Amanat Marga (Hu Hua Ling) Chapter 27

"Braak...!” tongkat mengenai dinding dan batu kerikil muncrat.

Posisi Lamkiong Peng sudah amat gterdesak, untuk mundur lagi sudah tidak mungkin. Tiba-tiba Lamkiong Peng melihat mayat manusia kera yang mati tadi menggeletak di sampingnya. Cepat ia meraihnya, terus dilemparkan ke arah musuh. Darah mayat manusia itu belum kering sehingga berhamburan mengenai kepala dan muka manusia kera yang menggendong Cu-sin-tocu.

Bau anyir darah merangsang kebuasannya. Mendadak ia meraung, bangkai kawannya ditangkap terus dirobek, bahkan isi perut terus dilahapnya. Dalam keadaan begitu Cu-sin-tocu jadi tidak terpegang lagi dan terperosot ke bawah. Cepat sebelah tongkatnya menahan di tanah, tongkat yang lain menutuk manusia kera yang buas itu hingga roboh. Berbareng itu ia pun terkulai di tanah.

Tentu saja Lamkiong Peng tidak tinggal diam, serentak ia menubruk maju. Terpaksa Cu-sin-tocu menggunakan tongkat untuk menolak tanah sehingga tubuhnya melayang ke sana, masuk ke kamar batu. Lamkiong Peng berteriak kaget dan cepat memburu, dilihatnya Cu-sin-tocu sudah hinggap di atas dipan batu.

"Hm, apakah kau minta kumampuskan gurumu?" tanya Cu-sin-tocu dengan nada mengejek. Ujung tongkat di tangannya menempel pada Gin-kay-hiat di tenggorokan Liong Po-si.

Seketika Lamkiong Pang tidak bisa berkutik dan tidak berani melangkah maju lagi.

"Sudah kutotok hiat-to tidurnya. Cukup tongkatku kutekan ke bawah dan jiwanya segera melayang, tapi bila kau mau....”

"Mau apa?!" teriak Lamkiong Peng.

"Asal kau mau bekerja menurut perintahku, tentu beres urusan ini."

"Sungguh tak tersangka orang terhormat semacam dirimu juga dapat bertindak serendah ini!" damprat Lamkiong Peng.

"Haha, tidak perlu kau gunakan kata-kata kasar untuk memancingku," seru Cu-sin-tocu. "Pokoknya, jika engkau tidak mau menurut, maka jiwa gurumu berarti akan amblas di tanganmu."

"Apa kehendakmu?!" tanya Lamkiong Peng.

"Anak buah yang melayaniku sudah kau bunuh semua," ucap Cu-sin-tocu. "Maka sebagai gantinya harus kau kerjakan semua tugas mereka. Nah, kuberi waktu satu jam bagimu untuk menggusur perahu ini ke mulut goa, lalu mengusung semua perbekalan ini dan dimuat ke atas perahu. Jika melampaui batas waktu atau sengaja main gila padaku, hm, tentu kau tahu sendiri akibatnya."

"Maksudmu hendak meninggalkan pulau ini?" tanya Lamkiong Peng terkejut.

"Betul, pulau ini sudah terbakar ludes, hilanglah segala rencanaku yang telah kuatur selama ini. Untuk apa pula aku tinggal lagi di sini dan hidup serupa orang hutan?" kata Cu-sin-tocu dengan tertawa. "Meski orang-orang itu belum mati seluruhnya, tapi biarkan mereka tinggal di sini dan apa yang akan mereka alami pun sudah cukup setimpal bagi mereka."

Kejut dan gusar Lamking Peng, seketika ia tidak sanggup bersuara.

"Tapi jangan kau kuatir," kata Cu-sin-tocu pula. "Kalian berdua guru dan murid bukan saja akan kubawa serta, bisa jadi akan kuwariskan pula ilmu pertabibanku yang telah kupelajari selama berpuluh tahun ini. Coba kau bayangkan, bila-mana dapat kau kuasai ilmu mukjizat, dapat kau tentukan mati-hidup orang, dapat kau pindah dan sambung anggota badan orang, bagaimana perasaanmu nanti?"

Namun Lamkiong Peng tetap tidak bergerak. "Tidak perlu...,” jawabnya.

"Lekas kerjakan!" bentak Cu-tin-tocu mendadak sambil mengangkat tongkatnya.

Diam-diam Lamkiong Peng merasa menyesal. Sebenarnya dia rela menerima resiko apa pun, tapi dia juga tidak ingin keselamatan sang guru terancam, terpaksa ia kerjakan apa yang diminta orang.

Ukuran perahu itu cukup besar, bahkan sangat berat. Dengan sepenuh tenaga barulah Lamkiong Peng dapat mengangkut semua barang ke mulut goa. Di luar goa adalah lautan, rupanya di sini adalah sebuah kanal sempit yang menembus ke laut. Setelah segala sesuatu sudah selesai dikerjakan, tentu saja ia mandi keringat dan letih.

"Boleh juga cara kerjamu,” kata Cu-sin-tocu. “Sekarang boleh kau duduk di mulut goa sana, dan jangan sembarangan bertindak!"

Tiada jalan lain, terpaksa Lamkiong Peng menurut. Setelah menunggu sejenak, tampak Cu-sin-tocu memanggul Liong Po-si dan berlompatan dengan kedua tongkatnya menuju ke atas perahu.

"Dorong perahu ini ke air, lalu kau pun melompat ke atas perahu!" bentak Cu-sin-tocu.

Terpaksa Lamkiong Peng melakukan apa yang diperintahkan. Jika dia tidak naik ke atas perahu, jelas sang guru sudah ikut terbawa. Mau tak mau ia pun melompat ke dalam perahu. Waktu tongkat Cu-sin-tocu menolak tepian kanal, segera perahu itu meluncur jauh ke sana. Hanya beberapa kali tolakan saja perahu itu sudah keluar goa dan berada di lautan lepas. Terlihat ombak mendampar-dampar, perahu terombang-ambing dan berguncang dengan hebat. Mau tak mau berubah juga air muka Cu-sin-tocu.

"Ambil penggayuh dan dayung sekuatnya, akan kupegang kemudi di buritan," berkata Cu-sin-tocu.

Melihat perubahan air muka orang, perlahan Lamkiong Peng berucap, "Pulau yang telah kau benahi selama berpuluh tahun dengan susah payah, apakah tidak berat kau tinggalkan begini saja?"

"Tentu saja berat," jengek Cu-sin-tocu.

"Jika begitu, lebih baik kembali saja ke sana," seru Lamkiong Peng.

"Tidak, berat atau tidak harus pergi."

Lamkiong Peng menggeleng kepala. Bukannya dia tidak ingin meninggalkan pulau ini, dia cuma tidak tega pada kawan-kawan yang tertinggal di sana. Terpaksa ia mendayung sekuatnya. Pulau itu kelihatan semakin kecil, sampai akhirnya hanya tersisa setitik hitam saja di kejauhan, lalu lenyap dari pandangan.

Ujung tongkat Cu-sin-tocu tetap mengancam di dekat tenggorokan Liong Po-si yang masih belum sadar itu. Kelopak matanya kelihatan terpejam, agaknya sudah tertidur. Perlahan Lamkiong Peng mengangkat dayungnya dan bermaksud menghantam kepala orang tua itu. Siapa tahu, baru saja dayung terangkat sedikit segera Cu-sin-tocu membuka mata. Terpaksa ia jatuhkan dayung ke air dan berteriak dengan gusar, "Sesungguhnya hendak kau apakan kami?!"

"Mestinya kau harus berterima-kasih padaku," ujar Cu-sin-tocu. "Kubawa pergi dirimu, tujuanku dalam waktu setahun akan kuwariskan segenap ilmu pertabibanku kepadamu. Dengan ilmu itu kelak harus kau sembuhkan kelumpuhan kakiku.”

"Siapa yang sudi belajar ilmu pertabibanmu yang gila itu?" jawab Lamkiong Peng dengan gusar.

"Mau atau tidak mau be!ajar tetap harus kau terima, sebab hal ini bukan permintaanku, melainkan perintah. Jika tidak kau terima, hm, tentu kau tahu sendiri akibatnya, sebab kedua kaki gurumu juga akan serupa kakiku ini."

"Apa maksudmu? Jadi akan kau.... ?"

"Betul. Sudah kutotok dengan cara yang berat sehingga kaki gurumu pun sudah cacat. Jika hendak kau sembuhkan dia, harus kau belajar ilmu pertabibanku dan lebih dulu harus menyembuhkan kakiku."

"Keparat! Biar ku...." segera Lamkiong Peng hendak menerjang musuh.

Tapi baru saja ia bergerak, segera tongkat Cu-sin-tocu mengancam tenggorokan Liong Po-si sambil membentak, "Berani sembarang bergerak?!"

Lamkiong Peng mati kutu! Dengan menunduk ia duduk kembali, "Ken... kenapa kau...?"

"Soalnya meski aku menguasai ilmu pertabiban maha-tinggi, tapi aku tidak mampu melakukan pembedahan atas kakiku sendiri," ujar Cu-sin-tocu.

"Di atas pulau tadi masih ada beratus orang lain, mengapa kau pilih diriku saja?"

"Sudah tentu ada alasanku, cuma sekarang belum dapat aku beri-tahukan padamu," ujar Cu-sin-tocu dengan tersenyum.

Melihat senyuman orang sangat aneh, seperti ada sesuatu rahasia, seketika ia menjadi sangsi, namun dia justru mendayung terlebih kuat.

Entah sudah berapa jauh ia mendayung, tangan pun terasa pedas, namun pikirannya mulai tenang dan merenungkan akal untuk meloloskan diri. Malam sudah larut, bintang bertaburan di langit, perahu kecil ini terombang-ambing di lautan lepas yang gelap dan tak teriihat ujung pangkalnya, sunyi dan mengerikan rasanya.

Cu-sin-tocu juga sedang memandangi bintang di langit untuk membedakan arah. Sorot matanya yang beringas itu kini sudah berubah juga. Tampak ia pun sedih, seperti menanggung tekanan batin. Sekonyong-konyong angin mulai meniup, angin kencang menghimpun awan tebal sehingga kerlipan bintang mulai tak kelihatan.

"Celaka!" keluh Cu-sin-tocu sambil memandang kejauhan.

"Ada apa?" tanya Lamkiong Peng.

"Sebentar lagi akan datang hujan badai!" seru Cu-sin-tocu kuatir.

Baru habis ucapannya, gumpalan awan hitam sudah meluas hingga berpuluh kali lebih banyak, seluruh langit seakan-akan tertutup semua. Angin bertambah keras, di tengah deru angin seperti membawa butiran air hujan sebesar biji kacang. Ombak juga bergolak hebat, jika perahu biasa mungkin akan terbalik.

Setelah ragu sebentar, akhirnya Cu-sin-tocu menepuk hiat-to Liong Po-si, lalu menarik napas dalam-dalam. Ia lantas memandang sekeliling.

"Suhu, engkau tidak apa-apa bukan?" seru Lamkiong Peng.

Sinar mata Liong Po-si mencorong terang. "Mengapa aku berada di sini?" teriaknya dengan kejut dan gusar.

"Sekarang bukan waktunya untuk bicara," kata Cu-sin-tocu. "Meski perahu ini terbuat dari kayu besi yang berat, tapi juga tidak tahan damparan ombak sedahsyat ini. Tampaknya angin yang akan berjangkit adalah sejenis Liong-kui-hong (Angin Lesus Berputar). Tiada jalan lagi bagi kita kecuali harus berusaha mengerahkan tenaga untuk menahan perahu ini agar jangan oleng."

Pada saat dia bicara inilah hujan deras dan badai lantas berjangkit. Ombak mendampar dengan dahsyatnya sehingga perahu seolah-olah terlempar ke udara mengikuti gelombang. Sekuatnya mereka bertiga mengerahkan tenaga dalam untuk menahan perahu. Ombak mendampar susul-menyusul, suasana gelap gulita.

Sekujur badan Lamkiong Peng sudah basah kuyup. Ia mendapatkan sebuah ember untuk membuang air yang masuk ke dalam perahu, namun hujan tambah deras, air di dalam perahu bertambah banyak dan tidak berkurang.

Menghadapi bahaya maut membuat mereka melupakan permusuhan pribadi mereka. Sekarang mereka harus bersatu dan bergotong-royong menghadapi maut, harus berjuang mati-matian supaya perahu tidak terbalik dan tenggelam. Perjuangan mereka ini sungguh sangat sulit, sebab ombak semakin dasyat. Betapa kokoh perahu ini dan betapa tinggi ilmu silat mereka, tampaknya tetap lebih banyak celaka dari-pada selamatnya.

Dalam keadaan demikian mendadak Cu-tin-tocu berseru, "Liong Po-si, Lamkiong Peng, apakah kalian benci padaku karena kubawa kalian ke tengah lautan ini?"

Namun kedua orang itu sedang menghadapi pergolakan ombak yang menguatirkan itu, maka mereka tidak menjawabnya.

Cu-sin-tocu menghela napas panjang. "Kekuatan manusia memang tidak dapat melawan kekuasaan Thian. Semula ingin kututup terus rahasia ini, tapi sekarang kita lagi menghadapi maut, setiap saat ada kemungkinan akan tenggelam ke dasar laut, rasanya aku pun tidak perlu menunggu lagi," katanya pula.

"Rahasia apa?" serentak Liong Po-si dan Lamkiong Peng bertanya dengan tercengang.

"Apakah kalian tahu siapa aku?" teriak Cu-sin-tocu.

Lamkiong Peng melengak, sedang Liong Po-si lantas menegas. "Sesungguhnya siapa kau?"

"Lamkiong Peng, ketahuilah, aku inilah pamanmu," teriak Cu-sin-tocu dengan terbahak. "Dan kau, Liong Po-si, akulah yang merusak kebahagiaan selama hidupmu."

Terguncang perasaan Lamkiong Peng. Berbagai tanda-tanya yang membuatnya bingung selama ini sekarang jadi terjawab. Pantas orang tua ini memperlakukan diriku lain dari-pada orang lain, pantas juga dia mengharuskan aku mewarisi ilmu pertabibannya.

Pada waktu dia meninggalkan rumah, dia membunuh anak-istrinya, tentu hatinya sangat sedih dan menyesal. Kehidupan sepi dan merana selama berpuluh tahun tentu membuat tekanan batinnya bertambah berat sehingga pikiran pun kurang waras, makanya dia me-lakukan hal-hal yang kejam dan gila itu. Tapi sebab apa pula dia merusak kebahagiaan hidup Liong Po-si? Seketika Lamkiong Peng merasa heran, sedih, kasihan, kejut dan juga gusar.

Dilihatnya Liong Po-si juga terkejut dan bertanya. "Hah, jadi... jadi engkau ini Lamkiong Eng-lok? Jadi kaulah yang membuat Yap Jiu-pek membenciku selama hidup? Engkaulah orang berkedok kain hijau dahulu itu?"

Sekuatnya Cu-sin-tocu memegangi perahu yang oleng itu. Pikirannya juga bergolak serupa ombak samudra yang mengamuk itu.

Dengan suara parau ia menjawab, "Betul, akulah Lamkiong Eng-lok, akulah si orang berkedok kain hijau itu. Empat puluh tahun yang lalu, waktu pertama kali kulihat Yap Jiu-pek, saat itu juga aku jatuh cinta padanya dan lupa daratan bahwa aku sudah mempunyai anak istri, juga lupa tidak lama lagi aku harus meninggalkan masyarakat ramai dan hidup terpencil kesepian di pulau itu....”

"Waktu itu antara kalian berdua sudah terkenal sebagai pasangan setimpal di dunia kangouw, timbul benci dan iriku. Aku bertekad mengacau hubungan kalian, dengan sendirinya orang kangouw takkan menduga semua itu dilakukan olehku, sebab orang kangouw tidak ada yang tahu putera sulung pujaan keluarga Lamkiong menguasai kungfu yang mengejutkan. Ketika akhirnya terjadi pertengkaran dan bahkan menjadi musuh antara Yap Jiu-pek denganmu, pada saat itu pula aku berangkat jauh ke lautan sini dengan meninggalkan kampung halaman. Karena rasa sedih dan dengki, aku bertekad akan berpisah selamanya dengan kehidupan ramai, maka secara kejam kubunuh anak istri sendiri....”

Mendadak angin mendera dan meniup dengan keras sehingga menambah seram ucapan yang terakhir itu.

"Meski kau pergi meninggalkan dunia ramai, tapi hidupku telah kau bikin susah!" teriak Liong Po-si dengan gemas. Seketika rasa dendam lama dan benci baru timbul serentak, segera ia bermaksud menghantam.

"Nanti dulu!" bentak Lamkiong Eng-lok. "Sekali pun kau ingin balas dendam, hendaknya tunggu dulu setelah habis ceritaku."

Mukanya kelihatan basah, entah air laut atau air mata. Dengan suara parau ia menyambung lagi, "Setiba di atas pulau tetap tak dapat kulupakan kehidupan dunia ramai sana, terlebih tidak dapat melupakan kalian. Tambah lama tambah jelas terbayang kejadian masa lampau, bayangan Yap Jiu-pek juga sukar terhapus dalam benakku...."

Liong Po-si menggerung murka, tapi Lamkiong Eng-lok meneruskan lagi, "Untung turun-temurun orang keluarga Lamkiong adalah Cu-sin-tocu."

"Apa katamu?" tergetar hati Lamkiong Peng.

"Kau tahu, pulau para dewata ini justru adalah ciptaan keluarga Lamkiong. Setiap keturunan keluarga Lamkiong kita, anak sulung harus dikirim ke sini, yaitu untuk mewarisi kedudukan Tocu. Hal ini tetap merupakan rahasia dunia persilatan selama ini, sebab itulah kau pun tidak tahu. Waktu kau datang mula-mula sudah kukatakan akan memberi tugas padamu, maksudku adalah bila aku sudah wafat, kedudukan Tocu akan kuserahkan padamu."

Mendadak Liong Po-si berteriak, "Setelah kau jadi Tocu di sini, engkau belum melupakan kami dan mengirim utusan untuk mencari kami dan akhirnya bertemu di puncak Hoa-san. Pada saat kami sedang lengah aku telah dikerjai kalian dan dibawa ke sini. Sekarang ingin kutanya padamu, Yap Jiu-pek telah kau sembunyikan di mana?"

Lamkiong Eng-lok termenung sejenak. "Yap Jiu-pek su... sudah terjerumus ke dalam jurang. Dia sudah mati, sampai mayat pun sukar ditemukan lagi. Karena pukulan batin itulah, maka pikiranku rada terganggu," katanya kemudian. Deru ombak yang mendampar membuat suaranya terputus-putus dan hampir tak terdengar.

"Kau bilang apa?!" bentak Liong Po-si.

"Dia sudah mati!" jawab Cu-sin-tocu alias Lamkiong Eng-lok dengan parau.

"Mati... sudah mati!" gumam Liong Po-si dengan melotot.

Mendadak Liong Po-si meraung murka, serentak ia melompat maju terus menghantam batok kepala lawan. Akan tetapi Lamkiong Eng-lok sempat menangkisnya.

"Baik, baik! Permusuhan kita selama puluhan tahun boleh juga diselesaikan saja sekarang," seru Lamkiong Eng-lok dengan tertawa pedih.

“Plak! Plok!” terdengarlah suara benturan beberapa kali, dalam waktu singkat keduanya sudah saling gebrak enam tujuh jurus.

Karena gerakan kedua orang yang keras, imbangan perahu tambah oleng dan naik turun terlempar ombak, perbekalan yang dimuat perahu pun sama terjatuh ke laut.

Sambil memegang perahu yang oleng Lamkiong Peng berteriak, "Suhu...! Paman...! Berhenti... berhenti...!”

Tapi kedua orang tua itu tidak mendengar lagi seruannya. Meski kaki kedua orang tak bisa bergerak, namun empat tangan mereka dapat saling menghantam. Lamkiong Peng serba susah. Ia tidak dapat membantu guru untuk membunuh paman, sebaliknya juga tidak dapat membantu paman untuk memusuhi guru.

Mendadak terdengar Liong Po-si dan Lamkiong Peng membentak bersama, menyusul perahu pun terlempar ke atas oleh gelombang yang tinggi. Kontan perahu miring ke samping. Belum lagi sempat Lamkiong Peng menjerit, tahu-tahu ia sudah tergelincir ke dalam laut. Segera gelombang ombak mendamparnya dengan dahsyat sehingga membuatnya tak berdaya, hanya dalam hati ia dapat mengeluh tamatlah segalanya. Ia tenggelam ke dalam laut. Antara sadar dan tidak, mendadak tangannya menyentuh sesuatu, dan secara di bawah sadar ia terus pegang benda itu dan tak dilepaskan lagi.

Sang surya memancarkan cahayanya yang gilang gemilang sehingga membuat permukaan laut gemerdep dan memantulkan kelip cahaya keemasan. Angin laut mendesir dan menimbulkan gemersik daun pohon kelapa yang banyak tumbuh di tepi pantai. Pesisir yang berwarna keemasan itu semula tiada jejak manusia, tapi ombak yang tidak kenal ampun itu mendadak mengantarkan sesosok tubuh ke pantai. Tubuh itu tak bergerak, mata terpejam, entah sudah mati atau masih hidup. Janggutnya pendek kaku, namun mata alisnya kelihatan cakap dan masih muda. Kedua tangannya mencengkeram kencang sebuah peti kayu dan tak terlepaskan.

Rupanya ketika hampir tenggelam, mendadak tangan Lamkiong Peng sempat meraih sebuah peti kayu. Peti inilah yang menyelamatkan jiwanya dan akhirnya terdampar ke pantai. Tidak lama kemudian, tangan yang mencengkeram peti itu mulai mengendur, kelopak mata pun bergerak, akhirnya terbuka sedikit. Tapi karena silau oleh sinar matahari, ia lalu menutupi mata dengan tangan.

Perlahan ia meronta bangun dan duduk, ia tumpahkan air laut yang membuat perutnya rada kembung. Ia pandang sekelilingnya yang lapang dan sunyi. Sekali lagi Lamkiong Peng lolos dari renggutan elmaut! Namun dia sudah kehabisan tenaga, hati pun kecut, apakah mungkin dia dapat bertahan hidup di pulau kecil ini?

Lamkiong Peng berdiri. Ia tidak ingin memikirkan apa yang sudah terjadi, juga tidak berani membayangkan nasib guru dan pamannya, entah sudah mati atau masih hidup. Ia tidak tahan sinar matahari yang menyengat itu, karena itu ia menuju ke bawah pohon kelapa. Di balik deretan pohon kelapa sana ada sebuah hutan yang rindang dengan macam-macam pohon.

Dengan langkah sempoyongan Lamkiong Peng menuju ke balik pepohonan kelapa. Ketika dekat dengan hutan yang rindang di sana, dilihatnya di atas tanah kuning yang kering itu ada bekas tapak kaki yang aneh, tapak kaki raksasa. Terkesiap anak muda itu! Pada tapak kaki itu kelihatan bekas tiga jari serupa bekas kaki burung, tapi bagian tungkak dan telapak serupa kaki manusia. la tertarik untuk mengetahui, sebenarnya bekas kaki makhluk apa itu?

Baru saja ia melangkah lagi, mendadak tanah yang diinjaknya longsor ke bawah. Kiranya di samping bekas kaki ini ada sebuah jebakan sebulatan satu tombak luasnya. Terkejut ia ketika merasa kakinya menginjak tempat yang kosong, maka sekuatnya ia pegang tepian lubang dan berusaha melompat ke atas. Bahkan ia tidak berani lagi hinggap di sekitar situ melainkan terus meloncat setingginya dan melayang ke dalam hutan.

Tapi mendadak kaki tersandung ranting pohon. Ia terkejut, sedapatnya ia ingin hinggap di atas dahan, tak terduga di saat itu juga sepotong ranting menyambar tiba pula. Bahkan karena getaran ranting yang serupa panah itu mengakibatkan ranting kayu yang lain patah dan lantas meluncur deras, sehingga dari sana sini menyambar tiba pula panah kayu yang tajam.

Dihujani panah dalam keadaan terapung tentu saja Lamkiong Peng agak kerepotan, apalagi beberapa kali lompatan itu telah banyak memakan tenaganya. Untuk menyelamatkan diri terpaksa ia anjlok ke bawah. Siapa tahu, begitu kaki menyentuh tanah, segera diketahuinya kembali kejeblos ke dalam perangkap. Sekali ini ia mati kutu. Meski sekuatnya ia berusaha melompat lagi ke atas, namun sukar mengeluarkan tenaga lagi.

"Plung!" tahu-tahu ia kejeblos ke dalam air.

Kiranya lubang perangkap ini selain luas dan dalam, bahkan pada dasar lubang ada air sedalam enam tujuh kaki. Betapa pun tinggi ginkang seorang, bila sudah kejeblos ke dalam lubang seperti ini, tentu juga tak berdaya seketika. Sekujur badan Lamkiong Peng terendam air, bahkan hampir tenggelam sama sekali. Sebisanya ia berjinjit sehingga hidung dapat menongol di permukaan air.

“Braak!” mendadak terdengar suara dan seketika keadaan menjadi gelap-gulita. Ternyata Lamkiong Peng telah terjeblos ke dalam sebuah perangkap yang dipasang sebagai jebakan. Suara terakhir tadi berasal dari alat pada lubang atas perangkap yang tiba-tiba bekerja menutup lubang jebakan ini.

Kejut dan sangsi pula Lamkiong Peng. "Tak tersangka di pulau terpencil ini ternyata ada manusia. Melihat cara pembuatan perangkap ini agaknya bukan digunakan untuk menangkap binatang, melainkan ditujukan terhadap tokoh persilatan kelas tinggi yang memiliki ginkang yang hebat. Entah siapa gerangan pemasang perangkap ini dan siapa pula yang hendak di jebaknya?" pikirnya.

Selagi dia merasa ngeri terhadap musuh yang tidak diketahui ini, sekonyong-konyong terdengar suara orang tertawa, suaranya seram serupa bunyi burung hantu. Kiranya pada waktu penutup lubang jebakan tadi merapat dan menimbulkan suara, suara itu menggema jauh ke tengah hutan yang lebat. Segera dari dalam sebuah rumah yang dibangun di atas dahan pohon serupa sarang burung itu melayang ke luar sesosok bayangan manusia.

Bayangan orang itu berambut panjang rupanya seorang perempuan, namun tubuhnya hanya dibungkus dengan dedaunan dan akar-akaran, kulit badannya tampak kering karena terbakar sinar matahari. Kesepuluh jarinya kurus kering, tulang pipi tinggi menonjol, hanya kedua matanya masih mencorong, tapi mercorong buas serupa kelaparan dan menimbulkan rasa ngeri bagi yang melihatnya.

Dia tertawa latah dan berkata, "Baru sekarang kau rasakan kelihaian nyonya....”

Meski cepat gerak tubuhnya, tapi dilakukannya dengan hati-hati seperti di dalam hutan ini penuh perangkap. Ketika dia sudah berdiri di atas papan penutup lubang jebakan itulah baru ia berteriak pula sambil tertawa terkekeh.

"Siapa itu yang di atas?! Mengapa kau jebak diriku dengan cara sekeji ini?!" teriak Lamkiong Peng.

Karena ucapannya ini, suara tertawa di atas seketika berhenti. Perempuan kurus kering itu melenggong sendiri, sorot matanya yang mencorong menampilkan rasa terkejut.

"He, bu... bukan kau...? Siapa kau?!" bentaknya dengan bengis.

Baru sekarang hati Lamkiong Peng merasa longgar, sebab diketahuinya sasaran perangkap orang ternyata bukan dirinya. Tapi bila didengar dari suaranya, mau tak mau ia pun kuatir. Mendadak papan penutup itu terbuka, sebuah wajah orang perempuan berambut panjang yang sangat buruk menongol di tepi lubang jebakan dan sedang mendamprat padanya, "Keparat, jahanam...!” Begitulah ia terus memaki dengan segala kata kotor yang keji.

Tentu saja Lamkiong Peng juga gusar. "Selamanya kita tidak kenal...." Mendadak ia melongo dan terputus ucapannya.

Tampaknya perempuan kurus kering itu pun terkejut, tapi segera ia tertawa latah pula dan berseru, "Haha, kiranya kau...! Haha, ternyata engkau yang masuk perangkapku, agaknya usahaku ini pun tidak sia-sia belaka. Wahai Lamkiong Peng, apakah engkau masih kenal padaku?"

Kaget juga Lamkiong Peng setelah mengenali siapa perempuan ini. "Hah, kiranya engkau belum... belum mati? Engkau Tek-ih Hujin, bukan?"

"Betul, aku belum mati, akulah Tek-ih Hujin!" seru perempuan itu sambil tertawa latah. “Meski kalian menghanyutkan aku di tengah lautan bebas, namun aku justru tidak mati kelaparan dan kehausan!"

Seketika Lamkiong Peng tidak sanggup bicara lagi.

Kiranya cukup lama juga Tek-ih Hujin terombang-ambing di tengah lautan dengan sekoci itu. Tiap hari ia dipanggang oleh terik matahari, pada waktu malam hari dia kedinginan oleh angin lautan sehingga tubuhnya kurus kering tinggal kulit membungkus tulang. Beberapa lelaki yang dihanyutkan bersama dia, karena kungfu-nya kalah tinggi dari-pada dia, juga tipu akalnya kalah keji, akhirnya semua terbunuh olehnya dan dijadikan isi perut. Berkat darah dan daging orang-orang itulah Tek-ih Hujin bertahan berpuluh hari di tengah lautan dan akhirnya terdampar ke pulau ini.

Selama tinggal di pulau ini juga penuh derita dan sengsara. Bila musim dingin tiba bahkan kedinginan setengah mati. Hidup tersiksa ini telah membuat fisiknya berubah sama tekali, bahkan suaranya juga berubah, hanya matanya saja dengan sinarnya masih tetap serupa dulu, malahan tambah memancarkan cahaya rasa benci dan dendam. Kalau tidak melihat sinar matanya itu, tentu Lamkiong Peng tidak kenal lagi perempuan kurus kering dan bermuka buruk ini adalah Tek-ih Hujin yang dahulu terkenal pintar berubah rupa dan cantik molek itu.

Dalam keadaan demikian Lamkiong Peng hanya merasa menyesal saja, maka ia tutup mulut tanpa bicara.

"Kenapa engkau diam saja?" tanya Tek-ih Hujin dengan tertawa senang.

"Setelah jatuh di tanganmu, terserah padamu akan diapakan diriku," ujar Lamkiong Peng.

"Apakah kau minta aku membunuhmu?"

"Silakan, makin cepat makin baik."

"Hahaha! Kau ingin aku membunuhmu, aku justru merasa keberatan," Tek-ih Hujin terbahak, lalu sambungnya, "Sekarang engkau telah menjadi mestika ratuku, mana aku tega membunuhmu? Nanti setelah kehabisan tenaga baru akan kutarik kau ke atas."

Terbayang entah apa yang akan terjadi bila jatuh dalam cengkeraman perempuan keji ini, mendadak Lamkiong Peng merasa lebih baik mati saja sekarang. Tanpa ragu segera ia angkat tangan dan hendak menghantam kepala sendiri.

Mendadak Tek-ih Hujin terkekeh pula dan berseru, "Haha, masa kau akan bunuh diri begitu saja? Apakah engkau tidak ingin tahu di pulau ini masih ada siapa Iagi selain diriku?"

"Hah, ada siapa Iagi?" seru Lamkiong Peng.

"Biar pun pecah kepalamu berpikir juga takkan kau duga Bwe Kim-soat juga berada di sini," tutur Tek-ih Hujin dengan tertawa senang.

Tentu saja Lamkiong Peng terkejut. "Kenapa dia bisa berada di sini?"

"Dia menumpang sebuah perahu tua dan terdampar ke sini, perahunya kandas di pantai karang sana. Perahu pecah dan tak dapat berlayar Iagi, terpaksa ia mendarat. Waktu itu aku tidak tahu dia adalah orang yang membikin celaka diriku, sebaliknya dia juga tidak mengenali diriku...."

Kiranya tempo hari Bwe Kim-soat menumpang perahu sendirian dan meninggalkan mereka. Meski dia paham cara berlayar, namun jika cuma sendirian, mana dia mampu menguasai sebuah perahu di tengah gelombang laut sedahsyat itu? Di tengah lautan seluas itu, dia kehilangan arah. Air minum dan perbekalan yang dibawanya pun habis. Mendingan kalau cuma lapar saja. kehausan itulah yang sukar ditahan. Dalam keadaan lapar dan haus akhirnya ia jatuh pingsan....

Entah berapa lama ia terbawa perahu tanpa kemudi itu hingga akhirnya perahunya kandas. Memangnya perahu itu sudah tua, karena benturan batu karang maka perahu pun pecah, hanya tidak segera tenggelam karena tertahan oleh batu karang.

Tentu saja Tek-ih Hujin sangat girang melihat ada perahu singgah di pulau itu. Tapi setelah diperiksanya baru diketahui perahu itu tidak bisa dipakai lagi, malahan perahu itu dikenali adalah perahu bekas dipakai Hong Man-thian dan rombongannya. Sekarang di atas perahu tertinggal seorang perempuan saja. la heran dan juga rada sangsi.

Namun dia sesungguhnya sangat kesepian tinggal di pulau ini, kalau bisa mendapatkan teman tentu saja sangat menyenangkan. Maka ia lantas menolong Bwe Kim-soat dan dibawa ke atas pulau. Mengingat Bwe Kim-soat pernah dalam satu perahu dengan Lamkiong Peng, Tek-ih Hujin coba mengorek keterangannya, "Apakah hubunganmu dengan Lamkiong Peng?"

Karena baru sadar, seketika Bwe Kim-soat tidak mengenali Tek-ih Hujin. "Dari mana kau tahu kalau aku kenal dia?" jawabnya.

"Selagi pingsan pernah kau sebut-sebut namanya," ujar Tek-ih Hujin.

"Dia... dia suamiku," kata Kim-soat dengan pedih.

Tentu saja Tek-ih Hujin terheran-heran, tapi dia tidak memperlihatkan sesuatu tanda. Ia bertanya lagi dengan tak acuh, "Oo, dan mengapa sengaja kau menyamar sebagai orang kudisan yang kotor dan berbau serta menumpang kapal itu?"

Terkejut Bwe Kim-soat. "Dari... dari mana kau tahu?"

"Tentu saja aku tahu," sahut Tek-ih Hujin dengan tertawa.

"Masakah engkau ini Tek... Tek-ih Hujin...?”

Belum lanjut ucapan Kim-soat, tahu-tahu Tek-ih Hujin sudah menotoknya hingga dirinya tak bisa berkutik.

"Hahaha, Thian yang mengantarmu ke sini supaya aku dapat membalas sakit hatiku. Tapi jangan kuatir, sementara ini takkan kubinasakan dirimu. Boleh kau tinggal di sini bersamaku. Harus kau rasakan juga rasanya orang menderita di pulau terpencil ini, menjalani kehidupan ketika ingin hidup sukar dan minta mati pun tak bisa."

Begitulah Tek-ih Hujin menceritakan apa yang terjadi itu kepada Lamkiong Peng.

Cemas dan gusar pula anak muda itu. "Dan sekarang di mana dia?! Betapa telah kau siksa dia?" teriaknya parau.

"Hm, bagaimana keadaannya sebentar akan kau lihat sendiri."

Apa yang dikatakan Tek-ih Hujin memang bukan omong kosong, cuma saat itu Bwe Kim-soat tidak begitu buruk keadaannya sebagaimana disangka oleh Lamkiong Peng. Kiranya sesudah Bwe Kim-soat tertahan di pulau ini, Tek-ih Hujin telah menyiksanya dengan berbagai macam cara, terutama mengenai air minum, setiap hari hanya diberinya beberapa ceguk saja. Dengan sendirinya kesegaran tubuh Bwe Kim-soat sangat cepat menyusut, namun dia tetap bertahan. Meski mulai kurus, namun belum banyak menghilangkan kecantikannya.

Tek-ih Hujin merasa kagum juga terhadap kecantikan orang. Dia sengaja berolok, "Ehm, molek benar kau ini, pantas pemuda seperti Lamkiong Peng itu pun jatuh hati padamu."

"Mungkin belum kau ketahui bahwa aku inilah Bwe Kim-soat," kata Kim-soat dengan tertawa.

"He, jadi kau ini Khong-jiok Huicu?" seru Tek-ih Hujin terkejut.

Dengan sendirinya ia kenal nama itu. Cuma menurut perhitungan, seharusnya usia Bwe Kim-soat sudah setengah baya, mengapa sekarang kelihatan masih begini muda? Tiba-tiba tergerak hati Tek-ih Hujin, ia yakin orang dapat awet muda, tentu karena sudah rnenguasai sesuatu ilmu perawatan. Karena itulah ia berusaha memancing kepandaian awet muda dari Bwe Kim-soat.

Tentu saja hal ini dapat diketahui oleh Bwe Kim-soat. Ia justru menggunakan hal ini untuk memeras, minta air minum lebih banyak, minta makanan sekedarnya. Lebih dari itu ia pun minta dibebaskan dari ringkusannya walau pun hiat-to tetap tertotok dan tak bertenaga.

Diam-diam Tek-ih Hujin menggerutu. Tapi dasar orang perempuan, siapa yang tidak terpikat kepada ilmu kecantikan? Demi untuk memperoleh resep awet muda dari Bwe Kim-soat, sedapatnya Tek ih Hujin memenuhi semua tuntutannya.

Bwe Kim-soat menyadari, lawan bukan orang bodoh, tentu tidak dapat ditipu begitu saja. Maka ia lantas menguraikan lweekang untuk merawat diri agar tetap awet muda. Sebagai seorang tokoh persilatan, Tek-ih Hujin tahu lweekang yang diajarkan ltu tulen atau palsu. Dari kalimat dan istilah yang disebut Bwe Kim-soat jelas memang pengantar untuk memperdalam sesuatu ilmu lweekang. Tek-ih Hujin tidak tahu, justru lweekang inilah yang telah membuat Bwe Kim-soat menderita selama beberapa tahun. Akibatnya memang begitu.

Karena Tek-ih Hujin sudah yakin, maka tanpa sangsi ia mengikuti petunjuk Bwe Kim-soat dan mulai berlatih. Ia duduk bersila dan mengerahkan tenaga dalam, lambat laun terlihat butiran keringat menghias dahinya, sekujur badan lantas gemetar. Baru sekarang ia kaget dan merasa tertipu. Tapi gejolak perasaannya ini justru membuatnya tambah celaka, tenaga dalam lantas menyasar, sedang bagian kaki terasa kaku dan mati rasa.

Mendadak Bwe Kim-soat tertawa dan melepaskan diri dari ringkusannya. "Eh, sekarang perasaanmu tentu sangat segar bukan?" katanya.

"Keparat, berani kau tipu diriku?" damprat Tek-ih Hujin dan cepat menghentikan latihannya. Namun sudah telanjur, badan bagian bawah terasa kaku, hanya kedua tangan masih bertenaga. Ia pikir bila orang berani mendekat, segera akan dipukulnya binasa.

Meski sudah bebas dari ringkusan, tapi tubuh Bwe Kim-soat tidak bertenaga karena totokan Tek-ih Hujin tadi. Dengan sendirinya Kim-soat tidak mau sembarangan mendekati orang, sebaliknya ia berkata, "Cici yang baik, engkau telah menyelamatkan jiwaku, maka aku pun takkan membunuhmu. Boleh kau tinggal di sini, nanti kujengukmu lagi."

Habis berkata Bwe Kim-soat lantas melangkah pergi masuk ke dalam hutan. Tentu saja Tek-ih Hujin geregetan. Ia mencaci-maki, segala kata kotor dihamburkan seluruhnya. Bwe Kim-soat tidak mempedulikan si Nyonya Senang yang sedang tidak senang. Ia terus berjalan, pada bibirnya tersungging senyum manis, senyum penuh kemenangan.

Setelah melintasi hutan, diam-diam Bwe Kim-soat juga memikirkan kemungkinan apa yang akan terjadi. Sebab ia tahu, beberapa hari lagi kelumpuhan Tek-ih Hujin itu akan sembuh kembali, hal ini sudah pernah dialaminya sendiri. Sebaliknya ia tidak tahu, bilakah hiat-to sendiri yang tertotok akan dapat dilancarkannya kembali?

Setiba di balik hutan gana, setelah mengamati keadaan setempat, segera ia mengatur berbagai perangkap di dalam hutan, lalu menuju ke perahu rusak untuk mengambil peralatan yang diperlukan untuk memotong kayu dan sebagainya. Ia memotong beberapa puluh batang kayu dan dipasang sedemikian rupa di tengah semak-semak sebagai penghalang. Di samping itu juga diaturnya banderingan batu dengan mengikat dahan pohon yang lemas. Selama dua hari ia bekerja keras sehingga lemas dan letih, namun jerih payah itu cukup menjaga keamanannya dari gangguan musuh.

Di pihak lain, Tek-ih Hujin menyaksikan kepergian Bwe Kim-soat dengan gemas dan gusar, tapi tak berdaya. Terpaksa ia harus merangkak ke dalam hutan dan berusaha menyembuhkan kelumpuhannya. Tak terduga olehnya, pada pagi hari kelima, mendadak kakinya dapat bergerak lagi, rupanya peredaran darah dalam tubuhnya telah lancar dengan sendirinya.

Ia sangat girang, lalu istirahat dan menghimpun tenaga. Petangnya ia mulai mencari jejak Bwe Kim-soat, ia bersumpah akan mencincangnya. Dengan mudah dapatlah hutan dekat pantai itu didatanginya, tapi baru saja ia melangkah masuk ke dalam hutan, sekonyong konyong batu berhamburan dan kakinya tersandung.

Cepat ia melompat mundur, dengan murka ia mendamprat, "Perempuan hina she Bwe, kalau berani ayolah keluar!"

Tak terduga tiba-tiba seorang mendengus. Bwe Kim-soat tampak melayang ke luar dari semak-semak dalam hutan, gerakannya ringan serupa terbang, sungguh ginkang yang luar biasa.

Karuan Tek-ih Hujin terkejut. "Hah, siap... siapa yang membukakan hiat-to-mu?"

Kim-soat tertawa, "Mungkin tidak kau ketahui bahwa kungfu-ku yang sudah dipunahkan oleh Liong Po-si akhirnya dapat pulih juga, apalagi cuma totokanmu yang tidak berarti ini. Sudah aku siapkan tempat berbincang-bincang yang baik di dalam hutan, apakah engkau mau mampir sebentar?"

Semakin sepele cara bicara Bwe Kim-soat, semakin membuat sangsi Tek-ih Hujin. Ia tambah mengkeret dan menyangka orang hendak menjebaknya lagi.

"Hm, tidak perlu mengoceh seenaknya. Keledai pun takkan kesandung untuk kedua kalinya di tempat yang sama, memangnya aku hendak kau tipu lagi?" seru Tek-ih Hujin sambil tertawa, lalu ia berlari kembali ke tempatnya sendiri. Ia tidak tahu bahwa tenaga Bwe Kim-soat sebenarnya belum pulih seluruhnya, bila-mana terjadi pertarungan, siapa yang lebih unggul pun belum dapat dipastikan.

Begitulah Tek-ih Hujin menceritakan kejadian itu, walau pun tidak terperinci dengan jelas. Akhirnya ia berkata pula, "Sekembaliku di sini, aku kuatir akan diganggu oleh perempuan hina itu, maka aku pun mengatur berbagai perangkap di hutan ini, lalu aku membangun rumah sarang di atas pohon. Hm, betapapun licinnya, memangnya aku dapat diakali? Sejauh ini apakah dia berani ke sini?"

Lega hati Lamkiong Peng mengetahui Bwe Kim-soat dalam keadaan selamat. "Kiranya perangkap yang di pasangnya di sini ditujukan kepada Kim-soat," pikirnya.

"Selama ini perempuan hina itu menjaga perahu rusak itu," tutur Tek-ih Hujin pula. “Setiap hari ia berusaha memperbaiki perahu itu. Aku kuatir bila selesai perahu itu dia perbaiki, bisa jadi dia akan lolos pergi, tertinggal aku saja merana di pulau sepi ini. Akan tetapi sekarang datang lagi dirimu, aku tidak takut lagi...." Berucap sampai di sini ia lantas terbahak bahak.

"Hm, apakah maksudmu hendak kau gunakan diriku untuk memeras dia?!" bentak Lamkiong Peng dengan gusar.

"Haha, cerdas juga kau," seru Tek-ih Hujin dengan gembira. Segera ia angkat Lamkiong Peng dan dibawa lari ke balik hutan sana.

Setelah menembus hutan lebat ini, di depan adalah tebing karang yang curam. Di samping sana ada lagi hutan, di situlah tinggal Bwe Kim-soat. Lamkiong Peng hendak berseru memanggil, tapi mendadak Tek-ih Hujin menotok lagi hiat-to bisunya, lalu ditaruhnya di belakang sepotong batu karang.

Tek-ih Hujin kemudian menuju ke depan hutan dan berteriak, "Bwe Kim-soat...! Ayolah lekas keluar!" Suaranya tajam melengking sehingga mengejutkan burung malam di dalam hutan yang lantas sama terbang serabutan.

Menyusul terdengarlah suara orang tertawa panjang. Dengan memegang setangkai ranting, Bwe Kim-soat muncul dari dalam hutan. Dia memakai jubah yang terbuat dari terpal bekas layar, meski kasar, tapi cukup resik.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar