Amanat Marga (Hu Hua Ling) Chapter 04


"Tahan!" bentak Lamkiong Peng cepat. Pedang dilolos, terus menebas ke kuduk si Tojin. Jika orang tidak menarik tangan dan menghindar, kepalanya pasti akan terpenggal.

Terpaksa si Tojin mendak ke bawah sambil menggeser ke samping. Pedang menyambar lewat hampir menebas sanggulnya. Dengan gusar ia mendamprat, "Huh, menyerang dari belakang, terhitung kesatria macam apa?"

"Peti pusaka guruku mana boleh sembarangan dikotori oleh tanganmu?" jengek Lamkiong Peng.

Muka si Tojin sebentar merah sebentar pucat. Ia pelototi Lamkiong Peng sekejap. Mendadak ia melengos dan mendengus, "Hm, kau tahu apa? Kedua biji mata naga yang terukir di pangkal peti itulah merupakan kunci untuk membuka peti!"

Walau pun tidak percaya, tidak urung Lamkiong Peng mengamat-amati juga bagian peti yang disebut itu. Dilihatnya memang benar kedua biji mata naga yang terukir di atas peti itu tampak sangat mencolok. Meski peti ini terbuat dari kayu cendana yang sangat mahal, tapi karena kehujanan dan kepanasan sekian lama peliturnya sudah luntur sehingga peti kelihatan tua. Hanya saja biji mata naga ini masih mengkilat, hal ini menandakan bagian ini sering dipegang dan diraba.

Diam-diam Lamkiong merasa gegetun, pengamatan sendiri memang kalah teliti dibandingkan orang lain. Perlahan ia lantas menjulurkan tangan untuk memegang biji mata naga dan diputar.

“Kreekk!” terdengarlah suara, nyata bagian putaran sudah bekerja.

"Coba angkat lagi!" kata si Tojin.

Kedua orang saling pandang dengan tegang, jantung mereka sama berdebar. Tangan Lamkiong Peng agak gemetar.

Mendadak Lamkiong Peng membentak, "Naik...!"

Dan.... begitu tutup peti mati terbuka, seketika kedua orang berdiri melongo seperti patung.

Butiran keringat tampak berketes dari dahi si Tojin. Dengan muka pucat ia bergumam, "Ini... ini... dia... dia...."

Kiranya peti mati itu kosong melompong tiada terisi sesuatu!

Muka Lamkiong Peng berubah pucat. Mendadak ia membentak, "Kau berani main gila...?!" Ia putar pedangnya terus menusuk si Tojin.

Saat itu si Tojin lagi memandangi peti kosong dengan linglung, tusukan Lamkiong Peng seolah-olah tidak dilihatnya. Tertampak bibirnya bergerak seperti mau bicara, tapi hanya sempat terucapkan, "Peti ini tentu...," tahu-tahu dada kirinya sudah tertusuk oleh pedang Lamkiong Peng.

Dada kiri tepat di atas jantung, bagian yang mematikan. Karuan darah lantas muncrat membasahi jubah pertapaannya. Tojin itu tampak melongo kaget, ia mengerang dan meraih batang pedang. Tubuhnya bergoyang, dengan sinar mata buram ia pandang Lamkiong Peng.

Dengan suara terputus-putus si Tojin berucap, "Suatu... suatu hari kelak kau pasti akan... akan menyesal...," suaranya serak, pedih dan penuh rasa penasaran, tapi lemah dan akhirnya roboh terkulai.

"Bluk!" tutup peti juga menutup kembali, terlepas dari pegangan Lamkiong Peng.

Lamkiong Peng pandang jenazah yang menggeletak tak bergerak itu, lalu memandang pedang yang dipegangnya dengan terkesima. Tetes darah terakhir pada ujung pedang baru saja menitik. Karena guncangan emosinya, hampir saja ia lemparkan pedang itu ke jurang. Ia berdiri termenung dan bergumam, "Akhirnya aku... aku membunuh orang...."

Untuk pertama kalinya ia membunuh orang, sungguh tidak enak perasaannya. Padahal Tojin ini baru saja bertemu dengan dia, bahkan nama masing-masing saja tidak tahu. Namun jiwa orang yang tak dikenalnya ini sekarang telah melayang di bawah pedangnya. Dengan bimbang ia angkat peti mati itu dan melangkah ke arah datangnya tadi, kembali ke puncak Jong-liong-nia. Tiba-tiba teringat olehnya, "Seyogianya kukubur mayat Tojin itu...."

Cepat ia berlari lagi ke sana. Tapi aneh, darah masih kelihatan berceceran di tanah, namun jenazah si Tojin yang malang itu sudah menghilang entah ke mana. Suasana sunyi senyap, angin meniup kencang, gumpalan awan mengambang di udara. Lamkiong Peng berdiri bingung di situ. Ia memandang ke jurang yang tak terkirakan dalamnya itu, ia mengira mayat si Tojin mungkin tertiup angin ke dalam jurang. Diam-diam ia berdoa semoga roh si Tojin mendapatkan tempat yang lapang di alam baka.

Entah berapa lama lagi, akhirnya ia merasakan hawa tambah dingin. Ia angkat peti mati dan menuruni puncak gunung itu. Setiba di pinggang gunung, angin dingin rada mereda, suasana lereng pegunungan semakin sunyi. Pikiran Lamkiong Peng juga tambah kusut. Selain rasa penyesalannya terhadap si Tojin yang terbunuh olehnya itu, dalam hati juga penuh tanda-tanya yang belum terpecahkan. Yang aneh dan membingungkannya adalah peti mati kayu cendana yang dibawanya ini sesungguhnya mengandung rahasia apa sehingga mendiang sang guru perlu memberi tugas khusus kepadanya untuk menjaga peti mati ini.

Ia mencari tempat sepi di bawah pohon yang rindang. Perlahan ia menaruh peti mati itu di atas tanah rumput yang mulai layu. Ia coba menyingkap lagi tutup peti, jelas kosong tanpa sesuatu isi apa pun. Ia coba meneliti lagi. Ia merasakan, dipandang dari luar peti ini cukup besar, namun bagian dalam peti ternyata sangat dangkal dan sempit. Pada papan peti yang berwarna gelap itu seperti ada beberapa titik noda minyak, kalau tidak diperiksa dengan cermat sukar mengetahuinya. Namun tetap tidak ditemukannya sesuatu tanda mencurigakan pada peti mati itu.

Ia duduk di bawah pohon dan melamun dengan bertopang dagu. Sukar baginya memecahkan tanda-tanya ini. Ia sampai lupa mencari tahu, sebab apa para saudara seperguruannya sampai saat ini belum kelihatan menyusulnya? Ia coba mengeluarkan kain kuning tinggalan sang guru. Ikut terogoh keluar bangkai burung yang mati menumbuk dinding tebing dan hampir menimpanya itu. Kain sutera kuning itu dibentangnya. Tertampaklah tulisan tangan yang sudah dikenalnya dengan baik, yaitu tulisan sang guru. Ia coba membacanya.

Selama hidupku memang tidak sedikit kubunuh orang, namun orang yang kubunuh itu adalah orang yang pantas dibunuh. Sebab itulah hidupku boleh dikatakan tidak ada yang perlu disesalkan....

Tulisan sang guru ini mengingatkan Lamkiong Peng kepada si Tojin yang dibunuhnya itu. Ia berpikir, "Apakah aku pun tidak perlu menyesal setelah membunuh Tojin itu?"

Lalu teringat juga oleh uraian si Tojin tentang pribadi gurunya. Jika hidup sang guru tidak ada sesuatu yang perlu disesalkan, apa yang dikatakan si Tojin pasti tidak betul. Maka dengan penuh keyakinan ia membaca lagi, ‘Namun selama hidupku toh ada juga sesuatu yang membuatku menyesal....

Terkesiap Lamkiong Peng. Segera ia membaca lebih lanjut, ‘Belasan tahun yang lalu, di dunia persilatan tersiar berita tentang kelakuan buruk seorang. Sudah cukup lama kubenci kepadanya karena kebetulan seorang kawanku dicederai olehnya. Aku lantas mencarinya dan kubinasakan dia di bawah pedangku. Namun setelah kejadian ini barulah kutahu kesalahan sebenarnya terletak pada diri sahabatku, sebaliknya orang yang biasanya banyak melakukan kejahatan itu justru tidak bersalah. Sebab itulah aku....

Tulisan selanjutnya mendadak sukar terbaca karena tertutup oleh darah bangkai burung. Dengan sendirinya Lamkiong Peng mendongkol karena bagian yang penting itu tak terbaca. Namun darah burung sudah kering, umpama dicuci juga tulisan itu tetap sukar dibacanya. Ia coba membaca bagian bawah yang tertulis, ‘Maka kuserahkan orang ini kepadamu, hendaknya kau jaga dia dengan baik....

Bekernyit kening Lamkiong Peng. Ia bergumam heran, "Dia...? Dia siapa?"

Setelah termenung sejenak, ia membaca pula, ‘Karena terburu-buru harus berangkat sehingga tidak sempat kuberi-tahukan urusan ini kepadamu, namun pada suatu hari kelak pasti dapat kau ketahui duduk perkara yang sebenarnya. Selama ini tidak ada sesuatu kebaikanku terhadapmu, hal ini pun membuatku menyesal. Semoga selanjutnya engkau berusaha maju dan menjadi manusia berguna sehingga tidak mengecewakan harapanku atas dirimu.

Lamkiong Peng membaca ulang beberapa baris terakhir ini dengan terharu, air mata pun berlinang-linang. "Apakah... apakah benar Suhu sudah meninggal...? Pada suatu hari kelak pasti akan tahu duduk perkara yang sebenarnya...."

Selain duka, Lamkiong Peng jadi tambah curiga. Dengan bimbang ia menggali sebuah lubang kecil, lalu bangkai burung ditanamnya. Ia bergumam pula, "Betapa pun antara kita ada jodoh juga. Dunia seluas ini, mengapa engkau justru jatuh menimpa diriku? Hendaknya kau pun dapat istirahat dengan tenang di liang yang kecil ini...."

Ia menghela napas menyesal ketika teringat pula Tojin yang terbunuh olehnya, mungkin mayatnya takkan terkubur selamanya di dasar jurang sana. Ia memejamkan mata, ia inginkan ketenangan. Kelelahan pun terasa menjalari sekujur badannya. Karena harus menghadapi pertarungan pagi tadi, setiap anak murid Ci-hau-san-ceng hampir semalam suntuk tidak tidur. Apalagi Lamkiong Peng harus menempur lagi si Tojin sehingga hampir seluruh tenaganya terkuras.

Kelelahan fisik membuat ketegangan batinnya agak mengendur. Lamat-lamat ia tenggelam dalam kantuknya. Sisa cahaya senja menyinari pucuk pepohonan, hari sudah hampir gelap. Mendadak di tengah pepohonan rindang terdengar suara.

"Krekk...," terjadi sesuatu pada peti mati kayu cendana yang misterius itu, tutup peti mati perlahan terbuka ke atas.

Meski suara ini sangat lirih, namun di tengah pegunungan yang sunyi cukup membuat jantung Lamkiong Peng berdetak. Mendadak ia membuka matanya dan kebetulan dapat melihat adegan yang mengejutkan itu. Tutup peti mati kosong itu diangkat oleh sebuah tangan yang putih halus.

Lenyap seketika rasa kantuk Lamkiong Peng! Dilihatnya tutup peti mati itu terangkat makin tinggi, menyusul lantas tertampak sebuah wajah yang putih pucat dengan rambut hitam panjang terurai. Betapa tabahnya Lamkiong Peng, mengirik juga melihat kejadian luar biasa ini.

Dengan suara gemetar ia menegur, "Sia... siapa kau?"

Saat itu si cantik telah mulai menegakkan tubuhnya dari dalam peti mati. Perawakan yang menggiurkan itu terbungkus oleh jubah putih bersih, serupa wajahnya itu. Perlahan si cantik melangkah ke luar dari peti mati dan mendekati Lamkiong Peng. Air mukanya tidak ada senyuman sedikit pun, juga tidak ada warna darah, sampai bibirnya yang mungil juga putih pucat. Melihat dia di pegunungan sunyi ini secara mendadak, siapa pun akan menyangka dia datang dari alam halus.

Lamkiong Peng mengepal tinjunya erat-erat, tangan sendiri terasa dingin. Ia coba membentak lagi, "Siapa kau?!"

Selagi Lamkiong Peng hendak melompat bangun, sekonyong-konyong si cantik dari peti mati itu tertawa dan berkata dengan lembut, "Kau takut apa? Memangnya kau sangka aku ini...," mendadak ia tidak meneruskan kecuali cuma tersenyum saja.

Suaranya begitu lembut serupa sepoi angin musim semi, senyumnya begitu menggiurkan dan dapat merontokkan perasaan seorang yang berhati baja. Rasa seram yang dibawanya ketika keluar dari peti mati itu seketika lenyap oleh suara tertawa dan kelembutan ucapnya itu.

Lamkiong Peng melenggong. Ia merasa senyum si cantik dari peti mati ini terlebih menggiurkan dari-pada Yap Man-jing. Senyum yang lebih mendebarkan bagi siapa pun yang melihatnya. Segera Lamkiong Peng berbangkit dan berdiri berhadapan dengan si cantik. Dapat dilihatnya dengan jelas wajah orang, pulih kembali rasa percaya atas diri sendiri.

Kembali Lamkiong Peng menegur, "Siapa kau?"

Si cantik memandangnya dua kejap, mendadak tertawa geli dan berucap, "Meski usiamu masih muda belia, tapi ada bagian tertentu memang lain dari-pada yang lain. Pantas Liong-loyacu menyerahkan diriku di bawah perlindunganmu tanpa merasa khawatir."

Lamkiong Peng lantas teringat kepada tulisan pada kain sutera kuning yang antara berbunyi, ‘Maka kuserahkan orang ini kepadamu, hendaknya kau jaga dengan baik....

Sekarang dapat diketahuinya bahwa ‘si dia’ yang dimaksudkan itu tidak lain ialah si maha-cantik berwajah pucat dan berbaju putih mulus yang berdiri di hadapannya ini. Namun tanda-tanya yang lain tetap belum terjawab. Diam-diam ia merasa menyesal, mengapa setiap urusan terkadang bisa begini kebetulan, mengapa bagian yang penting dari tulisan gurunya itu bisa kebetulan dikotori oleh darah burung sehingga tidak terbaca.

Dilihatnya si cantik dari peti mati ini mengulet kemalasan, lalu berduduk di sebelah Lamkiong Peng dengan gaya yang memesona, lalu menengadah memandang langit dan bergumam, "Sang waktu sudah berlalu dengan cepat, malam sudah hampir tiba pula, padahal hidup manusia bukankah berlalu dengan cepat? Sejak dahulu kala hingga kini siapa yang dapat mencegah makin meningkatnya usia?"

Nada ucapannya seperti menyesali kehidupan sendiri. Mestinya tidak pantas seorang perempuan muda secantik bidadari bicara demikian, melainkan lebih mirip suara seorang janda atau perawan tua yang menyesali nasibnya yang terlampaui secara sia-sia.

Memandangi profil si cantik yang memesona itu, tanpa terasa Lamkiong Peng bertanya, "Apakah nona...? Oh, nyonya...?"

Tiba-tiba si cantik tertawa dan menukas, "Masakah tak dapat kau bedakan diriku ini nona atau nyonya? Sungguh aneh juga."

Lamkiong Peng tergagap, "Tapi aku... aku tidak kenal...."

"Jika Liong-loyacu telah menyerahkan diriku di bawah perlindunganmu, masa beliau tidak pernah berbicara denganmu mengenai diriku?"

Kening Lamkiong Peng bekernyit pula. Dalam benaknya terbayang kembali apa yang telah dibacanya. Diam-diam ia membatin, "Mungkinkah dia ini Leng-hiat Huicu yang disebut-sebut si Tojin itu? Tapi Leng-hiat Huicu alias Kong-jiok Huicu itu konon sudah terkenal pada belasan tahun yang lalu. Jika begitu usianya sekarang sedikitnya kan di atas tiga puluh, mengapa dia...?"

Waktu ia berpaling, dilihatnya si cantik dari peti mati ini lagi menatapnya dengan kerlingan mata yang memikat. Wajahnya putih halus, kalau ditaksir usianya paling-paling juga baru dua puluhan tahun saja.

"Bagaimana, kenapa tidak kau jawab pertanyaanku?" kata si cantik dengan tertawa sambil membelai rambutnya yang hitam panjang terurai sebatas pinggang itu. Wanita ini lalu menambahkan, "Ah, tentu ada yang sedang kau pikirkan mengenai diriku. Apa kau sangsi mengenai umurku?"

Muka Lamkiong Peng menjadi merah. Ia menunduk dan menjawab, "Ya, memang sedang kupikirkan usiamu."

"Tentang usiaku, lebih baik jangan kau terka saja," ujar si cantik dari peti mati sambil menghela napas hampa. Selagi Lamkiong Peng tercengang, terdengar si cantik telah menyambung lagi, "Orang seusia diriku sesungguhnya tidak ingin orang lain berbicara lagi mengenai umurku."

Lamkiong Peng tidak berani menatapnya lagi. Dalam hati ia heran mengapa nada ucapan si cantik serupa seorang nenek saja. Tanpa terasa ia berkata pula, "Tapi engkau kan masih muda belia, mengapa...?"

Belum lanjut ucapannya, mendadak si cantik berbangkit sambil meraba wajah sendiri dan berucap dengan heran, "Kau bilang aku masih muda belia?"

"Masa muda adalah masa bahagia orang hidup, mengapa engkau tampak kesal dan tidak bergairah hidup? Jangan-jangan dalam hatimu menanggung kesedihan sesuatu urusan yang sukar diatasi...," Lamkiong Peng berhenti sejenak, lalu berucap pula dengan serius, "Jika guruku telah menugaskanku untuk menjaga nona, maka sudilah nona memberi-tahukan kesedihan hatimu kepadaku, mungkin akan dapat kubekerja sesuatu bagimu."

Hati Lamkiong Peng suci murni. Walau pun dia tidak mengerti sebab apa gurunya menyerahkan seorang nona muda jelita di bawah perlindungannya, tapi sekali menerima amanat sang guru yang demikian itu, biar pun dia disuruh terjun ke lautan api juga takkan ditolaknya.

Tak tersangka, mendadak si cantik berucap pula perlahan, "Apa betul begitu...?" dan segera ia membalik tubuh dan berlari pergi dengan cepat.

Karuan Lamkiong Peng terkesiap, teriaknya, "Hei, mau ke mana kau?"

Tapi si cantik seperti tidak mendengar seruannya. Tanpa berpaling ia terus berlari ke depan secepat terbang. Dalam sekejap orangnya sudah melayang jauh, sungguh luar biasa ginkang-nya.

Meski heran dan sangsi, terpaksa Lamkiong Peng tidak sempat memikirkannya lagi, sampai peti mati itu pun tidak dihiraukan. Segera ia ikut berlari ke sana sambil berseru, "Suhu sudah menyerahkan dirimu kepadaku, kalau ada urusan...."

Namun cuma sekejap saja bayangan si cantik sudah menghilang. Lamkiong Peng coba mencari lagi lebih jauh ke depan dan tetap tidak terlihat bayangan orang.

"Wah, kalau dia pergi begitu saja, lalu bagaimana aku harus bertanggung-jawab terhadap pesan Suhu?" demikian ia membatin dengan gegetun.

Pegunungan sunyi, malam sudah hampir tiba, ke mana lagi akan dapat menemukan si nona misterius tadi? Terpaksa Lamkiong Peng cuma berlari melintasi lereng gunung itu. Nama orang saja tak diketahuinya, tentu saja ia tidak dapat bersuara memanggilnya. Di tengah desir angin tiba-tiba didengarnya gemercik air. Dia memang merasa haus, segera ia mencari dan menuju ke arah suara air.

Dilihatnya sebuah sungai kecil mengalir dari sana. Di bawah remang cahaya bulan yang baru menongol, sungai itu serupa tali perak. Setelah menyusuri hutan, sungai itu sudah kelihatan membentang di depan. Cepat ia memburu ke sana. Begitu tiba di tepi sungai, segera ia meraup air untuk diminum.

Tapi baru saja ia minum dua teguk, tiba-tiba didengarnya dari hulu sana berkumandang suara ngikik tawa orang perempuan. Terbangkit semangat Lamkiong Peng, cepat ia menyusul ke hulu sana mengikuti tepi sungai. Tidak jauh terlihatlah sesosok bayangan putih sedang berjongkok di tepi sungai, seperti lagi memandangi air sungai, seperti juga sedang bercermin pada air sungai. Tanpa ragu Lamkiong Peng mendekatinya.

Dilihatnya si cantik tadi masih berjongkok tanpa bergerak. Dengan tertawa wanita itu lalu bergumam, "Hah, ternyata memang benar, ternyata memang betul...."

Meski Lamkiong Peng sudah berada di sampingnya si cantik masih juga belum tahu, masih tetap memandangi air sungai dengan terkesima. Sungguh tak terpikir oleh Lamkiong Peng bahwa nona misterius ini berlari ke sini hanya untuk mengelamun memandangi air sungai. Ia jadi melenggong juga. Ia berdiri di samping si nona. Ketika ia pun melongok permukaan air sungai, tertampaklah bayangan wajah seorang bidadari yang maha-cantik serupa lukisan saja.

Bayangan dalam air sungai dari seorang berubah menjadi dua, hal ini tidak dirasakan oleh si cantik dari peti mati itu. Dalam pandangannya saat ini, kecuali bayangannya sendiri agaknya tidak ada barang lain yang diperhatikan olehnya. Berulang-ulang ia meraba raut wajah sendiri dengan tangannya yang putih halus sambil bergumam, "Ternyata sungguh, ternyata benar aku masih semuda ini...," lalu dia tertawa keras, tertawa senang. Ia pun kemudian berseru, "Hah! Untung memang sukar diraih dan malang sukar ditolak. Siapa tahu tanpa sengaja aku telah mendapatkan ilmu awet muda yang sukar dicari dan diimpi-impikan setiap orang perempuan di dunia ini."

Mendadak ia berbangkit dan berputar-putar sambil mengibaskan lengan bajunya sehingga rambutnya yang panjang ikut bertebaran di udara. Rupanya saking gembiranya ia sampai menari-nari. "Hahaha! Sejak kini siapa lagi yang dapat mengenali aku? Siapa pula yang dapat menerka aku inilah Kong-jiok Huicu?"

Terkesiap Lamkiong Peng, tegurnya, "Hei, jadi engkau benar Bwe Kim-soat?"

Si cantik yang sedang menari itu mendadak menggeser dan berhenti di depan anak muda itu. Ia pun menjawab, "Betul!"

Lamkiong Peng melenggong sejenak, katanya kemudian dengan menyesal, "Ai, tak tersangka keterangan Tojin itu ternyata benar, aku... sungguh aku pantas mampus!"

Melihat anak muda itu merasa menyesal dan sedih, Kong-jiok Huicu Bwe Kim-soat tersenyum. Perlahan ia pegang pundak Lamkiong Peng dan bertanya dengan suara halus, "Jadi kau kenal namaku?"

"Ya, kukenal namamu," sahut Lamkiong Peng dengan pikiran kusut.

"Jika begitu, apakah kau tahu orang macam apakah aku ini?"

"Ya, kutahu," Lamkiong Peng mengangguk. "Suhu telah memberi pesan agar kujaga dirimu baik-baik, dengan sendirinya akan kulaksanakan perintah beliau. Siapa yang hendak mengganggumu harus berhadapan dulu denganku. Kupercaya penuh terhadap Suhu, apa yang dikatakan dan diperbuat beliau pasti tidak salah."

Bwe Kim-soat termenung sejenak. Katanya kemudian dengan menghela napas, "Ai, Liong-loyacu sungguh teramat baik kepadaku."

Tangannya yang memegangi pundak Lamkiong Peng itu dari putih tadi telah berubah agak kehijauan dan kini kembali berubah putih lagi dan ditarik kembali. Anak muda itu tidak menyadari bahwa dalam waktu singkat itu sesungguhnya dia telah lolos dari bahaya maut. Ia pandang orang dengan bimbang dan tidak tahu apa yang harus dibicarakan pula.

"Tampaknya engkau masih sangsi terhadap diriku," kata Bwe Kim-soat dengan tersenyum. "Apakah gurumu hanya menyerahkan peti cendana kepadamu tanpa menceritakan hubungannya denganku?"

"Tidak, hanya ini saja...," Lamkiong Peng mengeluarkan kain sutera kuning itu, "Boleh kau baca sendiri."

Dengan kuning bekernyit Bwe Kim-soat menerima kain kuning itu dan dipandangnya sekejap. Tiba-tiba ia bertanya, "Bekas darah siapakah ini?"

"Darah burung mati!" tutur Lamkiong Peng.

"Burung mati apa?" melengak juga Bwe Kim-soat.

Lamkiong Peng menceritakan apa yang dialaminya secara ringkas.

"O, kiranya begitu. Semula kusangka darah gurumu," ujar si cantik dengan tertawa.

Dengan agak emosi Lamkiong Peng merampas kembali kain sutera itu dan berucap dengan mendongkol, "Aku pun ingin tanya padamu. Sampai ajalnya guruku tetap memikirkan kepentingan dirimu, maka dia memberi pesan padaku agar menjaga dirimu dengan baik. Sebaliknya kau, setelah mengetahui nasib malang guruku engkau sama sekali tidak berduka-cita bagi beliau, sungguh terlalu...!"

Bwe Kim-soat memandangnya beberapa kejap seperti melihat sesuatu yang lucu. Mendadak ia bergelak tertawa pula dan berkata, "Duka? Apa artinya duka?! Selama hidupku belum pernah berduka bagi apa dan siapa pun, memangnya kau minta aku berduka untuk menipu dirimu dan diriku sendiri?" Lalu dia tertawa terkial-kial lagi.

Mata Lamkiong Peng menjadi merah, tidak kepalang rasa gemasnya. Tapi segera teringat olehnya akan julukan orang. Leng-hiat Huicu, si Putri Berdarah Dingin! Akhirnya Lamkiong Peng menghela napas. "Ya, pantas orang kangouw menyebutnya si Putri Berdarah Dingin, kiranya dia tidak kenal apa artinya berduka segala," pikirnya.

Teringat untuk selanjutnya entah berapa lama dirinya masih harus mendampingi perempuan cantik berdarah dingin ini, ia pun jadi sedih.

Tiba-tiba Bwe Kim-soat berkata pula, "Jangan kau kira aku sengaja tidak menghiraukan kematian gurumu, malahan seharusnya aku gembira bagi kematiannya itu."

Gusar sekali Lamkiong Peng oleh ucapan orang yang keji itu. Segera ia mendamprat, "Kalau saja guruku tidak menyuruhku menjaga dirimu, bisa jadi akan ku...."

"Hm, apakah kau tahu sebab apa gurumu menyuruhmu menjaga diriku?" jengek Bwe Kim-soat.

"Apa pun juga, yang jelas Suhu telah salah menilai orang," jawab Lamkiong Peng dengan mendongkol. "Jika beliau memelihara seekor kucing atau seekor anjing akan lebih baik!"

"Hm, kau tahu apa?" jengek Bwe Kim-soat pula. "Sebabnya gurumu berbuat demikian padaku adalah karena dia ingin menebus dosa, ingin membalas budi. Tapi biar pun begitu dia tetap bersalah padaku, maka dia mengharuskan muridnya ikut menebus dosanya yang belum lunas itu untuk membalas budi yang belum sempat dilakukannya."

Lamkiong Peng jadi tercengang. Mendadak ia balas mendengus. "Hm, menebus dosa dan membalas budi apa segala? Memangnya guruku bisa...?" seketika ia urung bicara lebih lanjut karena lantas teringat olehnya tulisan pada kain kuning itu yang antara lain berbunyi, ‘urusan ini memang salahku...’.

"Jangan-jangan Suhu memang pernah berbuat sesuatu kesalahan terhadap dia," pikir Lamkiong Peng.

"Hm, kenapa engkau tidak bicara lagi?" jengek Bwe Kim-soat. "Agaknya kau pun dapat merasakan dosa yang diperbuat gurumu, bukan?"

Lamkiong Peng menunduk. Mendadak ia mengangkat kepala pula dan berseru, "Barang siapa bicara kasar terhadap guruku, tentu takkan kuampuni!"

"Huh, jangankan di depanmu, sekali pun di depan Put-si-sin-liong juga aku berani bicara demikian, sebab aku berhak!"

"Hak apa?!" teriak Lamkiong Peng saking tak tahan. "Meski guruku menyuruhku menjaga dirimu, tapi engkau tidak berhak bicara sesukamu di depanku."

"Aku berhak bicara, sebab tanpa berdosa nama baikku telah dicemarkan olehnya dan tubuhku dilukainya. Aku berhak bicara, sebab kungfu yang kulatih dengan susah payah telah dipunahkan olehnya dengan sekali pukul. Aku berhak bicara karena kebodohan dan kebandelannya telah mengorbankan masa remajaku, telah menyia-nyiakan sepuluh tahun masa hidupku yang paling indah. Akibatnya, setiap hari siang dan malam aku senantiasa berbaring di dalam peti mati yang terisolir dari dunia luar, hidup tersiksa melebihi orang hukuman!" Makin bicara makin emosi, nadanya yang semula dingin kini berubah menjadi teriakan serak.

Tanpa terasa Lamkiong Peng jadi ngeri. Tubuh yang semula tegak menjadi agak lemas dan tidak berani bersikap keras lagi.

Mendadak Bwe Kim-soat menarik tangan Lamkiong Peng, terus dibawa lari secepat terbang ke sana. Ilmu silat Lamkiong Peng mestinya tidak lemah, ginkang-nya juga sangat tinggi. Tapi sekarang tanpa berdaya tangannya seperti terhisap oleh semacam tenaga maha-kuat dan ikut lari terlebih cepat dari-pada ginkang sendiri.

Selagi ia bermaksud meronta untuk melepaskan diri, dilihatnya lari orang sudah mulai mengendur. Tempat yang dituju ternyata hutan tadi. Di situ peti mati masih tertinggal. Begitu tiba di depan peti mati, segera Bwe Kim-soat membuka tutup peti dan berteriak.

"Nah, di dalam peti inilah kuhidup selama sepuluh tahun. Kecuali pada malam hari ketika gurumu mengangkatku ke luar untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang perlu, boleh dikatakan tidak pernah kukeluar dari sini!" Dia berhenti sejenak, lalu menyambung, "Nah, boleh coba kau bayangkan, kehidupan macam apakah selama sepuluh tahun ini? Bagimu mungkin sepuluh hari saja tidak tahan, apa lagi sepuluh tahun!"

Lamkiong Peng memandang ruang peti yang sempit dan gelap itu. Ia lalu bergumam seperti mengigau, "Sepuluh... sepuluh tahun...?" Tanpa terasa ia bergidik.

Cahaya bintang yang redup menyinari wajah Bwe Kim-soat yang pucat. Ia menarik napas panjang, lalu berucap pula dengan hampa, "Yang kuharap selama mengeram di dalam peti adalah datangnya malam, saat kebebasanku yang tidak panjang itu. Walau pun cuma sebentar saja gurumu membawaku ke ruang yang tidak berlampu, namun bagiku saat itu serupa hidup di surga."

Tergerak pikiran Lamkiong Peng. "Pantas kamar tidur Suhu terletak pada pojok perkampungan yang paling terpencil. Pantas juga pada malam hari beliau tidak suka memasang lampu, kamarnya juga tanpa jendela. Pantaslah setiap malam Suhu membawa peti mati ini masuk kamarnya dan ditaruh di samping tempat tidurnya...." Ia menghela napas panjang dan tidak berani memikirnya lebih lanjut.

Sorot mata Bwe Kim-soat bergeser di antara remang cahaya bintang dan kegelapan hutan itu, seperti lagi membayangkan penderitaannya dahulu. Ia lalu bertutur pula, "Untunglah setiap hari datang harapanku serupa itu, kalau tidak, lebih baik kumati dari-pada hidup tersiksa cara begini. Dan harapan dan menanti itu sendiri pun menimbulkan derita yang tak terhingga. Pernah satu hari tanpa sengaja gurumu membuka pintu kamar sehingga ada cahaya bulan menembus masuk ke kamar, sungguh girangku tak terkatakan. Tapi di bawah sinar bulan kulihat keadaan gurumu yang semakin tua. Aku menjadi sedih. Sang waktu terus berlalu, kupikir aku sendiri tentu juga tambah tua...," suaranya berubah menjadi lembut dan rawan.

Tanpa terasa Lamkiong Peng juga ikut terharu kepada sifatnya yang berdarah dingin dan mulai menaruh simpati terhadap nasibnya yang malang. Ia menghela napas dan berkata, "Yang sudah lalu biarlah lalu, jangan kau...."

"Sudah lalu?” mendadak Bwe Kim-soat bergelak tertawa pula. "Put-si-sin-liong sudah mati, secara ajaib aku tetap awet muda, aku tidak perlu terkurung lagi di dalam peti mati. Malahan orang di dunia tidak ada yang tahu asal-usulku yang sebenarnya... kecuali kau!"

"Secara ajaib engkau telah bertahan awet muda, secara ajaib pula telah pulih kehidupanmu yang bebas. Untuk itu seharusnya engkau bersyukur dan berterima-kasih dan bukan merasa dendam. Meski aku...."

"Aku berterima-kasih apa?" jengek Bwe Kim-soat.

"Berterima-kasih kepada Thian yang maha pengasih," jawab Lamkiong Peng.

"Hm!" dengus Bwe Kim-soat sambil mengibaskan lengan baju dan melangkah ke sana.

Seperti orang linglung Lamkiong Peng memandangi bayangan punggung orang yang ramping dengan gayanya yang memesona itu. Ketika bayangan orang hampir menghilang di kegelapan sana, cepat ia memburu maju dan menegur, "Nona Bwe, engkau hendak ke mana?"

Mendadak Bwe Kim-soat berpaling dan berkata kepadanya dengan dingin, "Kau tahu, orang bodoh di dunia ini sangat banyak, tapi tidak ada yang lebih bodoh dari-padamu."

Dengan bingung Lamkiong Peng menjawab dengan gelagapan, "Iy... iya...."

Sorot mata Bwe Kim-soat yang dingin itu tiba-tiba timbul secercah cahaya kelembutan, namun di mulut dia tetap bicara dengan ketus, "Jika engkau bukan orang bodoh, tadi waktu kubilang ´kecuali kau´, seharusnya kau lari segera!"

"Tapi mana boleh kutinggalkan dirimu?" jawab Lamkiong Peng tegas. "Suhu telah menyerahkan dirimu di bawah penjagaanku. Jika kutinggal pergi, lalu cara bagaimana aku harus bertanggung-jawab terhadap beliau?"

"Tanggung-jawab apa? Put-si-sin-liong kan sudah mati?!" jengek Kim soat.

Lamkiong Peng menarik muka. Jawabnya tegas, "Tidak peduli beliau sudah meninggal atau tidak, tetap tidak dapat kulanggar amanat tinggalan beliau."

"Lantas cara bagaimana akan kau jaga diriku?" tanya Bwe Kim-soat.

Bibir Lamkiong Peng bergerak, namun sukar untuk menjawab.

Bwe Kim-soat membetulkan rambutnya yang terurai di depan dadanya ke belakang punggung, lalu mendengus, "Hm, jika engkau tidak mau pergi dan tetap ingin menjaga diriku, apakah selanjutnya engkau akan selalu mengikuti aku?"

"Ya, memang begitulah perintah guruku," jawab Lamkiong Peng.

"Sungguh begitu?" Bwe Kim-soat menegas dengan tertawa.

Lamkiong Peng tidak berani memandang tertawa orang yang menggiurkan itu. Dengan prihatin ia menjawab, "Menurut pesan Suhu, aku diharuskan menjaga peti mati dan tidak boleh meninggalkannya. Maksud beliau dengan sendirinya aku diharuskan menjaga dirimu setiap saat."

Setelah bicara demikian, diam-diam timbul juga rasa sangsinya. "Ilmu silatnya kan jauh lebih tinggi dari-padaku, mengapa Suhu menugaskanku menjaga dia? Jika kungfu-nya begitu tinggi, setiap saat mestinya dia dapat membobol peti mati dan pergi sesukanya. Mengapa hal ini tidak dilakukannya?"

Selagi dia merasa heran, terdengar Bwe Kim-soat berkata pula dengan tertawa. "Jika demikian, bolehlah kau ikut diriku. Ke mana pun kupergi boleh kau ikut." Habis berkata ia lantas melangkah ke depan.

Jantung Lamkiong Peng berdetak dan entah bagaimana rasanya. Pikirnya, "Apa benar harus kuikut dia ke mana pun juga?"

Tapi tidak urung kakinya ikut melangkah ke sana. Ia berkata, "Demi melaksanakan amanat guru, biar pun kau pergi ke ujung langit juga akan kuikuti."

"Ujung langit...?" perlahan Bwe Kim-soat mengulang kata itu dengan tersenyum.

Tanpa terasa muka Lamkiong Peng menjadi merah.

Perasaan kedua orang itu sungguh sukar diraba oleh siapa pun juga. Hubungan mereka yang aneh juga sukar dilukiskan. Bwe Kim-soat berjalan di depan dan Lamkiong Peng ikut di belakang. Berulang Bwe Kim-soat membelai rambutnya yang panjang, agaknya dia juga banyak menanggung pikiran.

Malam tambah larut. Di suatu sudut yang paling gelap di tengah hutan sana mendadak melayang ke luar sesosok bayangan orang berbaju hitam tanpa suara. Dia memondong seorang pula yang agaknya terluka parah. Dalam kegelapan wajah orang itu tidak terlihat jelas, juga tidak jelas siapa orang terluka yang dibawanya itu, hanya terdengar dia membisiki telinga orang yang terluka, "Apakah engkau merasa agak baikan?"

Yang luka itu menjawab lemah, "Ya, sudah baikan. Kalau bukan Anda...."

"Sungguh aku tidak mampu membawamu turun dari Hoa-san sini," potong orang berbaju hitam itu, "dalam keadaan terluka parah engkau juga tidak dapat ditinggalkan di tengah pegunungan sunyi ini. Terpaksa engkau harus menahan sakit dan jangan bersuara. Minumlah obat yang kutaruh di dalam bajumu itu menurut waktunya. Dalam beberapa hari saja kesehatan tentu akan pulih, tatkala mana engkau tentu sudah berada di bawah gunung dan dapat mencari kesempatan untuk melarikan diri."

Dengan mengertak gigi orang yang luka itu merintih kesakitan, lalu berkata dengan lemah, "Budi pertolonganmu pasti akan...."

"Sudahlah, jangan banyak bicara lagi," potong si baju hitam. "Saat ini mereka pasti takkan membuka lagi peti mati ini. Bwe Kim-soat juga pasti tak mau masuk lagi ke dalam peti. Asalkan dapat kau tahan rasa sakit pada saat tubuh berguncang, tentu engkau dapat mencapai kaki gunung dengan aman."

Sembari bicara ia lantas membuka tutup peti cendana itu. Orang luka itu dimasukkannya dengan perlahan, lalu berkata pula, "Obatku ini selain dapat menyembuhkan luka, juga dapat membuatmu tahan lapar, maka jangan khawatir!"

Si luka yang sudah berbaring di dalam peti bertanya, "Bila tidak keberatan, sudilah memberi-tahukan nama Anda."

"Namaku tentu akan kau ketahui kelak," si baju hitam memberi tanda supaya jangan bicara lagi.

Perlahan tutup peti lantas dirapatkannya kembali. Setelah menyapu pandang sekejap ke sekeliling situ, lalu membalik tubuh dan berlari cepat ke arah Jong-liong-nia.

Saat itu Bwe Kim-soat dan Lamkiong Peng sedang melangkah tanpa tujuan, serupa orang mimpi menjalan. Setelah berjalan sekian lama, mendadak Bwe Kim-soat berkata, "Engkau berasal dari keluarga terhormat dan perguruan ternama. Jika engkau berjalan bersamaku seperti ini, apakah tidak takut menimbulkan desas-desus umum yang mencemarkan namamu?" Dia bicara tanpa berpaling sehingga tidak diketahui bagaimana air mukanya.

Langkah Lamkiong Peng agak merandek, jawabnya dengan tegas, "Asalkan hati kita tidak merasa berdosa, pula semua ini atas amanat guruku, hanya desas-desus orang iseng saja takkan menjadi soal bagiku. Apalagi...," ia berdehem dan tidak melanjutkan.

"Apalagi usiaku sedikitnya belasan tahun lebih tua dari-padamu sehingga pada hakikatnya tidak perlu khawatir dicurigai orang, begitu bukan maksudmu?" tanya Bwe Kim-soat mendadak sambil berpaling.

Lamkiong Peng melenggong sejenak. Kemudian ia menjawab dengan menunduk, "Ya, begitulah."

"Jika demikian, harus kau terima suatu syaratku," kata Kim-soat pula.

"Syarat...?"

"Ya, yaitu tidak boleh kau katakan nama asliku terhadap siapa pun."

"Sebab apa?"

"Jika namaku diketahui orang bahwa aku masih hidup segar bugar di dunia persilatan, sekali pun gurumu sendiri tidak mampu melindungi diriku, apalagi engkau!"

"Oo," melengak Lamkiong Peng. Pikirnya, "Dia pasti banyak musuh di dunia persilatan. Bila-mana musuhnya mengetahui dia belum mati, pasti akan mencari dia dan menuntut balas padanya."

Seketika seperti terngiang pula di tepi telinganya kata-kata si Tojin, "...Perempuan jalang, perempuan jahat...."

Mendadak timbul pertentangan batinnya. Masakah dirinya harus membela seorang perempuan semacam ini? Tapi lantas teringat lagi, "Jika Suhu sendiri membelanya, tugas ini lalu diserahkan lagi kepadaku, kuyakin tindakan beliau pasti benar. Mana boleh kulanggar amanat guru?"

Selagi terjadi pergolakan pikirannya, didengarnya Bwe Kim-soat bertanya pula, "Kau terima syaratku?"

"Ya," jawab Lamkiong Peng segera.

Bwe Kim-soat memandangnya sekejap sambil tertawa lembut. Katanya, "Meski di mulut kau terima dengan baik, tapi di dalam hati enggan, betul tidak?"

Waktu Lamkiong Peng mengangkat kepalanya, di bawah malam tertampak wajah Bwe Kim-soat yang cantik laksana bidadari itu. Seketika hatinya bergetar. Lamkiong Peng berpikir, "Perempuan secantik ini mengapa bisa berbuat jahat dan jalang?"

"Betul tidak?" kembali Bwe Kim-soat menegas sambil mendekati anak muda itu.

"Apa yang kuucapkan sama dengan apa yang kupikirkan," jawab Lamkiong Peng sambil menunduk. Terendus bau harum semerbak, tahulah dia orang telah berada di sampingnya.

Didengarnya Bwe Kim-soat bicara pula dengan lembut, "Kutahu sekali kau terima syaratku, selamanya tentu akan kau pegang teguh. Akan tetapi perlu kuberi-tahukan pula bahwa perangaiku sangat aneh, terkadang bisa membikinmu tidak tahan. Dalam keadaan begitu lantas bagaimana tindakanmu?"

Kening Lamkiong Peng bekernyit, "Asalkan engkau tidak berbuat sesuatu yang membikin susah orang, urusan lain aku pasti tahan."

Tiba-tiba dirasakannya, bila dirinya terus mendampinginya cara begini, kecuali melaksanakan amanat sang guru dapat juga setiap saat mencegahnya berbuat sesuatu yang tidak baik. Jangan-jangan maksud tujuan amanat sang guru yang menugaskan dia menjaganya justru demikianlah adanya!

Berpikir sampai di sini, mendadak dadanya terasa lapang. Apa halangannya mengalami sedikit hinaan asalkan dapat memperbaiki watak seorang jahat menuju ke jalan yang benar? Segera ia angkat kepala dan memandang orang dengan ikhlas.

"Sudah malam, tentu kita tidak dapat tinggal di sini," kata Bwe Kim-soat dengan tersenyum lembut.

"Ya, kita turun saja ke bawah," kata Lamkiong Peng.

Tapi belum jauh mereka berjalan, tiba-tiba Lamkiong Peng berseru, "Nanti dulu, nona Bwe!"

"Ada apa?" tanya Bwe Kim-soat sambil berpaling.

"Harap nona menunggu sebentar, ada urusan yang perlu ku...."

"Ah, tentu mengenai peti mati itu, bukan?" tukas Bwe Kim-soat.

"Ya. Kecuali itu, beberapa saudara seperguruanku juga masih ketinggalan di atas gunung dan entah sudah pergi atau belum. Betapa pun harus kutunggu mereka."

"Jika saudara seperguruanmu melihat dirimu selalu mendampingiku, lantas apa yang akan mereka katakan? Apalagi sudah sekian lamanya, kukira mereka sudah lama meninggalkan gunung ini," ujar Kim-soat. "Mengenai peti mati itu, kukira sekarang tidak ada gunanya lagi, buat apa mesti kau bawa kian kemari pula? Lebih baik kita mencari suatu tempat istirahat yang tenang, nanti akan kuceritakan berbagai hal yang belum kau ketahui."

"Tapi... tapi peti itu adalah barang tinggalan guruku, betapa pun harus kubawa pergi," setelah berhenti sejenak, dengan tegas ia menyambung pula, "Dan mengenai saudara seperguruanku, apa pun juga perlu kutunggu mereka dulu sekedar memenuhi kewajibanku sebagai sesama saudara seperguruan."

"Ah, apa yang kukatakan tampaknya tidak kau turut sama sekali," omel Bwe Kim-soat sambil memandangi anak muda itu dengan lembut, seolah-olah dengan sorot matanya yang hangat itu ingin mencairkan hati Lamkiong Peng yang keras.

Kedua orang kembali beradu pandang. Sampai lama sekali keduanya tidak berkedip dan tetap bertahan, entah di antara mereka siapa yang lebih kuat....

Kerlip bintang di langit bertambah terang, sebaliknya malam bertambah larut. Di bawah cahaya bintang dan suasana malam yang sama, apa yang dihadapi Liong Hui saat itu juga pandangan yang sama lembut dan sama hangatnya. Saat itu dia sedang berjalan di balik lereng Hoa-san sana, di antara batu padas yang terjal dan pepohonan yang rimbun serta malam yang tambah kelam.

Tangan Kwe Giok-he yang halus memegangi lengan sang suami yang kekar. Tubuh Giok-he yang kecil mungil juga setengah menggelendot di bahu sang suami. Ginkang-nya terlebih tinggi dari-pada suaminya, kungfu-nya juga tidak lebih lemah. Tapi sikapnya yang manja itu seakan-akan kalau tidak ada perlindungan sang suami akan sukar bergerak di lereng gunung ini.

Yang ikut di belakang mereka adalah Ong So-so yang cantik itu. Dia malah tidak menghendaki bantuan Ciok Tim meski wajahnya sudah dihiasi butiran keringat. Terpaksa Ciok Tim ikut berjalan di belakangnya dengan hati-hati. Mereka berempat sudah hampir menjelajahi seluruh pegunungan ini, namun tidak menemukan sesuatu bekas tinggalan sang guru.

Di tengah kesunyian perjalanan, akhirnya Kwe Giok-he berucap, "Rupanya tiada sesuatu yang dapat kita temukan."

"Ya," sahut Liong Hui sambil berpaling.

Ong So-so mengangguk perlahan. Ciok Tim juga menghela napas dan berkata, "Ya, tidak menemukan apa pun."

"Ayolah kita pulang saja," kata Giok-he pula dengan menyesal.

"Ya, pulang saja," kata Ciok Tim.

"Tapi... tapi mungkin dia sedang mencari atau menunggu kita," kata So-so tiba-tiba.

Air muka Ciok Tim agak berubah sebab ia tahu ‘si dia’ yang dimaksudkan So-so, yaitu Lamkiong Peng, Sute mereka yang termuda.

"Tanjakan di depan sana tampak lebih curam. Kita sudah mencari sampai di sini, marilah kita coba periksa sana sekalian," ajak Giok-he.

Tidak ada yang membantah. Dengan menunduk So-so ikut berjalan ke depan. Liong Hui agak bingung melihat kelakuan anak dara itu. Makin ke depan langkah mereka bertambah lambat karena terjalnya tempat. Maklumlah, puncak selatan Hoa-san ini juga disebut Lok-gan-hong atau Puncak Menjatuhkan Burung Belibis. Puncak tertinggi pegunungan Hoa biasanya sangat jarang didatangi manusia, hanya burung saja yang sering menubruk tebing yang tinggi ini. Keadaan di sini sangat sepi, apalagi di malam yang sunyi ini.

Kwe Giok-he menggelendot terlebih erat di bahu Liong Hui, sebaliknya So-so semakin jauh jaraknya dengan Ciok Tim. Pembawaan seorang gadis yang lemah tentu saja berharap akan dibantu dan dibela oleh seorang yang gagah dan kuat, tapi hasrat ini hanya disembunyikan di dalam batin saja oleh So-so. Kecuali ‘dia’, rasanya tidak mau menerima cinta orang lain lagi. Tapi di manakah si ‘dia’ sekarang?
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar