Raja Pedang Chapter 05

“Pada keesokan harinya, yaitu pada hari ketiga, kembali dia dilemparkan keluar oleh The Bok Nam dan diterima oleh kakek Phoa Ti.

“Bagaimana....?” Kakek kurus itu bertanya penuh gairah. “Bisakah dia memecahkan tiga seranganku?”

Beng San hanya mengangguk, tubuhnya lemas.

“Kenapa kau?”

“Lapar...,” jawab Beng San menelan ludahnya.

“Manusia tidak punya jantung si tua bangka itu!” Phoa Ti memaki. “Masa menyuruh anak berlatih silat tanpa diberi makan?”

“Dia sendiri pun tidak makan,” Beng San membela, lalu menerima beberapa helai daun dan memakannya. Setelah kenyang dia lalu berkata. “Kakek The Bok Nam itu melawan tiga jurusmu dengan tiga jurus pula yang sekaligus memecahkan jurusmu dan berbalik menjadi serangan tiga kali.”

Phoa Ti mengerutkan kening. “Begitu cepat?” ia menggeleng-geleng kepala tidak percaya. “Coba kau mainkan jurus-kurusnya.”

Beng San lalu menggerakkan tiga jurus yang baru dia pelajari itu dengan gerakan-gerakan yang sudah cepat dan baik sekali, malah tiap kali dia melakukan gerakan-gerakan itu dia merasa tubuhnya ringan dan enak.



Sesudah dia selesai bersilat dan duduk di atas rumput, dia melihat Phoa Ti berkali-kali menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepalanya.

“Hebat..., hebat tua bangka itu...”

Sampai matahari sudah naik tinggi, Phoa Ti masih duduk termenung saja dan berkali-kali menarik napas panjang.

“Bagaimanakah? Apakah kau tidak bisa memecahkan tiga serangannya?” Beng San yang merasa kasihan bertanya.

Melihat keadaan kakek ini seperti terdesak, timbul keinginannya hendak membantu, maka dia juga mencurahkan pikiran dan ingatannya, menghafal lagi enam macam jurus yang dia pelajari dari dua orang kakek itu. Namun, karena dia tidak mempunyai kepandaian dasar, tentu saja dia tidak melihat bagaimana tiga jurus kakek Phoa Ti itu sampai dikalahkan oleh tiga jurus kakek The Bok Nam.

Menjelang senja, setelah berkali-kali terdengar pertanyaan penuh ejekan, barulah Phoa Ti sadar dari lamunannya dan nampak harapan bersinar pada mukanya.

“Dapat…! Dapat olehku sekarang...!” katanya girang.

Cepat-cepat dia memberi pelajaran tiga jurus ilmu silat lagi kepada Beng San yang sudah siap menanti.

Bukan main girangnya hati Beng San dan kagumnya hati Phoa Ti ketika kali ini, hanya dalam waktu setengah malam saja Beng San sudah dapat mainkan tiga jurus ini dengan baik! Anak ini ternyata memang memiliki bakat luar biasa sehingga kaki tangannya lincah dan tepat sekali melakukan segala gerakan ilmu silat.

“Besok pagi-pagi kau sudah boleh mendatangi kakek The,” kata Phoa Ti girang.

“Nanti dulu, kakek Phoa Ti yang baik. Aku sudah berjanji membantumu, dan aku sudah menuruti segala kehendak kalian dua orang kekek tua. Akan tetapi, sudah sepatutnya kalau aku mendengar pula apa sebabnya maka kalian bermusuhan, bahkan di tepi lubang kubur masih bertanding ilmu?”

Kakek itu menarik napas panjang. “Lekas kau berlutut, hanya sebagai muridku kau boleh mendengar ini. Lekas sebelum berubah lagi pendirianku.”

Karena merasa suka kepada kakek ini, Beng San tidak keberatan untuk menjadi murid, maka dia lalu memberi hormat. “Teecu Beng San, mulai saat ini menjadi murid suhu Phoa Ti,” katanya.

Agaknya kakek itu tidak begitu menaruh perhatian, buktinya dia tidak heran mendengar anak ini tidak menyebutkan she (nama keturunan). Lalu dia menceritakan keadaannya dan keadaan The Bok Nam yang sampai mati tidak mau mengalah terhadapnya itu.

“Aku dan kakek The Bok Nam itu sebelumnya dahulu adalah dua sekawan yang sangat karib dan kami berdua di dunia kang-ouw pada dua puluhan tahun yang lalu terkenal dengan julukan Thian-te Siang-hiap (Sepasang Pendekar Langit dan Bumi),” demikian kakek Phoa Ti mulai dengan ceritanya. Lalu ia melanjutkan ceritanya seperti berikut….

Dua orang sekawan ini memiliki kepandaian tinggi sekali dalam ilmu silat. The Bok Nam adalah seorang tokoh dari selatan, sudah mempelajari segala macam ilmu silat selatan, sebaliknya Phoa Ti adalah ahli silat dari utara yang juga sudah mempelajari seluruh ilmu silat utara.

Setelah keduanya bertemu dan menjadi sahabat yang amat karib, keduanya lalu bertukar ilmu silat, saling mengajar sehingga keduanya akhirnya menjadi sepasang jago silat yang jarang tandingannya di dunia kang-ouw. Karena kedua orang ini tukar menukar ilmu silat, maka dalam hal kepandaian mereka dapat dikatakan setingkat.

Pada masa mereka masih jaya, di dunia kang-ouw tak ada orang yang berani menentang Thian-te Siang-hiap. Tentu saja ada kecualinya, yaitu tokoh-tokoh besar ilmu silat yang jarang muncul di dunia kang-ouw yang pada waktu itu sampai sekarang di kenal sebagai empat datuk persilatan dari barat, timur, utara dan selatan.

Mereka ini adalah Hek-hwa Kui-bo sebagai siluman dari daerah selatan. Dari utara adalah Siauw-ong-kwi (Setan Raja Kecil) yang sangat jarang dilihat manusia lain. Jagoan nomor satu dari timur adalah Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang, yang seperti julukannya Tai-lek-sin (Malaikat Geledek) merupakan tokoh yang ditakuti. Ada pun orang keempat sebagai raja tokoh barat adalah Song-bun-kwi (Setan Berkabung) yang seperti juga yang lain kecuali Swi Lek Hosiang, tidak diketahui nama aslinya.

Empat orang ini semenjak puluhan tahun tidak pernah memasuki dunia ramai. Akan tetapi harus diakui bahwa di antara tokoh-tokoh besar persilatan, belum pernah ada yang berani mengganggu mereka dan mereka selalu masih dianggap sebagai empat tokoh besar yang tak terlawan.

Barulah pada dua puluh tahun yang lalu, empat orang tokoh besar ini keluar dari tempat pertapaan atau tempat persembunyian mereka untuk memperebutkan sebuah kitab yang berisi pelajaran ilmu pedang peninggalan dari guru besar Bu Pun Su (Tiada Kepandaian) Lu Kwan Cu, si pendekar sakti pada jaman lima ratus tahun yang lalu.

Pendekar sakti Bu Pun Su ini adalah pewaris asli dari ilmu silat yang tiada bandingannya, yaitu kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Pada lima ratus tahun yang lalu, pendekar sakti ini sebelum meninggal dunia sudah meninggalkan sebuah kitab ilmu pedang yang bernama Im-yang Sin-kiam-sut. Kitab ini tak pernah terjatuh ke tangan orang lain karena disimpan di dalam sebuah goa dalam bukit yang tersembunyi.

Setelah bukit itu longsor pada dua puluhan tahun yang lalu, barulah batu-batu besar penutup goa itu ikut runtuh ke bawah dan tampak goanya. Seorang penggembala domba memasuki goa itu dan mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng tadi tanpa mengerti apa isi kitab dan apa pula gunanya.

Akhirnya, secara kebetulan sekali seorang jago silat dari golongan penjahat mendapatkan kitab ini. Kepandaiannya masih terlampau rendah untuk dapat mempelajari ilmu pedang sakti ini, akan tetapi Lui Kok, jago silat yang sombong ini, membual dan memamerkan penemuannya itu di dunia kang-ouw. Hal ini sama dengan mencari penyakit sendiri bagi Lui Kok.

Mulailah para jago silat memperebutkan kitab ini. Hal ini tidaklah aneh. Siapakah di antara para jago silat yang tidak pernah mendengar nama besar pendekar sakti Bu Pun Su Lu Kwan Cu?

Bahkan empat tokoh besar dari timur, barat, utara dan selatan itu pun sampai keluar dari tempat persembunyian mereka ketika mereka mendengar bahwa sudah ditemukan kitab pelajaran ilmu pedang dari Bu Pun Su. Padahal urusan besar apa pun juga yang terjadi di dunia kang-ouw, tak mungkin akan menarik hati empat tokoh besar itu.

Akan tetapi kedatangan empat besar ini terlambat. Kitab di tangan Lui Kok telah dirampas orang lain dan Lui Kok sudah terbunuh. Tidak seorang pun tahu siapa pembunuh Lui Kok dan siapa yang merampas kitab itu. Dengan kecewa empat besar itu kembali ke tempat masing-masing, tentu saja selama itu mereka selalu mendengar-dengar kalau ada orang muncul dengan kitab yang ingin mereka miliki itu.

Siapakah pembunuh Lui Kok? Bukan lain orang adalah Thian-te Siang-hiap, dua sekawan itulah. Kitab itu mereka rampas setelah Lui Kok mereka bunuh. Kebetulan sekali kitab itu terdiri dari dua jilid, yaitu bagian Im-sin-kiam dan bagian Yang-sin-kiam.

Karena tahu bahwa empat besar yang sangat mereka takuti itu juga sedang mencari-cari kitab peninggalan Bu Pun Su, mereka lalu membagi kitab itu menjadi dua bagian, seorang memegang sejilid. Dan selama ini mereka diam saja, tak pernah mengeluarkan kitab-kitab itu.

Memang sudah menjadi watak setiap orang manusia di dunia ini, selalu merasa berat dan sayang pada diri sendiri, tidak mau kalah dan mengharapkan bahwa dirinya akan menjadi orang yang paling pandai, paling mulia, dan sebagainya.

Demikian pula watak ini juga dimiliki oleh The Bok Nam dan Phoa Ti. Diam diam mereka mempelajari isi kitab, The Bok Nam mempelajari bagian yang disimpannya yaitu bagian Yang-sin-kiam, sedangkan Phoa Ti mempelajari Im-sin-kiam.

Sampai bertahun-tahun mereka mempelajari kitab masing-masing, akan tetapi alangkah kecewa mereka bahwa di antara dua kitab itu ada hubungannya yang amat dekat. Hanya mengetahui Yang-sin-kiam saja tanpa mempelajari Im-sin-kiam, tidak akan dapat mereka memperoleh inti sari dari pelajaran Im-yang Sin-kiam-sut yang hebat itu.

Memang betul bahwa dari kitab-kitab itu masing-masing telah memperoleh kemajuan yang pesat sekali dalam ilmu silat mereka. Akan tetapi, kepandaian Im-yang Sin-kiam sut yang mereka inginkan itu tidak dapat mereka pelajari tanpa kitab yang satu lagi. Demikianlah, saat itu mulai timbul persaingan di antara mereka yang tadinya menjadi sahabat karib.

Hal ini pun sudah menjadi watak manusia. Banyak sudah peristiwa dalam hidup terjadi, di mana dua orang yang tadinya bersahabat karib, kemudian persahabatan mereka dapat menjadi retak oleh karena perebutan harta, kedudukan, kepandaian mau pun cinta kasih. Padahal semua itu hanyalah merupakan akibat, akibat dari sifat ingin senang sendiri dan ingin menang sendiri. Pendeknya sifat egoistis yang menempel pada diri setiap manusia.

Mula-mula Phoa Ti yang mendatangi sahabatnya dan minta pinjam kitab. Akan tetapi The Bok Nam tidak mau memberikan, hanya mau kalau kitab di tangan Phoa Ti itu diberikan dulu kepadanya untuk dipinjam, baru sesudah itu dia akan meminjamkan kitabnya.

Phoa Ti mengusulkan agar kitab itu saling ditukar saja supaya keduanya bisa mempelajari bersama. Akan tetapi The Bok Nam yang tidak ingin dikalahkan oleh sahabatnya itu tidak setuju. Akhirnya terjadilah pertengkaran dan bahkan timbul persetujuan di antara mereka bahwa siapa yang lebih tinggi ilmunya, dialah yang berhak membaca kedua kitab lebih dulu. Mulai saat itulah mereka sering kali mengadu ilmu, sampai berhari-hari.

Akan tetapi tingkat mereka memang sama persis. Walau pun Phoa Ti sudah mempelajari Im-sin-kiam, akan tetapi The Bok Nam juga sudah mempelajari Yang-sin-kiam sehingga kepandaian mereka sama-sama memperoleh kemajuan yang hebat.

Hal ini terjadi sampai dua puluh tahun, sampai mereka sudah menjadi kakek-kakek tetap saja tidak ada yang mau mengalah. Pada hari itu, mereka kembali mengadu kepandaian di atas jalan kecil yang diapit-apit oleh dua jurang.

Akibatnya, saking hebatnya pertempuran mereka, keduanya terluka dan roboh terguling ke dalam jurang, seorang di kanan seorang di kiri. Akhirnya Beng San datang dan anak ini kemudian mereka pergunakan untuk melanjutkan ‘adu kepandaian’ itu.

“Demikianlah, Beng San, muridku,” Phoa Ti menutup ceritanya kepada muridnya yang baru dia angkat, yaitu Beng San yang mendengarkan dengan penuh perhatian.

“Baru sekarang aku merasa menyesal sekali mengapa sampai terjadi persaingan seperti ini. The Bok Nam adalah seorang sahabat yang baik. Sayang, dia membiarkan keinginan timbul di hatinya, keinginan untuk menjadi orang yang terpandai.”

“Suhu (guru), apakah selama ini tokoh-tokoh besar dari empat penjuru itu tidak pernah datang untuk merampas kitab?” tanya Beng San.

“Tidak, kami sangat rapat menyimpan rahasia ini, karena kami tahu betul bahwa kalau sampai empat tokoh besar itu muncul mengganggu kami, kami akan celaka. Hanya kalau kami atau seorang di antara kami sudah dapat mempelajari Im-Yang Sin-kiam-sut, kiranya kami baru akan kuat menghadapi mereka.”

Beng San teringat akan Hek-hwa Kui-bo, maka dia lalu berkata, “Suhu, belum lama ini teecu (murid) bertemu dengan Hek-hwa Kui-bo dan....”

Tiba-tiba pucatlah muka Phoa Ti mendengar ini. Dengan tangannya yang hanya sebelah itu dia memegang pundak Beng San dengan erat, lalu katanya,

“Apa...? Dia...? Celaka... tentu dia sudah mendengar akan hal kitab itu. Kalau tidak, tak mungkin dia muncul... coba kau ceritakan tentang pertemuan itu.”

Dengan singkat Beng San lalu menceritakan semua pengalamannya semenjak ia bekerja di dalam kelenteng sampai dia bertemu dengan berbagai pengalaman pahit itu. Gurunya mendengarkan dengan hati tertarik, kadang kala sambil menggeleng kepala. Kemudian dia berkata sambil menarik napas panjang.

“Tidak salah lagi, tentu setelah aku dan The Bok Nam mengeluarkan ilmu silat Im-sin-kiam dan Yang-sin-kiam untuk mengadu kepandaian, kuntilanak itu tentu telah mendengar dan menduga bahwa kami berdua yang menyimpan kitab Bu Pun Su thai-sucouw. Lekas, hari sudah akan pagi. Kau harus usahakan betul supaya jurus-jurus yang kau pelajari itu dapat menangkan The Bok Nam agar dia suka memberikan kitab Yang-sin-kiam itu kepadaku. Lekas jangan sampai terlambat. Kalau seorang di antara empat setan itu muncul, maka celakalah.....”

Demikianlah, Beng San melanjutkan tugasnya sebagai penguji kedua orang kakek itu.

The Bok Nam benar-benar hebat. Semua jurus yang dikeluarkan oleh Phoa Ti dia dapat memecahkannya, padahal jurus dari ilmu silat Khong-ji-ciang itu adalah jurus-jurus yang diciptakan oleh Phoa Ti berdasarkan kitab Im-sin-kiam.

Sebaliknya, Phoa Ti juga mampu memecahkan semua jurus yang dikeluarkan The Bok Nam, jurus-jurus ilmu silat Pat-hong-ciang yang inti sarinya diambil oleh orang she The itu dari kitabnya, Yang-sin-kiam.

Beng San adalah seorang anak yang cerdik bukan main. Sampai sepuluh hari dia menjadi penguji dan selama sepuluh hari itu dia sudah melatih diri dengan lima belas jurus dari Khong-ji-ciang serta lima belas jurus dari Pat-hong-ciang! Dia melihat betapa makin hari kedua orang kakek itu makin lemah karena luka mereka dalam pertempuran itu memang hebat sekali. Apa lagi sekarang dalam memberikan petunjuk kepada Beng San, mereka harus mengerahkan tenaga Iweekang.

Yang membuat senang hati Beng San adalah karena untuk menjalankan semua pelajaran jurus-jurus yang harus dia bawa ke sana ke mari ini mengandung hawa-hawa murni dari Yang-kang dan Im-kang, maka tentu saja kedua macam hawa yang memenuhi dadanya itu makin kuat dan makin dapat diatur. Gerakan-gerakan dalam melakukan jurus-jurus ilmu silat itu telah membuka jalan darahnya sehingga makin lama dia merasa tubuhnya makin enak dan kuat, bahkan kekurangan tidur dan makan tidak mengganggunya sama sekali.

Pada hari kesebelas dia melihat suhu-nya sudah amat lemah, sampai jatuh pingsan ketika memberi petunjuk kepadanya. Beng San bingung. Ia tidak suka kepada Phoa Ti seperti juga ketidak sukaannya kepada The Bok Nam. Akan tetapi dia merasa kasihan kepada Phoa Ti yang sudah mengangkat dia sebagai murid, karena memang sikap Phoa Ti lebih baik dan lebih lemah lembut dari pada sikap The Bok Nam.

Di samping tubuh suhu-nya yang masih pingsan itu, Beng San duduk termenung, memutar otaknya. Tanpa sengaja dia mengingat-ingat kembali semua jurus yang sudah pernah dia pelajari dari kedua pihak dan tiba-tiba dia melihat persamaan-persamaan tersembunyi di dalam jurus-jurus kedua pihak itu. Jika dipandang sepintas lalu dan dimainkan, jurus-jurus ilmu silat itu nampaknya seperti saling bertentangan, namun sebetulnya dapat disatukan dan dapat disesuaikan.

Phoa Ti siuman kembali menjelang fajar. Beng San segera mengemukakan pendapatnya. “Suhu, malam tadi teecu teringat akan persamaan-persamaan yang aneh antara beberapa jurus ilmu silat suhu dan kakek The itu. Contohnya jurus yang kemarin itu, betapa sama gerakannya, hanya dibalik saja. Jika jurus suhu menggunakan tangan kanan, adalah jurus kakek itu menggunakan tangan kiri. Kalau dalam jurus suhu harus menyedot napas pada waktu memukul, dalam jurus kakek itu sebaliknya, harus meniupkan napas. Bukankah ada persamaannya yang tepat, hanya terbalik saja?”

Sejenak kakek yang sudah payah keadaannya itu termenung. Tiba-tiba dia mengeluarkan suara seperti jeritan dan... dia memuntahkan darah segar dari mulut!

Beng San cepat-cepat mengurut punggung kakek itu. Setelah agak reda napasnya, kakek itu berkata lemah, “Aduh... kau hebat... aduh, aku bodoh sekali, Beng San. Kau benar... kau benar... itulah sebabnya mengapa sekaligus harus mempelajari kedua kitab itu, tidak boleh satu-satu. Bagus...! Sekarang kau pergilah ke sana, gunakan jurus yang kau latih kemarin, hanya sejurus saja, tapi cukup... kau balikkan kedudukan tangan dan tubuh, tapi kakimu kau ubah seperti yang pernah kau pelajari dari Hek-hwa Kui-bo, atau kau bikin kacau sesuka hatimu. He-he-he... hendak kulihat apakah dia masih mampu memecahkan serangan dari jurusnya sendiri yang dibikin rusak...”

“Andai kata dia tidak dapat memecahkan jurus ini, lalu bagaimana suhu?”

“Dia... uhhh... uhhh... dia harus menyerahkan kitabnya.....” sukar sekali bagi Phoa Ti untuk mengeluarkan kata-kata karena napasnya amat sesak. “Lekaslah kau pergi...”

Kakek Phoa Ti hendak melontarkan tubuh Beng San ke jurang sebelah sana seperti yang sudah-sudah, akan tetapi tenaganya sudah habis dan dia hanya dapat memberi isyarat dengan tangannya supaya Beng San memanjat sendiri ke tempat kakek The Bok Nam.

Beng San lalu memanjat tebing jurang dan dengan girang dia mendapat kenyataan bahwa tubuhnya ringan dan mudah saja baginya memanjat tebing itu. Ketika dia tiba di atas, di jalan kecil yang dulu dilaluinya, dia telah bebas.

Apa sukarnya kalau dia melarikan diri dari situ? Baik kakek Phoa Ti mau pun kakek The Bok Nam takkan dapat lagi menghalanginya. Kedua orang tua itu sudah terlampau lemah karena luka-luka mereka yang amat parah.

Akan tetapi aneh, sekali ini tak ada keinginan di hati Beng San untuk melarikan diri. Malah dia ingin sekali melanjutkan tugasnya sebagai penguji, karena dia mulai merasa tertarik dengan ilmu silat. Apa lagi karena hasrat hatinya telah dibangkitkan oleh cerita suhu-nya tentang kitab Im-yang Sin-kiam-sut yang kini diperebutkan oleh semua ahli silat, termasuk empat besar itu.

Ketika menuruni jurang di mana The Bok Nam berada, dia melihat kakek ini keadaannya tidak lebih baik dari pada kakek Phoa Ti. Kakek itu menyambut kedatangan Beng San dengan mata terbelalak, lalu dia memaksa tertawa.

“Ha-ha-ha, tua bangka Phoa Ti sudah tak bertenaga lagi untuk melemparmu ke sini, Beng San?” biar pun mulutnya tertawa, namun diam-diam dia bersyukur juga.

Andai kata kakek Phoa Ti masih sanggup melemparkan Beng San, kiranya dia sendiri yang takkan kuat menerima tubuh itu. Kemarin saja ketika dia menerima Beng San, kedua tangannya terasa pegal dan sakit-sakit karena terlampau banyak dia memakai tenaganya yang sebenarnya sudah hampir habis.

“Bukan dia tidak bertenaga,” kata Beng San membela suhu-nya, “Hanya aku sendiri yang mau memanjat, tak suka aku dilempar-lemparkan ke sana ke mari seperti bola.”

Kembali The Bok Nam tertawa dan dari sikap ini saja Beng San bisa mengetahui bahwa keadaan suhu-nya lebih buruk dari pada kakek tinggi besar ini.

“Nah, ilmu cakar bebek apa lagi yang kau bawa sekali ini? Lebih baik Phoa Ti mengaku kalah dan memberikan kitabnya kepadaku.”

Pada saat itu terdengar suara Phoa Ti, suara yang parau sekali seperti babi mengorok, “The Bok Nam, seorang gagah sejati takkan menarik kembali janjinya. Kalau engkau tidak bisa memecahkan jurusku, kau harus memberikan kitab itu...” Tiba-tiba suara itu berhenti seakan-akan yang bicara dicekik lehernya.

The Bok Nam menjadi pucat. “Celaka,” katanya. “Kakek Phoa Ti diserang....” Tiba-tiba dia mengeluh dan tubuhnya yang tadinya duduk bersimpuh terguling roboh.

Beng San terkejut sekali karena tadi samar-samar dia melihat cahaya putih berkelebat. Sekarang tahu-tahu di situ telah berdiri seorang laki-laki tua bertubuh kecil kurus seperti tengkorak hidup. Orang ini usianya sudah enam puluhan tahun, mukanya pucat bagaikan mayat sedangkan pakaiannya pun putih semua seperti orang sedang berkabung. Orang itu tertawa-tawa seperti orang gendeng.

Beng San benar-benar heran sekali karena dia tadi tidak melihat orang itu melayang masuk, bagaimana tahu-tahu bisa berdiri di situ? Ketika dia melirik ke arah The Bok Nam, kakek tinggi besar ini memandang dengan mata terbelalak kepada mayat hidup itu.

“Song... bun kwi (Setan Berkabung), kau... kau curang... menyerang orang yang terluka...”

Akan tetapi The Bok Nam tak dapat melanjutkan kata-katanya lagi karena tiba-tiba orang tinggi kurus yang bermuka mayat itu sekali bergerak sudah sampai di dekatnya, langsung mengguling-gulingkan tubuh The Bok Nam, dan kedua tangannya mencari-cari.

Sebentar saja tangannya mencari-cari, dia sudah mendapatkan apa yang dicarinya dan mencabut keluar sebuah kitab kecil dari dalam saku baju orang she The yang sudah tak berdaya itu. Semua ini berjalan cepat sekali hingga Beng San hampir tak dapat mengikuti dengan matanya.

Melihat betapa secara kejam dan kurang ajar sekali si muka mayat itu mempermainkan The Bok Nam, timbul kemarahan dalam hati Beng San. Dengan mata berkilat ia melompat maju dan menudingkan telunjuknya ke hidung si muka mayat.

“Menyerang dan merampas barang orang yang sedang sakit, tindakan begitu mana bisa disebut perbuatan gagah? Sungguh tidak tahu malu sekali engkau, Song-bun-kwi!” Sikap dan kata-kata Beng San seperti sikap seorang tua memarahi orang muda, maka tampak lucu sekali.

Akan tetapi Song-bun-kwi terbelalak dan nampak mengerikan sekali. Matanya mendadak hanya kelihatan putihnya saja bagaikan mata iblis! Beng San sampai bergidik ketakutan menyaksikan muka yang bukan seperti muka manusia lagi itu.

Tiba-tiba setan berkabung itu tertawa, disusul suara orang seperti orang menangis dan akhirnya dia benar-benar menangis! Namun hanya sebentar saja. Tangisnya lalu terhenti dan dia berkata kepada Beng San, “Dua puluh tahun lebih tidak mendengar orang memaki dan memarahiku, tidak mendengar orang mencelaku. Ha, anak baik. Orang seperti kau inilah baru patut disebut orang.” Setelah berkata demikian, dia menggerakkan dua kakinya dan melesatlah sinar putih keluar dari jurang itu.

Beng San melongo. Gerakan yang demikian cepat sampai seperti menghilang ini segera mengingatkan dia kepada Hek-hwa Kui-bo. Diam-diam dia bergidik. Mengapa di dunia ini ada orang-orang berkepandaian sehebat itu sampai seperti iblis-iblis saja?

Beng San mendengar The Bok Nam mengeluh. Ketika menengok, dia melihat orang tua itu napasnya empas-empis. Tersentuh perasaan welas asihnya.

Beng San segera berlutut, mengeluarkan daun obat yang sering kali dia dapatkan dari suhu-nya, memeras daun itu dan memasukkannya ke dalam mulut The Bok Nam. Kakek itu nampak heran, akan tetapi makan daun itu dan warna merah menjalar ke pipinya yang sudah pucat. Kemudian dia menghela napas panjang.

“Dua puluh tahun berkukuh tak mau memperlihatkan kepada sahabatku Phoa Ti, dan kini terampas oleh Song-bun-kwi.... Hemmm, ini namanya hukuman bagi si orang yang tidak ingat kepada sahabat baiknya....”

Ia terengah-engah dan dari kedua matanya bercucuran air mata. Baru kali ini Beng San melihat kakek yang keras hati ini menangis dan dia menjadi terharu.

“Orang tua, dua puluh tahun kitab itu berada di tanganmu, tentu sudah kau pelajari semua isinya. Terampas orang lain apa ruginya?”

Tiba-tiba kakek itu tampak bersemangat, matanya bercahaya. “Kau betul... ehhh, Beng San, kau betul... bantu aku duduk... ehh, pukulan Setan Berkabung itu hebat...”

Beng San membantu kakek itu duduk bersila seperti tadi sebelum dia roboh terguling oleh pukulan jarak jauh Song-bun-kwi.

“Lekaslah kau berlutut, kau sekarang menjadi muridku. Kau akan kuwarisi seluruh isi kitab Yang-sin-kiam.”

Karena merasa kasihan kepada kakek ini yang dia tahu dari perasaannya tak akan dapat hidup lebih lama lagi, Beng San lalu berlutut dan menyebut.

“Suhu…!”

“Dengar baik-baik. Yang-sin-kiam hanya terdiri dari delapan belas pokok gerakan yang lalu dapat dipecah menjadi ratusan jurus menurut bakat dan daya cipta orang yang telah mempelajarinya. Nah, kauhafalkan satu demi satu.”

“Nanti dulu, The-suhu. Teecu hendak melihat dulu keadaan Phoa Ti suhu di sana…”

The Bok Nam tercengang. “Kau menjadi muridnya.....? Ahhh, betul sekali sahabatku she Phoa itu. Engkau harus pula mewarisi Im-sin-kiam, begitu baru lengkap sehingga kelak si Setan Berkabung ada tandingannya...”

Setelah mendapat persetujuan kakek itu, Beng San lalu memanjat ke atas untuk melihat kakek Phoa Ti. Akan tetapi dia mendengar suara aneh yang melengking-lengking seperti suara orang menangis. Ketika dia tiba di atas dia melihat dua bayangan berkelebat di atas jalan kecil. Ternyata bahwa Song-bun-kwi sedang bertanding melawan Hek-hwa Kui-bo!

Song-bun-kwi bersenjata sebuah suling yang mengeluarkan suara seperti menangis itu, sedangkan Hek-hwa Kui-bo bersenjata sapu tangan suteranya. Pertempuran itu berjalan seru seperti dua ekor kupu-kupu beterbangan. Meski pun gerakan mereka begitu ringan seperti terbang saja, tapi angin dari pukulan mereka menyambar-nyambar sehingga Beng San tak kuat menahan. Anak ini terguling dan dengan ketakutan dia bersembunyi di balik sebuah batu besar sambil mengintai.

Pertandingan itu berlangsung tidak lama karena keduanya berkelahi sambil berlari-lari dan sebentar saja lenyaplah dari pandangan mata. Hanya suara tangis suling itu lapat-lapat masih terdengar dari jauh.

Setelah suara suling itu lenyap, barulah Beng San berani muncul dan berlari-lari menuruni jurang. Hatinya berdebar penuh kegelisahan ketika dia melihat Phoa Ti telah menggeletak dengan napas senin kemis. Ia cepat menubruk dan menolong, tetapi ternyata keadaan kakek ini sama dengan keadaan The Bok Nam, telah terluka hebat oleh pukulan Hek-hwa Kui-bo.

“Bagaimana, suhu.....?” Beng San berbisik ketika melihat suhu-nya membuka mata.

“Ahhh, celaka... celaka... Kitab Im-sin-kiam dirampas Hek-hwa Kui-bo.....” Phoa Ti berkata lemah sambil meramkan mata, mukanya berduka sekali, “Beng San, nyawaku tidak akan dapat tinggal lebih lama lagi di tubuhku yang rusak dan terluka berat. Lekas kau bersiap, hendak kuturunkan padamu seluruh isi Im-sin-kiam yang terdiri dari delapan belas pokok gerakan...”

Beng San tak mau banyak membantah. Melihat bahwa keadaan Phoa Ti lebih payah, dia cepat-cepat mempelajari ilmu silat pedang yang diturunkan kakek itu kepadanya. Tentu saja dia hanya dapat menghafalnya, tidak dapat melatih secara baik karena tidak ada waktu baginya. Namun dengan mudah dia dapat mempelajari inti sarinya.

Hal ini bukan hanya karena Beng San memang seorang anak yang cerdas, akan tetapi terutama sekali karena dia pernah mempelajari jurus-jurus Khong-ji-ciang yang inti sarinya memang bersumber kepada Im-sin-kiam sehingga mudahlah baginya untuk menghafal pokok-pokok gerakan yang inti sarinya sudah dikenalnya itu.

Betapa pun juga, untuk menghafal delapan belas pokok gerakan itu dengan baik, ia harus mempergunakan waktu setengah bulan. Setelah tamat, keadaan suhu-nya sudah payah sekali.

Sebetulnya Beng San tidak tega meninggalkan suhu-nya ini. Maka setelah tamat, biar pun hatinya ingin sekali pergi ke The Bok Nam untuk menerima warisan Yang-sin-kiam, namun dia tidak mau pergi, melainkan terus menjaga dan merawat suhu-nya.

“Ahh... Puas hatiku... Im-sin-kiam telah kau hafalkan semua... sayang… alangkah baiknya kalau kau pun dapat menghafal Yang-sin-kiam.”

“Suhu, sebetulnya suhu The Bok Nam juga sudah mengangkat teecu sebagai murid dan hendak menurunkan Yang-sin-kiam, akan tetapi... teecu tidak tega meninggalkan suhu seorang diri...”

“Bagus! Anak bodoh, mengapa tidak bilang dari kemarin? Hayo kau lekas pergi ke sana. Lekas...!” Beng San tidak dapat membantah lagi dan ketika dia dengan gerakan ringan memanjat tebing, dia mendengar di bawah suhu-nya itu tertawa-tawa gembira.

The Bok Nam menerima kedatangan Beng San dengan merengut. “Hemmm, murid apa kau ini? Kenapa begitu lama tidak muncul?”

Beng San menjatuhkan diri berlutut. “The-suhu, harap ampunkan teecu yang lama tidak datang karena teecu harus menghafalkan Im-sin-kiam dari Phoa Ti suhu.”

Wajah yang muram itu menjadi terang. “Aha, kiranya sahabatku Phoa Ti juga sudah sadar dan insyaf. Siapa yang merampas kitabnya?”

Diam-diam Beng San merasa kagum. Tanpa melihat kakek ini sudah tahu bahwa Phoa Ti diserang orang dan dirampas kitabnya. “Hek-hwa Kui-bo yang merampasnya, suhu.”

Lalu dia menceritakan secara singkat apa yang dilihatnya ketika dia keluar dari jurang ini setengah bulan yang lalu.

The Bok Nam menghela napas panjang. “Dunia kang-ouw akan geger akibat terampasnya kitab-kitab itu. Lekas, Beng San, kau pelajari Yang-sin-kiam..., aku sudah hampir tak kuat lagi.”

Demikianlah, sekali ini Beng San mempelajari Yang-sin-kiam dari gurunya yang kedua. Mungkin karena dia sudah menghafal Im-sin-kiam, kali ini dia mempelajari ilmu itu secara lebih mudah. Baru sepuluh hari dia sudah dapat menghafal delapan belas pokok gerakan Yang-sin-kiam.

Sementara itu, pada hari kesebelasnya dia mendapati The Bok Nam sudah kaku dalam keadaan duduk bersila, sudah tidak bernyawa lagi! Beng San kaget dan terharu sekali, dia menangis dengan sedihnya.

Segera dia menggali lubang di jurang itu dengan kedua tangannya. Baiknya dia sudah melatih silat dan gerakan-gerakan itu menambah besar tenaga di tubuhnya, sudah dapat mempersatukan hawa Yang dan Im di tubuhnya, maka tak begitu sukarlah baginya untuk menggali lubang di tanah dasar jurang yang tidak keras itu.

Setelah mengubur jenazah The Bok Nam dan berlutut beberapa lama, anak itu kemudian meninggalkan jurang, lalu menuruni jurang di seberang untuk menghadap gurunya yang seorang lagi. Ia melihat orang tua itu rebah miring seperti biasa.

“Phoa-suhu, teecu sudah berhasil mempelajari...” ia menghentikan kata-katanya karena melihat keadaan suhu-nya yang diam tidak bergerak. Cepat dia melompat mendekatinya dan....

“Suhu...!” untuk kedua kalinya Beng San menangisi kematian seorang lagi yang sangat disayang dan dihormatinya. Phoa Ti ternyata sudah meninggal dunia pula, agaknya belum lama dia mati karena tubuhnya masih baik.

Seperti yang dia lakukan pada jenazah The Bok Nam, Beng San juga mengubur jenazah Phoa Ti di dasar jurang itu. Dia memberi hormat di depan makam suhu-nya itu, lalu dia memanjat jurang keluar dari situ. Diambilnya sebuah batu besar dan diletakkannya di tepi jalan sebagai tanda pengenal. Tanpa tanda ini akan sukar sekali mencari di mana adanya jurang yang menjadi kuburan kedua orang tua itu.

Barulah anak ini sadar bahwa dia tadi telah mengangkat sebuah batu yang amat besar dengan mudah saja! Ia pun kaget berbareng girang bukan main. Karena maklum bahwa pelajaran-pelajaran yang dia dapatkan dari kedua orang kakek itulah yang mendatangkan tenaga besar dalam tubuhnya, dia lalu mengingat-ingat semua pelajaran itu dengan baik.

Sambil berjalan meninggalkan tempat itu dia berjanji kepada diri sendiri untuk melatih diri dengan semua jurus itu setiap kali ada kesempatan baginya…..

********************

Pada malam hari terang bulan, seorang gadis cantik yang bepakaian sederhana duduk seorang diri di belakang sebuah losmen. Taman bunga kecil milik losmen itu lumayan juga dan keadaan tentu akan amat menyenangkan dan indah apa bila orang tidak mendengar isak tangis perlahan, isak tangis yang tertahan-tahan.

Gadis yang menangis perlahan itu bukan lain adalah Liem Sian Hwa, orang termuda dari empat orang gagah dari Hoa-san-pai. Memang aneh apa bila melihat gadis perkasa ini menangis. Sebagai seorang pendekar wanita yang sangat terkenal namanya, walau pun seorang wanita, tangis merupakan sebuah hal yang dipantangnya, yang amat memalukan baginya.

Oleh karena itu, semua kedukaan hatinya ditahan-tahan selama ia melakukan perjalanan bersama twa-suheng-nya, yaitu Kwa Tin Siong. Baru pada malam hari ini, ketika mereka bermalam di losmen kecil di kota Leng-ki ini, ia mendapat kesempatan pada malam hari itu untuk keluar losmen, duduk di taman bunga yang sunyi meratapi nasibnya yang buruk.

Siapakah orang yang takkan merasa berduka? Ayahnya telah dibunuh orang dan menurut bukti-bukti, pembunuhnya itu bukan lain adalah tunangannya sendiri, bersama seorang perempuan kekasih tunangannya itu!

Tunangannya itu adalah pilihan gurunya dan sudah disetujui ayahnya, maka tentu saja ia sudah menganggapnya sebagai seorang yang akan menjadi pelindung atau kawan hidup selamanya. Siapa duga, orang itu pula yang membunuh ayahnya. Sekaligus ia kehilangan ayah dan calon suami, dan sebagai gantinya ia mendapatkan seorang musuh besar yang lihai, yaitu Kwee Sin jago muda dari Kun-lun-pai itu.

Ia tidak gentar menghadapi Kwee Sin atau siapa pun juga untuk membalas sakit hatinya. Akan tetapi mengingat betapa justru tunangannya sendiri yang menjadi musuh besarnya, yang membunuh ayahnya, sekaligus berantakanlah mimpi muluk-muluk yang selama ini memenuhi tidurnya. Hancur hati gadis cantik itu dan di dalam taman yang sunyi ia dapat menuangkan semua kesedihannya melalui air matanya yang bercucuran deras seperti air sungai yang meluap-luap.

Sunyi di sekeliling tempat itu. Sian Hwa begitu terbenam dalam tangis dan kesedihannya sehingga ia tidak melihat atau mendengar datangnya Kwa Tin Siong ke dalam taman.

Pendekar ini mendekati sumoi-nya dan menegur halus.

“Sumoi, harap kau suka menenangkan pikiranmu. Tiada gunanya ditangisi dan disedihi, paling perlu engkau harus dapat menjernihkan kekeruhan itu. Dan percayalah, sumoi. Aku senantiasa menyediakan tenaga dan nyawa untuk membantumu. Pasti kita berdua akan dapat membongkar rahasia kematian ayahmu dan membalas dendam ini.”

Sian Hwa terisak-isak, hatinya makin perih dan terharu. Dengan sedu-sedan ia menubruk kakak seperguruannya.

“Twa-suheng..., ahhh..., alangkah buruk nasibku, suheng...” Sian Hwa menangis sedih di dada Kwa Tin Siong yang memeluk pundaknya dan menghiburnya.

“Sudahlah sumoi, mari kita masuk ke dalam. Kalau terlihat orang lain engkau menangis seorang diri di sini, nanti bisa menimbulkan dugaan yang bukan-bukan.”

Tiba-tiba Kwa Tin Siong mendorong tubuh adik seperguruannya ke samping dan pada lain saat tangannya menyambar ke depan.

“Keparat pengecut!” bentaknya sambil melompat ke depan.

Sian Hwa yang tadi dikuasai kesedihannya kurang waspada. Dia tidak mendengar dan tak melihat menyambarnya benda itu. Sekarang ia maklum bahwa ada orang jahat, maka ia cepat melompat mengejar suheng-nya.

Akan tetapi Kwa Tin Siong sudah kembali lagi. “Dia menghilang di dalam gelap,” katanya. “Mari kita masuk, sumoi. Entah benda apa yang dilemparkan ke arah kita tadi.”

Di dalam ruangan losmen, di bawah penerangan lampu, mereka berdua melihat benda itu. Sian Hwa mengeluarkan seruan kaget. Benda itu adalah sebuah sisir rambut dari perak. Sisir rambutnya sendiri yang dahulu dipergunakan sebagai tanda pengikat perjodohannya dengan Kwee Sin! Sekarang sisir rambut itu dikembalikan kepadanya dengan tambahan sedikit tulisan pada kertas yang membungkus sisir.

‘Putus karena berlaku serong’.

Wajah Sian Hwa menjadi merah sekali, merah karena jengah dan kemarahannya yang memuncak. Sudah jelas sekarang bahwa yang menyambit dengan sisir peraknya tadi adalah Kwee Sin, tunangannya yang melihat dia menangis dalam pelukan Kwa Tin Siong! Dan tunangannya itu, yang membunuh ayahnya, yang bermain gila dengan perempuan Pek-lian-kauw, sekarang malah menuduh dia bermain gila dengan suheng-nya sendiri.

Dengan isak ditahan-tahan Sian Hwa lari masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan Kwa Tin Siong yang berdiri terlongong di ruangan itu. Pendekar ini menarik napas berulang kali, hatinya berdebar-debar tidak karuan, pikirannya kusut. Baru kali ini semenjak dia ditinggal mati isterinya, hati dan pikirannya digoda oleh persoalan wanita, dan wanita itu adalah sumoi-nya sendiri.

Kemudian dia teringat akan puterinya, Kwa Hong. Diam-diam di dalam hati ayah ini pun timbul kekhawatiran besar, bukan hanya kekhawatiran memikirkan anaknya itu sekarang pergi bersama seorang aneh seperti Koai Atong, juga khawatir akan nasib anaknya itu kelak.

Sebenarnya, di dalam hatinya sudah ada rencana untuk mengikat tali perjodohan antara Kwa Hong dengan putera sulung sute-nya, Thio Wan It. Akan tetapi setelah sekarang dia menghadapi kenyataan pahit dalam ikatan jodoh sumoi-nya, dia pun merasa berkhawatir. Khawatir kalau-kalau kelak anaknya juga menghadapi kekecewaan dalam pertunangan seperti apa yang dialami oleh sumoi-nya itu.

Semalam itu Kwa Tin Siong tak dapat tidur dan ketika pada keesokan harinya dia bertemu dengan Sian Hwa, dia melihat sumoi-nya itu pun merah sepasang matanya, tanda bahwa sumoi-nya ini pun tidak tidur dan banyak menangis. Mereka tidak dapat mengeluarkan kata-kata lagi karena peristiwa malam tadi masih menggores hati dan perasaan mereka.

Setelah sarapan, dengan cepat mereka melanjutkan perjalanan ke Hoa-san yang tak jauh lagi letaknya, hanya perjalanan setengah hari.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar