Raja Pedang Chapter 11

Dia tidak mau menyebut nama kedua orang gurunya ini karena maklum bahwa keduanya mempunyai rahasia, yaitu keduanya menyimpan sepasang kitab Im-yang Sin-kiam yang sudah terampas oleh Hek-hwa Kui-bo dan Song-bun-kwi. Kalau dia menyebut nama Phoa Ti dan The Bok Nam, jangan-jangan kakek aneh ini akan memaksa membawanya kepada dua orang yang sudah mati itu dan buntutnya akan menjadi panjang. Maka dia mengambil keputusan dan menjawab.

"Guruku yang kau anggap berbau tahi anjing itu berjuluk Song-bun-kwi!"

Berubah wajah Siauw-ong-kwi ketika mendengar disebutnya nama ini. Akan tetapi hanya sebentar saja karena dia segera tertawa bergelak.

"Kakek tua bangka baju putih itu gurumu? Hah, jangan kau bohong. Dia yang hampir gila karena anaknya yang goblok, mana dia punya murid lagi? Andai kata benar, aku pun tidak takut pada..."

"Siauw-ong-kwi, dia tidak bohong, dia benar muridku!" Tiba-tiba terdengar suara dari jauh. Suara ini seperti suara guntur terdengar dari jauh sekali, akan tetapi tiba-tiba bertiup angin dan sebelum gema suara lenyap, orang yang bicara tadi sudah berdiri di situ.

Inilah Song-bun-kwi, kakek baju putih yang mukanya masih merah segar padahal usianya sudah tujuh puluh tahun itu. Inilah si Setan Berkabung, tokoh besar dari dunia barat yang amat ditakuti orang, bukan hanya karena kepandaiannya yang tinggi, akan tetapi terutama sekali karena hatinya yang kejam tak kenal ampun.

Cepat sekali tangan Siauw-ong-kwi bergerak dan tahu-tahu kedua lengan tangan Beng San sudah dicengkeramnya.

"Song-bun-kwi, mau apa kau muncul di dunia? Kalau niatmu buruk, muridmu pasti akan kubunuh lebih dulu, baru kau akan kukirim ke neraka!" kata Siauw-ong-kwi mengancam.

Song-bun-kwi mengeluarkan suara yang mirip suara wanita menangis seperti yang pernah didengar oleh Beng San ketika manusia aneh ini dahulu datang merampas Yang-sin-kiam dari The Bok Nam kemudian bertempur melawan Hek-hwa Kui-bo. Mendadak saja tubuh kakek itu melayang ke arah Giam Kin.

Anak yang sudah banyak juga pengalamannya di dunia kang-ouw ini tahu bahwa kakek yang menangis itu adalah seorang lawan, maka ia pun memapaki dengan pukulan tangan kanannya.

"Kin-ji (Anak Kin), jangan!" teriak Siauw-ong-kwi.

Akan tetapi terlambat. Pukulan tangan kanan Giam Kin sudah bersarang ke dalam perut Song-bun-kwi dan... tangan kecil itu seperti sudah menancap ke dalam perut, tidak dapat dicabut pula! Giam Kin berdiri dengan mata mendelik. Tubuhnya kaku tak dapat bergerak. Ternyata dia telah ‘ditangkap’ oleh perut manusia aneh itu.

"He-he-heh, Siauw-ong-kwi. Dulu di puncak salju Gunung Altai-san kita sudah bertanding dua hari dua malam, sedikitnya sehari penuh aku baru akan dapat mengalahkanmu. Aku tak ada waktu untuk melayani kau orang buruk. Bocah setan bernama Beng San itu bukan muridku, akan tetapi aku membutuhkannya. Hayo kau lempar dia kepadaku, akan kutukar dengan muridmu yang tidak becus apa-apa ini. Satu... dua... tiga...!"

Siauw-ong-kwi maklum bahwa manusia seperti Song-bun-kwi tidak pernah main-main dan ucapannya harus dianggap sebagai keputusan terakhir. Sebab itu cepat dia melemparkan tubuh Beng San ke arah kakek itu. Berbareng pada saat itu juga, perut Song-bun-kwi melembung dan terlemparlah tubuh Giam Kin ke arah Siauw-ong-kwi.

Beng San melayang ke arah Song-bun-kwi dan dengan mudahnya kakek ini menangkap lengannya, terus sambil mengeluarkan suara menangis kakek ini membawanya lari seperti terbang cepatnya pergi dari tempat itu. Ada pun Siauw-ong-kwi ketika menerima tubuh Giam Kin, sangat terkejut dan mengutuk.

“Song-bun-kwi iblis jahat!"

la melihat bahwa tubuh Giam Kin mati separoh yaitu bagian kanan. Ternyata bahwa ketika melemparkan anak ini dari perut, kakek itu mengalir hawa pukulan melalui tangan kanan Giam Kin sehingga membuat tubuh Giam Kin bagian kanan menjadi lumpuh dan mati!

Inilah kekejaman hati Song-bun-kwi yang memang luar biasa. Walau pun Siauw-ong-kwi juga termasuk orang aneh yang tidak peduli akan kejahatan, akan tetapi masih tidak mau melukai Beng San ketika dia melemparkan anak itu.

Melihat keadaan muridnya, segera Siauw-ong-kwi menempelkan telapak tangannya pada telapak tangan kiri muridnya. Dengan pengerahan lweekang-nya dia ‘mendorong’ keluar hawa pukulan Song-bun-kwi dari sebelah kanan tadi, keluar dari tubuh muridnya. Setelah berusaha kurang lebih lima menit barulah dia berhasil. Keadaan Giam Kin normal kembali dan sambil menggeleng kepala menyusuti peluh di keningnya, Siauw-ong-kwi mengeluh.

"Berbahaya sekali setan tua bangka itu..." Kemudian tanpa banyak cakap ia lalu mengajak muridnya pergi dari situ.

Tua bangka itu sekarang lihai luar biasa, pikirnya, jangan-jangan dia telah mendapatkan sumber Im-yang. Dia merasa khawatir dan berjanji akan menyelidiki akan hal ini, dan jika ternyata dugaannya betul, dia harus berusaha merampasnya…..

********************

Di puncak Tai-hang-san terdapat sebuah dataran yang luas. Tanahnya subur akan tetapi seperti dibuat oleh manusia. Dataran itu tidak ditumbuhi pohon, namun hanya diselimuti rumput-rumput pendek yang hijau dan segar. Di atas rumput inilah Beng San diturunkan oleh Song-bun-kwi setelah melalui perjalanan ratusan li jauhnya.

"Kakek Song-bun-kwi, aku bukanlah muridmu dan aku mengaku di depan Siauw-ong-kwi hanya untuk menakut-nakuti dia. Apakah kesalahan begitu saja membuat kau bingung sampai tidak tahu harus berbuat apa terhadap aku?" Beng San mencela kakek itu dengan suara kesal. Memang hatinya mengkal dan dia kesal melihat kakek itu di sepanjang jalan diam saja dan tidak memberi tahu mengapa dia dibawa ke tempat sejauh itu.

Untuk beberapa lamanya kakek baju putih itu memandang dengan mata liar berputaran, mata orang yang tidak waras otaknya. Dan tiba-tiba dia tertawa dengan suara menangis. "Hi-hi-hi, kau takut aku membunuhmu?"

Dengan suara tetap Beng San menjawab, "Tidak! Mengapa aku harus takut? Kau tidak akan membunuhku!"

Mata Song-bun-kwi melotot lebar penuh ancaman. "Bocah! Janganlah kau main-main di depan Song-bun-kwi. Nyawa manusia bagiku tidak ada bedanya dengan nyawa semut, apa lagi nyawamu...!"

"Hanya nyawa seekor semut kecil, bukan? Terima kasih!" ejek Beng San dengan berani. "Akan tetapi aku juga tidak main-main. Kau sendiri yang memberi tahu bahwa kau tidak akan membunuhku."

"Apa? Aku yang memberi tahu? Setan, bilanglah dengan jelas, jangan main teka-teki."

Beng San tetap tertawa menggoda. "Ini bukan teka-teki. Kau mau mencoba menebaknya? Tak mungkin bisa. Hayo tebak, ada orang yang segala-galanya besar sendiri, siapa itu?"

Karena terbawa hanyut oleh kegembiraan Beng San, atau mungkin karena Song-bun-kwi sudah terlalu tua sehingga cocok dengan kata-kata orang bahwa orang yang sudah terlalu tua kembali seperti kanak-kanak, Song-bun-kwi bersorak.

"Ahh, gampang saja itu. Orang yang besar sendiri adalah raksasa. Hayo, betul tidak?"

Beng San meruncingkan bibirnya. "Uuuhhh, salah sama sekali! Bukan begitu jawabnya."

"Ahh, kalau begitu orang utara. Tubuhnya besar-besar melebihi orang selatan."

Beng San tetap menggelengkan kepalanya.

"Orang dari Shan-tung! Tinggi-tinggi!" kata pula Song-bun-kwi.

Akan tetap Beng San menggeleng lagi.

"Habis orang apa? Terima kalah aku.”

"Orang yang besar sendiri?" berkata Beng San. "Kau inilah, atau aku, pendeknya setiap orang!"

Song-bun-kwi melongo, lalu marah. "Jangan main-main kau, jangan tipu aku.”

"Siapa main-main? Kaulah orang yang besar sendiri, juga aku dan setiap orang tentu besar sendiri. Kalau kau tidak besar sendiri, siapa yang membesarkanmu? Apa ada yang meniup lubang hidungmu sambil menyumpal lubang-lubang lain di tubuhmu supaya kau melembung dan membesar?" Beng San tertawa terkekeh-kekeh.

Song-bun-kwi tiba-tiba tertawa pula sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Sekarang lain lagi. Thian (Tuhan) membuat semua anggota tubuh kita dengan sempurna. Akan tetapi mengapa Thian membuat hidung kita dengan dua lubangnya menghadap ke bawah. Hayo kalau kau memang pintar, jawablah!”

Song-bun-kwi mengerutkan keningnya. Wah, soal pelik nih, pikirnya. Hanya teka-teki tapi sampai membawa-bawa nama Thian. Setelah memutar otak, akhirnya dia menjawab juga dengan suara sungguh-sungguh.

"Hidung memiliki dua lubang, kiranya Thian berkehendak untuk membuat keseimbangan. Ada yang kiri, tentu ada yang kanan sebagai wakil dari Im dan Yang. Dengan menghadap ke bawah lubangnya, maka manusia dapat menggunakannya lebih baik untuk mencium, karena jika lubangnya tidak di bawah, tentu sulit dipergunakan untuk membedakan bau." Dia berhenti dan berpikir lagi, tapi tak dapat melanjutkan.

"Hanya begitu?" Beng San mendesak, senyumnya tidak membesarkan hati si penebak.

"Ya, habis apa lagi? Tebakanku sekali ini pasti betul, bukan?" tanya Song-bun-kwi penuh harap.

"Betul apanya? Kau ngawur!"

Song-bun-kwi melengak, kecewa. "Jadi salah lagi? Habis, bagaimana jawabannya?"

"Dengarlah baik-baik," kata Beng San dengan lagak seorang dewasa yang memberi tahu seorang anak-anak. "Thian memberi hidung dengan dua lubangnya menghadap ke bawah dengan maksud yang amat baik. Jika hidungmu diberi lubang yang menghadap ke atas, di waktu hari hujan dan kau sedang kehujanan, bukankah air hujan akan membanjiri lubang hidungmu sehingga membuat kau tersedak, lalu berbangkis dan pilek terus-terusan? Nah, itulah sebabnya makanya lubang hidungmu dihadapkan ke bawah.”

Beng San tertawa. Setelah membayangkan orang dengan lubang hidung menghadap ke atas dan kehujanan, Song-bun-kwi lalu tertawa juga terkekeh-kekeh sambil berkata, "Kau benar... kau benar..."

"Sekarang ada sebuah lagi pertanyaan yang sangat gawat," kata Beng San, wajahnya bersungguh-sungguh. Wajahnya yang kini sudah putih lagi itu berseri, sepasang matanya memancarkan kenakalan, akan tetapi keningnya berkerut.

"Sebuah teka-teki yang menyangkut rahasia Thian!"

Song-bun-kwi kaget dan memandang heran, tak percaya, "Bocah, anak manusia bernama Beng San, janganlah kau keluarkan omongan gila. Aku sendiri tidak berani mengutik-utik rahasia Thian."

"Aku bersungguh-sungguh, Song-bun-kwi. Kalau kau bisa menjawab teka-teki yang satu ini berarti kau telah bertemu dengan rahasia Thian!"

"Ehh, bocah aneh. Lekas keluarkan teka-tekimu yang hebat itu."

"Kakek Song-bun-kwi, kau sendiri sudah tua bangka dan tidak lama lagi tentu kau akan mengalami hal yang sama, yaitu kematian. Sebagai Song-bun-kwi (Setan Berkabung), kau tentu sudah tahu apa artinya orang mati, dan sudah sering kali melihat keluarga yang kematian. Nah, sekarang teka-tekinya begini. Apa sebab orang mati sebelum dimasukkan peti mati selalu dimandikan lebih dahulu! Nah, pikirlah baik-baik, karena kau sendiri kelak juga akan mati dan dimandikan orang."

Kini Song-bun-kwi benar-benar mengerahkan otaknya untuk mencari jawaban teka-teki yang terdengar amat pelik. la menghubung-hubungkan jawaban dari teka-teki ini dengan Agama Buddha, dengan ajaran Nabi Locu dan Nabi Khong-cu. Setelah mengumpulkan semua bahan-bahan yang dia ingat, dia lalu menjawab.

"Pertama, badan manusia yang mati ditinggalkan rohnya pasti kotor dan agar roh itu dapat memasuki nirwana dengan baik, badannya harus pula dibersihkan dari segala kotoran. Kedua, badan manusia bila mati berarti kembali ke asalnya. Karena ketika dilahirkan dari tempat asal badan manusia dalam keadaan bersih, maka kembalinya harus pula bersih. Ketiga, badan manusia mati dimandikan sampai bersih sebagai tanda bahwa si mati telah dibersihkan dari segala dosa dan kesalahan. Keempat, mayat manusia dimandikan hingga bersih untuk memberi penghormatan kepada Dewa Bumi yang akan menerima mayat itu. Ke lima, mayat dimandikan sampai bersih untuk mengusir semua penyakit serta hawa busuk agar tidak sampai menular kepada orang-orang yang masih hidup. Keenam, mayat itu dimandikan untuk menyatakan bahwa betul-betul dia telah mati, karena kalau belum, terkena siraman air tentu dia akan siuman kembali. Ke tujuh, memang semenjak dahulu mayat dimandikan sampai bersih sebelum dimasukkan peti dan dikubur, oleh karena itu sampai sekarang pun orang harus melanjutkan kebiasaan itu dan inilah yang dinamakan mentaati peraturan." Sampai di sini Song-bun-kwi berhenti karena sudah habis semua pengertiannya, dikuras untuk menjawab teka-teki itu.

Mendengarkan jawaban ini, makin lama semakin bersinar mata Beng San, nampaknya girang sekali. Ketika kakek itu berhenti, dia mendesak. "Hanya tujuh jawabnya? Apakah masih ada lagi? Boleh tambah kalau masih ada!"

"Sudah habis. Tentu salah satu dari tujuh jawabanku itu benar. Hayo, sekarang katakan, apakah jawaban-jawaban itu ada yang cocok?!"

Beng San tertawa. "Benar kata dalam kitab kuno bahwa mencari sesuatu haruslah dicari di tempat yang dekat-dekat dulu, baru mencari ke tempat yang jauh. Kalau tidak demikian dan langsung mencari di tempat jauh padahal yang dicari itu dekat saja, kau akan tersasar makin jauh dari pada yang kau cari. Nah, kau juga begitu, Kakek Song-bun-kwi. Jawaban itu dekat dan sederhana, akan tetapi kau melantur sampai jauh dan memberi jawaban bertele-tele."

"Apa tidak ada yang cocok?" tanya Song-bun-kwi cemas.

"Bukan tidak cocok saja, malah menyeleweng jauh dari jawaban teka-teki yang dimaksud. Semua jawabanmu salah!"

Agak berubah wajah Song-bun-kwi, kini penuh penasaran. "Betulkah semua salah? Bocah siluman, kalau begitu hayo katakan apa jawabnya yang betul. Kalau kau menipu, sekali tampar otakmu akan hancur cerai-berai!"

"Siapa sudi menipumu? Dengarlah baik-baik, Song-bun-kwi. Teka-teki itu bunyinya begini: Apa sebabnya orang mati sebelum dimasukkan peti mati selalu dimandikan lebih dulu? Nah, sekarang jawabannya, sederhana saja, begini: Orang mati sebelum dimasukkan peti mati selalu dimandikan lebih dahulu karena DIA TIDAK BISA MANDI SENDIRI! Kalau dia bisa mandi sendiri, tentu tidak dimandikan orang, dan dengan begitu dia belum mati. Nah, betul tidak?"

Song-bun-kwi menjadi pucat mukanya yang merah itu, tangannya sudah diangkat hendak menampar kepala Beng San. Akan tetapi tiba-tiba tangannya itu dia selewengkan, tidak memukul kepala Beng San, melainkan memukul sebuah batu di dekat Beng San. Batu itu meledak dan hancur. Beng San tidak merasa takut, hanya kaget dan kagum.

"Anak setan, anak iblis, anak siluman," Song-bun-kwi memaki, kemudian kakek itu tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. "Beng San, kau tadi bilang bahwa kau tahu aku tidak akan membunuhmu. Malah kau bilang aku sendiri yang memberi tahumu. Nah, sekarang kau jawablah teka-teki dariku. Mengapa kau kubawa ke sini? Hayo jawablah, taruhannya kepalamu!"

"Kau menculikku sampai ke sini karena kau menghendaki sesuatu dari aku, menghendaki sesuatu yang ada hubungannya dengan kitab Yang-sin-kiam yang kau rampas dari suhu The Bok Nam."

Mendengar jawaban ini, Song-bun-kwi mencelat sampai beberapa meter jauhnya saking herannya. Kemudian dia mendekat lagi, wajahnya membayangkan keheranannya. "Bocah siluman, bagaimana kau bisa tahu?"

"Kau sendiri yang telah memberi tahu, Kakek, bukan melalui mulutmu akan tetapi melalui perbuatanmu. Orang macam kau ini, kalau hendak membunuhku mengapa harus susah payah, jauh-jauh membawaku ke sini? Bila mau membunuhku tentu aku sudah kau bunuh begitu saling bertemu. Nah, karena kau belum juga membunuhku, malah membawaku jauh-jauh ke tempat ini, sama saja dengan kau memberi tahu kepadaku bahwa kau takkan membunuhku, akan tetapi menghendaki sesuatu dari aku. Mengingat bahwa aku Beng San selama hidupku tidak pernah ada urusan denganmu, kecuali pertemuan kita ketika kau merampas kitab Yang-sin-kiam dulu, sudah tentu sekali bahwa kau membawaku ini ada hubungannya dengan kitab itu."

Song-bun-kwi memandang kagum. "Kau bocah yang luar biasa. Kau cerdik sekali. Bicara dengan kau sama saja dengan bicara kepada orang tua. Baiklah, kini aku berterus terang kepadamu. Dalam dunia kang-ouw terkenal adanya sepasang ilmu pedang yang disebut Im-yang Sin-kiam. Ilmu pedang Im dan Yang ini adalah ciptaan Pendekar Sakti Bu Pun Su ratusan tahun yang lalu sebagai pecahan dari Ilmu Im-yang Bu-tek Cin-keng. Sudah tentu Im-yang Sin-kiam ini menarik perhatian semua tokoh persilatan yang kemudian berusaha mendapatkannya. Akhirnya aku mengetahui bahwa sepasang kitab itu berada di tangan Phoa Ti dan The Bok Nam yang terkenal dengan julukan Thian-te Siang-hiap. Aku tahu bahwa pada akhir-akhir ini mereka saling berlawanan sendiri, maka aku mempergunakan kesempatan itu untuk mencari mereka. Akhirnya aku berhasil merampas Yang-sin-kiam dari The Bok Nam seperti yang telah kau saksikan pada waktu itu. Celakanya sebelum aku sempat mendapatkan Im-sin-kiam dari tangan Phoa Ti, aku telah didahului oleh nenek siluman Hek-hwa Kui-bo yang sudah memukul Phoa Ti dan merampas kitabnya."

Sampai di sini Song-bun-kwi menarik napas panjang. Dia nampak kecewa dan menyesal. Beng San mengangguk-angguk.

"Sayang aku masih belum mampu mengalahkannya sehingga dia dapat lari membawa kitab Im-sin-kiam. Mencoba untuk merampas kitab itu dari tangannya bukanlah hal yang mudah, pula dia tidak bodoh dan tak akan mau memperlihatkan diri. Nah, aku lalu ingat kepadamu, Beng San. Kau yang berada di sana bersama Phoa Ti dan The Bok Nam. Kau tentu mendapat warisan ilmu silat dari mereka. Siapa tahu Im-sin-kiam telah kau warisi dari Phoa Ti. Sekarang kau harus buka rahasia Im-sin-kiam itu kepadaku, Beng San."

Beng San mengerutkan keningnya. Biar pun baru belasan tahun usianya, akan tetapi dia sangat cerdik dan pada akhir-akhir ini sudah sering kali berhadapan dengan orang-orang jahat sehingga membuat dia waspada dan hati-hati.

"Kakek tua, mengapa kau begitu serakah? Kau sudah mendapatkan kitab Yang-sin-kiam, kenapa masih ingin mendapatkan kitab Im-sin-kiam pula?”

"Bocah bodoh, masa kau tidak tahu? Yang-sin-kiam memang hebat dan sukar ada tokoh lain yang akan dapat mengalahkan aku. Akan tetapi celakanya, Yan-sin-kiam tidak akan berdaya kalau bertemu dengan Im-sin-kiam, sebaliknya Im-sin-kiam juga takkan berdaya menghadapi Yang-sin-kiam. Ibarat api dan air, baru berguna kalau keduanya disatukan dan bekerja sama. Hayo, Beng San anak baik, kau beri tahukan kepadaku bagaimana pelajaran Im-sin-kiam yang kau terima dari Phoa Ti."

Beng San menggelengkan kepala. “Sayang, Kakek Song-bun-kwi. Aku tidak bisa."

Ia tidak mau menjawab berterang, karena anak ini memang agak sukar apa bila disuruh membohong. Dengan jawaban ‘aku tidak bisa’, di dalam hatinya dimaksudkan bahwa dia tidak bisa membuka rahasia itu, bukannya tidak bisa menceritakan isi Im-sin-kiam!

Song-bun-kwi memandangnya dengan mata liar dan amat tajam menusuk, seperti hendak menjenguk isi hati Beng San. Tiba-tiba dia membentak, "Berdiri!"

Beng San bangkit berdiri dan tiba-tiba kakek itu menyerangnya dengan pukulan tangan kanan yang dikepal keras dan menumbuk ke arah dadanya. Penyerangan ini dilakukan sungguh-sungguh, akan tetapi gerakannya sengaja diperlambat sehingga mudah diikuti. Namun demikian, andai kata dibiarkan saja, dada Beng San tentu akan pecah berantakan kalau terkena pukulan itu.

Beng San sudah mempelajari Yang-sin-kiam dengan tekun. Tubuhnya sudah mempunyai daya tahan dan daya gerak yang otomatis. Apa lagi setelah matanya melihat bahwa serangan itu adalah sebuah jurus dari Yang-sin-kiam, dengan amat mudahnya dia tahu bagaimana harus melawan dan melayaninya. Untuk melayani serangan Yang-sin-kiam, paling tepat memang menggunakan jurus Im-sin-kiam, karena dengan demikian segala daya serangan itu selalu lumpuh, juga akan membuka kelemahan-kelemahan.

Akan tetapi Beng San tidak mau berlaku bodoh. Dengan mengumpulkan semangat dia ‘menutup’ pikiran dan ingatannya akan Im-sin-kiam, dan mencurahkan ingatannya kepada Yang-sin-kiam sehingga menghadapi penyerangan ini, dia kemudian menggunakan jurus Yang-sin-kiam yang sesuai untuk menghindarkan diri.

Karena dia sudah hafal benar akan seluruh gerakan Yang-sin-kiam, maka tidaklah terlalu sukar bagi Beng San untuk menghindarkan serangan itu karena dia sudah tahu ke mana serangan itu akan menuju dan bagaimana perkembangan selanjutnya. Tentu saja andai kata kakek itu mempergunakan kecepatan, amat sukar bagi Beng San yang masih belum berpengalaman dan belum terlatih itu untuk menghadapinya.

Setelah menyerang sebanyak tiga jurus yang semuanya dapat dihindarkan oleh Beng San dengan mudahnya, Song-bun-kwi menjadi makin kagum dan juga amat penasaran. Tiga macam jurus yang dia gunakan tadi, walau pun dia lakukan dengan lambat yang memang dia sengaja, tapi belum tentu ada tokoh persilatan yang akan mampu memecahkannya. Hanya orang yang telah mengenal betul Ilmu Silat Yang-sin-kiam baru bisa memecahkan semudah yang dilakukan Beng San.

Dari kagum dan heran ia menjadi penasaran sekali, lalu ia melanjutkan penyerangannya secara bertubi-tubi, mengeluarkan seluruh jurus Yang-sin-kiam yang kesemuanya hanya memiliki delapan belas jurus pokok.

Sebetulnya, baik Yang-sin-kiam mau pun Im-sin-kiam setiap jurus pokoknya masih dapat pula dipecah menjadi tiga sehingga jumlah seluruhnya adalah lima puluh empat jurus. Akan tetapi oleh karena hanya ingin melihat apakah betul-betul bocah itu sudah hafal akan jurus-jurus Yang-sin-kiam, kakek ini hanya mengeluarkan jurus-jurus pokok saja. Hebatnya, delapan belas jurus pokok itu dengan amat mudahnya dapat dihindarkan dan dipecahkan oleh Beng San!

Serangan-serangan yang dilakukan oleh Song-bun-kwi ini bukan semata-mata hendak melihat apakah Beng San betul-betul sudah hafal akan Yang-sin-kiam, tetapi maksudnya yang tersembunyi adalah hendak memancing supaya bocah ini dalam keadaan terdesak mau menggunakan Im-sin-kiam. Sesudah dia melihat bahwa semua gerakan yang dipakai Beng San untuk menghindarkan serangan-serangan itu adalah jurus-jurus Yang-sin-kiam pula, dia baru percaya akan keterangan anak itu tadi bahwa Beng San hanya mewarisi Yang-sin-kiam saja.

Hatinya mengkal sekali. Tiba-tiba dia tertawa bergelak, lalu menangis.

"Ha-ha-ha-hi-hi! Tebakanmu tadi keliru, Beng San. Aku membawamu ke mari memang hendak membunuhmu. Kau hafal akan Yang-sin-kiam, ini tidak baik. Hanya aku seorang yang boleh tahu akan Yang-sin-kiam, maka kau harus mati saat ini juga! Sayang kau tak becus Im-sin-kiam..." Kakek ini mengangkat tangannya ke atas dan Beng San sudah siap sedia hendak menyelamatkan diri sedapat mungkin.

Tiba-tiba berkelebat bayangan merah dan tahu-tahu di sana telah berdiri seorang bocah perempuan berusia kurang lebih sepuluh tahun. Beng San sampai bengong terlongong melihat bocah ini. Bukan karena bocah baju merah itu cantik manis dan mungil sekali, dengan sepasang mata seperti bintang, dengan rambut hitam panjang yang bergantung di pundak, akan tetapi dia bengong saking kagum menyaksikan gerakan yang bukan main cepatnya itu.

Bocah itu berdiri memandang kepadanya dan tersenyum! Senyumnya membuat matahari seakan-akan bersinar semakin terang. Tidak hanya bibir dan gigi yang mengambil peran dalam senyum ini, bahkan mata dan hidungnya juga ikut tersenyum. Beng San tak dapat menahan hatinya untuk tidak membalas dengan senyum lebar.

Song-bun-kwi menurunkan tangannya dan menghela napas. "Bocah edan, mengganggu orang tua saja." la lalu menoleh dan memandang kepada anak perempuan baju merah itu, lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya, sepuluh jari tangan itu bergerak-gerak pula.

Anak perempuan itu kembali tersenyum, melirik ke arah Beng San, mengangguk kepada Song-bun-kwi lalu meloncat pergi, cepat dan cekatan laksana burung walet.

"Kurang ajar, tentu anak penggembala itu yang mengajaknya main-main sampai ke sini!" Song-bun-kwi bersungut-sungut dan betul saja dari jauh terdengar bunyi kerbau menguak. "Keparat, harus mampus semua!" Sekali Song-bun-kwi berkelebat kakek ini sudah lenyap dari situ.

Semua kejadian ini membuat Beng San duduk terlongong. Bocah perempuan| yang aneh dan ternyata gagu itu, yang begitu cepat gerakan-gerakannya, lalu kakek yang aneh ini. Benar-benar dia terheran-heran dan amat kagum sampai lupa bahwa dia belum lolos dari ancaman bahaya besar dari si kakek yang seperti gila itu. la hanya mendengar suara kerbau-kerbau menguak beberapa kali disusul jerit menyeramkan, lalu sunyi.

Tiba-tiba dia mencium bau harum dan ketika menengok… di belakangnya sudah berdiri Hek-hwa Kui-bo, wanita tua yang masih cantik itu, dengan sapu-tangan suteranya yang beraneka warna sedang dibuat main-main di tangan kiri.

"Kui-bo...!" tak terasa lagi Beng San berseru untuk menyembunyikan rasa kagetnya.

Wanita itu tersenyum manis. "Bagus, anak baik. Kau masih ingat kepadaku yang menjadi gurumu?"

"Kau bukan guruku," jawab Beng San, suaranya dingin.

Hek-hwa Kui-bo memandang tajam. Di dalam hatinya wanita ini sudah amat heran melihat bocah ini masih belum mati, padahal dahulu dia sengaja memberi pelajaran tiga macam ilmu menguasai tenaga Yang-kang untuk membunuh Beng San.

"Hei bocah yang tidak kenal budi. Bukankah dahulu aku pernah memberi pelajaran ilmu kepadamu?"

"Memang betul, kau memberi pelajaran Thai-hwee, Siu-hwee dan Ci-hwee padaku. Akan tetapi itu bukan berarti bahwa kau adalah guruku karena aku tak pernah mengangkat kau sebagai guru. Pula aku tidak tahu apa gunanya pelajaran-pelajaran itu."

Sepasang mata Hek-hwa Kui-bo bersinar dan senyumnya melebar. Hatinya girang sekali karena sekarang ia merasa yakin bahwa anak ini tidak tahu akan maksud buruknya ketika menurunkan tiga macam ilmu itu.

"Anak baik, kau tidak tahu bahwa pelajaran yang kuturunkan padamu itu adalah pelajaran yang menjadi dasar ilmu silat tinggi. Aku suka kepadamu, Beng San, dan aku suka punya murid seperti kau ini. Kalau aku tidak suka kepadamu, masa aku turunkan ilmu-ilmu itu kepadamu? Justru kedatanganku ini juga karena perasaan sukaku kepadamu itulah. Kau sedang terancam bahaya, bila Song-bun-kwi iblis itu kembali, kau tentu akan dibunuhnya. Karena itu, hayo kau ikut aku pergi sekarang juga."

Tanpa menanti jawaban Beng San, Hek-hwa Kui-bo menangkap tangan bocah itu dan di lain saat Beng San merasa dirinya melayang, persis seperti ketika dia dibawa pergi oleh Song-bun-kwi. la tidak melawan dan menyerahkan diri saja, maklum bahwa melawan pun tidak akan ada gunanya.

Lagi pula, dia belum tahu apa maksud sebenarnya wanita ini, meski pun dia merasa pula bahwa memang dia terancam oleh Song-bun-kwi. Kiranya dibawa pergi Hek-hwa Kui-bo belum tentu bahayanya sebesar kalau dia berada bersama Song-bun-kwi.

Tiba-tiba Hek-hwa Kui-bo menarik tangan Beng San sambil meloncat ke belakang sebuah batu besar yang berada di pinggir jalan. Nenek ini bersembunyi di belakang batu sambil memegang tangan Beng San erat-erat.

"Kui-bo, ada apa...?" Suara Beng San terhenti ketika tangan nenek itu yang sebelah lagi menotok lehernya dari belakang.

Beng San marah dan hatinya mendongkol sekali. Dia tidak dapat bergerak, tidak dapat membuka suara, hanya mampu mendengar dan melihat.

Pada saat itu dia mendengar suara melengking dari jauh, suara tangis memilukan. Segera dia mengenal suara ini ketika makin lama suara itu makin mendekat. Bukan lain suara yang aneh dari Song-bun-kwi! Sebentar saja kakek aneh ini sudah lewat jalan itu, dekat batu tanpa menoleh ke kanan kiri. Wajahnya muram, mukanya tunduk dan tubuhnya yang kecil kurus itu seperti bongkok.

Setelah kakek ini lewat jauh dan tak kelihatan lagi, Hek-hwa Kui-bo menarik lagi tangan Beng San sambil menepuk belakang lehernya membebaskan totokan.

"Kui-bo, kenapa kau takut pada Song-bun-kwi?" Beng San mengejek untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya. la sudah maklum akan watak nenek ini yang tak mau dikatakan takut, maka dia sengaja berkata demikian.

"Bodoh, siapa takut? Aku sedang tidak ada waktu bermain-main dengan tua bangka itu. Hayo ikut!"

Hek-hwa Kui-bo lalu membawa lari lagi anak itu, kini ia sengaja menuju ke arah dari mana Song-bun-kwi tadi datang. Jelas bahwa ia memang sengaja hendak menjauhkan diri dari Song-bun-kwi.

"Kui-bo, apa itu?" Beng San menuding ke arah lereng gunung yang mereka lalui.

"Apa lagi kalau bukan bekas tangan si tua bangka?" jawab Hek-hwa Kui-bo dingin, malah ia lalu terkekeh dan berkata. "Tua bangka sudah mau mampus tetapi masih suka main bunuh orang. Heh-heh-heh!"

Ketika melihat lebih dekat dan lebih jelas, Beng San bergidik. Yang tadi dari jauh dia lihat bertumpuk-tumpuk dan disambari burung-burung hitam di lereng itu bukan lain adalah bangkai belasan ekor kerbau dan mayat tiga orang anak penggembala yang baru berusia belasan tahun seperti dia.

Tidak salah lagi, tentu dalam kemarahannya tadi Song-bun-kwi telah pergi meninggalkan dia sebentar untuk membunuhi tiga orang penggembala dengan kerbau-kerbau mereka ini. Alangkah kejamnya hati si Setan Berkabung itu.

"Tua bangka keji si Song-bun-kwi!" Beng San tak terasa memaki.

Hek-hwa Kui-bo tertawa. Giginya yang masih kuat itu putih berkilat sebentar.

"Apa kau bilang? Keji? Hi-hi-hi, tidak ada artinya itu. Dulu, puluhan tahun yang lalu, untuk merampas seorang mempelai wanita dia membunuh mempelai pria, seluruh keluarga dan semua tamu yang hadir pada malam pesta pernikahan itu."

Beng San melototkan matanya, ngeri dia membayangkan. ”Mengapa para tamu dibunuh semua?"

”Goblok kau! Song-bun-kwi tidak sebodoh kau. Tentu saja untuk menutup mulut mereka."

Beng San bergidik. Dua orang ini, kakek Song-bun-kwi dan nenek Hek-hwa Kui-bo, selain setingkat ilmu kepandaiannya, agaknya setingkat pula kekejamannya. Mulailah ia berpikir tentang diri Hek-hwa Kui-bo. Kenapa wanita iblis ini membawanya pergi? Betulkah hanya untuk menolongnya dari ancaman Song-bun-kwi? Mustahil! Orang sekeji ini hatinya mana bisa mempunyai maksud baik?

Beng San terkejut ketika dia teringat bahwa yang mencuri kitab Ilmu Im-sin-kiam adalah Hek-hwa Kui-bo ini! Celaka, pikirnya. Manusia jahat ini tentu tidak akan jauh bedanya pula dengan Song-bun-kwi. Tentu akan mencoba untuk mendapatkan isi kitab yang satu lagi darinya.

Benar saja dugaannya. Pada waktu mereka tiba di tempat yang sunyi, di tengah sebuah hutan yang penuh dengan pohon-pohon tua, Hek-hwa Kui-bo melepaskan tangannya, lalu tersenyum-senyum dan memandang kepada Beng San.

"Beng San, aku tahu bahwa kau telah menjadi ahli waris dari Phoa Ti dan The Bok Nam, telah mempelajari dua macam ilmu silat, Yang-sin-kiam dan Im-sin-kiam. Kau memang anak baik dan patut menjadi murid orang pandai. Karena itu aku ingin sekali memimpinmu lebih lanjut agar kelak kau menjadi seorang jagoan yang tak terlawan di dunia ini. Nah, sekarang coba kau hadapi serangan-seranganku ini dengan Yang-sin-kiam yang sudah kau pelajari dari The Bok Nam!"

Tanpa menanti jawaban Beng San, Hek-hwa Kui-bo yang amat bernafsu untuk segera melihat Ilmu Silat Yang-sin-kiam, segera menyerang anak itu dengan jurus-jurus dari Ilmu Silat Im-sinkiam, yang kitabnya dia rampas dari Phoa Ti.

Biar pun amat terdesak, Beng San yang memang cerdik itu maklum bahwa dia hendak dipancing. Dia segera menghadapi serangan-serangan itu dengan ilmu yang sama, yaitu Im-sin-kiam, dan sengaja menutup semua ingatannya akan Ilmu Silat Yang-sin-kiam, juga sebaliknya dari yang dia lakukan ketika dia berhadapan dengan Song-bun-kwi.

Akan tetapi Hek-hwa Kui-bo tidak kecewa, malah tersenyum manis dan berkata, "Aha, kau hendak menggunakan Im-sin-kiam lebih dulu? Baik, lakukanlah dengan sempurna supaya aku dapat membimbingmu kalau keliru."

Setelah berkata demikian, ia menyerang terus dengan Im-sin-kiam sampai delapan belas pokok jurus Im-sin-kiam ia mainkan seluruhnya. Diam-diam Hek-hwa Kui-bo kagum sekali melihat gerakan-gerakan Beng San yang biar pun kurang terlatih namun amat sempurna.

"Hayo sekarang kau gunakan Yang-sin-kiam, ingin kulihat apakah juga sebaik Im-sin-kiam yang kau pelajari!" serunya sambil mendesak lagi dengan Im-sin-kiam.

Akan tetapi Beng San tetap menghadapinya dengan ilmu silat yang sama. Beberapa kali Hek-hwa Kui-bo membentaknya, akan tetapi dia tetap tidak mau mengubah ilmu silatnya. Akhirnya Hek-hwa Kui-bo menjadi jengkel dan berhenti menyerang.

”Ehh, bocah kepala batu, kenapa kau tetap tldak mentaati perintahku?"

”Kau ini aneh-aneh saja, Kui-bo. Bisaku ya cuma itu tadi.”

”Apa kau tidak mempelajari Yang-sin-kiam dari The Bok Nam.”

Beng San tidak mau menjawab pertanyaan ini, bahkan jawabannya menyimpang, "Aku hanya bisa melayanimu dengan yang tadi, yang lain-lain tidak bisa.”

Keparat, pikir Hek-hwa Kui-bo. Kalau begitu anak ini hanya mempelajari Im-sin-kiam. Ah, untung dia kurampas tadi dari Song-bun-kwi, kalau tidak, tentu Song-bun-kwi akan dapat menguras Im-sin-kiam dari anak ini. Di dunia ini mana boleh ada orang lain kecuali dia sendiri yang mengenal Im-sin-kiam?

”Setan kecil, jika begitu kau harus mampus di depan mataku.” Hek-hwa Kui-bo kemudian mengangkat tangan memukul kepala Beng San.

Bocah ini mana mau menerima mati begitu saja. Ia cepat menjatuhkan diri ke belakang, lalu meloncat dan lari.

Hek-hwa Kui-bo mengeluarkan suara ketawa terkekeh, kemudian mengejarnya. Beberapa loncatan saja sudah cukup bagi Hek-hwa Kui-bo untuk menyusul Beng San. Sekali lagi ia memukul, kini menggunakan sapu tangan suteranya yang menyambar ke arah belakang kepala Beng San.

Ujung sapu tangan itu mengancam jalan darah maut. Dalam detik-detik selanjutnya tentu Beng San takkan dapat terlepas dari cengkeraman maut kalau saja pada saat itu tidak terdengar seruan keras.

"Tahan!" Ujung sapu tangan itu tertangkis oleh sebatang suling dan keduanya terhuyung mundur.

Hek-hwa Kui-bo kaget sekali melihat kelihaian lawan, akan tetapi ia menjadi lebih kaget ketika melihat bahwa yang menangkis sapu tangannya dengan suling tadi ternyata adalah Song-bun-kwi! Celaka, pikirnya. Kalau anak ini dapat terampas lagi oleh kakek ini, berarti Im-sin-kiam akan terjatuh ke dalam tangan Song-bun-kwi dan kalau terjadi hal demikian, takkan berarti pulalah Im-sin-kiam di tangannya.

Dengan penuh kemarahan Hek-hwa Kui-bo menerjang lagi, sekali ini dia menggerakkan sapu tangannya hendak menghancurkan kepala Beng San yang berdiri bengong melihat tahu-tahu Song-bun-kwi sudah berada di situ menolongnya.

"Plak! Plakkk!"

Dua kali ujung sapu-tangan bertemu dengan ujung suling. Pada saat keduanya terhuyung mundur lagi karena dorongan tenaga dahsyat dari masing-masing lawan, Song-bun-kwi meloncat ke depan dan sulingnya menusuk ke arah leher Beng San. Bocah ini tak dapat mempertahankan dirinya lagi, demikian cepatnya tusukan itu.

"Aihhh, tahan!"

Hek-hwa Kui-bo mengerakkan sapu tangannya yang panjang dan kembali nyawa Beng San tertolong, kali ini oleh sapu tangan Hek-hwa Kui-bo. Dan keduanya bertanding lagi.

Memang aneh pertandingan itu. Mungkin orang takkan percaya bila tidak melihat sendiri. Mana di dunia ini ada orang bertanding karena seorang anak kecil, bukan memperebutkan anak itu melainkan berdulu-duluan... membunuhnya!

Beberapa kali Hek-hwa Kui-bo dan Song-bun-kwi kaget dan heran melihat betapa lawan masing-masing selalu hendak menyerang Beng San. Akan tetapi, karena curiga dan salah sangka, mengira bahwa masing-masing itu ingin menjadikan Beng San sebagai pembuka rahasia masing-masing, maka mereka dengan sungguh-sungguh dan sengit saling serang sehingga terjadilah pertempuran yang amat hebat. Pertempuran ini merupakan kelanjutan dari pertempuran saat mereka memperebutkan kitab dan masing-masing dapat merampas kitab dari dua orang kakek Phoa Ti dan The Bok Nam.

Sementara itu, melihat betapa dua orang tua yang aneh dan kejam itu saling serang, Beng San mempergunakan kesempatan ini untuk melarikan diri. Baru saja dia lari belum jauh, Song-bun kwi sudah membentak.

"Anak iblis, kau hendak lari ke mana?!" Secepat kilat tubuhnya melayang dan sulingnya menyerang dari belakang.

Akan tetapi serangan ini kembali digagalkan oleh ujung sapu tangan di tangan Hek-hwa Kui-bo.

"Bukan orang lain, akulah yang akan membunuhnya!" Hek-hwa Kui-bo membentak sambil memandang kepada Song-bun-kwi dengan mata melotot.

"Kau?! Membunuhnya? Apakah sebabnya kau hendak membunuhnya?" Pikiran kakek ini seakan-akan baru terbuka, dan dia pun bertanya heran.

"Dia tidak boleh hidup di bawah satu kolong langit denganku. Mungkin bagimu berguna, tetapi bagiku tidak!" jawab Hek-hwa Kui-bo marah. Akan tetapi nenek ini pun bertanya heran, "Dan kau... mengapa pula hendak membunuhnya?"

Song-bun-kwi tersenyum gemas, merasa diejek. Dikiranya nenek ini sudah tahu bahwa Beng San hanya mempelajari Ilmu Silat Yang-sin-kiam saja dan sudah mencuri ilmu ini. "Bocah setan itu tidak boleh hidup di atas satu permukaan bumi denganku, tiada gunanya bagiku dibiarkan hidup!"

Heran dan kagetlah Hek-hwa Kui-bo mendengar ini. Tadinya ia pun sebaliknya mengira bahwa Beng San hanyalah mempelajari Im-sin-kiam saja dan ilmu ini sudah dioper oleh Song-bun-kwi, mengapa sekarang kakek ini bicara sebaliknya? Dia memang cerdik, maka tiba-tiba ia tertawa terkekeh-kekeh.

"Bocah iblis, dia mau memperdayakan kita!" Sambil berkata demikian tubuhnya melesat ke depan untuk mengejar Beng San.

Song-bun-kwi juga bukan seorang bodoh. Sekilas saja dia seperti telah disadarkan. Kalau Hek-hwa Kui-bo tadinya tidak membutuhkan anak itu dan hendak membunuhnya, tentu akibat anak itu mengaku hanya mempelajari Im-sin-kiam saja. Tapi sebaliknya, kepadanya membohong hanya mempelajari Yang-sin-kiam. Celaka, anak itu harus dia tangkap!

la pun melesat ke depan dan kini dua orang sakti itu berlomba untuk memperebutkan Beng San, bukan untuk membunuhnya seperti tadi!

Kasihan sekali Beng San. Biar pun dia tanpa disengaja dan disadarinya telah mewarisi sepasang ilmu silat pedang yang luar biasa hebatnya, namun sebagai seorang anak kecil menghadapi dua orang sakti itu, apakah dayanya? Beng San melarikan diri secepatnya, menyelinap di antara pohon-pohon raksasa yang amat tua.

Tiba-tiba kakinya tersandung akar pohon sehingga tubuhnya terguling. Beng San merasa terjatuh di atas sesuatu yang lunak dan ketika dia dengan terengah-engah memandang, ternyata dia jatuh ke atas pangkuan seorang kakek yang duduk bersila dengan kedua mata meram.

Kakek ini berpakaian serba hitam, karena itu tadi hampir tidak kelihatan. Di punggungnya nampak gagang sepasang pedang yang tipis. Jenggot kakek ini luar biasa, panjang sekali sampai ke perutnya. Telinganya lebar seperti telinga gajah, tubuhnya kurus dan mulutnya sudah ompong sama sekali, tidak ada sebuah pun giginya, Nampaknya sudah tua sekali.

Selagi Beng San bengong dan lupa bahwa dua orang pengejarnya sudah amat dekat di belakangnya, kakek itu berkata, suaranya halus lirih seperti berbisik.

"Anak, kau peganglah sepasang pedang ini, dengan tangan kiri mainkan Im-sin-kiam dan tangan kanan mainkan Yang-sin-kiam, tentu kau dapat menahan mereka."

Beng San sudah putus asa menghadapi dua orang sakti yang mengejarnya. Melawan dengan nekat pun dia tidak punya harapan. Akan tetapi sekarang, setelah mendengar bisikan kakek ini dan tangannya tahu-tahu telah memegang sepasang pedang, hatinya menjadi berani dan besar. Apa lagi ketika dia melihat bahwa sepasang pedang yang tidak sama panjangnya itu berkilau-kilauan seperti mengeluarkan api.

Pada saat itu, hampir berbareng, Hek-hwa Kui-bo dan Song-bun-kwi tiba di depan Beng San. Baiknya mereka sekarang bukan berlomba untuk membunuhnya, namun berlomba untuk menangkapnya, maka keduanya tidak mau menggunakan senjata masing-masing yang ampuh.

Melihat dua orang itu sudah datang dan tangan mereka diulur untuk mencengkeramnya, Beng San meloncat. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tubuhnya tak dapat terlepas dari tubuh kakek tua renta itu.

Terdengar bisikan di belakang kepalanya, "Lawanlah mereka dengan tenang, pergunakan Im-yang Sin-kiam, aku yang mendorongmu dengan tenaga serta mengatur kecepatan gerakan-gerakanmu."

Sudah terlalu sering Beng San bertemu dengan tokoh-tokoh besar yang berwatak aneh dan berkepandaian tinggi, maka biar pun keadaan kakek tua renta ini amat aneh, tetapi tidak amat mengherankan Beng San. Serta merta bocah cerdik ini dapat menduga bahwa kakek ini pun seorang sakti, maka dia pun mentaati semua petunjuknya.

Begitu mendengar bisikan ini, dia lalu mempersiapkan sepasang pedangnya, dan dengan gerakan-gerakan Im-sin-kiam di tangan kiri dan Yang-sin-kiam di tangan kanan, dia lalu memainkan ilmu silat pedang yang sudah dihafalkannya benar-benar itu dengan kedua tangan.



Hasilnya luar biasa sekali. Segera terdengar seruan-seruan kaget, dan Hek-hwa Kui-bo bersama Song-bun-kwi meloncat mundur. Hampir saja tangan mereka berdua terbabat oleh pedang-pedang yang berkilauan dan mendatangkan hawa panas dan dingin sekali itu.

Beng San merasa betapa kedua pundaknya ditempel oleh kedua telapak tangan kakek itu tadi dan betapa di dalam kedua lengannya seperti ada tenaga lembut yang menjalar sampai ke tangannya. Semangatnya menjadi besar dan dia tersenyum mengejek ketika melihat dua orang lawannya itu sudah menggerakkan suling dan sapu tangan. Kedua pedangnya bergerak dengan jurus-jurus terlihai Im-yang Sin-kiam, pedang kiri bertemu dengan suling Song-bun-kwi sedangkan pedang tangan kanan beradu dengan ujung sapu tangan Hek-hwa Kui-bo.

Terdengarlah suara keras dan Hek-hwa Kui-bo memekik kaget, sedangkan Song-bun-kwi melompat ke belakang. Ternyata bahwa ujung sapu tangan Hek-hwa Kui-bo dan ujung suling Song-bun-kwi telah terbabat oleh pedang-pedang itu.

"Liong-cu Siang-kiam (Sepasang Pedang Mustika Naga)...!" Hek-hwa Kui-bo berseru.

"Ayaaaaa! Kalau begitu dia ini Lo-tong (Bocah Tua) Souw Lee...!" Song-bun-kwi berteriak kaget sambil memandang kepada kakek tua renta yang berdiri di belakang Beng San.

Hek-hwa Kui-bo mengeluarkan suara ketawa menyeramkan, lalu berkata, "Betul sekali! Ehh, Song-bun-kwi, agaknya kita berdua yang selalu mujur. Hayo kita gempur dia dan segala yang kita dapat nanti kita bagi rata dan adil."

"Bagus! Kui-bo, dengan Liong-cu Siang-kiam dan Im-yang Sin-kiam-sut kita pasti akan menjagoi dunia. Ha-ha-ha!"

Dua orang itu kemudian menggerakkan suling dan sapu tangan, menerjang maju dengan gerakan-gerakan yang luar biasa cepatnya. Ujung sapu tangan itu mengeluarkan bunyi berdetar-detar seperti sebuah cemeti sedangkan suling itu mengeluarkan suara tangisan yang mengerikan.

Tergetar juga hati Beng San menghadapi kedahsyatan dua orang itu. Sepasang pedang di tangannya hampir saja terlepas kalau tidak ada tenaga mukjijat mengalir masuk melalui pundaknya yang dipegang oleh kakek tua renta itu.

"Anak baik, ingat...," bisik kakek itu di belakangnya, "kita harus dapat mengusir mereka... bukan hanya demi keselamatanmu, apa lagi keselamatanku, akan tetapi demi... demi keamanan dunia... Jangan sampai terjatuh ke tangan dua iblis ini..." Terpaksa kakek itu menghentikan kata-katanya karena dua orang itu sudah mulai dengan terjangan mereka yang dahsyat.

Beng San menggerakkan kedua pedang di tangannya. la belum pernah bertempur, juga ilmu Silat Pedang Im-yang Sin-kiam-sut yang dia miliki hanya dia latih dan hafalkan secara teorinya saja, belum pernah dipergunakan untuk bertempur.

Memang tidak dapat disangkal bahwa anak ini bakatnya baik sekali. Gerakan-gerakannya dalam memainkan semua jurus Im-yang Sin-kiam yang digabungkan itu luar biasa dan amat tepat.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar