Raja Pedang Chapter 04

“Di dalam tubuh setiap orang manusia memang pada dasarnya sudah terdapat dua macam hawa yang bertentangan itu, akan tetapi tidak sehebat ini.

“Dengarkan baik-baik. Kau akan kuberi pelajaran tiga macam ilmu silat. Akan tetapi ada syarat-syaratnya. Pertama, kau tidak boleh mengaku Hek-hwa Kui-bo sebagai gurumu.”

Beng San merengut. “Siapa yang kepingin mengakui kau sebagai guru? Syarat ini cocok dengan pikiranku.”

“Kedua, kau harus berdiam terus di dalam hutan ini sebelum kau hafal benar tiga macam ilmu silat itu. Tergantung kepada otakmu. Kalau kau berotak udang dan beku, dan sampai sepuluh tahun belum hafal, kau tetap tidak boleh keluar. Begitu keluar akan kubunuh jika kau belum hafal.”

Beng San segera memprotes, “Aturan apa ini? Aku tak sudi. Kalau begitu, sudahlah, siapa yang kegilaan akan ilmu silat? Aku tidak usah belajar saja.”

Hek-hwa Kui-bo tertawa mengejek dan sapu tangannya bergerak-gerak. “Kau boleh tidak belajar, akan tetapi nyawamu kucabut. Kau kira aku seorang yang suka menjilat ludah sendiri? Aku sudah berjanji, kau harus menerima tiga macam pelajaran ilmu silat dan kau harus pula memenuhi syarat-syarat itu atau... kau boleh mampus.”

Beng San memang bocah yang nakal dan berani, akan tetapi dia pun cerdik bukan main. Sekarang sedikit banyak ia telah mengenal watak kuntilanak ini yang selalu membuktikan omongannya, maka dia lalu berkata, “Baiklah, mempelajari ilmu silatmu atau tidak adalah sama saja! Apa sih gunanya? Kukira ilmu silatmu itu pun tidak akan ada artinya bagiku!”

Hek-hwa Kui-bo kena dibakar perutnya.

“Tarrr!!”

Sapu tangannya berkelebat menyambar, mengeluarkan suara keras. Ujungnya melewati kepala Beng San dan menghantam sebuah batu di dekatnya. Alangkah kagetnya anak itu ketika melihat betapa pinggir batu itu gompal dan remuk seperti dihantam palu besar yang kuat dengan keras sekali.

“Kau bilang tidak ada gunanya? Apa kepalamu lebih keras dari pada batu itu?” Hek-hwa Kui-bo berkata sambil mendelik.

Beng San kagum sekali dan mulailah timbul keinginan dalam hatinya untuk dapat memiliki kepandaian seperti ini. Akan tetapi dia memperlihatkan sikap acuh tak acuh menyaksikan kehebatan wanita itu. Dia malah menarik napas panjang dan berkata,

“Apa artinya kelihaian ilmu silat kalau toh aku takkan mungkin dapat mempelajarinya? Aku tidak pernah belajar silat, bagaimana sekarang bisa mempelajari ilmu silatmu kalau tidak kau pimpin sendiri?”

Hek-hwa Kui-bo tertawa mengikik, “Kau tentu bisa, pasti bisa. Aku memiliki tiga macam ilmu silat yang mudah dipelajari, biar pun oleh seorang tolol seperti kau. Pertama, adalah ilmu siulian (semedhi) yang disebut Thai-hwee (api besar) untuk mendatangkan kekuatan tenaga dalam berdasarkan Yang-kang. Dalam menjalankan ilmu ini tubuhmu akan terasa panas sekali seperti terbakar, kau harus dapat menahan ini. Dan yang kedua adalah ilmu pernapasan yang disebut Siu-hwee (memelihara api) untuk membikin hawa Yang-kang di badanmu memasuki semua pembuluh darah dan membikin badanmu kebal.”

“Apa artinya semua ini?” Beng San mencela. “Masa orang harus belajar supaya diri kuat dan tahan dipukul? Apa selanjutnya aku hanya disuruh menjadi bahan pukulan? Aku ini kau ajari cara memukul batu seperti tadi.”

Hek-hwa Kui-bo tertawa, “Tolol kau. Dua macam pelajaran itu adalah pokok dari semua pelajaran silat. Yang ketiga, adalah ilmu pukulan yang kusebut Ci-hwee (keluarkan api), terdiri dari tiga jurus pukulan yang mengandung hawa Yang-kang. Nah, kau perhatikanlah sekarang semua petunjukku dan pelajari baik-baik. Aku hanya sudi memberi kesempatan belajar sehari semalam saja, setelah itu kau harus belajar sendiri.”

Demikianlah, wanita aneh ini sengaja menurunkan cara semedhi dan latihan pernapasan yang semata-mata hanya dapat untuk memperbesar daya Yang-kang di tubuh Beng San. Perbuatan ini sebetulnya amat licik dan jahat. Bagi orang lain, mungkin sekali ilmu-ilmu ini akan mendatangkan tenaga dalam tubuh yang luar biasa.

Akan tetapi seperti telah diketahui, dalam tubuh Beng San pada saat itu sedang mengalir hawa panas yang luar biasa akibat ditelannya tiga butir pil buatan tosu Siok Tin Cu. Hawa panas ini tentu akan menghanguskan jantungnya, kalau saja dia tidak terkena pukulan Jing-tok-ciang dan terkena racun hijau akibat serangan Koai Atong.

Hek-hwa Kui-bo tak tahu akan serangan Koai Atong ini. Akan tetapi wanita sakti ini cukup maklum bahwa tiga butir pil Yang-tan itu secara aneh sekali sudah ditahan kekuatannya oleh semacam hawa Im yang berada di tubuh Beng San. Melihat ini, walau pun dia tidak mampu memaksa Beng San mengaku, wanita ini mempunyai dugaan bahwa tentulah Beng San ini murid seorang sakti lain.

Hal ini sangat tidak disukainya. Sudah menjadi watak Hek-hwa Kui-bo untuk tidak mau mengalah terhadap orang lain. Siok Tin Cu adalah cucu muridnya, karena guru tosu itu, ketua Ngo-lian-kauw, yaitu yang bernama Kim-thouw Thian-li (Dewi Kepala Emas) adalah murid tunggalnya.

Pada saat mendengar bahwa Yang-tan yang ditelan bocah ini tidak mematikannya, timbul perasaan benci dan iri di hati Hek-hwa Kui-bo. Maka ia sekarang sengaja mengajarkan dua macam ilmu itu untuk memperbesar dan memperkuat hawa Yang di tubuh anak ini agar pertahanan hawa Im di tubuhnya kalah.

Tentu saja Beng San yang tidak tahu apa-apa tidak mengandung hati curiga dan dengan penuh ketekunan dan ketelitian ia memperhatikan segala petunjuk wanita itu. Dasar bocah ini berotak cerdas dan terang sekali, menjelang senja hari, jadi baru saja setengah hari Hek-hwa Kui-bo memberi petunjuk, dia sudah mengerti baik bagaimana harus melakukan latihan Thai-hwee, Siu-hwee, dan Ci-hwee.

Diam-diam Hek-hwa Kui-bo terkejut bukan main dan kagum sekali. Belum pernah dia melihat bocah secerdas ini otaknya. Akan tetapi memang Hek-hwa Kui-bo yang aneh. Hal ini bukan menimbulkan rasa sayang kepadanya, melainkan dia makin membenci dan iri hatinya. Dia sendiri dulu tidak memiliki kecerdasan seperti ini.

“Nah, kau boleh tekun melatih diri dengan tiga macam ilmu ini. Jangan sekali-kali berani keluar dari hutan kalau belum menguasai ilmu yang kuajarkan. Kalau kau melanggar, kau akan kubunuh!” Setelah berkata demikian, sekali berkelebat wanita ini telah lenyap dari depan Beng San.

Anak ini berhati lega. Mungkin ia akan menjaga di luar hutan, pikirnya. Akan tetapi kalau sampai dua tiga hari, apakah ia akan sabar menjaga terus? Pula hutan ini begini besar, kalau aku keluar dari lain jurusan, bagaimana mungkin dia bisa tahu?

Dengan pikiran ini, dia enak-enak saja tidak mau melatih diri. Dia bahkan segera memilih tempat untuk tidur yang aman dan enak, yaitu di atas sebatang pohon yang amat besar.

Pada keesokan harinya, dia juga tidak melatih diri, namun berjalan-jalan di dalam hutan, memilih tempat yang banyak ditumbuhi pohon-pohon berbuah supaya tidak sukar lagi dia mencari apa bila perutnya terasa lapar. Sampai dua hari Beng San hanya berkeliaran di dalam hutan, tidak mau melatih diri.

Pada malam ketiga, malam yang amat gelap, dia berjalan keluar dari hutan, mengambil jurusan yang berlawanan agar tidak diketahui oleh Hek-hwa Kui-bo. Hutan itu amat lebat sehingga menjelang fajar dia baru bisa keluar dari hutan.

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tiba-tiba saja dia mendengar suara ketawa nyaring dan cekikikan, suara tawa kuntilanak! Sebelum dia sempat melihat dari mana datangnya suara itu, tiba-tiba orangnya sendiri telah berkelebat dan berdiri di depannya dengan sapu tangan panjang itu diputar-putar dengan sikap mengancam sekali.

Beng San takut bukan main, akan tetapi dia cerdik. Cepat-cepat dia pun berkata “Hek-hwa Kui-bo, perutku lapar sekali. Semalaman penuh aku putar-putar di dalam hutan mencari makanan, tetapi tidak ada. Aku tersesat sampai sini...”

Hek-hwa Kui-bo memandang tajam, “Kau bukannya hendak lari?”

“Tiga macam ilmu itu belum kuhafal sempurna, bagaimana aku berani mati meninggalkan tempat ini? Seorang laki-laki sudah berjanji....” Ia tidak melanjutkan kata-katanya karena memang tadinya dia bermaksud hendak lari.

Hek-hwa Kui-bo tertawa ganjil, sepasang matanya bersinar-sinar. “Kau terus pelajari saja baik-baik, dalam beberapa hari lagi tidak akan sukar bagimu menangkap binatang hutan untuk dimakan.”

Beng San memasuki hutan kembali dan dia mendengar dari jauh wanita itu menggerutu, “Anak tahan uji...”

Sekarang yakinlah hati Beng San bahwa tak mungkin dia dapat pergi tanpa diketahui oleh wanita sakti yang aneh itu. Nyawanya terancam bahaya maut kalau dia berani pergi. Tidak ada lain pilihan lagi baginya, kecuali mulai mempelajari tiga macam ilmu itu.

Mula-mula dia melakukan semedhi untuk meyakinkan ilmu Thai-hwee seperti yang sudah dia pelajari dari wanita itu. Dan benar saja, baru setengah malam dia duduk semadhi, dia merasa ada hawa panas sekali berkumpul di perutnya, makin lama makin panas sampai dia tak dapat menahan lagi dan akhirnya terguling pingsan! Ketika dia siuman kembali, dia menderita hawa dingin yang luar biasa, membuat tubuhnya seakan-akan menjadi beku.

Teringatlah dia semua pengalamannya di dalam hutan ketika dia bertemu dengan Kwa Hong. Begini pula penderitaannya. Mengapa setelah sekarang mulai melatih diri dengan ilmu yang dia pelajari dari Hek-hwa Kui-bo, agaknya penyakit aneh itu timbul kembali?

Beng San memiliki ketabahan dan kenekatan. Daya tahannya, lahir batin amat kuat. Biar pun dia menderita banyak siksaan dari latihan pertama ini, dia lanjutkan terus. Tiga empat hari pertama, setiap kali siulian paling lama satu malam dia tentu roboh pingsan.

Akan tetapi pada hari kelima dia tidak pingsan lagi. Dia tidak tahu bahwa akibatnya, kulit mukanya makin lama menjadi semakin merah dan akhirnya menjadi hitam seperti pantat kwali. Namun dia yang tak pernah melihat bayangan mukanya sendiri, tidak tahu akan hal ini!

Sebulan kemudian dia mulai dengan pelajaran kedua. Ketika ia mulai melatih pernapasan menurut ilmu Siu-hwee (simpan api), dia merasa bahwa hawa panas yang dia dapat dari ilmu pertama itu berkumpul di pusarnya, lalu berpindah-pindah ke dadanya dan terasalah dada kirinya sakit seperti di tusuki jarum. Ia nekat terus dan akhirnya rasa sakit hebat itu menghilang. Setelah satu bulan, dia hanya merasa seakan-akan dalam dadanya tertekan sesuatu.

Bulan ketiga dia pergunakan untuk melatih diri dengan ilmu pukulan yang disebut Ci-hwee (Mengeluarkan Api). Ilmu pukulan ini terdiri dari tiga jurus gerakan saja. Gerakan pertama menghantam kedua tangan dengan jari-jari terbuka ke arah tanah di depan kakinya, lalu gerakan kedua menghantam ke depan dan gerakan ketiga menghantam ke atas. Semua gerakan ini dilakukan dengan pemindahan kaki kanan kiri, yang satu di depan yang lain di belakang. Sederhana sekali akan tetapi ternyata amat sukar dilakukannya.

Baiknya Beng San sudah memperhatikan dengan teliti sekali dan akhirnya dia dapat juga melakukan gerakan-gerakan ini dengan baik pula setelah selama satu bulan berlatih siang dan malam. Tiap kali dia melakukan pukulan-pukulan dengan jari-jari tangan terbuka, dia merasa dadanya yang tertekan agak enakan, seakan-akan agak berkurang tekanannya.

Ia tidak tahu bahwa hal itu disebabkan karena adanya hawa Yang-kang yang keluar dari dalam tubuhnya. Perginya sebagian hawa ini mengurangi tekanan hawa mukjijat yang kini berkumpul dan seolah terkurung di dadanya sehingga mengancam pekerjaan isi dadanya.

Empat bulan lewat ketika Beng San memberanikan diri keluar dari hutan. Dia tidak tahu di mana batas kesempurnaan mempelajari ilmu-ilmu itu, maka dia berlaku untung-untungan saja. Kalau nanti ketemu Hek-hwa Kui-bo dan dia diuji, dia akan mainkan sebaik-baiknya. Andai kata dinyatakan belum sempurna, bagaimana nanti sajalah.

Selama empat bulan dia sudah merasa seperti terhukum. Tubuhnya tidak pernah terasa enak lagi, selalu dia diserang hawa panas yang kadang-kadang membuatnya seperti gila. Dengan latihan-latihan itu, Hek-hwa Kui-bo sudah menambah hawa Yang-kang di dalam tubuhnya.

Kalau dulu tenaga Im-kang akibat serangan Koai Atong lebih kuat, sekarang setelah dia berlatih, di dalam tubuhnya yang lebih kuat adalah tenaga Yang-kang. Maka dia tidak lagi terserang hawa dingin, tetapi selalu kepanasan. Ia seperti seorang yang selalu menderita demam panas, akan tetapi bukan panas biasa, melainkan panas yang takkan tertahankan orang biasa. Dia tentu sudah mati lebih dulu jika di badannya tidak terkandung racun dari jing-tok yang mengandung hawa Im.

Agaknya memang nasib Beng San harus menderita hebat pada waktu kecilnya. Memang agak aneh apa yang dia alami semua ini.

Tiga butir pil buatan Siok Tin Cu itu sebetulnya cukup untuk membunuh nyawa tiga orang, tapi kekuatan hawa Yang-kang dari tiga butir pil itu bahkan semuanya kini terkandung di dalam tubuh Beng San. Seharusnya dia mati karena ini, akan tetapi siapa kira secara kebetulan sekali dia diserang oleh Koai Atong yang berotak miring sehingga tubuhnya kemasukan hawa Im-kang yang malah lebih kuat dari pada hawa Yang-kang itu.

Dan sekarang, Hek-hwa Kui-bo yang tidak tahu mengenai penyerangan Koai Atong dan bermaksud membunuhnya dengan cara memperkuat hawa Yang dengan latihan-latihan itu, ternyata hanya menambah hawa panas sehingga bisa mengimbangi hawa dingin dari racun hijau. Karena itu, walau pun mukanya menjadi gosong hitam dan dadanya seperti terbakar, biar pun keselamatan nyawanya tetap terancam, namun Beng San masih hidup dan dapat bertahan sampai sekian lamanya!

Alangkah girangnya hati Beng San ketika dia tidak melihat munculnya Hek-hwa Kui-bo. Sesudah keluar dari hutan itu, hatinya berdebar saking girangnya. Benar-benar dia tidak melihat bayangan wanita itu. Akan tetapi, di samping rasa gembiranya, dia pun merasa mendongkol sekali.

“Dasar siluman kuntilanak jahat,” gerutunya. “Aku sudah ditipunya. Disuruh mempelajari ilmu siluman selama berbulan-bulan dan dia ternyata tidak menjaga di sini. Dasar bodoh, kalau tahu begini, siapa sudi berbulan-bulan menjadi monyet di dalam hutan?”

Sambil memaki-maki Hek-hwa Kui-bo di dalam hatinya, Beng San melanjutkan perjalanan. Karena dia sedang berada di daerah pegunungan dan di situ tidak terlihat adanya dusun atau orang lewat, dia lalu berjalan ke mana saja tanpa tujuan tertentu.

Akan tetapi semua pengalamannya itu mendatangkan keinginan di dalam hatinya untuk mempelajari ilmu silat yang betul-betul dan yang bermutu tinggi agar dia dapat mencegah orang lain melakukan penghinaan atas dirinya. Apa bila teringat kepada Kwa Hong, dia masih merasa mendongkol sekali.

Pada hari ketiga, ketika dia merasa sangat haus dan dia minum air, dia menjadi terkejut setengah mati pada saat melihat mukanya di dalam air. Aduh celaka, kenapa mukanya menjadi hitam seperti setan? Beng San tidak percaya, lalu pindah ke air yang lebih jernih untuk melihat mukanya sendiri. Akan tetapi tetap saja, nampak jelas bahwa mukanya memang hitam seperti pantat kwali.

“Celaka... ah, mukaku jadi begini...” tak terasa lagi anak ini menangis tanpa mengeluarkan suara, hanya air matanya mengucur deras.

Setelah memutar otak, dia mencela diri sendiri. “Ah, kenapa aku harus menangis? Kenapa bersedih? Menilai orang bukan melihat dari warna kulit mukanya, demikianlah kata para pujangga. Ada lagi yang bilang bahwa roman muka tidak mencerminkan keadaan hati dan watak. Aku boleh buruk, aku boleh hitam, mengapa pusing? Malu...? Malu kepada siapa? Huh...!”

Dan tiba-tiba dia mendengar suara cecowetan. Ketika dia memandang, dia melihat agak jauh, di atas pohon terdapat dua ekor lutung hitam. Sepasang binatang itu sedang duduk dan saling mencumbu, kelihatan akur dan saling mencinta.

Beng San tertawa, “Mukaku pun hitam seperti muka lutung. Siapa bilang mukaku jelek? Lihat itu, bagi mereka akan jeleklah andai kata muka kawannya itu putih tidak hitam. Hitam atau putih apakah perbedaannya? Baik dan buruk, di mana garis pemisahnya?”

Tanpa disengaja Beng San sudah mengeluarkan ujar-ujar dan filsafat-filsafat kuno yang pernah dibacanya di dalam kelenteng Hok-thian-tong ketika dia masih menjadi kacung kelenteng. Akan tetapi, biar pun ujar-ujar itu tentu saja belum dapat dimengerti oleh anak yang baru berusia sepuluh tahun ini, sedikitnya pada saat itu menjadi hiburan baginya, melenyapkan rasa duka dan kecewanya melihat bayangan mukanya yang hitam seperti muka lutung. Setelah puas minum dan mencuci muka, dia melanjutkan perjalanan lagi.

Pada suatu pagi dia tiba di lereng sebuah gunung yang hijau. Ketika dia sedang berjalan hati-hati sekali di jalan kecil yang amat sunyi itu, tiba-tiba dia mendengar suara dua orang yang bercakap-cakap jelas di sebelah depannya. Ia mengangkat muka, akan tetapi tidak melihat ada orang. Ia berjalan cepat dan tibalah dia di sebuah jalan kecil.

Di kanan kiri jalan itu terdapat jurang yang panjang dan curam. Dan di tempat inilah dia mendengar suara dua orang sedang bercakap-cakap dengan jelas sekali, akan tetapi tak kelihatan orangnya! Biar pun hari sudah terang tanah, matahari sudah naik tinggi, namun bulu tengkuk Beng San berdiri juga saking seramnya.

Bagaimana ada dua orang bercakap-cakap di depannya, sepertinya di kanan kirinya, akan tetapi dia tidak melihat orangnya! Ia berdiri seperti patung dan mendengarkan dua suara orang yang saling jawab di kanan kirinya itu.

“Phoa Ti, kalau saja tidak keburu terjerumus di sini, sekali mengenal pukulanku ilmu silat Pat-hong-ciang (Ilmu Silat Delapan Penjuru Angin), kau tentu mampus!” terdengar suara dari sebelah kiri Beng San, suara yang terbawa angin dari kiri tanpa kelihatan orangnya.

Segera suara dari kanan menjawab. “Ha-ha-ha, orang she The, dari sini pun telah tercium mulutmu yang bau. Kalau tadi aku berlaku hati-hati sedikit dan tidak sampai terjerumus ke sini, dengan ilmu silatku Khong-ji-ciang (Ilmu Silat Hawa Kosong) yang belum sempat aku keluarkan, kau akan mampus lebih dulu.”

Beng San bingung sekali. Suara dari kiri terdengar kecil melengking, sedangkan yang dari kanan besar dan parau. Suara apa lagi kalau bukan suara setan atau iblis? Apa bila ada orangnya, masa tidak kelihatan sedangkan suaranya begitu jelas terdengar olehnya.

Atau jangan-jangan semacam kuntilanak yang kejam itu, cuma kali ini pria. Beng San yang sudah mengalami hal-hal tidak enak dengan Hek-hwa Kui-bo, menjadi ketakutan dan segera dia berlari pergi.

Tiba-tiba dari sebelah kanan terdengar suara yang parau tadi, “Ehh siapa di atas?”

Beng San mempercepat larinya. Mendadak dari sebelah kanannya menyambar semacam hawa yang amat kuat dan tak tertahankan lagi tubuh Beng San tergelincir ke dalam jurang di sebelah kiri jalan!

Tubuh anak itu bergulingan ke bawah. Untung baginya tidak ada batu-batu di sana dan jurang itu ternyata merupakan tanah lembek sehingga meski pun tubuhnya sakit-sakit, dia tidak menderita luka parah.

“Ha-ha-ha!” terdengar suara melengking tinggi tadi tertawa, kini dekat sekali. “Kau benar lihai, Phoa Ti, dalam keadaan terluka parah masih mampu memukul roboh orang. Akan tetapi kau akan malu kalau melihat bahwa yang kau robohkan hanya seorang anak kecil berusia sepuluh tahunan. Ha-ha-ha-ha!”

Beng San cepat menengok dan terlihatlah olehnya seorang yang bertubuh tinggi besar dan bermuka merah sedang duduk bersimpuh di dasar jurang.



Benar-benar menggelikan melihat seorang bertubuh begini besar akan tetapi suaranya luar biasa tinggi dan kecil seperti suara perempuan. Orang itu sudah tua sekali, mukanya penuh keriput dan agaknya terluka hebat, buktinya sukar menggerakkan kedua kakinya.

Tiba-tiba terdengar suara yang jelas, suara parau tadi, tanpa kelihatan orangnya sehingga Beng San melupakan sakit-sakit di tubuhnya dan mendengarkan dengan penuh perhatian.

“Orang she The, tidak perlu kau mengejek. Kalau betul kau masih mempunyai ilmu silat cakar bebek yang disebut Pat-hong-ciang itu, kau datanglah ke sini, biar aku melihatnya.”

Orang tinggi besar itu menjawab lantang, “Kau saja yang turun ke sini kalau memang masih memiliki ilmu silat Khong-ji-ciang, siapa takut menghadapinya?”

Tidak terdengar jawabannya. Sampai lama tak ada suara lagi dan Beng San hanya duduk sambil mengurut-urut kakinya yang terasa sakit ketika dia bergulingan tadi. Kemudian si tinggi besar itu berkata lagi.

“He, Phoa Ti, di mana kau?”

“Di sini!” terdengar jawaban parau.

“Kenapa tidak turun ke sini? Kau takut padaku?”

“Muka merah, tak perlu menjual omongan busuk. Kau saja yang ke sini, apakah kau tidak becus?”

Kali ini si tinggi besar yang duduk bersimpuh di dalam jurang itu tidak menjawab, sampai lama juga. Tiba-tiba dia melambaikan tangannya kepada Beng San.

Anak itu segera menghampiri. Akan tetapi, alangkah kagetnya Beng San ketika tiba-tiba tangannya dicengkeram oleh orang itu yang berbisik, “Kau lihat keadaannya bagaimana?”

Sebelum Beng San maklum apa maksudnya, tiba-tiba saja orang itu menggerakkan kedua tangannya sambil berteriak, “He, Phoa Ti, kau terimalah anak yang kau pukul roboh tadi.”

Hampir Beng San menjerit kaget ketika tiba-tiba saja tubuhnya melayang ke atas seperti terbang cepatnya. Ternyata dia sudah dilontarkan orang sedemikian kerasnya sehingga tubuhnya melewati jalan kecil di atas jurang tadi dan langsung tubuhnya melayang turun ke jurang sebelah kanan jalan tanpa dia dapat mencegahnya lagi.

Beng San menyangka bahwa tubuhnya tentu akan hancur, maka dia menutupkan kedua matanya, menerima nasib. Akan tetapi, tiba-tiba tubuhnya berhenti melayang dan ketika dia membuka matanya, ternyata dia telah ditahan oleh sebuah tangan yang amat kuat. Ia diturunkan dan pada saat dia memandang, ternyata bahwa yang menahan jatuhnya tadi adalah seorang laki-laki tua sekali yang bertubuh tinggi kurus.

Seperti kakek besar tadi, kakek ini pun terluka hebat, buktinya tidak dapat menggerakkan kedua kakinya pula, malah kakek ini hanya merebahkan diri saja di atas dasar jurang yang penuh rumput hijau. Sekarang mengertilah Beng San bahwa kedua orang kakek aneh ini saling bicara dari tempat masing-masing, yaitu yang seorang di dasar jurang sebelah kiri jalan sedangkan yang kedua di dasar jurang sebelah kanan jalan.

Benar-benar aneh bukan main, bagaimana dari tempat sejauh ini seseorang bisa saling bercakap-cakap dengan orang lainnya di seberang sana? Apa lagi kalau mengingat akan pengalamannya tadi ketika dilempar dari jurang sebelah dan diterima di jurang ini, dia lalu bergidik. Celaka, pikirnya, iblis-iblis ini kiranya tidak kalah aneh dan hebatnya dari pada Hek-hwa Kui-bo.

Ketika kakek itu menggerakkan tangan kanannya yang menyangga tubuh Beng San, anak ini terguling ke atas rumput. Beng San mulai memperhatikan kakek ini. Kakek yang amat tua, sedikitnya enam puluh tahun usianya. Tubuhnya kurus seperti cecak kering, kedua kakinya tak dapat bergerak, malah tangan kirinya buntung.

Si tangan buntung ini segera berbisik “Ehh, bocah sial. Bagaimana keadaan si tinggi besar itu?”

Diam-diam Beng San merasa mendongkol juga. Betapa pun lihainya dua orang aneh ini, dia merasa sudah dipermainkan seperti sebuah bola, dilempar ke sana ke mari. Maka dia menjawab sambil merengut. “Tak lebih buruk dari pada engkau. Dia duduk bersimpuh tak dapat berdiri.”

Tiba-tiba si tinggi kurus yang tangan kirinya buntung ini tertawa meledak dengan suaranya yang parau dan keras sampai terngiang dalam telinga Beng San. “Ha-ha-ha-ha, The Bok Nam! Kiranya pukulanku tadi membuat kau tak berdaya di dalam jurang situ. Ha-ha-ha!”

Dari seberang sana terdengar jawaban, “Tak usah banyak cerewet kalau anak itu sudah mengobrol yang bukan-bukan. Kalau kau memang masih punya ilmu kepandaian, segera datanglah ke sini, aku tidak takut!”

Mendengar ini, si tinggi kurus yang bernama Phoa Ti itu terdiam. Tiba-tiba saja matanya bersinar-sinar aneh ketika dia memandang Beng San.

“Bagus,” katanya perlahan, matanya tidak pernah lepas dari tubuh Beng San, “Tulang dan darahmu cukup baik. Kau bisa menjadi penguji dan penentu kalah menang antara aku dan The Bok Nam.”

Setelah berkata demikian dia berteriak lagi. “He, orang she The. Seorang gagah tak perlu berpura-pura. Kau terluka tak dapat keluar dari jurang, aku pun demikian. Akan tetapi kita masih seri, belum ada yang kalah atau menang. Sekarang ada saksi bocah tolol ini. Mari kita adu kepandaian melalui bocah ini!”

Dari sana sampai lama baru terdengar jawaban yang merupakan pertanyaan, “Apa pula maksudmu?”

“Ha, kau tolol seperti bocah ini. Aku akan ajarkan dia beberapa jurus Khong-ji-ciang, lalu dia datang padamu, menyerangmu dengan jurus itu, hendak kulihat apakah kau mampu memecahkannya. Demikian pula kau boleh turunkan Pat-hong-ciang, ilmu cakar bebek itu kepadanya, untuk kupecahkan. Siapa yang tidak mampu memecahkan sejurus serangan, dia boleh mengaku kalah disaksikan setan-setan jurang. Bagaimana?”

Terdengar sorak gembira dari sebelah sana.

“Bagus! Memang betul, burung yang mau mati suaranya paling indah. Engkau pun yang sudah hampir mampus ternyata mampu mengeluarkan kata-kata bagus. Hayo lekas, kau turunkan ilmumu Khong-ji-ciang cakar ayam itu.”

Beng San yang mendengar ini pula tentu saja dapat menangkap maksud mereka. Dalam hatinya, sebetulnya dia merasa girang juga karena hendak diajari dua macam ilmu yang pasti hebat ini. Akan tetapi karena sebetulnya keinginannya belajar silat itu hanya karena marah kepada mereka yang sudah menghinanya, maka keinginan itu tidak berapa besar.

Sekarang dalam keadaan marah kepada dua orang kakek yang tadi mempermainkannya seperti bola dan sekarang hendak menggunakan dia untuk bertempur, dia menjadi makin dongkol. Beng San lalu berkata keras.

“Aku tidak sudi mempelajari ilmu cakar bebek dan cakar ayam!” setelah berkata demikian, dia hendak keluar dari jurang itu, mendaki tebingnya yang licin oleh rumput basah.

Akan tetapi baru naik setinggi semeter lebih, dia merasa tubuhnya bagai ditarik orang dan tanpa dapat ditahan lagi terpelantinglah dia ke bawah. Ia menoleh, tak melihat ada orang di dekatnya kecuali kakek buntung yang masih rebah miring, namun jatuhnya empat lima meter dari tempatnya.

Ia mendaki lagi, tetapi kembali terpelanting dan bahkan lebih keras dari tadi. Tiga empat kali dia terpelanting tanpa mengetahui sebabnya. Kakek itu tertawa mengejek dan makin panas hati Beng San.

Sekarang dia mendaki lagi, akan tetapi mukanya menoleh memandang ke arah kakek itu. Sampai hampir dua meter dia memanjat dan terlihatlah kakek itu menggerakkan tangan kanannya ke arahnya dan... dia tertarik lalu terpelanting ke bawah.

Bukan main marahnya Beng San. Dihampirinya kakek itu dan dibentaknya. “Kau orang tua menghina anak-anak, apa tidak malu? Punya kepandaian hanya untuk mengganggu anak kecil, apa ini bisa dibilang gagah?”

Tiba-tiba kakek itu mengulur tangannya dan tahu-tahu leher Beng San sudah dijepitnya. “Anak bodoh, anak setan. Kalau kau tidak mau membantu kami mengadu ilmu, kau boleh tinggal di sini menemani aku mampus.”

Beng San anak yang cerdik akan tetapi dia pun bandel bukan main. Diancam mati anak ini tidak takut, malah menantang, “Kakek bau, kau mau bikin mampus aku? Hemmmm, mau bunuh boleh bunuh, kalau kalian ini dua orang kakek bau tidak takut mampus, apakah aku pun takut mati? Kau sudah tua tidak mencari jalan terang, tua-tua mau memupuk dosa, rasakan saja nanti di neraka jahanam!”

Phoa Ti tercengang dan cengkeramannya pada leher anak itu mengendur. Dua matanya terbelalak kaget dan heran. “Apa? Kau anak masih begini kecil tidak takut mati? Hemmm, agaknya lebih banyak kesengsaraan yang kau derita dari pada kesenangan.”

“Senang apa? Hidupku hanya menjadi permainan orang, malah sekarang menjadi korban kegilaan dua orang kakek yang sudah mau mati,” jawab Beng San.

Tiba-tiba Phoa Ti tertawa bergelak, suara ketawanya begitu keras sampai bergema di atas jurang.

“He, orang she Phoa. Kau malah tertawa-tawa dan tidak cepat-cepat mengirim anak itu ke sini memamerkan ilmu cakar bebekmu, apa sudah miring otakmu?”

“Ha-ha-ha, The Bok Nam. Anak ini sama sekali tidak tolol atau gila, malah dia lebih gila dari pada yang gila. Anak yang aneh sekali, dan kau tidak ada sepersepuluh anak ini… he-he-he-he!”

Beng San hanya melongo menyaksikan kelakuan yang aneh itu dan lebih lagi keherannya ketika ia melihat kakek buntung itu tiba-tiba menangis! Di dasar hati Beng San terpendam sifat welas asih yang amat besar, yang dulu dihidupkan oleh pelajaran-pelajaran di dalam kelenteng oleh para pendeta Buddha. Sekarang melihat kakek itu menangis, tanpa terasa lagi matanya menjadi merah dan dia menyentuh lengan yang tinggal sebelah itu.

“Orang tua, kenapa kau menangis sedih? Apa kau takut mati?”

“Sudah berani hidup kenapa takut mati? Yang kutakuti bukan matinya, akan tetapi… ahhh, di seberang kematian yang penuh rahasia...”

Anak sekecil Beng San, mana tahu akan segala perasaan seperti ini? Dia hanya dapat merasa bahwa kakek ini benar-benar amat gelisah dan berduka. Makin tebal rasa kasihan di hatinya.

“Kakek, apa yang dapat kulakukan untuk menolongmu? Katakanlah, barangkali aku dapat menolong...”

Akan tetapi Phoa Ti masih menangis terus. Beng San sudah berlutut sambil menghibur. Tiba-tiba kakek itu menghentikan tangisnya dan wajahnya memperlihatkan harapan besar.

“Anak baik, kau bisa menolongku! Yang membuat aku takut menghadapi kematian adalah The Bok Nam. Dia juga terluka dan mau mati. Aku tidak ada muka bertemu dengan dia di seberang kematian kalau aku belum bisa mengalahkannya. Maka kau tolonglah aku, Nak, tolonglah supaya aku bisa menang dalam pertarungan ini dan mendapat muka terang.”

Beng San terheran-heran. Akan tetapi melihat sinar mata yang penuh permohonan itu dia tidak tega menolak, “Baiklah akan kucoba. Tapi bagaimana caranya?”

Seketika itu kakek itu bangkit semangatnya. Biar pun dia sudah tidak dapat bangun lagi, namun tangan kanannya membuat gerakan-gerakan penuh gairah.

“Kau perhatikan baik-baik. Sekarang aku akan menurunkan tiga jurus lihai dari ilmu silatku Khong-ji-ciang. Lihat ini, dua buah jariku ini adalah gerakan-gerakan kaki yang harus kau lakukan dalam jurus pertama.”

Kakek itu lalu menekuk tiga jari tangannya dan mendirikan jari telunjuk dan tengah seperti sepasang kaki. Kedua jari itu, laksana sepasang kaki bergerak-gerak maju mundur secara teratur sekali.

“Nah, lebih dulu kau lakukan gerakan kaki ini, jurus pertama yang disebut jurus Khong-ji Khai-bun (Hawa Kosong Membuka Pintu).”

Karena bersungguh-sungguh hendak menolong kakek ini, Beng San lalu memperhatikan dengan seksama, kemudian dia berdiri dan meniru gerakan-gerakan itu. Mula-mula tentu saja kaku dan keliru, akan tetapi dengan tekun dia mempelajari dengan petunjuk kakek itu.

Kemudian, setelah gerakan kakinya mulai benar, dia diberi tahu tentang gerakan tangan dan tubuhnya. Kakek itu nampak bersemangat sekali, berkali-kali memuji, “Tulang bersih, bakat-bakat baik...”

Pujian ini memperbesar semangat Beng San dan membuat kakek itu tak mengenal lelah. Setelah dapat melakukan jurus pertama dengan baik, dia mendapat petunjuk tentang cara bernapas dalam melakukan jurus ini dan cara menyimpan hawa dalam tubuh.

Kemudian, dia diberi pelajaran jurus kedua yang disebut Khong-ji Twi-san (Hawa Kosong Mendorong Bukit). Jurus ketiga disebut Khong-ji Lo-hai (Hawa Kosong Mengacau Lautan). Untuk mempelajari tiga jurus ini dengan baik mereka telah berlatih sehari penuh.

“Phoa Ti, mana jago mudamu?” berkali-kali suara di seberang lain bertanya.

“Orang she Tek, ajalmu sudah dekat. Tunggulah sampai besok pagi, pasti kau beres oleh tiga jurusku dari Khong-ji-ciang.”

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Beng San sudah diberi makan oleh Phoa Ti. Apa makannya? Hanya tiga helai daun muda! Akan tetapi anehnya, begitu makan daun-daun itu, Beng San merasa perutnya langsung kenyang dan tenaganya penuh, membuat dia semakin kagum. Ternyata kakek ini membawa bekal banyak daun semacam ini.

“Anak baik, sekarang kau pergilah ke seberang sana dan kau boleh perlihatkan tiga jurus penyerangan ini. Jika dia tidak mampu memecahkannya satu saja dari yang tiga jurus ini, berarti dia kalah.”

Beng San mengangguk dan hendak memanjat tebing. Akan tetapi tiba-tiba saja kakek itu memegang lengannya dan berkata.

“Terlalu lambat... terlalu lambat... bersiaplah!” sekali tangannya mendorong tubuh Beng San melayang melewati jalan kecil dan meluncur ke dalam jurang di sebelah kiri.

“The Bok Nam, terimalah kedatangan penguji kita.”

Ketika Beng San merasa betapa tubuhnya ditahan dua buah tangan, dia mulai merasakan tubuhnya ringan dan enak. Rasa panas di tubuhnya yang selalu mengganggunya selama ini agak berkurang. Maka dia menjadi gembira dan begitu dia dilepaskan dan berdiri di depan kakek tinggi besar yang duduk bersimpuh itu, dia berkata.

“Kakek yang baik, apa betul kata kakek Phoa Ti itu bahwa kau sudah hampir tewas?”

Kakek tinggi besar yang suaranya melengking itu mendelikkan matanya dan membentak, “Kalau betul begitu, bukan aku sendiri yang mati, dia pun sudah hampir mati!”

“Kau betul, karena itu aku hendak mengajukan sebuah usul padamu?”

“Hemmm, apa maksudmu?”

“Kalau kalian berdua sudah mendekati mati, kenapa tidak melakukan perbuatan baik yang terakhir? Kakek Phoa Ti itu menghendaki supaya kau mengaku kalah. Lakukanlah itu, kau mengalah saja, mengaku kalah dan membiarkan aku keluar dan pergi dari sini. Bukankah dengan begitu sedikit banyak kau telah meringankan dosamu?”

Memang aneh mendengar seorang anak berusia sepuluh tahun bicara seperti ini. Akan tetapi tidak aneh lagi kalau diketahui bahwa dia besar di dalam kelenteng, dari usia lima sampai sembilan tahun.

Tentu saja kakek The Bok Nam yang tak mengetahui asal usul anak ini menjadi melongo mendengar ucapan ini. Namun hanya sebentar dia tertegun, lalu dia tertawa melengking dan tahu-tahu dia telah mencengkeram baju Beng San di bagian dada.

“Apa katamu? Jangan mencoba untuk membujuk dan menipuku. Aku masih belum mau mati sebelum menundukkan kakek tua bangka she Phoa itu! Hayo cepat kau keluarkan tiga jurus ilmu cakar bebek itu, hendak kulihat bagaimana buruknya!”

Mendongkol juga hati Beng San. Oleh karena kakek tinggi besar ini memperlihatkan sikap kasar, berbeda dengan Phoa Ti yang menangis ketika minta bantuannya, sekaligus dia lalu berpihak kepada kakek Phoa Ti.

Dengan penuh semangat dia lalu mengeluarkan jurus-jurus itu satu demi satu dengan gerakan sebaik mungkin. Anehnya, kali ini tiap kali bergerak dia merasa dadanya tidak begitu tertekan lagi oleh gangguan hawa panas di tubuhnya yang timbul setelah dahulu dia melatih diri selama tiga bulan dengan ilmu silat yang dia pelajari dari Hek-hwa Kui-bo. Maka dia menjadi makin bersemangat dan melanjutkan tiga jurus itu sampai habis.

Setelah selesai mainkan tiga jurus yang dia latih sehari semalam itu, dia lalu berkata dengan wajah puas karena melihat muka The Bok Nam nampak kaget dan kagum.

“Ha, mana bisa kau memecahkan tiga jurus serangan lihai dari kakek Phoa Ti. Sudahlah, lebih baik mengaku kalah.”

Perlu diketahui bahwa gerakan tiga jurus ini memang hebat. Dan anehnya, ketika mainkan tiga jurus ilmu silat ini, Beng San hanya menggunakan sebelah tangan saja, yaitu tangan kanan sedangkan tangan kirinya dia selipkan di antara tali pinggangnya. Hal ini adalah karena yang mengajarkan ilmu ini hanya mempunyai sebelah tangan kanan. Karena itu, ketika kemarin melatih ilmu silat ini Beng San selalu salah gerak dan canggung karena tidak boleh menggunakan tangan kirinya.

Akan tetapi Phoa Ti yang memberi nasehat supaya dia menyelipkan tangan kirinya di ikat pinggangnya supaya tidak menjadi pengganggu kesempurnaan gerakannya. Justru tidak adanya tangan kiri inilah yang menjadi inti kelihaian ilmu silat Phoa Ti, karena orang atau lawan dibikin bingung oleh tangan kanan yang bergerak seperti dua tangan, kadang kala seperti tangan kanan akan tetapi ada kalanya menggantikan kedudukan tangan kiri. Dan ini pula mengapa diberi nama Khong-ji-ciang (ilmu silat hawa kosong), karena memang di dalam ‘kekosongan’ tangan kiri itulah terletak kelihaiannya.

Sampai beberapa lamanya The Bok Nam tak berkata apa-apa. Kedua matanya mendelik tanpa berkedip tetapi otaknya diputar-putar. Dia terus mencari kelemahan dalam tiga jurus tadi. Akhirnya dia tertawa melengking.

“Ho-ho-ho, tua bangka Phoa Ti. Segala ilmu cakar bebek ini mana bisa digunakan untuk menggertakku? Mudah cara memecahkannya. Nah, kau lihat baik-baik bocah tolol. Jurus pertama kuhancurkan dengan gerakan ini!”

Kakek itu menggerakkan tangannya, tepat seperti menghadapi gerak serangan pertama dari Khong-ji-ciang, malah sambil membalas dengan gerak memunahkan dan mematikan.

“Kau mengerti?”

Tentu saja Beng San tidak mengerti! Ia menggeleng dan matanya yang lebar itu menjadi makin lebar.

“Ahh, memang kau tolol. Hayo perhatikan baik-baik dan ikuti kedua tanganku.”

“Mana mungkin bisa sambil duduk bersimpuh menghadapi serangan orang hanya dengan menggerak-gerakkan kedua tangan?” Beng San membantah.

“Tolol!”

“Tolol, tolol, kau memaki siapa? Enak saja memaki anak orang!” Beng San marah-marah.

Mendadak kakek itu mencengkeram pundaknya. Beng San merasa seakan-akan tulang pundaknya hendak remuk dan sakit menembus sampai ke jantungnya. Akan tetapi dia mempertahankan dan berkata mengejek.

“Sekali kau bunuh aku, berarti kau kalah oleh kakek Phoa Ti dan karena kalah maka kau bunuh aku.”

Cengkeraman itu dilepas lagi. “Memang kau tolol. Tentu saja disertai gerakan kedua kaki. Nah, lihat garis-garis ini!”

Dengan telunjuknya The Bok Nam menggurat-gurat tanah sambil menerangkan letak dua kaki dan gerakan-gerakannya dalam jurus itu.

“Jurus pertama untuk melawan jurus pertama dari ilmu silat cakar bebek ini namanya...”

“Jurus cakar ayam kurus!” sambung Beng San mengejek.

“Namanya jurus Nam-hong Jip-te (Angin Selatan Masuk Bumi),” kata The Bok Nam tanpa menghiraukan ejekan itu. “Hayo kau pelajari baik-baik dan nanti perlihatkan kepada kakek mau mampus she Phoa, suruh dia memecahkannya kembali.”

Demikianlah, terpaksa sekali dan dengan hati mendongkol Beng San mulai mempelajari jurus Nam-hong Jip-te itu. Setelah hafal betul, dia lalu disuruh mempelajari dan melatih gerakan jurus kedua yang diberi nama Tung-hong Tong-hwa (Angin Timur Menggetarkan Bunga) dan jurus ketiga See-hong Cam-liong (Angin Barat Membunuh Naga).

Satu hal yang membuat Beng San merasa gembira dan bersemangat adalah betapa gerakan-gerakan ini pun membuat rasa sakit di dadanya berkurang banyak dan kini dia mendapat kenyataan betapa makin lama serasa makin mudah melatih dengan jurus-jurus yang sukar ini. Seperti halnya Phoa Ti, kakek tinggi besar ini pun kagum sekali melihat cara Beng San melatih diri.

“Bocah tolol, tulangmu bersih, bakatmu besar, sayang otakmu tolol!”

Tiga macam jurus yang memecahkan sekaligus membalas tiga jurus serangan Phoa Ti ini juga makan waktu sehari penuh dan ditambah setengah malam barulah Beng San dapat menggerakkan dengan baik.

“Aku lapar!”

Menjelang tengah malam dia berhenti dan merebahkan diri di atas tanah, perutnya perih dan lapar. Dia tidak minta makanan, seperti biasa dia tidak sudi minta-minta. Celakanya, tidak seperti kakek Phoa Ti, kakek tinggi besar ini diam saja.

Juga Beng San tidak melihat kakek ini makan apa-apa, maka dia pun diam saja menahan lapar.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar