Raja Pedang Chapter 12

Namun menghadapi dua orang kawakan seperti Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo, tentu saja dia merupakan sebuah timun melawan dua buah duren! Andai kata dia sendiri harus melawan mereka, biar pun dia diberi sepasang pedang Liong-cu-kiam, dalam satu jurus saja dia pasti akan terjungkal tanpa nyawa lagi.

Baiknya dalam pertandingan ini Beng San tidak maju sendiri, atau dapat dikatakan bahwa dia ‘dipakai’ oleh kakek tua renta itu, dipergunakan pengetahuannya mengenai Im-yang Sin-kiam-sut. Beng San hanya mempergunakan Im-yang Sin-kiam dan tentu saja tanpa disadarinya sendiri, dia pun menggunakan tenaga Im dan Yang, dua tenaga ampuh yang memang sudah bersarang di dalam tubuhnya.

Dua hal yang dimilikinya ini, Ilmu Silat Im-yang Sin-kiam dan tenaga Im Yang, sekarang dengan hebat digunakan oleh kakek yang mendorongnya itu sehingga sepasang pedang di tangan Beng San berkeredepan dan menyambar-nyambar laksana dua ekor naga sakti yang bermain-main di angkasa raya.

Ketika bertemu dengan pedang, berkali-kali sapu tangan dan suling di tangan Hek-hwa Kui-bo dan Song-bun-kwi membalik. Dua orang itu terkejut bukan main.

Mereka maklum bahwa anak ini ‘dipergunakan’ oleh kakek itu. Akan tetapi sama sekali mereka tak pernah mengira bahwa anak itu dapat mainkan Im-sin-kiam dan Yang-sin-kiam yang digabung menjadi satu sehingga mereka yang hanya mengerti sebagian-sebagian saja dari ilmu pedang pasangan itu menjadi sibuk dan kewalahan. Mereka maklum bahwa tentu saja dalam hal ini bukan Beng San yang berjasa, melainkan kakek tua renta itu.

Memang kakek tua renta itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Akan tetapi andai kata di sana tidak ada Beng San yang menambah kehebatan kakek itu dengan Im-yang Sin-kiam, dua orang sakti tadi yakin bahwa mereka berdua pasti akan dapat mengalahkan kakek itu.

Beng San betul-betul bingung ketika melihat bahwa gerakan-gerakan yang dilakukan oleh dua orang tua itu selalu berubah-ubah, bahkan kemudian sama sekali dia tidak mengenal gerakan-gerakan itu. Hal ini memang betul demikian, karena dua orang itu sengaja tidak memainkan Ilmu Silat Im-sin-kiam dan Yang-sin-kiam yang dikenal baik oleh Beng San. Andai kata dia sendiri harus menghadapi jurus-jurus yang sama sekali asing baginya itu, tentu dia akan terjungkal dengan sendirinya karena pusingnya.

Baiknya dengan ‘tuntunan’ kakek itu melalui penyaluran hawa pada kedua pundaknya, dia masih mampu dengan cepat dan tepat memainkan Im-yang Sin-kiam untuk menghadapi semua serangan lawan, bahkan balas menyerang dengan tak kurang dahsyatnya.

Pertempuran itu berjalan seru dan hebat. Apa bila Beng San terdesak, tiba-tiba kakek di belakangnya berseru nyaring dan... jenggotnya yang panjang melambai sampai ke perut itu lalu bergerak menyambar-nyambar ke depan, mengeluarkan suara angin bersiutan dan rambut ini yang tadinya halus sekali seakan-akan telah berubah menjadi cemeti baja yang menyambar ke arah kedua lawannya!

Setelah hari mulai menjadi gelap, Beng San melihat dua orang lawannya berpeluh dan uap keputihan mengebul di atas kepala mereka. Ia pun mendengar kakek di belakangnya terengah-engah napasnya, dua tangan yang mencengkeram pundaknya mulai menggetar. Napas kakek itu mulai meniup-niup kepalanya, terasa panas sekali.

Dia sendiri belum lelah, maklum karena semenjak pertempuran dimulai, dia seakan-akan selalu ‘menggunakan’ tenaga kakek itu. Peranannya sendiri hanyalah sebagai orang yang mengeluarkan Im-yang Sin-kiam saja.

Song-bun-kwi mulai tertawa-tawa dan mengejek. "Heh-heh-heh, Lo-tong, napasmu sudah empas-empis, jangan-jangan akan putus nanti."

"Souw Lee, kau sudah tua bangka mau mampus, lebih baik menyerah dan mati dengan tubuh utuh dari pada harus mati dengan kepala remuk," kata Hek-hwa Kui-bo.

Dua orang tokoh ini mau mengajak berbicara dan membujuknya, bukan karena mereka merasa amat kagum kepada kakek tua renta yang ternyata masih amat lihai ini. Memang, betapa pun jahat dan kejam hati seorang tokoh kang-ouw yang sakti dan aneh, namun ciri khas orang-orang kang-ouw masih ada kepadanya, yaitu mengagumi serta menghargai kegagahan dan kelihaian orang.

"Song-bun-kwi! Hek-hwa Kui-bo…!” Kakek ini berkata terengah-engah. "Sebelum leherku patah, jangan harap kalian berdua akan mendapatkan Liong-cu Siang-kiam dan Im-yang Sin-kiam-sut. Tanpa yang dua itu pun kalian sudah cukup jahat dan sudah terlalu banyak menyebar kekejaman di dunia."

Song-bun-kwi mengeluarkan bentakan marah dan sulingnya mendesak makin hebat. Juga Hek-hwa Kui-bo memutar sapu tangannya yang mengeluarkan beberapa macam warna yang bersinar-sinar, mengurung diri Beng San dan kakek itu.

Tiba-tiba Beng San merasa betapa kedua tangan kakek di pundaknya itu menjadi dingin sekali. Dia tidak mengerti apa sebabnya, tidak tahu bahwa dalam kelihaiannya kakek tua renta itu sudah berlaku cerdik, menggunakan tenaga Im untuk menarik keuntungan dari pertempuran itu.

Beng San mulai mengerti akan maksud kakek itu ketika dia meminta kepadanya supaya jangan mengalah. Dia sekarang tahu bahwa Ilmu Silat Im-yang Sin-kiam-sut yang sudah dia pelajari dari dua orang gurunya yang telah meninggal dunia, ternyata amat dirindukan oleh tokoh-tokoh kang-ouw, seperti halnya sepasang pedang ini. Ia mengerti bahwa dua orang tua yang kini mengeroyoknya itu adalah orang-orang jahat yang kalau sampai dapat merampas ilmu dan pedang, akan menjadi makin ganas dan jahat lagi.

Sekarang saja sudah dapat membayangkan kekejian hati mereka. Dua orang tokoh besar dalam dunia persilatan, tetapi tidak segan-segan dan tidak malu-malu untuk mengeroyok dan mendesak seorang anak-anak dan seorang kakek tua!

"Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo, kalian benar-benar keji dan jahat!" Baru saja Beng San mengeluarkan kata-kata ini, kakek di belakangnya mengeluarkan teriakan keras lalu roboh telentang, mulutnya mengeluarkan darah, matanya mendelik dan tak sadarkan diri.

Beng San menjadi merah kehitaman mukanya. la kaget dan menoleh, mukanya menjadi makin hitam saking marah. la mengira bahwa kakek itu tentu telah jatuh karena pukulan dari dua orang lawannya. Sama sekali dia tidak tahu bahwa sesungguhnya kakek sakti di belakangnya itu roboh oleh karena dia!

Ketika tadi dia memaki Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo, tanpa dia sadari, Beng San yang marahnya memuncak itu sudah menyalurkan hawa ‘Yang’ di tubuhnya, membuat mukanya menjadi merah hitam. Tenaga Yang di badannya memang hebat sekali, tidak sewajarnya. Tenaga inilah yang memukul kakek itu melalui kedua tangan yang diletakkan di pundaknya. Kakek itu sedang menggunakan tenaga Im, maka pukulan tenaga Yang dari tubuh Beng San yang amat kuat itu tak tertahankan olehnya, membuat dia terjungkal dan pingsan.

Andai kata tenaga dahsyat dari tubuh Beng San ini tadi dikeluarkan pada waktu kakek itu mempergunakan tenaga Yang, tentu kehebatan kakek ini akan bertambah dan mungkin sekali mereka berdua mampu mengusir Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo. Namun, apa hendak dikata, anak itu memang belum mengerti akan keadaan dirinya sendiri dan belum tahu bagaimana caranya untuk memanfaatkan kekuatan dan kepandaian yang dia miliki secara kebetulan itu.

Untung bagi Beng San bahwa dua orang sakti di depannya itu memang tidak mempunyai maksud untuk membunuhnya pada saat itu, karena keduanya membutuhkannya. Hek-hwa Kui-bo dengan suara ketawanya yang menyeramkan sudah maju menubruknya.

"Kui-bo, perlahan dulu," Song-bun-kwi berseru dan juga menubruk ke depan, mendorong tubuh Hek-hwa Kui-bo.

Wanita tua itu marah sekali. Dengan bentakan keras dia membalik badan dan menyerang Song-bun-kwi dengan sapu tangannya.

Tentu saja Song-bun-kwi tidak rela kepalanya terancam hancur oleh ujung sapu tangan yang amat ampuh itu. Cepat sulingnya digerakkan menangkis dan di lain saat dua orang ini sudah saling gempur.

Kalau tadi dua tokoh ini bersatu dalam menghadapi sepasang pedang di tangan Beng San yang dibantu oleh kakek Lo-tong Souw Lee, sekarang mereka bertempur satu sama lain. Bertempur mati-matian untuk saling memperebutkan Beng San berikut sepasang pedang Liong-cu Siang-kiam.

Pertandingan itu makin lama semakin seru dan dahsyat, sedangkan cuaca makin lama semakin menjadi gelap. Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo memang sama-sama memiliki ilmu kepandaian yang setingkat, apa lagi masing-masing telah mendapat kitab Im-sin-kiam dan Yang-sin-kiam. Berulang kali mereka menukar ilmu untuk merobohkan lawan, namun selalu sia-sia.

Yang terheran-heran adalah Beng San. Kadang-kadang dia tidak dapat melihat dua orang itu yang lenyap ditelan gulungan sinar senjata mereka, akan tetapi ada kalanya pula dia melihat mereka dengan jelas karena mereka itu berkelahi dengan gerakan-gerakan yang luar biasa, amat lambat seperti orang main-main saja.

Akhirnya dia tidak dapat melihat mereka sama sekali ketika matahari sudah bersembunyi dan cuaca telah menjadi hitam gelap. Hanya desir angin pukulan mereka saja yang masih terdengar dan terasa.

Tiba-tiba Beng San merasa tangannya dipegang orang dari belakang, kemudian dia ditarik perlahan ke belakang. Ketika dia menengok, di dalam gelap itu dia masih melihat tubuh kakek tua renta yang sekarang telah berdiri dan mengajak dia pergi dari tempat itu.

Beng San maklum akan maksud hati kakek ini. Tentu melihat dua orang sakti itu sedang saling gempur sendiri, kakek itu lantas mengajaknya menggunakan kesempatan ini untuk melarikan diri di dalam gelap.

Benar saja dugaannya. Tidak lama kemudian dia merasakan tubuhnya seperti terbang, sedangkan tangannya masih terus digandeng oleh kakek itu. Diam-diam dia kagum sekali. Ternyata bahwa kakek tua ini dalam berlari cepat tidak kalah oleh Song-bun-kwi mau pun Hek-hwa Kui-bo.

Beng San mendengar teriakan-teriakan marah dari Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo. Lapat-lapat dia mendengar mereka memaki-maki dan menyuruh dia berhenti. Akan tetapi suara dua orang yang mengejarnya itu makin lama semakin jauh, agaknya mereka sesat jalan, tidak tahu ke mana larinya Beng San bersama kakek tua itu.

Barulah lega hati Beng San setelah suara mereka tidak terdengar lagi. Juga kakek tua itu kini tidak berlari terlalu cepat lagi, hanya mengajak Beng San berjalan melalui hutan-hutan yang besar.

"Apakah bulan sudah keluar, anak yang baik?" tanya kakek itu, berhenti dan berdongak ke atas.

Beng San terheran. Apakah kakek itu tak dapat melihat sendiri? Kenapa harus bertanya?

"Belum, hanya langit penuh bintang."

"Hemmm, coba kau lihat baik-baik, di mana letak Bintang Kak-seng (Bintang Terompet)?"

"Aku tidak tahu yang mana itu bintang Kak-seng," jawab Beng San.

"Kalau begitu, di mana letaknya Bi-seng (Bintang Ekor)?"

Beng San makin bingung. Matanya menatap bintang-bintang di langit yang tiada terhitung banyaknya.

"Yang mana Bi-seng aku pun tidak tahu."

Kakek itu menundukkan mukanya dan menarik napas panjang. "Kiranya kau memang belum tahu apa-apa. Ahh, sudahlah. Katakan saja bintang apa yang kau ketahui?"

Beng San kemudian menuding ke atas dan berkata, "Bintang-bintang Gu-seng (Bintang Kerbau) itu aku kenal!"

Memang dahulu pernah dia mendengar dari seorang hwesio di Kelenteng Hek-thian-tong tentang Bintang Kerbau ini, sekumpulan bintang terdiri dari enam buah menyerupai kepala kerbau dengan tanduknya.

Kakek itu nampak girang. "Bagus! Coba kau tunjukkan, di mana Gu-seng itu?"

"Tuh, di sana!"

"Huh, aku tak dapat melihat. Kau pegang tanganku dan tunjukkan di mana arah letaknya."

Berdebar jantung Beng San. Kiranya kakek ini buta! la menatap wajah kakek itu. Tadinya dia menyangka bahwa kakek itu bermata sipit sekali, tidak tahunya memang selalu meram tak dapat dibuka, seorang buta!

Timbul rasa kasihan di dalam hatinya, akan tetapi juga kekagumannya makin membesar. Seorang kakek tua renta lagi buta, akan tetapi bukan main lihainya! Dia lalu memegang tangan kanan kakek itu dan menudingkan tangan itu ke arah kumpulan Bintang Gu-seng.

"Hemmm, kalau begitu kita harus ke kanan," kata kakek itu sambil menggandeng tangan Beng San dan berlari lagi. "Beng San, kau ikutlah aku. Biarkan aku menggosok intan yang masih mentah ini!"

Beng San tidak mengerti maksud kata-kata kakek itu dan hendak bertanya, akan tetapi kakek itu sudah berlari lagi dengan amat cepatnya. Karena maklum bahwa kakek ini tidak jahat seperti Song-bun-kwi atau Hek-hwa Kui-bo, maka dia tidak banyak membantah dan menurut saja dibawa lari secepatnya…..

********************

Mereka duduk berhadapan di atas batu-batu hitam yang halus di atas puncak yang tinggi, demikian tingginya sehingga seolah-olah dengan tangannya orang akan dapat menyentuh bintang-bintang di langit. Inilah tempat sembunyi kakek itu yang disebut Ban-seng-kok (Puncak Selaksa Bintang), sebuah di antara puncak-puncak di Pegunungan Cin-ling-san. Akan tetapi puncak Ban-seng-kok ini adalah puncak yang tersembunyi karena di kelilingi jurang-jurang yang tak mungkin dilintasi manusia.


Salah satu puncak Cin-lin-san (Qinlin Mountain)

Hanya Lo-tong Souw Lee si anak tua itulah yang sudah mendapatkan jalan rahasianya dengan merayap melalui jurang-jurang yang sangat dalam. Tidak mengherankan apa bila orang tua ini mempergunakan Ban-seng-kok sebagai tempat bersembunyi atau tempat bertapa. Puncak ini memang indah sekali, penuh dengan pohon-pohon liar, bunga-bunga beraneka macam, hawanya sedang dan udaranya bersih.

Setelah melakukan perjalanan lima hari lima malam lamanya, pada senja hari tadi Beng San dan kakek itu tiba di tempat ini, dan malam ini mereka duduk di luar pondok kecil tempat tinggal Souw Lee. Beng San kagum bukan main menyaksikan pemandangan yang amat indah di waktu malam ini. Angkasa sedemikian bersihnya sehingga dia dapat melihat bintang-bintang yang memenuhi langit.

"Beng San, entah apa dosa-dosamu dahulu terhadap Thian maka sekecil ini kau sudah bernasib malang, menjadi perebutan tokoh-tokoh kang-ouw. Hemmm, kau si kecil dan aku si tua bangka benar tak ada bedanya, dibenci dan dicari oleh mereka yang selalu kurang puas...," demikianlah kakek tua yang buta itu berkata kepada Beng San.

Ketika mendengar ucapan kakek itu Beng San sadar dari lamunannya.

"Kakek Souw Lee, tak perlu diherankan kalau orang memperebutkan sepasang pedangmu yang hebat itu. Hanya anehnya, mengapa agaknya mereka juga hendak membunuhmu? Ada pun aku... ahh tak tahu aku mengapa mereka mati-matian hendak memperebutkan pelajaran-pelajaran yang tidak ada artinya itu?"

"Tidak ada artinya kau bilang, Heh-heh-heh, Beng San. Dalam hal ini kau lebih buta dari pada mataku. Aku mengikuti ketika kau berhadapan dengan Song-bun-kwi, kemudian kau menghadapi Hek-hwa Kui-bo. Kau cerdik sekali sudah menipu mereka. Kecerdikanmu itu menarik hatiku. Memang, tak salah kalau Phoa Ti dan The Bok Nam mewariskan Im-yang Sin-kiam-sut kepadamu." Kakek itu mengangguk-angguk dan Beng San membelalakkan matanya saking herannya.

"Kakek Souw, kenapa kau bisa mengetahui semua itu?"

Kakek buta itu tertawa lagi. "Siapa yang tidak tahu bahwa Im-sin-kiam dan Yang-sin-kiam terjatuh ke dalam tangan Thian-te Siang-hiap? Hanya tidak pernah kusangka sekarang sudah terjatuh ke dalam tangan sepasang iblis itu! Kebetulan sekali aku mendengar ketika kau diserang oleh Song-bun-kwi. Angin gerakannya dan angin gerakan tanganmu biar pun lemah dapat terdengar olehku, dan tahulah aku bahwa kalian memainkan ilmu silat yang belum pernah kudengar sebelumnya. Setelah kalian berbicara baru aku tahu bahwa itulah Yang-sin Kiam-sut. Pantas begitu hebat." Kembali dia mengangguk-angguk. "Kemudian kau dibawa pergi Hek-hwa Kui-bo. Aku diam-diam mengikuti dan sesudah melihat sikap iblis wanita itu kepadamu, baru aku dapat mengetahui bahwa dua orang itu ternyata telah merampas kitab-kitab itu, seorang satu."

"Betul sekali," Beng San menarik napas panjang. "Mereka sudah merampas kitab, bahkan membunuh dua orang kakek Phoa Ti dan The Bok Nam. Bagiku, apa sih gunanya kedua ilmu itu? Kalau lapar tidak bisa mengenyangkan perut, kalau haus tidak bisa memuaskan kerongkongan. Paling-paling bisa digunakan untuk menipu orang dan main gebuk!"

Kakek buta itu tertawa bergelak. "Ha-hah-hah! Ketahuilah Beng San. Dua atau tiga puluh tahun yang lalu, aku sendiri pun akan memaksa kau mengeluarkan dua ilmu itu kepadaku. Mungkin sekali aku pun akan memaksamu, kalau perlu menyiksa malah membunuhmu."

Beng San menjadi marah. Ternyata dia salah kira. Disangkanya kakek ini orang baik, tidak seperti Song-bun-kwi atau Hek-hwa Kui-bo, kiranya begini bicaranya!

"Huh, Kakek Souw. Tadinya aku kira hatimu melek, tidak tahunya sama butanya dengan kedua matamu. Kau yang sudah berilmu tinggi itu dan belum kau ketahui apa semua itu kegunaannya, masih saja menginginkan ilmu yang lain dengan cara memaksa orang lain? Hemmm, sebetulnya apa sih artinya memiliki ilmu silat setinggi langit?"

"Ho-ho-ho, anak bodoh. Apa bila aku tidak mempunyai ilmu silat tinggi, apakah tadi tidak mampus di tangan Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo? Kalau aku tidak memiliki ilmu silat lumayan, apakah dari dulu-dulu tidak sudah mampus? Kepandaian silat tinggi menjamin keselamatan kita, Beng San. Di dunia kang-ouw, ilmu kepandaian adalah hal yang paling penting dimiliki, karena hanya dengan kepandaian tinggi kita bisa terhindar dari kematian di tangan orang lain."

"Uhhh!" Beng San mencela. "Mana bisa ada aturan demikian? Kakek tua, mati atau hidup bagaimana bisa tergantung kepada ilmu silat? Kau yang pandai ilmu silat tinggi, apa bila sebentar lagi mati karena tua, apakah bisa bertukar kulit menjadi muda kembali? Salah, kakek Souw. Menurut kitab-kitab kuno yang pernah kubaca dan kupelajari, mati dan hidup bukanlah urusan kita untuk menentukan. Kalau Thian menghendaki kematian kita, walau pun kita memiliki nyawa rangkap selaksa, toh akan mati juga tak usah menanti orang lain membunuh kita. Sebaliknya, apa bila Thian menghendaki kita masih harus hidup, biar ada selaksa orang berusaha membunuh kita, kiranya tak akan ada yang berhasil.”

"Ya Tuhan...!" Kakek itu menangkap tangan Beng San dengan kedua tangan menggigil. "Anak baik... kau mengetahui semua itu dari mana?"

Ucapan yang penuh keheranan dan kekaguman ini membuat Beng San menjadi malu. "Dari hwesio-hwesio di Kelenteng Hong-thian-tong. Semenjak kecil aku menjadi pelayan di kelenteng itu dan menerima jejalan pelajaran filsafat dari kitab-kitab kuno."

Kakek buta itu menarik napas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Alangkah ganjilnya. Seorang anak kecil mempelajari ilmu batin dan mendapatkan inti sarinya untuk dipakai dalam hidup. Manusia-manusia tua bangka seperti aku dan yang lain-lain, justru mempelajari ilmu kebatinan untuk mendapatkan kekuatan mempertinggi kepandaian silat. Benar-benar menyeleweng... benar-benar tersesat..." Kakek ini lalu merangkul Beng San dan menangis terisak-isak!

Tentu saja anak sekecil Beng San belum mengerti betul apa sebetulnya yang dipikirkan dan apa artinya kata-kata kakek ini. la malah mengira bahwa kakek itu telah melakukan perbuatan keliru dan kini merasa menyesal.

Maka untuk menghiburnya, dia mengutip ujar-ujar kuno lagi, "Kakek Souw, pernah para suhu mengatakan kepadaku bahwa insyaf dan menyesal terhadap kesesatan diri sendiri termasuk kebajikan pula. Jauh lebih baik insyaf dan menyesal dari pada membanggakan dan menyombongkan diri sendiri."

Kakek itu makin terharu, lalu mengusap-usap kepala Beng San. "Anak baik... anak baik... kuharap dalam beberapa pekan ini kau suka mengulang semua pelajaran yang pernah kau pelajari dari para suhu (guru) di Kelenteng Hok-thian-tong itu. Phoa Ti dan The Bok Nam benar ketika memilih kau sebagai ahli waris. Sayang mereka tidak ada waktu untuk menurunkan dasar-dasar ilmu silat. Beng San, kau harus menurut kata-kataku, kau harus tekun melakukan siulian (semedhi). Semua itu untuk memperkuat tubuh dalammu serta mengimbangi ilmu-ilmu tinggi yang sudah kau miliki. Bila tidak demikian, kau akan celaka, sebelah dalam tubuhmu akan rusak binasa."

Tadinya Beng San tidak begitu tertarik. Akan tetapi oleh karena kakek itu bermaksud baik dan memang di dunia ini dia sebatang kara, untuk menyenangkan hati kakek buta itu dia pun menyanggupi.

Demikianlah, mulai malam itu juga, Beng San mengeluarkan semua hafalannya tentang kitab suci di jaman dahulu. Sebaliknya, dia menerima petunjuk-petunjuk dari kakek sakti itu mengenai semedhi, latihan napas, Iweekang, khikang, dan lain-lain yang berhubungan dengan ilmu silat.

Terjadi perubahan amat besar pada diri kakek buta itu setelah setiap hari dia mendengar kata-kata filsafat dari kitab-kitab kuno yang diucapkan oleh Beng San. Dia nampak lebih tenang, wajahnya selalu berseri dan berkali-kali dia menyatakan bahwa sekarang dia rela mati, tidak takut mati lagi.

Beng San memang banyak menghafal kitab-kitab yang dulu pernah dia baca di Kelenteng Hok-thian-tong. Selain kitab-kitab Agama Buddha seperti Dhammapada dan lain-lain, dia juga membaca dan menghafal isi kitab Upanisad dan kitab-kitab Su-si Ngo-keng pelajaran Nabi Khong Cu.

Kurang lebih seratus hari kemudian, Beng San sudah mempelajari semua ilmu yang tiap hari diturunkan oleh kakek buta itu kepadanya. Tentu saja yang dia pelajari dan hafalkan hanya teorinya, ada pun mengenai prakteknya, baru sedikit-sedikit yang dia latih di bawah petunjuk kakek Souw Lee.

Pagi hari itu kakek Souw Lee berkata. "Beng San anak baik. Semua pengertianku tentang ilmu batin yang dihubungkan dengan ilmu silat, tentang siulian, Iweekang serta khikang, semua telah kuajarkan kepadamu. Hanya tinggal kau tekun melatih diri saja. Berkat hawa Im-Yang di dalam tubuhmu yang amat luar biasa, ditambah bakat dan ketekunanmu, kau tentu akan mendapat kemajuan pesat dan besar, jauh lebih besar dari pada aku sendiri. Mulai hari ini, kau harus pergi meninggalkan aku."

Beng San kaget. Dia sudah mulai betah tinggal di tempat sunyi itu bersama kakek Souw Lee. Mengapa sekarang disuruh pergi? Hampir Beng San menangis ketika dia berkata, "Kakek Souw, mengapa kau mengusirku? Apa salahku? Kakek yang baik, biarkanlah aku berada di sini mengawanimu..."

Kakek Souw Lee mengelus-elus kepala Beng San. "Anak baik, banyak persamaan nasib antara kita. Kau harus meninggalkan aku, demi untuk kebaikanmu sendiri, dan juga untuk kemajuanku. Aku hendak bertapa untuk menebus semua penyelewenganku yang dahulu, membersihkan pikiran dan hati. Dan kau, kau masih muda, kau harus mencari kemajuan dalam hidupmu. Kalau kau tinggal di sini, amat berbahaya. Kau tahu, banyak tokoh jahat yang amat lihai mencari aku.”

"Kenapakah, Kakek Souw Lee? Kenapa mereka mencarimu?"

Souw Lee mengeluarkan sepasang pedangnya. "Karena inilah, karena sepasang Liong-cu Siang-kiam inilah. Untuk jaman ini, sepasang pedang ini termasuk pedang keramat yang ampuh dan jarang bisa mendapatkan tandingnya. Pedang ini dahulu pusaka dari seorang pendekar besar bernama Sie Cin Han yang berjulukan Pendekar Bodoh. Kau lihat yang panjang ini dan pada gagangnya terdapat huruf JANTAN, nah, inilah yang dipakai oleh pendekar itu. Ada pun yang pendek dan berhuruf BETINA ini dulu dipakai oleh pendekar wanita yang terkenal berjuluk Ang I Niocu (Nona Baju Merah). Akan tetapi, hal itu sudah terjadi ratusan tahun yang lalu. Kemudian, setelah beberapa keturunan, sepasang pedang ini lenyap. Banyak tokoh kang-ouw mencari, akan tetapi tidak seorang pun tahu di mana lenyapnya pedang itu. Akhirnya akulah yang mendapatkannya, kucari dari gudang istana kaisar!"

"Ahhh...!" Beng San berseru kaget dan kagum.

"Semenjak itulah aku selalu dicari-cari oleh para tokoh kang-ouw. Yang lain-lain tidak ada artinya bagiku, tetapi orang-orang seperti Song-bun-kwi, Hek-Hwa Kui-bo, Siauw-ong-kwi dan Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang, mereka itu amat berbahaya. Karena itu akhirnya aku menyembunyikan diri di sini. Aku pun sudah mendengar tentang Thian-te Siang-hiap yang telah mendapatkan Im-yang Sin-kiam dan ingin aku mencari mereka untuk merampasnya. Akan tetapi Thian menghukum aku, agaknya dosaku terlalu banyak. Aku sudah terlalu tua sampai kedua mataku buta, namun belum juga aku dibebaskan dari dunia ini."

Kakek itu menarik napas panjang dan dia lalu berdongak ke atas, seakan-akan dengan matanya yang buta dia hendak mencari-cari Thian di atas!

"Kakek Souw, biarlah aku menemanimu di sini. Aku suka tinggal di sini dan aku suka melayanimu."

Kembali Souw Lee mengelus-elus kepala Beng San. "Tidak bisa, Beng San. Hal itu akan berbahaya sekali. Tadinya Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo menyangka aku sudah mati karena tua. Setelah aku dilihat oleh mereka, apakah mereka dan yang lain-lain akan mau sudah begitu saja sebelum merampas Liong-cu Siang-kiam ini? Ahh, mereka tentu akan muncul sewaktu-waktu dan aku tidak mau melihat kau terbawa-bawa, apa lagi memang kau pun dikehendaki mereka."

”Pergi ke manakah? Aku sebatang-kara..." Suara Beng San terdengar sedih dan bingung.

"Tak perlu gelisah. Bukankah sebelum kau bertemu denganku, kau pun sudah sebatang kara? Aku akan memberi surat, kau berikan suratku ini kepada seorang sahabat baikku, yaitu Lian Bu Tojin ketua Hoa-san-pai. Kau tentu akan mendapatkan perlindungan di sana dan kau akan aman. Akan tetapi ingat, biar pun terhadap seorang sahabat lama seperti Lian Bu Tojin, aku tak percaya kepadanya mengenai persoalan Im-yang Sin-kiam-sut dan tentang Liong-cu Siang-kiam. Ingat, semua pelajaran yang sudah kuturunkan kepadamu itu merupakan kunci untuk membuka pintu gerbang persilatan bagimu. Kau harus melatih siulian dan pernapasan. Dengan latihan yang tekun, kau akan mampu menguasai tenaga dalam Im dan Yang di dalam tubuhmu yang sangat kuat itu. Kau akan dapat mengatur tenaga itu menurut sesukamu dan disesuaikan dengan Ilmu Silat Im-yang Sin-kiam-sut. Akan tetapi, jangan sekali-kali kau perlihatkan kepada orang lain, kau simpan rahasia itu. Sekali-kali tidak boleh diketahui orang lain sebelum sempurna latihanmu. Apa bila engkau melanggar pesanku ini dan sampai rahasiamu diketahui orang, ahhh... sudah pasti kau akan menghadapi seribu satu macam bencana."

Beng San ragu-ragu. "Kakek Souw, aku tidak mengenal ketua Hoa-san-pai itu. Bagaimana kalau aku tidak betah tinggal di sana? Bagaimana kalau dia tidak mau menerimaku?"

“Mustahil dia takkan mau menerimamu. Dia orang baik dan suratku akan menjamin dirimu. Kau boleh bekerja apa saja di sana. Atau, andai kata kau tidak suka di sana setelah kau melihat keadaan, kau boleh saja pergi turun gunung, tapi jangan muncul di tempat umum. Lebih baik kau kembali menjadi kacung di Hok-thian-tong, bersembunyi sambil melatih diri sampai menjadi kuat betul. Setelah itu, baru kau boleh datang ke sini. Kau sudah kuberi tahu goa Ular yang berada di lereng itu. Nah, di sanalah kau cari pedang ini. Sementara ini sebelum kau kuat, kau tidak boleh membawa pedang ini. Apa lagi sekarang masih aku perlukan untuk menjaga diri. Kelak, pedang ini kuberikan padamu. Nah, kau berangkatlah, Beng San. Letak Hoa-san-pai sudah kuterangkan kepadamu.”

Sedih hati Beng San. Akan tetapi apa daya? la harus memenuhi permintaan kakek ini. la datang sebagai tamu, kalau tuan rumah sudah mengusirnya, apa yang dapat dia lakukan?

Setelah menerima sehelai surat yang ditulis secara cakar ayam oleh kakek buta ini, Beng San lalu pergi dari tempat itu. Dia turun melalui jalan rahasia yang ditunjukkan oleh kakek itu kepadanya…..

********************

Setelah keluar dari tempat persembunyian Lo-tong Souw Lee, Beng San lalu melakukan perjalanan cepat. Kebetulan dia lewat di dusun tempat tinggal hartawan Kwi di mana dia dahulu bersama Tan Hok menghadapi serbuan ular yang dikerahkan Giam Kin.

Heran sekali dia melihat dusun yang tiga bulan yang lalu sudah amat sunyi itu sekarang sama sekali kosong. Rumah gedung Kwi-wangwe? Sudah menjadi puing bekas terbakar! Dia menduga bahwa ini tentulah perbuatan Tan Hok yang merasa marah sekali kepada hartawan pelit itu. Dugaannya hanya sebagian saja betul.

Memang ketika Beng San dahulu mengejar Giam Kin, Tan Hok terus mengamuk. Betapa pun juga gagahnya, dia tentu akan celaka dikeroyok oleh tukang-tukang pukul yang amat banyak itu, jika saja tidak keburu datang serombongan orang Pek-lian-pai yang kebetulan lewat di situ.

Tentu saja para anggota Pek-lian-pai ini mengenal Tan Hok yang menjadi murid Tan Sam, seorang tokoh Pek-lian-pai. Segera mereka menyerbu dan membantu Tan Hok sehingga tuan tanah dan hartawan itu bersama semua kaki tangannya yang selalu mempraktekkan penindasan dan kekejaman dapat dibasmi, harta bendanya dirampas sedangkan rumah gedungnya dibakar. Tan Hok lalu pergi ikut rombongan ini meninggalkan dusun itu.

Memandangi rumah gedung hartawan Kwi yang sudah menjadi tumpukan puing itu, Beng San terkenang kepada Tan Hok. Dia amat suka kepada pemuda raksasa muda itu yang jujur dan gagah, apa lagi yang senasib pula dengannya, tiada orang tua dan tiada tempat tinggal. Akhirnya dia menghela napas dan meninggalkan tempat itu.

Tiba-tiba berkelebat bayangan merah di depannya. Mata Beng San terbelalak pada saat melihat seorang anak perempuan berpakaian merah berdiri di sana, tersenyum-senyum ramah dan matanya bersinar-sinar seperti bintang pagi. Beng San terbelalak bukan saking kagum melihat gadis cilik yang mungil ini sekarang, tetapi saking gelisah dan takutnya.

Dia maklum bahwa bocah ini ada hubungannya dengan Song-bun-kwi, entah muridnya entah anaknya atau pelayannya. Akan tetapi yang jelas, tiga bulan yang lalu bocah ini muncul, lalu muncul pula Song-bun-kwi.

"Kau siapakah? Siapa namamu dan kau datang ke sini mau apa?" Beng San bertanya, suaranya halus karena tak mungkin orang dapat bersikap galak terhadap seorang anak manis yang tersenyum-senyum ramah dengan matanya yang bersinar gemilang itu.

Anak berbaju merah itu tersenyum lebar dan seketika Beng San teringat akan wajah Kwa Hong. Biar pun ada perbedaan besar antara Kwa Hong dan anak ini, yaitu Kwa Hong galak sekali tapi anak ini ramah tamah dan penuh senyum, akan tetapi kalau tersenyum mereka ini itu sama. Sama manisnya, bahkan bentuk wajahnya hampir sama. Apa lagi pakaian mereka. Agaknya dua orang anak itu mempunyai kesukaan yang sama terhadap warna merah.

Ditanya oleh Beng San, anak itu hanya tertawa-tawa, kemudian ia menggandeng tangan Beng San, ditarik-tarik ke sebuah pohon. Memang di sekitar rumah gedung hartawan Kwi terdapat banyak pohon bunga yang beraneka warna. Sebagian besar dari pohon-pohon ini ikut terbakar, akan tetapi pohon besar di sebelah kanan gedung itu masih berdiri tegak dan pada saat itu di puncak pohon terdapat banyak kembangnya yang berwarna kuning.

Setelah tiba di bawah pohon itu, anak perempuan tadi melepaskan tangan Beng San, lalu sambil tersenyum ia menunjuk ke atas, ke arah kembang. Dengan jari-jari tangannya yang mungil serta terpelihara bersih itu, dia memberi tanda supaya Beng San mengambilkan bunga untuknya!

Ada rasa perih menusuk hati Beng San oleh gerakan-gerakan jari tangan ini. Ia menjadi terharu. Memang ketika pertama kali bertemu dengan anak perempuan ini serta melihat Song-bun-kwi memberi tanda dengan tangan, dia sudah menduga bahwa anak ini gagu.

Sekarang melihat anak ini mengajak dia ‘berbicara’ dengan gerakan-gerakan tangan, dia menjadi terharu sekali. Akan tetapi di samping keharuan ini, dia pun amat terheran-heran karena dia sudah pernah menyaksikan sendiri betapa gadis ini sangat lihai. Gerakannya cepat laksana burung, dan untuk mengambil bunga di pohon sedemikian saja tentu akan dapat dilakukannya sendiri, mengapa sekarang minta dia yang memetikkannya?

Betapa pun juga, melihat sepasang mata itu memandang penuh permintaan, dengan sinar yang lembut dan luar biasa itu, dia tidak kuasa menolaknya. la pun mengangguk sambil tersenyum, lalu seperti seekor kera, Beng San memanjat pohon itu naik ke atas.

Gerakannya ringan dan dia merasa amat mudah memanjat pohon Itu. Sebentar saja dia sudah sampai di puncak, lalu memetik setangkai bunga yang dianggapnya paling segar dan baik.

Sepasang mata anak itu bersinar-sinar ketika dia menerima kembang dari tangan Beng San. Dengan cekatan dipakainya kembang itu di atas rambutnya yang hitam, kemudian ia memasang gaya di depan Beng San, membalik ke sana ke mari seakan-akan hendak memamerkan kecantikannya dengan hiasan bunga di kepalanya itu. Setelah berputaran di depan Beng San, kemudian dia berdiri menghadapi Beng San, dan sepasang matanya seolah bertanya bagaimana pendapat Beng San setelah ia memakai kembang.

Mau tak mau Beng San tersenyum. Alangkah akan bahagianya kalau dia bisa mempunyai adik atau seorang teman semanis ini, semanja ini, yang begitu mengharukan sikap dan gerak-geriknya. Dia lalu tersenyum dan mengangkat ibu jari tangan kanannya tinggi-tinggi, tanda bahwa gadis cilik itu benar-benar jempol.

Gadis cilik itu mengerti gerakan ini. Sambil mengeluarkan suara yang mirip tawa, dia memegang kedua tangan Beng San, lalu mengajak Beng San berputar-putar menari di bawah pohon. Bukan main gembiranya gadis cilik itu, dia menari-nari dengan gerakan lincah sehingga mau tidak mau Beng San ikut pula menari-nari dan tertawa-tawa.

Selama hidupnya belum pernah dia merasakan kegembiraan seperti kali ini dan tak terasa pula dua butir air mata menitik turun ke atas pipinya. Kegembiraan dan kebahagiaan yang luar biasa mendatangkan keharuan yang tak dapat ditahannya pula.

Tiba-tiba gadis itu berhenti, memandang kepada Beng San dengan matanya yang bening, penuh keheranan dan pertanyaan. Kemudian jari-jari tangannya diangkat ke atas, dengan halus diusapnya dua butir air mata itu dari pipi Beng San, lalu dia menggeleng-gelengkan kepala perlahan, seakan-akan hendak berkata bahwa Beng San tidak boleh menangis.

Dalam keadaan yang aneh ini, di mana tidak ada sepatah pun kata-kata keluar dari mulut kedua orang anak itu, Beng San seakan-akan dapat mengerti semua, seakan-akan dapat menjenguk isi hati dan membaca pikiran gadis cilik itu, bahwa gadis itu dapat pula merasai kesengsaraan dirinya, kesunyiannya, bahkan mereka itu senasib sependeritaan serta ada kecocokan yang membuat keduanya menaruh kasihan satu kepada yang lain.

Dari jauh terdengar suara melengking tinggi, suara tangisan. Gadis cilik berbaju merah itu menjadi pucat, tangannya dingin menggigil dan cepat sekali ia menarik tangan Beng San, diajaknya berlari-lari ke arah bekas rumah gedung yang sudah menjadi tumpukan puing. Dengan gerakan tiba-tiba gadis itu mendorong tubuh Beng Sang menerobos ke bawah tumpukan kayu-kayu hangus sambil menunjuk-nunjuk supaya anak itu bersembunyi.

Tadinya Beng San bingung tidak mengerti, akan tetapi setelah suara melengking itu makin dekat, dia mengerti apa artinya itu. Song-bun-kwi datang! Cepat dia lalu menyelundup ke bawah kayu dan arang, bersembunyi di bawah puing. Akan tetapi dasar dia seorang anak yang tabah dan nakal, dalam bersembunyi dia mengintai ke luar.

Suara melengking seperti orang menangis itu makin lama makin keras, lalu tiba-tiba saja berhenti, dan tahu-tahu di depan gadis itu sudah berdiri seorang laki-laki, Song-bun-kwi dengan muka kelihatan tak senang! Mukanya merah dan matanya melotot, dua tangannya menggerak-gerakkan jari-jari tangan sambil menatap wajah gadis cilik itu.

Anak perempuan itu nampak takut-takut, berkali-kali menggeleng kepalanya. Kembang di rambutnya ikut bergoyang-goyang dan ini agaknya yang menarik perhatian Song-bun-kwi. Sekali renggut dia telah menjambak rambut anak itu dan ditariknya kembang tadi.

Anak itu terpelanting dan tentu akan terbanting keras kalau saja tidak cepat-cepat poksai (bersalto) sehingga ia hanya terhuyung-huyung dan kaget saja. Matanya memperlihatkan sinar duka ketika kembang tadi hancur di tangan Song-bun-kwi.

Agaknya Song-bun-kwi tertarik sesuatu. Tanpa mempedulikan lagi anak perempuan itu, ia memandang ke atas tanah. Tiba-tiba dia membanting kaki. Demikian kerasnya bantingan kaki ini sampai Beng San yang berada di tempat yang jauhnya ada sepuluh meter dari situ merasa betapa tanah di bawahnya tergetar sehingga reruntuhan kayu di atasnya rontok ke bawah.

Kakek itu nampak semakin marah. Sambil menuding-nuding ke bawah kembali dia bicara dengan gerakan jari tangannya, agaknya ia memarahi anak perempuan itu atau bertanya tentang sesuatu. Anak itu kembali menggeleng-geleng kepalanya sambil menggerakkan jari tangannya.

Mendadak Song-bun-kwi menjambak rambut anak itu, mengguncang-guncang kepalanya sampai rambut anak itu terurai lepas, dan setelah itu kepala itu ditempeleng keras. Anak itu terpelanting roboh, akan tetapi cepat meloncat bangun.

Kedua mata anak itu mencucurkan air mata, mulutnya mengeluarkan suara ah-uh-ah-uh... Hampir tak tertahankan lagi oleh Beng San. Kemarahannya memuncak dan andai kata dia tidak ingat akan ajaran-ajaran Lo-tong Souw Lee, pasti dia sudah meloncat keluar dan membela anak perempuan itu.

Walau pun dia dipukul mampus, asal dia sudah dapat memaki-maki Song-bun-kwi atas kekejamannya terhadap anak itu, puaslah dia. Giginya dikertakkan, bibirnya digigit sampai terasa sakit.

Saking marahnya, Song-bun-kwi sampai lupa bahwa anak perempuan itu gagu, dan dia membentak, "Beng San, di mana dia?!" Kembali dia mengancam dengan tangan hendak menggampar anak itu.

Tiba-tiba anak itu mengedikkan kepala dan seakan-akan rasa takutnya telah lenyap sama sekali. Matanya mengeluarkan sinar berapi, mulutnya setengah terbuka, kedua tangannya dikepal, napasnya terengah-engah, dan dengan beraninya dia maju menantang kakek itu. Mulutnya mengeluarkan suara ah-uh-ah-uh, akan tetapi nadanya berbeda dengan tadi, kini penuh tantangan!

Beng San tadinya kagum bukan main. Tapi sekarang dia melongo karena melihat betapa kakek itu mendadak menjadi lemas, menjatuhkan diri berlutut kemudian memeluk anak itu sambil menangis tersedu-sedu!

Dan anak perempuan itu pun hilang kemarahannya. Dia memeluk kepala kakek itu sambil menangis tanpa bersuara. Pemandangan yang luar biasa mengharukan melihat kakek itu berlutut memeluk si gagu sambil menangis mengeluarkan suara yang tidak karuan, akan tetapi sayup-sayup terdengar juga oleh Beng San.

"... kau seperti ibumu... seperti ibumu..."

Dan anak perempuan yang tadi dijambaki dan ditempeleng kakek itu, yang tadinya amat marah seperti hendak melawan, sekarang menangis dan memeluk kepala kakek itu penuh kasih sayang.

“Bi Goat, lekaslah beri tahu di mana adanya anak setan itu," Song-bun-kwi berkata sambil mengelus-elus kepala anak perempuan yang gagu itu.

Anak itu menggelengkan kepalanya. Kakek itu kemudian menudingkan telunjuknya di atas tanah seperti hendak mendesak dengan pertanyaan bahwa ada bekas kaki Beng San di situ.

Semua kejadian ini terlihat oleh Beng San dan dengan hati berdebar dia mengintai terus. Anak perempuan yang bernama Bi Goat itu menggerak-gerakkan tangannya, kemudian menuding ke arah selatan. Kakek itu pun berdiri, menatap wajah itu tajam penuh selidik, agaknya tidak percaya. Tetapi anak itu menentang pandang matanya dengan tabah dan berani. Akhirnya kakek itu menggandeng tangan Bi Goat dan diajak berjalan pergi dan situ ke arah selatan.

Diam-diam Beng San memperhatikan terus. Ia melihat kakek itu dengan sudut matanya memperhatikan Bi Goat. Anak itu menoleh dan memandang ke arah bunga-bunga di atas pohon, agaknya teringat ketika Beng San memetikkan bunga untuknya tadi. Akan tetapi lirikan ini cukup untuk membuat Song-bun-kwi curiga.

Tubuhnya berkelebat dan sulingnya diputar. Bunga dan daun terbang berhamburan dan ketika tubuh kakek itu sudah kembali ke sebelah Bi Goat, pohon tadi telah gundul dan andai kata di dalamnya bersembunyi Beng San, tentu akan kelihatan jelas. Kakek itu lalu mengangguk-angguk kepada Bi Goat dan melanjutkan perjalanan sambil menggandeng tangan anak gagu itu.

Beng San bergidik. Bukan main lihainya kakek itu. Kalau saja tadi Bi Goat melirik ke tempat dia bersembunyi, sekali saja, tentu kakek itu akan dapat menemukannya. Ia tahu bahwa dialah yang sedang dicari.

Bukan hanya Song-bun-kwi yang mencarinya dan membutuhkannya, juga bukan Hek-hwa Kui-bo. Menurut dugaan Lo-tong Souw Lee, setiap orang kang-ouw apa bila mendengar bahwa Beng San mewarisi Im-yang Sin-kiam-sut dan tahu di mana adanya Lo-tong Souw Lee, pasti akan berusaha menangkap anak ini.

Tidak hanya hendak memaksanya membuka rahasia Im-yang Sin-kiam-sut, akan tetapi juga hendak memaksanya membuka rahasia tempat persembunyian kakek yang buta itu. Untung anak gagu itu ternyata amat baik, dan sengaja melindunginya.

Diam-diam Beng San berterima kasih sekali kepada Bi Goat. Juga dia amat kasihan pada anak gagu itu yang agaknya diperlakukan dengan kejam dan keras oleh Song-bun-kwi Malah menurut dugaannya, anak itu dilarang bermain dengan siapa pun juga.

Buktinya, dahulu ketika anak itu diajak bermain-main oleh beberapa anak penggembala, Song-bun-kwi marah-marah. Penggembala-penggembala itu bersama kerbau-kerbaunya lantas dibunuhnya semua! Beng San menarik napas panjang dan diam-diam dia berjanji kepada diri sendiri bahwa kalau dia mempunyai kepandaian melawan Song-bun-kwi, dia akan menolong anak gagu itu.

Tentu saja Beng San sama sekali tidak tahu bahwa renungannya ini sebetulnya sangat menggelikan. Mengapa? Karena anak itu, yang bernama Kwee Bi Goat, bukan lain adalah anak Song-bun-kwi. Bukan murid, bukan pula anak angkat, melainkan anak kandung dari isterinya sendiri yang telah meninggal dunia, selagi Bi Goat berusia kurang dari tiga tahun.

Ternyata Bi Goat, anak cantik mungil berbaju merah itu, yang senyumnya begitu manis, ramah dan menawan, adalah anak kandung Song-bun-kwi, Setan Berkabung yang kejam luar biasa…..
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar