwa. "Kau berpelesir dengan seorang perempuan rendah dari Pek-lian-pai, lalu terlihat oleh calon mertua yang menjadi marah-marah melihat kelakuan calon mantunya yang hina. Kau merasa khawatir kalau-kalau namamu akan dinodai oleh perbuatan itu, khawatir kalau-kalau ayah Sumoi mengabarkan kelakukanmu yang tidak patut, lalu menyusul bersama perempuan rendah itu dan... dan membunuhnya..."

"Tidak!" Kwee Sin berteriak keras. "Tidak sama sekali."

"Kalau tidak, lekas katakan siapa perempuan jalang itu!" Sian Hwa juga berteriak marah, pedangnya sudah dicabut lagi.

Kwee Sin melangkah mundur tiga langkah, wajahnya pucat sekali. Bun Si Teng dan Bun Si Liong saling pandang, lalu mereka menghampiri adik seperguruannya. "Sute, urusan ini bukan urusan remeh. Betapa pun juga kau harus berani mendatangkan wanita itu untuk menjadi saksi bahwa kau tidak melakukan pembunuhan dan...”

"Apakah Suheng tidak percaya kepadaku?"

"Akulah yang akan melawan orang yang mendakwa kau berbuat jahat, Kwee-sute. Aku selalu percaya penuh kepadamu, akan tetapi kalau tidak diberi saksi hidup, tentu Hoa-san Sie-eng masih penasaran..."

"Ha-ha-ha-ha, Kun-lun Sam-hengte benar-benar bagus!" Thio Wan It menyindir. "Seorang keedanan perempuan dan melakukan pembunuhan keji, dan kini kakak-kakaknya hendak membela. Wah, seperti merasa gagah sendiri saja. Kalau perlu, Hoa-san Sie-eng sanggup membasmi sampai ke akar-akarnya!"

"Bagus sekali! Kami Kun-lun Sam-hengte, biar pun hanya bertiga, takkan mundur setapak biar pun dikeroyok di sini!" Bun Si Liong juga mengeluarkan kata-kata mengejek.

Kedua pihak lagi-lagi sudah panas, dan apa bila mendapat dorongan sedikit saja pasti akan saling gempur.

"Bagaimana, Kwee Sin? Kalau kau hendak menyangkal, kau harus bisa sebutkan nama perempuan yang menjadi kekasihmu itu, yang terlihat oleh ayah Sumoi. Kalau kau tetap menyembunyikan namanya, berarti dia itu betul seorang Pek-lian-pai dan kau bersama dia membunuh ayah Sumoi." Kwa Tin Siong mendesak.

Muka Kwee Sin pucat sekali. Tak mau dia menodai nama Coa Kim Li, seorang gadis yang cantik lagi gagah, apa lagi yang sudah menjatuhkan hatinya. Di lain sudut, hatinya juga merasa sangat kasihan kepada bekas tunangannya yang kematian ayah, terbunuh oleh orang-orang yang agaknya sengaja hendak memfitnahnya. Dan semua ini kesalahannya sendiri. Andai kata dia tidak tergila-gila kepada Coa Kim Li, kiranya takkan terjadi hal ini.

Sekarang dia tidak saja sudah membikin hancur penghidupan Liem Sian Hwa, juga dia merupakan ancaman bagi nama baik Coa Kim Li. Lebih dari pada ini malah, sekarang dia menjadi biang keladi pertumpahan darah, biang keladi permusuhan antara Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai. Hal terakhir inilah yang lebih hebat dan menghancurkan hatinya.

"Hoa-san Sie-eng!" akhirnya dia berkata dengan suara keras. "Sekali lagi aku tekankan bahwa aku tidak membunuh ayah Nona Liem! Tapi kalian tidak percaya dan mendesakku membawa-bawa nama orang yang tidak berdosa. Suheng sekalian! Kun-lun-pai jangan sampai bermusuhan dengan Hoa-san-pai, dan semua bahaya permusuhan ini adalah gara-gara tindakan siauwte yang bodoh. Oleh karena itu, biarlah siauwte menebus dosa. Heee, Hoa-san Sie-eng, kalau kalian tidak percaya kepadaku dan ingin melihat Kwee Sin mampus, biarlah kalian puas saat ini dan jangan merembet-rembetkan Kun-lun-pai dalam urusan ini!"

Secepat kilat Kwee Sin menggerakkan pedangnya, dibabatkan ke lehernya sendiri!

"Trangg…!"

Pedang itu terlempar, tubuh Kwee Sin lenyap dan sebagai gantinya di situ menggelinding sebuah kepala orang.

"Siluman betina, jangan lari!" tiba-tiba saja Lian Bu Tojin berseru dan tubuhnya berkelebat lenyap pula.

Kwa Tin Siong dan ketiga orang adik seperguruannya kaget memandang ke arah kepala yang menggelinding tadi. Alangkah marahnya hati mereka ketika melihat bahwa kepala itu adalah kepala salah seorang tosu Hoa-san-pai yang entah bagaimana sudah dipenggal dan dilemparkan ke tempat itu.

"Keparat jahanam orang-orang Kun-lun!" bentak Kwa Tin Siong. "Orang she Bun berdua, sekarang kalian mau bilang apa? Sudah nyata Kwee Sin si keparat bersekongkol dengan orang jahat, buktinya dia ditolong dan bahkan murid Hoa-san-pai dibunuh. Kalian tentu bukan manusia baik-baik dan ikut sekongkol pula!"

Dengan kemarahan meluap-luap Kwa Tin Siong lalu menerjang dua orang saudara Bun itu, dibantu oleh Thio Wan It, Kui Keng, beserta Liem Sian Hwa. Empat orang saudara Hoa-san Sie-eng ini mengamuk dan mengeroyok Bun Si Teng dan Bun Si Liong.

Kasihan sekali dua orang saudara Bun ini. Mereka sesungguhnya tidak tahu apa-apa dan tadi pun ketika Kwee Sin hendak membunuh diri, mereka sudah tak berdaya. Tahu-tahu Kwee Sin lenyap. Cara lenyapnya demikian ajaib sampai tidak terlihat oleh mereka.

Sudah jelas bahwa Kwee Sin ditolong orang pandai. Akan tetapi siapa penolongnya dan kenapa melemparkan kepala seorang tosu Hoa-san-pai? Mereka tak dapat membersihkan diri pula. Tentu saja orang Hoa-san-pai akan menganggap mereka ikut bersekongkol.

Terpaksa Bun Si Teng dan Bun Si Liong mencabut senjata dan membela diri. Akan tetapi oleh karena dikeroyok empat orang dan pihak lawan lebih kuat, di samping itu karena memang mereka tidak dapat berkelahi dengan penuh semangat karena merasa pihak sute-nya bersalah, maka akhirnya Bun Si Teng dan Bun Si Liong terdesak, dan menderita luka-luka. Namun orang gagah dari Kun-lun-pai ini dengan ilmu silat mereka yang tinggi masih terus melakukan perlawanan, atau lebih tepat disebut melakukan pembelaan diri yang gigih dan kuat.

Pada saat itu, Kwa Hong berlari-larian menuju tempat Beng San bekerja. Dengan napas terengah-engah Kwa Hong menarik tangan Beng San yang sedang menyapu lantai.

"Beng San, marilah lihat. Ayah dan semua orang sedang bertengkar dengan orang-orang dari Kun-lun-pai. Tentu akan bertempur!"

Kaget sekali hati Beng San. Anak ini sudah mendengar dari Tan Hok tentang usaha jahat yang dilakukan Ngo-lian Kauwcu yang berjuluk Kim-thouw Thian-li untuk memecah belah antara Pek-lian-pai, Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai.

"Kenapa mereka bertengkar? Apa sebabnya mereka bertempur?" tanyanya, masih kurang mengacuhkan karena dipikirnya bahwa hal itu bukanlah urusannya, apa lagi kalau diingat bahwa apa yang dia dapat lakukan terhadap urusan itu?

"Kabarnya seorang Kun-lun-pai, tunangan bibi Sian, telah membunuh ayah bibi Sian Hwa. Sekarang dia datang bersama dua orang lagi dan cekcok dengan ayah dan semua paman guru. Juga sukong berada di sana. Hayo kita lihat!"

"Nona Hong, kau lihatlah sendiri. Aku dilarang oleh sukong-mu keluar dari sini, kalau aku berani keluar tentu akan mendapat marah pula." Beng San melanjutkan pekerjaannya, tak peduli lagi.

"Beng San, mereka sedang ribut-ribut, mana memperhatikan kau? Marilah kau temani aku keluar menonton."

Beng San menggelengkan kepala dan memandang kepada Kwa Hong, mengagumi sinar mata yang demikian tajam namun halus dan indah.

"Nona Hong, mengapa kau selalu datang kemudian mengajak aku bercakap-cakap dan bermain-main? Sudah berapa kali kau dimarahi oleh ayahmu? Lebih baik jika kau seperti anak-anak yang lain, menjauhi aku karena aku hanyalah seorang kacung dan kau dilarang mendekati aku."

"Apa salahnya? Kalau aku suka bermain-main dan bicara denganmu, siapa melarang? Biar ayah marah, biar sukong mengamuk, aku tidak takut!" Gadis cilik ini membusungkan dada dan kepalanya tegak, matanya bersinar-sinar.

Beng San memegang tangan Kwa Hong, terharu sekali. "Nona Hong, kenapa demikian? Amat tidak baik kalau kau dimarahi ayahmu dan sukong-mu... mengapa kau begini baik terhadapku seorang kacung, seorang jembel busuk, mengapa sikapmu tidak seperti yang lain yang selalu menghinaku?"

Untuk beberapa saat sepasang mata dara cilik itu menatap wajah Beng San, lalu berkata lirih, "Entahlah... aku merasa amat berkasihan kepadamu, Beng San..."

Keduanya hanya berpegang tangan dan saling pandang tanpa mengerti apa yang mereka rasakan. Kemudian timbul kenakalan Kwa Hong yang memecahkan hikmat kesunyian itu sambil tertawa. "Agaknya karena kau seperti bunglon itulah yang membuat aku suka bermain denganmu, hi-hi-hi..."

"Kuntilanak!" Beng San balas memaki. la mendongkol kalau dimaki bunglon.

Kwa Hong tertawa sambil melepaskan tangannya. Pada saat itu tampak Kui lok, Thio Ki, dan Thio Bwee berlari-lari. Muka mereka agak pucat.

"Mereka sudah bertempur!" kata Thio Ki terengah-engah. "Tadi bekas tunangan bibi Sian Hwa itu lenyap secara aneh, seorang supek yang menjadi tosu dibunuh orang, kepalanya dilempar ke depan sukong. Sukong mengejar orang jahat. Hebat...”

Tanpa menunggu sampai cerita ini berakhir, Kwa Hong sudah berlari-lari keluar hendak menonton, diikuti oleh tiga orang anak itu. Para tosu Hoa-san-pai juga kelihatan berlari-lari sambil membawa senjata tajam. Keadaan Hoa-san-pai kacau-balau.

Setelah ditinggal seorang diri, Beng San termenung. la bisa mendengar suara beradunya senjata tajam, dan telinganya yang sudah memiliki pendengaran luar biasa itu mendengar angin sambaran senjata yang amat mengerikan itu.

Dia tahu persoalannya. Mereka sedang berhantam, saling bunuh tanpa mereka sadari bahwa mereka sedang diadu domba oleh pemerintah Mongol yang menggunakan pihak Ngo-lian-kauw sebagai kaki tangannya. Ahhh, perlukah orang-orang itu saling membunuh hanya menurutkan nafsu amarah belaka? Saling bunuh karena fitnah, padahal mereka itu adalah saudara-saudara sebangsa sendiri?

Tidak mungkin aku mendiamkan saja, menonton orang sebangsa saling bunuh, padahal kedua belah pihak adalah orang-orang gagah yang telah mempunyai nama besar sebagai pendekar-pendekar! Beng San kemudian melempar sapunya dan berlari cepat ke tempat pertempuran.

la melihat betapa dua orang laki-laki yang melakukan perlawanan dengan gagah berani telah mandi darah dan terdesak hebat oleh pengeroyokan Kwa Tin Siong, Thio Wan It, Kui Keng, dan Liem Sian Hwa. Di atas tanah tergeletak kepala seorang tosu Hoa-san-pai. Keadaan benar-benar amat mengerikan.

Mudah Beng San menduga siapa adanya dua orang gagah itu. Mereka tentu orang-orang Kun-lun-pai seperti yang tadi diceritakan oleh Kwa Hong. Dia melihat Kwa Hong berdiri agak jauh dengan Thio Bwee, agak pucat dan hanya menonton saja. Akan tetapi Kui Lok dan Thio Ki bertepuk-tepuk dan bersorak kalau dua orang itu terkena sambaran senjata seorang di antara Hoa-san Sie-eng.

Di dalam hati Beng San timbul rasa penasaran. Kenapa main keroyok? la dapat menilai tingkat enam orang yang bertempur itu. Apa bila pertempuran dilakukan satu lawan satu, barulah akan seimbang dan ramai. la melihat pedang di tangan Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa amat berbahaya. Sudah beberapa tempat di tubuh kedua orang Kun-lun-pai itu luka-luka.

"Hoa-san Sie-eng... jangan lanjutkan pertempuran. Orang-orang Kun-lun tidak bersalah!" tiba-tiba Beng San tak dapat menahan dirinya lagi, berteriak-teriak dan melompat ke dekat pertempuran.

Semua orang kaget sekali melihat ini, akan tetapi yang bertempur terus saja bertempur. Kui Lok dan Thio Ki marah sekali melihat sikap Beng San. Mereka berdua ini memang sudah merasa amat iri hati kepada Beng San ketika mendengar pujian Kwa Hong dan Thio Bwee betapa Beng San dengan ‘gagah berani’ telah menyusul dan menolong dua orang dara cilik itu ketika diculik orang.

Sekarang mereka melihat Beng San berteriak-teriak, mereka mendapat kesempatan untuk melampiaskan kemarahan mereka. Dua orang jago cilik ini lalu menerjang maju ke arah Beng San.

"Kacung busuk! Mau apa kau berteriak-teriak? Hayo kembali ke tempat kerjamu!"

Dua orang jago cilik ini lalu memukuli Beng San, diturut oleh beberapa orang tosu yang juga tidak suka kepada Beng San.

Terjadi keanehan ketika dua orang anak dan beberapa orang tosu ini memukul Beng San. Kui Lok dan Thio Ki menjerit kesakitan dan tangan kanan mereka patah tulangnya ketika memukul tubuh Beng San. Para tosu yang memukulnya kurang keras, juga berjingkrak kesakitan karena tangan mereka sudah menjadi merah bagaikan terbakar dan bengkak-bengkak!

Tanpa mempedulikan mereka semua, Beng San langsung berjalan menuju ke gelanggang pertempuran. Dua orang saudara Bun itu sudah roboh bermandikan darah dan Beng San menubruk mereka sambil berseru.

"Mereka tidak bersalah... ahhh, pertumpahan darah terjadi hanya karena fitnah! Alangkah bodohnya, bermata tetapi seperti buta" Dengan sedih Beng San mengusapi darah yang mengucur keluar dari dada Bun Si Teng dan Bun Si Liong. "Dua orang pendekar gagah harus melepaskan nyawa hanya karena menurutkan nafsu belaka, hanya karena fitnah..."

Bun Si Teng dan Bun Si Liong belum tewas, akan tetapi mereka sudah terluka parah dan hanya berkat jiwa mereka yang gagah perkasa saja yang membuat mereka roboh tanpa mengeluarkan keluhan sakit sedikit pun juga!

Melihat sikap dan kata-kata Beng San, Kwa Tin Siong kaget dan heran sekali. Apa lagi ketika dia melihat betapa cucu-cucu murid Hoa-san, yaitu Kui Lok dan Thio Ki menderita patah tulang tangan sedangkan beberapa orang tosu lagi bengkak-bengkak tangannya.

Dia semakin curiga akan dugaannya bahwa Beng San bukanlah anak sembarangan dan mungkin sekali dari pihak musuh. Sekarang terbukti betapa Beng San merasa sedih atas jatuhnya dua orang Kun-lun-pai dan kata-katanya yang tidak karuan.

"Beng San, apa maksud kata-katamu barusan?" Kwa Tin Siong membentak sambil maju menghampiri dengan pedang di tangan.

Beng San yang melihat bahwa dua orang Kun-lun-pai itu tak mungkin dapat tertolong lagi, segera bangkit berdiri dengan tegak. Matanya bersinar tajam menakutkan dan mukanya menjadi merah kehitaman. la membanting kaki ke atas tanah dan berkata.

"Hoa-san Sie-eng, apakah kalian tidak melihat bahwa kalian telah membunuh orang-orang tidak berdosa? Kalian telah kena fitnah. Kwee Sin bukan orang yang berdosa, dia tidak membunuh ayah Nona Liem Sian Hwa. Semua ini memang diatur oleh pemerintah Mongol dengan bantuan Ngo-lian-kauw! Kwee Sin hanya punya sebuah kesalahan kecil, yaitu dia roboh oleh kecantikan ketua Ngo-lian-kauw. Akan tetapi yang membunuh ayah Nona Liem adalah para kaki tangan Ngo-lian Kauwcu yang menyamar sebagai Kwee Sin dan sebagai orang-orang Pek-lian-pai. Ahh, sayang orang-orang gagah sampai mudah tertipu!"

"Bohong! Kau anak kecil tahu apa? Kau berpihak kepada Pek-lian-pai dan Kun-lun!" Kwa Tin Siong membentak marah.

Tiba-tiba Bun Si Teng dan Bun Si Liong bergerak. Bun Si Liong tertawa terbahak-bahak lalu... dia berhenti bernapas, mukanya masih tersenyum. Bun Si Teng dengan napas yang terengah-engah mengulurkan tangan, merangkul Beng San.

"Aku puas... kau benar anak... kau benar. Siapa namamu...?”

"Aku Beng San," kata Beng San yang sudah berlutut di dekat Bun Si Teng.

"Kau telah membersihkan nama Kwee-sute sekaligus Kun-lun-pai. Terima kasih. Alangkah bodohku... Ha-ha-ha-ha, bukan hanya Kun-lun Sam-hengte yang bodoh... malah Hoa-san Sie-eng juga goblok, hanya menurutkan nafsu belaka... Beng San, anak baik, kau anak luar biasa... kau berjanjilah bahwa kelak kau akan mengamat-amati putera tunggalku... Bun Lim... Kwi..." Orang gagah itu menjadi lemas dan rohnya menyusul roh adiknya.

Hoa-san Sie-eng berdiri terlongong. Mereka masih terpukul oleh keterangan Beng San, walau pun merasa ragu-ragu.

Pada saat itu tampak bayangan orang berkelebat dan Lian Bu Tojin sudah berdiri di situ. "Ahhh, dia hebat... tak terkejar olehku..." Tiba-tiba kakek ini mengeluarkan seruan kaget ketika melihat tubuh Bun Si Teng dan Bun Si Liong rebah mandi darah dalam keadaan tak bernyawa pula.

"Apa... apa yang telah terjadi...?" tanyanya, memandang kepada empat orang muridnya.

Hoa-san Sie-eng tidak dapat menjawab, masih bingung dan sangat khawatir kalau-kalau keterangan Beng San tadi itu benar. Berarti mereka sudah membunuh orang-orang yang tidak berdosa!

"Beng San, kau lagi di sini? Apa yang kau lakukan di sini?" Lian Bu Tojin membentak lagi ketika melihat Beng San berlutut di depan mayat kedua orang saudara Bun itu.

"Locianpwe, dua orang gagah dari Kun-lun-pai yang tidak berdosa ini telah dikeroyok dan dibunuh oleh murid-muridmu yang gagah!" kata Beng San dengan suara keras.

Kemudian dia mengulangi lagi penuturannya yang tadi di depan ketua Hoa-san-pai. Kakek ini berubah air mukanya mendengar keterangan itu, akan tetapi dengan bengis dia lalu bertanya.

"Bocah, dari mana kau tahu semua itu?"

"Saya bertemu dengan orang-orang Pek-lian-pai dan merekalah yang sudah menceritakan semua itu kepadaku."

"Bohong kalau begitu. Orang-orang Pek-lian-pai itu jahat dan berbohong!" seru Kwa Tin Siong penuh harap.

Tentu saja dia tidak mengharapkan kebenaran keterangan Beng San, karena kalau benar terjadi hal demikian, berarti pihak Hoa-san-pai telah melakukan perbuatan yang kurang patut terhadap Kun-lun-pai.

Lian Bu Tojin meraba-raba jenggotnya yang panjang. "Urusan ini sangat berbelit-belit dan amat penuh rahasia. Keterangan bocah ini mungkin sekali benar, akan tetapi juga bukan mustahil dia dipergunakan oleh Pek-lian-pai untuk mengacau kita. Betapa pun juga, kalian telah terburu nafsu membunuh dua orang Kun-lun-pai ini. Keadaan sudah terlanjur begini, sungguh tidak menyenangkan sekali. Pinto sendiri masih ragu-ragu siapakah yang benar siapa yang salah. Kwee Sin ditolong dan dibawa pergi oleh seorang iblis wanita jahat, Hek-hwa Kui-bo. Terang bahwa ada pihak yang bersekongkol dengan Kwee Sin, tapi..." Tiba-tiba kakek itu berseru, "He, bocah, kau hendak lari ke mana?" Tubuhnya berkelebat ke depan dan di lain saat kakek ini sudah memegang lengan tangan Beng San yang tadi hendak lari.

"Aku mau pergi saja. Selain Hoa-san-pai tidak baik karena membunuh orang tak berdosa, Hek-hwa Kui-bo sudah datang, aku bisa celaka...," bantah Beng San.

"Kau dicari Hek-hwa Kui-bo?" Lian Bu Tojin bertanya heran.

"Semua orang jahat mencariku."

"Kenapa?" Ketua Hoa-san-pai ini sudah menduga bahwa pasti ada rahasia aneh pada diri anak yang mencurigakan ini, maka dia takkan melepaskannya sebelum dapat mengetahui rahasianya.

Tentu saja Beng San tidak mau menceritakan tentang dirinya, apa lagi tentang Im-yang Sin-kiam-sut. Tapi dia anak yang cerdik, dapat menghubung-hubungkan persoalan, maka dengan suara berbisik dia berkata.

"Tosu tua, apa kau lupa akan Lo-tong Souw Lee? Siapa yang tidak akan mencari tempat persembunyiannya? Hek-hwa Kui-bo tentu akan senang sekali kalau mendengar bahwa aku dan Totiang mengetahui tempat tinggal kakek tua she Souw itu!"

Lian Bu Tojin cepat melepaskan tangan yang dipegangnya. "Hushh, gila kau! Siapa yang tahu tempat sembunyinya orang itu?"

Orang tua ini celingukan ke kanan kiri, nampaknya berkhawatir sekali. Siapa yang tidak khawatir kalau dikatakan mengetahui tempat sembunyi Lo-tong Souw Lee? Semua orang jahat di dunia mencari-cari tempat sembunyi pencuri pedang Liong-cu Siang-kiam itu, dan apa bila dia disangka mengetahui tempat sembunyinya, bukan mustahil kalau dia akan dimusuhi semua tokoh kangouw!”

Beng San tersenyum. "Totiang, aku hanya membawakan suratnya kepada Totiang, dan kiranya tidak aneh kalau orang yang sudah bersurat-suratan saling mengetahui tempat tinggalnya, bukan?"

"Hush, jangan main gila kau! Pinto tidak tahu tempat sembunyinya!"

"Kalau begitu biarkanlah aku pergi mencarinya, Totiang. Aku sudah tidak suka tinggal di Hoa-san."

"Pergilah, pergilah cepat!" Kakek itu kini malah mendesak supaya supaya anak itu pergi, karena kalau dibiarkan saja di situ bicara tentang Lo-tong Souw Lee, jangan-jangan dia bisa terbawa-bawa dalam urusan perebutan Liong-cu Siang-kiam.

Beng San lalu menoleh ke arah anak-anak yang melihat semua itu dari jauh, kemudian dia melambaikan tangan dan berkata, "Nona Hong, Nona Bwee, selamat tinggal!"

Beng San lalu membalikkan tubuh dan lari menuruni puncak Hoa-san-pai. Semua orang memandang bayangan anak aneh ini sampai lenyap di belakang batu-batu besar.

Lian Bu Tojin menghela napas panjang. "Ah, sungguh celaka terjadi hal seperti ini. Lekas kalian kuburkan baik-baik jenazah kedua orang murid Kun-lun-pai ini. Pinto harus berani mempertanggung jawabkannya terhadap pertanyaan Pek Gan Siansu..."

la menarik napas panjang berkali-kali sambil menggeleng kepala, penasaran sekali bahwa dalam usia setua itu dia masih harus menghadapi urusan pertumpahan darah yang terjadi antara murid-muridnya dan murid-murid Kun-lun-pai.

Kemudian ia meninggalkan para muridnya, memasuki pondoknya untuk bersemedhi. Tapi begitu memasuki pondok, dia mendapatkan kekecewaan lain dengan tidak adanya Beng San. Bocah itu begitu rajin dan amat cerdik dalam mempelajari filsafat-filsafat To. Bocah yang aneh.

Sepak terjang bocah tadi diam-diam membangkitkan keheranan dan kekaguman hatinya. Seorang anak kecil yang bekerja sebagai kacung, dahulu sudah berani mempertaruhkan nyawa untuk menolong Kwa Hong dan Thio Bwee. Tadi telah berani mencela Hoa-san-pai dan mengeluarkan kata-kata yang gagah.

Kalau kelak anak itu menjadi seorang yang pandai, dia tak akan merasa heran.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar