Amanat Marga (Hu Hua Ling) Chapter 18

"Apakah perlu aku menemanimu?" mencorong sinar mata si nona.

Lamkiong Peng mengangguk dengan pikiran kusut. Selain sedih terhadap urusan yang dihadapi keluarganya, kini bertambah lagi dengan keruwetan benang cinta.

"Jika begitu marilah kita lekas berangkat," seru Man-jing girang. Segera ia menarik anak muda itu dan diajak berlari pergi. Asalkan berada bersama Lamkiong Peng, urusan lain sama sekali tidak terpikir lagi olehnya.

Kabut makin tebal, orang banyak menjadi kacau dan akhirnya bubar. Dengan muka masam dan mengepal tinjunya Suma Tiong-thian menghentak kaki dengan geram. Selama hidupnya malang melintang di dunia kangouw, tak terduga sesudah tua berbalik banyak mengalami macam-macam gangguan. Sekarang seorang kroco malahan dapat kabur di bawah tangannya. Tentu saja ia dongkol dan juga heran.

Waktu ia berpaling, dilihatnya Kim-sian-loh masih berdiri di belakang dan sedang memandangnya dengan bingung. Anjing berbulu emas si Dewa Emas juga mendekam di samping kakinya dengan jinak. Ia menghela napas perlahan dan mengelus kepala anjing itu. "Dunia kangouw memang banyak gelombang badai, apakah engkau tidak ingin pensiun saja, Kim-pohtau?" katanya setengah bertanya.

Kim-sian-loh menunduk dan menjawab dengan tergagap, "Wanpwe...."

"Kukira anjing ini pun sudah waktunya kau pulangkan," kata Suma Tiong-thian pula.

"Tapi sudah belasan tahun Kim-sian ikut padaku, sungguh aku... aku tidak...."

"Di dunia ini tidak ada perjamuan yang tidak bubar," ujar Suma Tiong-thian dengan gegetun. “Apalagi tentunya kau tahu, majikannya saat ini jauh lebih memerlukan dia dari-padamu."

Kim-sian-loh berdiri termangu dengan termenung.

Tiba-tiba dari balik kabut sana muncul lima sosok bayangan, seorang lantas menegur dengan suara lembut, "Suma-cianpwee, apakah engkau masih kenal padaku?"

Waktu Suma Tiong-thian memandang ke sana, tertampaklah seorang nyonya cantik baju merah dan bermata jeli sedang melangkah tiba dengan lemah gemulai. Dengan girang ia menjawab, "Hah, biar pun tua mataku belum lagi rabun, masakah tidak kenal lagi padamu? Wah, bagus sekali. Ternyata Ciok-heng juga datang. Eh, di mana Liong Hui, mengapa dia malah tidak ikut kemari?"

Kiranya nyonya cantik itu ialah Kwee Giok-he. Dengan menyesal ia berkata pula, "Ai, aku pun sedang mencarinya kian kemari, tapi tidak... Ai, salahku juga, mungkin aku berbuat sesuatu yang membikin marah dia, kalau tidak, entah mengapa dia...." Mendadak senyumnya lenyap dan berubah menjadi sangat sedih.

Kening Suma Tiong-thian bekernyit, katanya, "Dan di manakah So-so? Mungkinkah dia ikut bersama Liong Hui?"

Giok-he mengangguk perlahan.

"Ah, anak ini...," gumam Suma Tiong-thian.

Yang berdiri di samping Ciok Tim yang berwajah kaku itu terdapat pula Yim Hong-peng yang tampak bersikap santai. Ia berdehem lalu berucap, "Anda ini mungkin ialah Thi-cian-ang-ki yang termasyhur itu? Cayhe Yim Hong-peng."

"Yim Hong-peng? Ah, bagus sekali, tak tersangka dapat bertemu dengan Yim-taihiap di sini," kata Suma Tiong-thian.

Sekilas dilihatnya jauh di belakang mereka berdiri lagi dua orang serupa kaum budak ikut di belakang majikannya. Jelas dikenalnya kedua orang ini adalah kedua Elang Hijau dan Elang Kuning dari Jit-eng-tong, gembong perusahaan pengawalan yang termasyhur dahulu.

Dengan girang Suma Tiong-thian mendekati mereka sambil menyapa, "Wi-heng dan Leng-heng, masa kalian sudah pangling padaku?"

Siapa tahu si Elang Kuning Wi Leng-thian dan Elang Hijau Leng Gin-thian hanya saling pandang sekejap, seperti sama sekali tidak mengenalnya. Mereka tetap berdiri diam dan kaku.

Suma Tiong-thian jadi melenggong sendiri. "Hah, meski Ang-ki-piaukiok dan Jit-eng-tong perusahaan sejenis, namun jalan yang ditempuh memang tidak sama. Tak tersangka begini sempit jalan pikiran kalian," katanya pula dengan mendongkol.

Leng Gin-thian dan Wi Leng-thian tetap diam saja seperti tidak mendengar. Yim Hong-peng dan Kwe Giok-he saling pandang sekejap dengan sorot mata mengandung senyuman puas, sedangkan Ciok Tim kelihatan merasa kasihan kepada kedua jago pengawal tua itu.

Perlahan Giok-he lantas menarik ujung baju Suma Tiong-thian dan berbisik kepadanya, "Suma-cianpwee, ada sementara orang takkan menjadi soal dijadikan kawan atau tidak. Eh, betapa gagah anjing ini, tentu inilah Kim-sian yang termasyhur itu?"

Kim-sian-loh memberi hormat dan menjawab, "Betul, dan cayhe Kim-sian-loh. Apabila nyonya ada keperluan...."

"Oya, hampir lupa kuberi-tahukan padamu," seru Suma Tiong-thian mendadak. "Peng-ji juga berada di sini!"

"Gote Lamkiong Peng maksud Cianpwee?" tanya Giok-he.

"Betul," jawab Suma Tiong-thian. Waktu ia berpaling, kabut tadi sudah mulai menipis, namun di halaman sana kosong sepi tiada seorang pun.

"Peng-ji! Peng-ji!" cepat Suma Tiong-thian berteriak.

"Mungkin dia sudah pergi," ujar Giok-he dengan tersenyum.

"Pergi?" heran juga Suma Tiong-thian.

"Akhir-akhir ini entah mengapa, bila melihat diriku dan samte dia lantas menyingkir jauh, padahal.... Ai, umpama dia berbuat sesuatu kesalahan, antara sesama saudara seperguruan tentu juga akan kami maafkan," Giok-he merandek sejenak, lalu menyambung lagi dengan menyesal, "Anak ini pintar lagi cekatan, semuanya serba baik. Kuharap kelak dia dapat melakukan sesuatu pekerjaan besar, siapa tahu... Ai!"

"Memangnya dia kenapa?" tanya Suma Tiong-thian melengak.

"Betapa pun dia masih muda belia. Hanya lantaran seorang perempuan bejat dia tidak sayang bermusuhan dengan orang banyak," tutur Giok-he. "Demi membela Bwe-leng-hiat dia telah membunuh Hui-goan Wi-loenghing."

"Hah?! Apa betul?" teriak Suma Tiong-thian terkejut dan gusar.

Giok-he tidak menjawab melainkan menunduk dan menghela napas.

Yim Hong-peng juga menggeleng. "Maklum... anak muda!" ucapnya.

Dengan geram Suma Tiong-thian bergumam, "Keluarga Lamkiong sendiri sedang gawat dan dia masih berbuat demikian?" mendadak ia berpaling dan bertanya. "Apakah kau tahu perempuan she Bwe itu telah memperalat kemala tanda pengenal Peng-ji untuk menarik harta benda dari berbagai cabang perusahaan Lamkiong di sekitar Se-an?"

Giok-he melirik Yim Hong-peng sekejap, lalu berucap dengan lagak terkejut, "Apa betul?"

"Berpuluh laksa tail perak memangnya bukan urusan besar bagi keluarga Lamkiong, tapi sekarang...,” Suma Tiong-thian memandang ke depan dan menghela napas panjang.

Gemerdep sinar mata Giok-he. "Apakah keluarga Lamkiong mengalami sesuatu?" tanyanya.

"Ya, sesuatu yang luar biasa, bisa... bisa bangkrut,” gumam si kakek.

Mendadak terlihat seorang lelaki berbaju hitam berlari masuk dengan membawa sehelai panji merah, rambut semerawut, napas ngos-ngosan. Begitu masuk segera ia berlutut dan menyembah sambil melapor, "Wah, celaka Ciong-piauthau...!"

"Ada apa?!" tanya Suma Tiong-thian dengan bengis.

Orang itu melapor pula, "Beberapa cabang perusahaan keluarga Lamkiong di Bu-wi, Tio-ya, Ko-long, Eng-ting dan Lan-ciu, semuanya telah dilelang menjadi seratus lima puluh tail perak. Semuanya lalu diringkas menjadi batu permata, dan selagi diangkut sampai di Thay-an lantas... lantas...."

"Lantas bagaimana?!" bentak Suma Tiong-thian.

"Lantas dirampok orang tanpa meninggalkan bekas,” sambung orang itu. "Kecuali hamba yang merintis jalan di depan, saudara yang lain seluruhnya... seluruhnya telah terbunuh oleh panji merahnya sendiri. Melihat gelagatnya, tiada seorang pun di antaranya sempat membela diri." Belum habis ucapannya, tahu-tahu Suma Tiong-thian berteriak, terus roboh terkulai karena jatuh pingsan.

Wajah Giok-he dan Yim Hong-peng tampak menampilkan rasa kejut juga, seperti sama sekali tidak tahu-menahu atas urusan perampokan ini!

********************

Dari Sun-yang lewat Pek-ho sampai di An-sia, sepanjang jalan hanya terhampar ladang luas, jarang kampung dan sedikit penduduk. Waktu senja, di sebuah dusun kecil di luar kota An-sia yang tenang, asap dapur mengepul di sana-sini, nyata sudah dekat waktu orang makan malam.

Beberapa orang lelaki dengan baju robek dan telanjang kaki tampak berdiri di depan satu-satunya penjaja makanan di dusun ini, sedang membeli kacang goreng dengan satu duit, atau membeli siopia dengan dua duit sebiji, tiga duit dapat membeli secawan arak putih, empat duit dapat setahil daging rebus. Lalu mereka akan menongkrong di atas bangku panjang dan menikmati makanan itu sambil minum arak serta mengobrol ke timur dan ke barat.

Mendadak salah seorang itu melenggong dan mendesis sambil memandang ke depan sana, "Lihat, alangkah cakapnya sepasang muda-mudi ini. Wah, juragan, tampaknya daganganmu akan laris!"

Penjaja makanan itu menoleh. Terlihat dari ujung jalan sana melangkah tiba sepasang muda-mudi. Meski kelihatan letih akibat perjalanan jauh, namun sikap mereka tetap gagah dan anggun.

Penjual makanan yang sudah ompong itu tertawa. "Ah, mana orang sudi jajan di tempat seperti ini?” katanya.

Tak terduga, tahu-tahu kedua muda-mudi itu langsung menuju ke tempatnya. Si gadis berbaju hijau yang cantik itu lantas mengeluarkan empat duit dan berkata, "Beli siopia dua biji."

Dengan gugup kakek penjual makanan itu membungkuskan dua siopia.

Sambil menerima bungkusan siopia, si nona bertanya, "Sudah dekat An-sia, bukan?"

Serentak beberapa orang menjawab, "Ya, sudah dekat di depan!"

Gadis jelita itu mengucapkan terima-kasih dan melanjutkan perjalanan bersama si pemuda. Sambil berjalan si nona membagi siopia kepada pemuda itu. "Lekas dimakan. Biar pun panganan udik juga perlu untuk menambah tenagamu agar dapat menempuh perjalanan lebih jauh. Setiba di An-sia dapatlah kita mengambil dua ekor kuda di cabang perusahaanmu, juga perlu tambah sangu," kata si gadis.

"Beberapa hari ini syukur bersamamu. Kalau... kalau tidak...," gumam si pemuda dengan gegetun.

Si nona menatapnya dengan sinar mata mencorong terang, serupa kerlip lampu di kejauhan.

Tidak lama kemudian mereka sudah memasuki kota An-sia yang telah bermandikan cahaya. Mereka coba mencari cabang perusahaan keluarga Lamkiong. Akan tetapi seorang di tepi jalan yang ditanya memperlihatkan rasa heran.

"Kalian mencari toko milik keluarga Lamkiong?" jawab orang itu. "Di kota ini sebenarnya ada sebuah toko hasil bumi milik keluarga Lamkiong yang terkenal, tapi beberapa hari yang lalu toko itu telah dioperkan kepada orang lain, semua pegawainya juga telah dibubarkan. Kejadian ini memang sangat mengherankan penduduk di sini."

Bagi Lamkiong Peng, bukan cuma heran saja, tapi juga gelisah dan cemas karena tidak tahu apa yang telah terjadi. Si nona berbaju hijau, Yap Man-jing, juga melenggong, tapi segera ia tertawa.

"Ah, untuk apa diherankan? Bisa jadi Tuan besar Lamkiong kita mendadak tidak mau berdagang lagi dan ingin pensiun saja di rumah," kata Man-jing. Tanpa pikir ia ajak Lamkiong Peng meneruskan perjalanan ke luar kota.

Hati Lamkiong Peng penuh diliputi tanda-tanya. "Sesungguhnya apa yang telah terjadi?" Ia tidak dapat menerka, juga sukar mendapat penjelasan.

Hawa malam mulai dingin. Waktu Lamkiong Peng menengadah, tertampak bayangan lereng gunung memanjang di depan. Itulah lereng gunung Butong, di sana pula terletak pusat ilmu silat perguruan ternama, Bu-tong-pai yang termasyhur. Sementara itu mereka sudah berada di kaki gunung dengan pepohonan yang rimbun.

"Tentu engkau sudah lelah, biarlah kita mengaso saja disini," kata Man-jing.

Mereka lantas mencari suatu tempat teduh dan berduduk, sehingga untuk sejenak suasana terasa sunyi senyap. Tiba-tiba terdengar perut Lamkiong Peng berkeruyukan.

Man-jing tertawa. "Hah, kau lapar lagi!" Segera ia merogoh saku dan mengeluarkan sisa sepotong siopia. "Ini, makanlah!" katanya pula.

Lamkiong Peng terharu. “Engkau sendiri...?” katanya dengan kerongkongan serasa tersumbat.

"Baiklah, kutahu engkau takkan mau makan sendiri," ucap Man-jing dengan tersenyum sambil merobek siopia itu menjadi dua dan separuh diberikan kepada Lamkiong Peng.

Sambil makan siopia, Lamkiong Peng merasa panganan ini jauh lebih lezat dari-pada makanan apa pun. Jika bukan dalam keadaan begini dan panganan pemberian kekasih, mana dapat dirasakan nikmatnya siopia itu.

Dengan tersenyum Man-jing berucap, "Pantas kakek botak itu kemaruk harta, kiranya uang memang pegang peranan sedemikian penting dalam kehidupan manusia. Eh, menurut pendapatmu, apakah perampokan itu dilakukan olehnya?"

"Haya tenaga satu orang saja mana dapat membunuh kawanan jago pengawal Ang-ki-piaukiok itu?" ujar Lamkiong Peng.

"Jika begitu, mengapa mendadak ia kabur tanpa sebab?"

"Ya, aku pun tidak mengerti," jawab si anak muda.

Selagi Man-jing mau bicara lagi, mendadak Lamkiong Peng menarik tangannya dan mendesis, "Ssst, jangan bersuara!"

Terdengarlah suara orang tertawa berkumandang dari atas lereng sana. Seseorang tertawa sambil berkata, "Jika tidak ada urusan penting, mana berani sembarangan kuganggu ketenangan keempat Totiang?"

Berubah air muka Man-jing. "Coba dengarkan, suara siapa ini?" bisiknya.

Tanpa pikir Lamkiong Peng menjawab, "Siapa lagi? Jelas si tua gila uang itu!"

Logat kampung aslinya dari propinsi Soasai memang sukar dilupakan oleh orang yang pernah mendengar suaranya.

"Mengapa ia pun berada di sini?" tanya Man-jing dengan tetap berbisik.

"Sssst!" desis Lamkiong Peng.

Rupanya beberapa orang itu sudah makin dekat. Terdengar suara seorang berucap dengan nada berat, "Ada urusan apa, harap lekas bicara."

"Sepanjang jalan kukuntit di belakang Totiang selama dua hari, tujuanku justru ingin mencari suatu tempat bicara yang terahasia," kata Ci Ti alias si Gila Uang.

Agaknya lawan bicaranya melengak, lalu berkata, "Bagaimana kalau kita bicara di atas tebing sana?"

"Bagus sekali!" seru Ci Ti.

Terkesiap Lamkiong Peng berdua. Segera terdengar suara angin mendesir, beberapa orang itu telah melompat ke atas. Ternyata keempat orang tepat berdiri di suatu tebing yang mencuat di depan tempat sembunyi Lamkiong Peng dan Yap Man-jing. Cuma mereka berada di bawah pohon dan teraling oleh akar tetumbuhan yang rimbun, maka mereka dapat melihat pihak lawan dan lawan tak dapat melihat mereka.

Tertampak jelas empat Tojin berjubah hijau dan berkaos kaki putih. Rambut mereka disanggul tinggi di atas kepala, pedang tergantung di pinggang, dan di punggung masing-masing menggendong sebuah bungkusan kuning. Usia mereka rata-rata sudah lebih lima puluhan tahun, sikapnya kereng berwibawa, jelas mereka bukan orang sembarangan.

Seorang di antaranya berwajah kelam dan berjenggot sehingga sikapnya terlebih gagah, dengan berkerut kening ia lantas berkata, "Nah, apa yang ingin Sicu bicarakan, sekarang dapatlah kau katakan saja."

"Silakan duduk, silakan duduk dulu," ujar si kakek botak alias Ci Ti, lalu ia mendahului duduk bersila.

"Selama ini kami tidak suka bergurau dengan siapa pun," ujar Tojin bermuka kelam itu.

Mendadak si botak juga bicara dengan serius, "Tempo sama dengan uang, aku pun tidak pernah membuang-buang waktu untuk bergurau."

Keempat Tojin saling pandang sekejap, lalu ikut duduk bersila. Seorang Tojin lain yang berwajah dingin meraba tangkai pedang dan berucap, "Sesungguhnya apa yang hendak dibicarakan Sicu?"

Ci Ti memandang cuaca sekejap. "Saat ini sepertinya sudah tengah malam, bukan?" katanya setengah bertanya.

Selagi Tojin bermuka kelam mendengus dongkol, segera Ci Ti menyambung, "Tengah malam kemarin...."

Baru selesai bicara demikian, serentak air muka keempat Tojin itu berubah hebat. Hampir serentak mereka berteriak, "Apa katamu?!" Berbareng mereka pun meraba pedang masing-masing.

Selagi Lamkiong Peng terkesiap, terdengar Ci TI terbahak dan berkata pula, "Tengah malam kemarin, ketika keempat Totiang memperlihatkan ketangkasan kalian, mungkin tak pernah tersangka ada orang menonton permainan kalian di samping." Ia merandek sejenak, dan tanpa menunggu jawaban ia meneruskan, "Tapi sebelumnya juga tidak kuduga bahwa kawanan perampok berkedok yang turun tangan keji itu tak lain dan tak bukan adalah jago Bu-tong-pai yang terkenal dan dipandang sebagai pimpinan dunia persilatan. Bahkan tidak ada yang menyangka hal itu bisa dilakukan oleh Bu-tong-su-bok (Empat Pohon dari Butong) yang merupakan para tertua andalan Bu-tong-pai."

Mendengar ini, jantung Man-jing hampir melompat ke luar dari rongga dadanya. Dirasakan tangan Lamkiong Peng yang memegangnya juga bergemetar. Bahwa kawanan Tojin Bu-tong-pai bisa menjadi perampok, sungguh berita yang amat mengejutkan.

Baru selesai Ci Ti berucap, serentak terdengar suara bentakan, bayangan orang berkelebat, dan sinar pedang pun menyambar. Dalam sekejap Bu-tong-su-bok telah mengepung Ci Ti di tengah, ujung pedang mereka pun mengancam di depan leher kakek botak itu.

Namun kakek botak yang aneh alias si mata duitan itu tetap duduk bersila di tempatnya tanpa bergerak, sikapnya tetap tenang. "Lebih baik kalian tetap duduk saja. Memangnya kalian sangka urusan ini dapat diselesaikan dengan main senjata?" katanya.

Si Tojin bermuka kelam membentak, "Omong kosong, sembarangan memfitnah orang! Masa kau kira Bu-tong-su-bok tidak mampu membinasakan kakek sialan macam dirimu ini?"

Ci Ti mendengus. "Memfitnah? Hm, numpang tanya, bungkusan apa yang kalian panggul itu?"

Ujung pedang yang mengancam leher si kakek tampak bergetar, air muka Bu-tong-su-bok juga berubah hebat.

"Hah, keempat totiang adalah orang cerdik dan pintar. Coba pikir saja, hanya aku saja sendirian, kalau tidak ada bala bantuan yang telah kuatur, masa aku berani sembarangan merecoki Bu-tong-su-bok yang termasyhur ini?" ejek si kakek botak. “Pendek kata, apabila malam ini kalian mencederai diriku, maka dalam waktu lima hari saja setiap orang Bulim pasti akan tahu bahwa keempat tokoh Bu-tong-pai yang ternama dan disegani sesungguhnya tidak lain adalah perampok belaka."

"Meski tersiar juga tidak ada orang mau percaya. Pada hakikatnya di sini tidak ada orang lain lagi," jengek si Tojin muka kelam.

“Kalau tidak ada api, dari mana datangnya asap? Sesuatu kejadian tentu ada sebabnya. Apakah ada orang lain yang tahu atau tidak, perlu kukatakan lagi bahwa sebelum aku datang kemari sudah kuatur segala kemungkinannya. Maka menurut pendapatku, akan lebih baik jika kalian meletakkan senjata saja dan coba bicara lagi."

Benar juga, perlahan keempat pedang yang mengancam itu lantas diturunkan.

"Nah, silakan duduk. Segala apa kan dapat dirundingkan secara baik, aku si Gila Uang juga bukan manusia tak tahu malu," ucap si kakek.

Tidak ada pilihan lain, perlahan Bu-tong-su-bok duduk kembali dengan air muka agak merah. Nyata biar pun kungfu mereka cukup mengejutkan, namun pengalaman kangouw mereka terlalu dangkal.

Segera si kakek mata duitan berkata pula, "Sudah lama kudengar orang bilang Bu-tong-su-bok adalah tokoh saleh dan tinggi agamanya. Kalau tidak menyaksikan sendiri sungguh aku pun tidak percaya kalian dapat berbuat demikian. Agaknya kalian baru pertama kali ini berbuat sehingga sangat tegang. Kalau tidak, dengan ketajaman mata telinga kalian tentu dapat mengetahui penonton yang tak diundang serupa diriku ini."

Bu-tong-su-bok tertegun dan tidak dapat menjawab.

Ci Ti tersenyum. "Karena kalian baru pertama kali berbuat, sungguh aku tidak mau merusak nama baik yang kalian pupuk dengan susah payah selama ini. Asal saja kalian menerima dua syaratku, selamanya akan kurahasiakan kejadian ini," katanya pula.

Si Tojin bermuka kelam adalah kepala Bu-tong-su-bok, namanya Ci Pek Tojin, si Cemara Ungu. Dengan kening bekernyit ia bertanya, "Apa syaratmu?"

"Urusan ini sebenarnya tidak sulit, asalkan...."

Belum si kakek botak selesaikan ucapannya, mendadak Ci Pek Tojin memotong, "Urusan apa pun, asal sanggup kulakukan pasti akan kami terima. Tapi entah cara bagaimana akan kau jamin bahwa seterusnya kau pasti akan menutupi rapat urusan ini dan takkan disiarkan!"

Ci Ti berpikir sejenak, kemudian ia berkata, "Tentang ini...." Mendadak ia berbangkit, telapak tangan kiri melindungi dada, telapak tangan kanan terangkat ke depan, jari besar dan jari telunjuk membuat lingkaran dan sisa ketiga jari lain terjulur miring ke depan. Sedikit ia menarik napas, serentak tubuhnya memanjang lebih setengah kaki. "Nah, apa yang kukatakan tentunya dapat kalian percaya bukan?" katanya setelah selesai memperagakan semua gerakannya.

Lamkiong Peng dan Yap Man-jing sama terkesiap, hampir berteriak. Sungguh mereka tidak menduga si kakek botak yang semula kelihatan loyo dan mata duitan itu mendadak bisa berubah gagah perkasa. Bu-tong-su-bok juga tak luput dari rasa kaget, bahkan kemudian teringat akan seorang tokoh.

Ci Pek Tojin lantas bertanya, "Apakah Cianpwee ini salah seorang tokoh ajaib yang termasyhur di dunia kangouw pada tiga puluh tahun yang lalu dan konon sudah lama mengasingkan diri, Hong-tun-sam-yu adanya?"

Ci Ti alias si mata duitan hanya tersenyum saja, dalam sekejap ia sudah kelihatan kembali lagi pada keadaannya yang konyol tadi.

Ci Pek Tojin menghela napas. katanya, "Jika benar Cianpwee adalah tokoh Hong-tun-sam-yu yang dahulu pernah menumpas kawanan iblis, apa pula yang perlu kukatakan? Cianpwee ingin memberi petunjuk apa, terpaksa kami hanya menurut saja."

Nyata keempat Tojin andalan Bu-tong-pai yang namanya disegani serupa ketuanya, Kong Tiok Tojin, kini ternyata juga jeri terhadap Hong-tun-sam-yu yang biasanya jarang muncul di dunia persilatan itu. Maka dapat dibayangkan betapa jayanya ketiga Hong-tun-sam-yu ketika masih aktif dulu.

Man-jing saling pandang sekejap dengan Lamkiong Peng heran. Pada mata kedua muda-mudi ini tersirat rasa heran yang amat dalam.

Terdengar Ci Ti berkata perlahan, "Nah, dengarkan! Pertama, hendaknya kalian serahkan bungkusan yang kalian panggul itu kepadaku."

Bu-tong-su-bok melengak dan saling pandang dengan serba susah. Akhirnya Ci Pek Tojin menghela napas, pedang dimasukkan kembali ke sarungnya, bungkusan yang dipanggulnya ditanggalkan. Dengan hormat ketiga kawanannya, Jing Siong, Tok Go, dan Koh Tong Tojin juga menirukan perbuatan Ci Pek.

"Keempat bungkusan itu diikat menjadi satu," kata Ci Ti.

Segera Bu-tong-su-bok membuka bungkusan mereka. Tertampaklah cahaya mengkilat menyilaukan mata, ternyata isi keempat bungkusan itu adalah batu permata yang tak ternilai jumlahnya. Sejenak kemudian isi keempat bungkusan itu telah diringkas menjadi satu.

Ci Ti menerima satu kantungan besar itu, lalu berkata, "Harta benda ini adalah milik keluarga Lamkiong yang diserahkan dalam pengawalan Ang-ki-piaukiok bukan?"

Bergetar tangan Lamkiong Peng. Dilihatnya mata Ci Ti menampilkan cahaya yang aneh. "Dan urusan kedua, ingin kutanya, sesungguhnya lantaran apa kalian berempat rela mengorbankan nama baik untuk merampas harta benda ini?" tanyanya pula.

Air muka Bu-tong-su-bok berubah hebat. Ci Pek Tojin menyapu pandang sekitarnya, tertampak suasana malam itu sunyi-senyap, hanya angin mendesir dingin.

"Selain aku kukira tiada orang lain lagi," kata Ci Ti.

Lamkiong Peng menggenggam tangan Man-jing, tangan kedua orang terasa sedingin es.

Terdengar Ci Pek Tojin menghela napas dan berkata, "Apakah Cianpwee pernah mendengar nama Kun-mo-to (Pulau Kawanan Iblis)?"

"Kun-mo-to?" Ci Ti menegas dengan melengak, suaranya juga mengandung nada terkejut.

"Ya, entah sudah beberapa puluh tahun yang lalu cerita tentang Kun-mo-to telah tersiar luas di dunia kangouw," tutur Ci Pek pula. "Entah mulai kapan dan entah bagaimana duduk perkaranya, diam-diam Kun-mo-to telah mengadakan perjanjian rahasia dengan ketujuh perguruan besar dunia persilatan, yaitu pihak Kun-mo-to berjanji takkan ikut campur urusan ketujuh perguruan besar, juga takkan mengganggu anak muridnya. Sebaliknya Jit-toa-mui-pai (Ketujuh Perguruan Besar) harus berjanji akan mengerjakan sesuatu urusan bagi Kun-mo-to, kapan dan apa pun."

Ia menghela napas, lalu menyambung lagi, "Perjanjian rahasia ini turun-temurun diketahui oleh para ketua dan beberapa tokoh terkemuka Jit-toa-mui-pai kami, yakni Siau-lim, Kun-lun, Kong-tong, Tiam-jong, Go-bi, Hoa-san dan Bu-tong-pai kami. Sudah lama perjanjian rahasia ini berlangsung turun-temurun, tapi sejauh ini Kun-mo-to tidak pernah melaksanakan haknya, baru akhir-akhir ini...."

Ia menghela napas lagi, lantas kembali menutur, "Kira-kira lebih sebulan yang lalu, mendadak datang kurir pihak Kun-mo-to. Kami diminta bila-mana mengetahui ada harta benda keluarga Lamkiong yang dikirim lewat jarak ratusan li, di sekitar Bu-tong-san, maka orang Bu-tong-pai kami diharuskan merampasnya, juga wajib membunuh setiap orang yang mengawal harta benda itu dengan tanda pengenal mereka sendiri. Ada pun harta bendanya boleh terserah kepada kami untuk diatur bagaimana baiknya."

Gemerdep sinar mata Ci Ti. "Meski perusahaan keluarga Lamkiong sudah bersejarah ratusan tahun, tapi selain ada hubungan dengan perusahaan pengawalan umumnya, tidak pernah terdengar ada hubungan lain dengan orang persilatan. Mengapa keluarga Lamkiong bisa bermusuhan dengan pihak Kun-mo-to?" tanya Ci Ti.

"Kami juga merasa heran," ucap Ci Pek. "Mengingat perjanjian rahasia pihak Kun-mo-to dengan Jit-toa-mui-pai kami sudah berlangsung sekian lama dan sejauh ini tidak pernah menggunakan hakknya, dapat diduga karena mereka memandang hal ini sangat penting dan tidak mau sembarangan menggunakan haknya. Siapa tahu sekarang mereka justru menggunakan hak ini untuk bertindak terhadap keluarga Lamkiong yang tidak ada sangkut-pautnya dengan dunia persilatan. Cuma lantaran pejabat ketua kami juga harus patuh kepada perjanjian leluhur, juga tidak ingin bermusuhan dengan Kun-mo-to, dalam keadaan terpaksa kami lantas di tugaskan melakukan tindakan yang tak terpuji ini."

Jing Siong Tojin lantas menyambung, "Bukan cuma Bu-tong-pai kami saja yang bertindak, aku yakin Go-bi, Kun-lun, Kong-tong dan pergururan lain pasti juga berbuat yang sama. Sungguh harus disesalkan, entah ada permusuhan apa antara Kun-mo-to dengan keluarga Lamkiong. Biar pun keluarga Lamkiong kaya raya, tapi mana tahan bermusuhan dengan Jit-toa-mui-pai?"

Ci Ti duduk termenung tanpa memberi tanggapan, maka suasana menjadi sunyi.

Mendadak di bawah pohon yang rimbun sana terdengar ada seruan tertahan seorang wanita, "Hei, kau...."

Tahu-tahu muncul seorang pemuda cakap dengan muka pucat dan mendekati Bu-tong-su-bok.

Serentak Bu-tong-su-bok berbangkit. Ci Ti juga berseru, "Lamkiong Peng!"

"Hah, Lamkiong Peng?!" Ci Pek Tojin bersuara kaget.

Langsung Lamkiong Peng mendekati Ci Pek Tojin, mendadak ia membentak dan melancarkan pukulan. Ci Pek berkelit, lengan bajunya mengibas. Karena dia menyesali perbuatannya, maka kibasan lengan bajunya hanya digunakan untuk menangkis saja. Tapi tanpa terduga Lamkiong Peng ternyata tidak tahan oleh tenaga kibasannya, kontan pemuda ini roboh terjengkal.

Sekonyong-konyong datang bayangan orang berkelebat. Seorang gadis jelita melayang tiba dan menubruk di atas tubuh Lamkiong Peng sambil menjerit, "Hei kau...." Segera ia mendongak dan memaki, "Sebenarnya ada permusuhan apa antara keluarga Lamkiong dengan Bu-tong-pai kalian? Kenapa kalian bertindak sekeji ini?"

Bu-tong-su-bok saling pandang dengan gugup dan tak dapat menjawab.

Ci Ti memandang Lamkiong Peng sekejap. "Jangan kuatir, dia tidak parah. Hanya karena tubuhnya masih lemah dan dirangsang rasa murka, ditambah lagi rasa cemas, gusar dan lelah, maka mendadak ia jatuh pingsan dan bukan terluka dalam. Asal mengaso dua hari dan makan sedikit obat tentu akan sembuh," katanya.

Perlahan Man-jing mengangkat tubuh Lamkiong Peng. Ia mengucap dengan gemas, "Hm, baru sekarang kutahu wajah asli Bu-tong-pai, ternyata semuanya cuma manusia rendah dan tidak tahu malu belaka. Tunggulah pembalasanku!" Habis berkata ia lantas melangkah pergi.

Tapi bayangan orang lantas berkelebat, Bu-tong-su-bok telah menghadang di depannya, "Nanti dulu nona!"

"Kau mau apa lagi?!" bentak Man-jing.

Ci Pek menghela napas. "Kami bertindak demikian sesungguhnya juga terpaksa, mohon nona dapat memahami kesulitan kami."

"Hm, kesulitan apa?" jengek Man-jing. "Demi kepentingan pihak sendiri lantas mengadakan perjanjian rahasia dengan kaum iblis dan sembarangan berbuat tanpa menghiraukan kepentingan orang kangouw. Sungguh rendah dan memalukan!"

Bu-tong-su-bok melongo oleh makian si nona.

Ci Ti berdehem dan coba menyela, "Nona...."

"Peduli apa denganmu?!" damprat Man-jing dengan melotot. "Bagimu, asal ada duit, habis perkara. Apa yang perlu kau katakan lagi?"

Ci Ti melenggong juga.

"Nah, kalau kalian mau, boleh silakan cincang saja diriku di sini. Kalau tidak, hendaknya lekas menyingkir dan memberi jalan!" bentak Man-jing.

"Maaf, nona. Kami tidak ingin membikin susah nona, juga tidak dapat membiarkan nona pergi dari sini, terpaksa mesti minta nona suka tinggal sementara di suatu tempat. Nanti kalau....”

"Nanti apa?!" bentak Man-jing sebelum lanjut ucapan Koh Tong Tojin, "Barangkali kalian sedang mimpi. Kalian kira nonamu dapat kalian perlakukan sesukanya? Biar pun Bu-tong-su-bok terkenal di dunia kangouw juga, aku Yap Man-jing tidak jeri."

Pada saat itulah mendadak seorang tertawa nyaring dan mendengus. "Hm, empat orang tua mengerubut seorang nona cilik, terhitung orang gagah macam apa?"

"Siapa?!" bentak Bu-tong-su-bok dengan kaget.

Segera suara orang itu tertawa pula. "Hihi! Jangan takut, adik cilik, Toaci-mu datang membantumu!" Belum lenyap suaranya, sesosok bayangan orang lantas melayang tiba dari bawah tebing.

Diam-diam Bu-tong-su-bok terkesiap oleh ginkang orang yang hebat.

Ternyata kedua pendatang adalah seorang lelaki dan seorang perempuan. Yang lelaki gagah dan tampan, cuma sikapnya rada angkuh, sedangkan yang perempuan cantik molek mempesona.

"Bwe Kim-soat!" seru Man-jing.

Kedua pendatang ini memang Bwe Kim-soat dan Cian Tong-lai adanya.

Bu-tong-su-bok terkejut. Sungguh mereka tidak pernah membayangkan, perempuan berdarah dingin yang namanya amat terkenal ini tiba-tiba dapat muncul di tempat ini.

Dengan tertawa genit Kim-soat berucap, "Adik cilik, coba beri-tahukan padaku, apakah beberapa tosu brengsek ini hendak mengerubut dirimu? Biar kuhajar adat kepada mereka."

Man-jing menarik muka dan mendengus. "Urusanku tidak perlu kau ikut campur."

"Ahh, masih juga kau bicara segalak ini?" ujar Kim-soat dengan tertawa. "Kau pondong seorang lelaki sebesar ini, mana bisa kau lawan keempat tosu ini? Kalau aku tidak kebetulan pergoki kejadian ini, bukan mustahil nona jelita seperti dirimu ini akan dikerjai orang." Sembari bicara ia pun tertawa terkial-kial serupa tangkai bunga bergoyang tertiup angin.

Muka Ci Pek Tojin yang kelam itu tambah gelap. "Nama kebesaran nona Bwe sudah lama kami kenal, namun caramu bicara itu hendaknya tahu aturan sedikit di hadapan kami," katanya.

"Eh, Tong-lai. Coba kau dengar, cara bicara tosu tua ini bukankah terlampau latah?" tanya Kim-soat kepada pemuda yang berdiri di sebelahnya.

"Hehe, memang. Kukira memang agak terlalu latah," Cian Tong-lai mengangguk seperti orang linglung.

"Di sini bukan urusan kalian, lekas kalian pergi!" jengek Man-jing.

"Urusan kami atau bukan, yang pasti akan kuikut campur. Kukira akan lebih baik jika kau pergi saja membawa dia lebih dulu," ujar Kim-soat dengan tertawa.

"Baik, biar aku pergi," kata Man-jing dan segera hendak melangkah.

"Nanti dulu!" bentak Koh Tong Tojin.

"Eh, apa macamnya seorang Tosu tua main hadang seorang nona cara begini?" segera Bwe Kim-soat mengejek.

Waktu Bu-tong-su-bok berpaling, ternyata si kakek botak alias Ci Ti entah sudah menghilang ke mana.

Koh Tong Tojin berkata pula, "Sudah lama kami dengar ilmu silat nona meliputi intisari berbagai aliran ternama dan sukar diukur dalamnya. Sekarang nona bersikap segarang ini terhadap kami, agaknya engkau sengaja hendak pamer kepandaian di sini!"

Serentak Jing Siong dan Tok Go Tojin berputar dan siap di belakang Bwe Kim-soat, hanya Ci Pek saja dengan muka kelam tetap berdiri di depan lawan.

Kim-soat tersenyum tak acuh, katanya sambil melirik kawannya, “Tong-lai, coba lihat. Ada orang berani bicara kasar padaku, masa engkau tidak memberi hajar adat kepada mereka?"

Alis Cian Tong-lai tampak menegak. "Orang beragama bersikap sekasar ini, memang pantas diberi hajar adat!" serunya.

"Huh, anak ingusan juga berani bicara tentang hajar adat terhadap Bu-tong-su-bok?" jengek Koh Tong Tojin dengan gusar.

"Bu-tong-su-bok?" melengak juga Cian Tong-lai.

"Ya, itulah kami berempat!" sahut Koh Tong sambil melolos pedang.

"Hm, memangnya mau apa jika Bu-tong-su-bok?!" bentak Cian Tong-lai mendadak. Sekali melangkah maju, segera telapak tangannya menebas iga Koh Tong.

Sebenarnya antara Bu-tong-pai dan Kun-lun-pai, yaitu perguruan Cian Tong-lai, ada hubungan erat. Tapi pemuda yang angkuh dan biasanya suka bertindak menuruti watak sendiri ini sekarang tidak menghiraukan hubungan baik segala demi membela si cantik.

"Kurang ajar!" bentak Koh Tong Tojin sambil menggeser ke samping, berbareng pedangnya balas menebas pergelangan tangan Cian Tong-lai. Gerak menghindar yang cepat dan serangan balasan yang lihai!

Tak terduga Cian Tong-lai lantas mendesak maju, malah sambil menghantam lagi, dan dengan tangan yang lain ia tolak tangan lawan yang berpedang.

Koh Tong terkejut. Cepat ia melompat mundur dan membentak, "Apakah kau murid Kun-lun-pai?"

"Kalau murid Kun-lun-pai lantas mau apa?" jawab Cian Tong-lai sambil melancarkan pukulan tiga kali di tengah berkelebat sinar pedang lawan.

"Bagus, serangan hebat!" seru Kim-soat memuji. "Apabila ditambah lagi jurus Sam-kun-ce-hoat (Tiga Pasukan Menyerang Bersama), tosu brengsek ini pasti akan kelabakan."

Kiranya dalam waktu beberapa hari yang singkat ini, demi merebut hati si cantik, tanpa pikir Cian Tong-lai telah memberi-tahukan padanya segenap intisari kungfu Kun-lun-pai.

"Hm, boleh coba!" jengek Koh Tong Tojin sambil berputar. Secepat kilat pedangnya juga menusuk tiga kali, tapi saking cepatnya seakan-akan hanya satu jurus saja.

"Bu-tong-kiam-hoat yang hebat!" puji Kim-soat. "tapi coba rasakan jurus Sam-kun-ce-hoat orang!"

DI tengah tertawa nyaringnya, dilihatnya Cian Tong-lai melompat ke atas, sebelah kaki pemuda Kun-lun itu menendang pergelangan tangan lawan yang memegang pedang. Ketika Koh Tong Tojin menarik pedangnya, tahu-tahu tangan Cian Tong-lai menerobos masuk di bawah cahaya pedang dan menusuk hiat-to maut pada pelipisnya.

Mendadak Koh Tong Tojin tarik pedang ke samping. Segera Cian Tong-lai menerobos maju dan menotok Ki-bun dan Ciang-tai-hiat di dadanya. Cepat Koh Tong putar pedangnya untuk menebas, tapi Cian Tong-lai lantas melompat ke samping dan menghantam iga lawan.

Dengan terkejut Koh Tong mengelak, menyusul pedang menusuk lagi. Tak terduga kedua tangan Cian Tong-lai lantas mengatup dan tepat menjepit batang pedangnya dengan kuat. Dalam kaget dan gusarnya Koh Tong menarik sekuatnya. Akan tetapi pedang serasa melengket di tangan lawan dan sukar terlepas.

"Hehe, bagaimana? Aku tidak berdusta, bukan?" terdengar Bwe Kim-soat berucap dengan tertawa.

Cian Tong-lai tampak senang. "Lepas!" bentaknya mendadak.

Tahu-tahu pedang Koh Tong Tojin tergetar mencelat. Cepat Koh Tong juga melompat ke atas untuk meraih kembali pedangnya. Pada saat yang sama, Jing Siong Tojin telah memburu maju, kontan pedang menebas pergelangan tangan Cian Tong-lai. Tok Go Tojin juga tidak tinggal diam, berbareng ia pun menusuk iga kiri musuh.

"Hm, tidak tahu malu," jengek Bwe Kim-soat.

Mendadak Bwe Kim-soat merasakan angin tajam menyambar tiba, pedang Koh Tong Tojin telah menebasnya dengan cepat. Tapi Bwe Kim-soat tidak berkelit atau mengegos, tentu saja Koh Tong bergirang. Tak terduga mendadak Bwe Kim-soat menyurut mundur sehingga pedang Koh Tong menyambar lewat dan mengenai dinding karang.

“Traang!” lelatu api muncrat dan membuat tangan Koh Tong kesemutan sendiri.

Di antara Bu-tong-su-bok meski masing-masing mempunyai kungfu andalan, tapi bicara
tentang ginkang dan kiam-hoat tiada yang dapat menandingi Koh Tong. Sekarang dia ternyata tidak sanggup melawan Cian Tong-lai, juga tidak mampu mengalahkan Bwe Kim-soat, tentu saja ia malu dan gusar. Sedikit bergeser, sebelah kakinya menendang dada Kim-soat.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar