Harpa Iblis Jari Sakti Chapter 45

"Apakah berkaitan dengan Liok Ci Khim Mo?" sela Tam Goat Hua.

“Tidak salah, Busur Api sudah terjatuh ke tangan empat orang buta itu. Tadi aku hampir berhasil merebutnya, tapi justru terluka. Mengenai asal-usul keempat orang buta itu, hanya biarawati tua ini yang tahu, maka aku bertanya kepadanya."

Tam Goat Hua memandang biarawati tua. Ternyata biarawati tua itu telah memejamkan matanya untuk bersemedi. Sudah beberapa hari Tam Goat Hua tinggal di kuil tua, tentunya tahu biarawati tua itu berkepandaian tinggi dan tidak mau mencampuri urusan rimba persilatan. Kalau sudah bilang tidak mau memberitahukan, sudah pasti tidak akan memberitahukan. Dia berpikir sejenak, kemudian bertanya kepada Lu Leng.

"Bagaimana kau yakin dia tahu asal-usul keempat orang buta itu?"

“Tadi aku... aku..." sahut Lu Leng tersendat-sendat. Sebetulnya Lu Leng ingin menceritakan kedatangannya bersama Tong Hong Pek, namun dibatalkannya. "Tadi aku melihat keempat orang buta itu keluar dari kuil ini," katanya.

Tam Goat Hua berpikir lagi, lalu berbisik, "Mari kita pergi."

"Kakak Goat, urusan belum beres, bagaimana kita pergi?"

"Kita pergi saja!" kata Tam Goat Hua dengan suara ringan.

Sembari berkata Tam Goat Hua memberi isyarat kepada Lu Leng, dan Lu Leng tahu dalam hati gadis itu pasti sudah mempunyai suatu ide. Maka Lu Leng manggut-manggut.

"Baik, mari kita pergi!"

Tam Goat Hua memberi hormat kepada biarawati tua, lalu berjalan pergi bersama Lu Leng. Keluar dari kuil tua itu, Tam Goat Hua langsung melesat ke depan dan Lu Leng buru-buru mengejarnya. Kira-kira dua tiga puluh depa barulah gadis itu berhenti.

"Kakak Goat...," panggil Lu Leng.

"Urusan ini amat penting, lagi-pula kalau hanya kau seorang diri sulit melaksanakannya, maka aku baru mau membantumu. Selain urusan ini, jangan membicarakan yang lain! Apabila kau membuka mulut membicarakan urusan lain, aku pasti segera pergi!" kata Tam Goat Hua.

Lu Leng mengangguk. "Ya, tapi...."

"Setelah beres urusan itu, kau jangan berpikir hendak menemuiku lagi,“ potong Tam Goat Hua.

Lu Leng menghela nafas panjang. "Kau tahu asal-usul keempat orang buta itu?"

"Aku tidak tahu, tapi aku punya akal untuk mencari informasi itu!"

Lu Leng girang bukan main. "Sungguh?"

Tam Goat Hua manggut-manggut. "Kau tunggu di sini dan balut lukamu itu! Cukup lama aku pergi, tapi pasti kembali. Kau tidak boleh ke mana-mana!"

Lu Leng terkejut mendengar ucapan gadis itu. "Kakak Goat, kau mau pergi ke mana?" tanyanya.

"Aku hanya ingin ke kota kecil yang terdekat. Legakan hatimu, aku pasti kembali!"

Apa yang dikatakan Tam Goat Hua tentunya Lu Leng percaya. Namun dia agak khawatir karena gadis itu pergi seorang diri. "Kakak Goat, kau harus kembali lho!" pesannya.

Tam Goat Hua memandang ke bawah seraya menyahut, "Tentu!"

Kemudian dia melesat pergi dan dalam sekejap sudah tidak tampak bayangannya. Lu Leng menarik nafas, lalu merobek ujung bajunya untuk membalut lukanya. Dia menunggu Tam Goat Hua ditempat itu dan tidak berani pergi ke mana-mana. Tam Goat Hua bilang pergi agak lama, Lu Leng justru merasa lama sekali. Entah berapa kali dia nyaris memastikan bahwa Tam Goat Hua tidak akan kembali lagi.

Akan tetapi dalam hatinya menentang apa yang dipikirkannya itu. Dia mempercayai Tam Goat Hua, sebab gadis itu tidak pernah mengingkari janji. Kini dia teringat akan apa yang dikatakan Tam Goat Hua tadi. Setelah berhasil merebut Busur Api, selanjutnya jangan berpikir untuk menemuinya lagi. Tam Goat Hua mengatakan begitu, tentunya sudah membulatkan hati. Teringat akan itu, hati Lu Leng menjadi berduka sekali.

Lu Leng terus menunggu. Ketika hari mulai terang, barulah dia melihat sosok bayangan ramping melesat ke arahnya. Lu Leng segera menyapa, ternyata Tam Goat Hua. Lu Leng langsung menarik nafas lega.

"Kakak Goat, akhirnya kau kembali!" katanya.

Kemudian dia mencium aroma arak dan daging. Ternyata tangan Tam Goat Hua menjinjing sebuah keranjang berisi sekendi arak dan daging babi panggang.

Lu Leng tercengang lalu bertanya, "Kakak Goat, apa maksudmu ini?"

"Kau ikut aku!" sahut Tam Goat Hua.

Kemudian dia melesat pergi dan Lu Leng mengikutinya dari belakang. Berselang sesaat mereka sampai di pinggir sebuah sungai kecil. Tam Goat Hua pun berhenti di situ, lalu duduk di atas sebuah batu.

"Kakak Goat, apakah kita sedang menunggu orang?" tanya Lu Leng sambil memandangnya.

Tam Goat Hua kelihatan malas berbicara. Dia hanya manggut-manggut, bahkan memandang ke arah lain. Lu Leng menghela nafas, kemudian dia pun duduk di sebuah batu. Mereka berdua terus membungkam, sedangkan hari pun sudah terang. Mendadak terdengar suara langkah di tempat yang agak jauh. Tak seberapa lama terlihat biarawati tua gagu dan tuli memikul dua buah tong air berjalan ke pinggir sungai.

Biarawati tua gagu dan tuli belum melihat mereka, namun hidungnya sudah berendus-endus seakan mencium suatu aroma yang amat disukainya, sehingga wajahnya tampak gembira sekali. Ketika melihat Tam Goat Hua dan Lu Leng, dia tertegun dan segera menaruh kedua tong air yang dipikulnya. Tam Goat Hua melambaikan tangan memanggilnya. Biarawati itu segera menghampirinya dan seketika berseru kegirangan karena melihat keranjang berisi kendi arak dan daging babi panggang.

Saat ini Lu Leng baru tahu bahwa biarawati tua gagu dan tuli itu tidak ciacay (pantang makan daging), melainkan doyan minum arak dan makan daging. Maka Tam Goat Hua ingin menggunakan cara itu agar biarawati tersebut mengatakan sesuatu. Namun Lu Leng tidak berani terlampau berharap, karena menurutnya biarawati itu tidak mungkin mau memberitahukan asal-usuI dan tempat tinggal keempat orang buta itu.

Di saat Lu Leng sedang berpikir, terlihat Tam Goat Hua menunjuk keranjang itu, lalu menunjuk biarawati tua gagu dan tuli. Biarawati tua gagu dan tuli kelihatan girang sekali. Dia langsung melangkah lebar ke arah keranjang itu, lalu menjulurkan tangannya menyambar daging babi panggang dan menyantapnya dengan lahap sekali. Kemudian sebelah tangannya pun menyambar kendi yang berisi arak dan langsung diteguknya. Tak seberapa lama kemudian dia telah menghabiskan daging babi panggang dan arak itu, tapi kelihatannya masih merasa kurang puas. Setelah itu dia menghampiri Tam Goat Hua dan Lu Leng, lalu menepuk bahu mereka dan mengeluarkan jari jempolnya memuji mereka berdua, Lu Leng tertawa geli dalam hati. Biasanya hweeshio yang doyan arak dan daging, tak disangka biarawati pun begitu.

Tam Goat Hua tertenyum sambil mengambil sebatang ranting, lalu menulis di tanah. ‘Aku ingin bertanya suatu hal!

Biarawati tua gagu dan tuli manggut-manggut. Melihat itu bukan main girangnya Lu Leng, karena biarawati tua gagu dan tuli tidak buta huruf.

Tam Goat Hua menulis lagi. ‘Semalam ada empat orang buta ke kuil, siapa mereka?

Begitu membaca, wajah biarawati tua gagu dan tuli langsung berubah, kemudian dia mundur selangkah sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Tam Goat Hua menulis sambil mengerutkan kening. ‘Kau tidak berani memberitahukan asal-usul mereka?

Biarawati tua gagu dan tuli manggut-manggut, kelihatannya ketakutan.

Tam Goat Hua menulis. ‘Kalau begitu, beritahukan di mana tempat tinggal mereka!

Biarawati tua gagu dan tuli itu berpikir lama sekali, barulah dia mengambil ranting dari tangan Tam Goat Hua lalu segera menulis, ‘Mereka tinggal di Lian Hoa Hong (Puncak Teratai) gunung Liok Pan San. Kalian tidak boleh ke sana, Kalau ke sana...

Menulis sampai di situ, biarawati tua gagu dan tuli meleletkan lidahnya bersikap seperti orang mati. Tam Goat Hua tidak menulis lagi. Setelah membaca tulisan biarawati itu dia langsung menarik Lu Leng.

"Mari kita pergi!" ajaknya.

Lu Leng mengingat terus akan apa yang dituliskan biarawati tua gagu dan tuli itu, lalu pergi bersama Tam Goat Hua. Ketika sudah agak jauh, barulah Lu Leng bertanya, “Kakak Goat, bagaimana kau tahu biarawati tua gagu dan tuli itu tahu jejak keempat orang buta itu?"

"Sudah sekian hari aku tinggal di dalam kuil tua itu, maka aku tahu biarawati tua gagu dan tuli itu adalah pelayan biarawati tua yang berkepandaian tinggi, sedangkan biarawati tua yang berkepandaian itu tahu jejak keempat orang buta. Maka aku yakin biarawati tua gagu dan tuli itu pun tahu jejak mereka," sahut Tam Goat Hua.

Lu Leng tertawa. "Biarawati tua gagu dan tuli sudah minum arak dan makan daging babi panggang, sudah pasti harus memberitahukan."

"Dia memberitahukan kita jangan ke sana, tidak mungkin tiada alasan. Tapi kita tetap harus ke sana, hanya harus berhati-hati," sahut Tam Goat Hua lalu menggerakkan kedua tangannya, dan seketika terdengar suara gemerincing. Ternyata dia mengeluarkan rantai besi yang melekat di lengannya. "Kukira rantai besi ini sudah tak berguna lagi, tapi tak disangka sekarang harus keluar juga," lanjutnya.

Lu Leng khawatir Tam Goat Hua akan berduka lagi, maka segera berkata, "Kakak Goat, bukankah kau sendiri yang bilang, selain urusan ini jangan membicarakan urusan lain?"

Tam Goat Hua menarik nafas dan tidak bicara apa-apa lagi.

Kuil tua itu berada di gunung Tiong Tiau San, tak seberapa jauh dengan gunung Liok Pan San. Agar tidak berjumpa Liok Ci Khim Mo, maka mereka pergi ke gunung Liok Pan San tidak melalui jalan besar, melainkan melalui jalan gunung yang amat sempit. Beberapa hari kemudian, sampailah mereka di gunung Liok Pan San. Dalam beberapa hari ini hati mereka tercekam berbagai macam perasaan, tetapi semuanya membungkam sama sekali, tidak ada yang membuka mulut.

Sampai di gunung Liok Pan San mereka berdua melihat beberapa gubuk, lalu mendekati salah satu dari gubuk-gubuk itu. Tampak beberapa lembar kulit binatang dijemur di pekarangan, maka dapat dipastikan bahwa gubuk itu milik seorang pemburu. Sampai di pintu gubuk, mereka lalu berdiri di situ. Tampak seorang tua berjalan ke luar, tangannya memegang sebuah tombak bercagak tiga dan matanya menatap mereka dengan penuh rasa heran.

Lu Leng maju selangkah sambil memberi hormat. "Paman tua, kami ingin bertanya. Apakah di gunung ini terdapat Lian Hoa Hong? Kami harus mengambil arah mana?"

Begitu mendengar pertanyaan Lu Leng, air muka orang tua itu kelihatan berubah. "Aku tidak tahu, kalian berdua cepat pergi!" sahutnya. Sembari menyahut orang tua itu pun terus menggoyang-goyangkan sepasang tangannya dan sikapnya agak aneh.

"Paman tua, kami harus ke Lian Hoa Hong, mohon paman tua sudi memberi petunjuk!" kata Lu Leng Iagi.

"Aku tahu, kalian pasti kaum rimba persilatan yang gagah berani. Namun kalian masih muda, kenapa harus pergi mencari mati? Aku tidak bisa memberi petunjuk agar kalian tidak mati!"

Lu Leng baru mau berkata, tapi didahului Tam Goat Hua. "Paman tua, keempat orang buta itu baru pulang?" tanyanya sambil tersenyum.

Air muka orang tua itu berubah lagi dan dia tak mampu mengucapkan apa pun.

Tam Goat Hua tersenyum lagi. "Paman tua, legakanlah hatimu. Keempat orang buta itu adalah pecundang kami, maka kami mengejar mereka sampai di sini."

Orang tua itu tidak percaya. "Nona kecil, jangan omong kosong!" katanya.

Mendengar itu timbul suatu ide dalam hati Lu Leng. Dia segera mengeluarkan golok pusakanya lalu diarahkannya ke arah tombak bercagak tiga di tangan orang tua itu.

“Traang!” tombak bercagak tiga itu terkutung menjadi dua.

"Paman tua, aku memiliki golok pusaka ini, tentunya keempat orang buta itu bukan lawan kami!" katanya.

Orang tua itu menghela nafas panjang. "Aaah! Aku tinggal di sini sebagai pemburu sudah puluhan tahun. Dua puluh tahun yang lampau banyak orang datang ke sini mencari keempat orang buta itu. Mereka hanya bisa masuk tapi tidak pernah keluar lagi. Apakah kalian berdua juga ingin ke sana mencari mati?"

"Kami mampu melawan mereka, kenapa paman tua tidak mau memberitahukan? Kalau paman tua tidak mau memberitahukan, kami pun dapat mencari mereka, hanya saja akan membuang sedikit waktu!"

Orang tua itu memandang mereka berdua, kemudian manggut-manggut. "Baiklah, kuberitahukan. Lian Hoa Hong berada di tengah-tengah gunung ini. Ketika aku berusia dua puluhan pernah ke sana beberapa kali. Puncak itu tidak begitu tinggi, namun di sana terdapat sebuah telaga. Air mengalir ke dalam telaga dari lima jurusan, menyerupai air terjun sehingga air di telaga muncrat ke atas. Dari jauh muncratan air itu menyerupai bunga teratai. Asal kalian terus berjalan ke depan, tidak sulit mencari puncak itu. Setelah kalian sampai di sebuah tebing, harus mengambil arah timur. Setelah melewati sebuah lembah, pasti melihat tempat itu."

Tam Goat Hua dan Lu Leng mengucapkan terima kasih kepada orang tua itu, lalu melangkah pergi. Namun tiba-tiba mereka mendengar suara helaan nafas orang tua itu. Walau orang tua itu bukan kaum rimba persilatan, namun sudah lama tinggal di situ. Dia kelihatan begitu tegang, tentu ada sebab musababnya, maka mereka berdua bertambah hati-hati.

Tam Goat Hua dan Lu Leng terus berjalan. Setelah menempuh belasan mil, mereka sampai di sebuah tebing dan kemudian mengambil arah timur. Beberapa mil kemudian mereka baru melihat sebuah lembah. Lembah itu amat sempit. Pada dindingnya terdapat batu-batu yang bentuknya amat aneh dan kelihatannya mau jatuh. Tam Goat Hua dan Lu Leng memasuki lembah itu. Ketika mereka sampai di tengah jalan, hari sudah mulai gelap. Saat ini di luar lembah kemungkinan besar masih terang, namun di dalam lembah sudah gelap, maka membuat mereka berdua langsung berhenti.

"Kakak Goat, apakah kita harus menempuh perjalanan malam melewati lembah ini?" tanya Lu Leng.

Tam Goat Hua menengok ke sana ke mari, lalu dia berkata, "Kalau kita menempuh perjalanan malam, tentu berbahaya. Namun bermalam di sini juga tidak aman."

"Kalau begitu lebih baik kita menempuh perjalanan malam melewati lembah ini, asal kita berhati hati!"

Tam Goat Hua manggut-manggut. Mereka berdua lalu membuat sebuah obor dan setelah itu barulah melanjutkan perjalanan. Lu Leng mengeluarkan golok pusaka untuk berjaga-jaga menghadapi binatang buas. Mereka berdua terus berjalan. Berselang beberapa saat, hati masing-masing merasakan adanya gelagat tidak beres, namun tidak dapat menduga apa yang akan terjadi. Tam Ooat Hua dan Lu Leng terus memikirkan hal itu.

Tak seberapa lama, Lu Leng berhenti seraya bertanya, "Kakak Goat, apakah kau merasa ada sesuatu yang tak beres?"

"Aku juga merasakan itu, tapi tidak tahu suatu apa yang tak beres."

"Kakak Goat, aku merasa amat sepi. Di dalam gunung, terutama di malam hari tentunya ada suara binatang, tidak seharusnya sedemikian sepi."

Begitu mendengar ucapan Lu Leng barulah Tam Goat Hua sadar, apa yang dirasakannya memang demikian. Bagaimana mungkin di dalam gunung tiada binatang? Biasanya di saat matahari mulai tenggelam, binatang mulai berkeliaran. Namun mengapa saat ini sedemikian sepi? Mereka berdua terus berpikir, tapi sama sekali tidak terpikirkan sebab musababnya. Hingga tengah malam barulah mereka melewati lembah itu, yang panjangnya hampir mencapai enam puluhan mil.

Setelah melewati lembah itu, di depan mata mereka menjadi terang. Ternyata malam itu malam purnama, bulan bersinar amat terang sehingga apa pun yang ada di sekitar tempat itu terlihat dengan jelas. Tam Goat Hua dan Lu Leng memandang ke depan, tampak sebuah puncak yang tidak begitu tinggi dan air terjun mencurah ke bawah memancarkan cahaya keperak-perakan. Sungguh indah pemandangan itu! Air yang muncrat ke atas kelihatan indah sekali menyerupai bunga teratai. Walau hati mereka tercekat berbagai macam urusan, namun pemandangan yang begitu indah membuat mereka tertarik sekaligus menikmatinya.

"Kakak Goat, bagaimana kalau malam ini juga kita ke sana melihat-lihat?"

Tam Goat Hua menggeleng kepala. "Tidak boleh!"

Tercengang Lu Leng. "Kenapa?"

"Orang buta tidak membedakan siang dan malam. Lebih baik esok pagi saja kita ke sana."

Lu Leng manggut-manggut. Mereka berdua lalu mencelat ke atas dahan pohon, kelihatannya ingin beristirahat di atas pohon itu. Setelah mereka duduk, mendadak terdengar suara auman harimau di sekitar Lian Hoa Hong. Suara auman harimau itu begitu ramai, pertanda banyak pula harimaunya. Tam Goat Hua dan Lu Leng terkejut lalu saling memandang.

Sepeminum teh kemudian suara auman harimau itu lenyap, dan seketika suasana berubah menjadi sepi. Kemudian terdengar lolongan srigala yang amat menyeramkan. Akan tetapi tak seberapa lama lolongan srigala itu pun lenyap dan suasana pun berubah menjadi hening. Tam Goat Hua dan Lu Leng terheran-heran. Di saat bersamaan terdengar suara langkah yang disertai suara siulan aneh.

Semula mereka berdua mengira langkah orang, tapi setelah mendengar dengan seksama, jelas itu adalah suara langkah binatang yang berlari-lari. Tadi suasana di gunung itu mereka rasakan amat sepi, tapi kini berubah menjadi berisik karena munculnya berbagai macam suara binatang buas. Mereka sama sekali tidak tahu apa gerangan yang telah terjadi.

Berselang beberapa saat tampak di kejauhan sekelompok monyet berlari-larian. Sekelompok monyet itu terdiri dari dua ratusan ekor, semuanya berlari mati-matian dan tiada seekor pun yang berani memisahkan diri. Tam Goat Hua dan Lu Leng tidak pernah menyaksikan kejadian seaneh itu, maka mereka terperangah dengan mulut ternganga lebar. Mereka berdua memandang dengan penuh perhatian.

Di sisi monyet-monyet itu tampak beberapa sosok bayangan tinggi besar, berlari ke depan dan ke belakang. Begitu melihat ada monyet yang berpencar, mereka langsung menyeretnya ke dalam lagi. Gerakan beberapa sosok bayangan itu amat cepat bagaikan kilat. Setelah agak dekat, barulah terlihat jelas beberapa sosok bayangan itu ternyata monyet-monyet yang amat besar. Di belakang monyet-monyet itu tampak pula ratusan ekor kelinci, yang juga dijaga oleh monyet-monyet besar. Mereka terus berlari melewati Tam Goat Hua dan Lu Leng menuju puncak Lian Hoa Hong, dan tak lama sudah tidak kelihatan lagi.

Berselang beberapa saat terdengar lagi suara auman harimau dan lolongan srigala, yang disusul oleh suara-suara yang amat aneh. Namun tak lama kemudian suara-suara itu pun lenyap lagi. Tam Goat Hua dan Lu Leng menarik nafas lega, lalu saling memandang.

"Kakak Goat, kau tahu kenapa itu?" tanya Lu Leng.

"Rupanya monyet-monyet besar itu mengurung ratusan monyet kecil dan ratusan kelinci untuk santapan harimau dan srigala."

Lu Leng manggut-manggut. "Aku pikir juga begitu. Tapi bagaimana belasan monyet besar itu mengerti memelihara harimau dan srigala?"

Tam Goat Hua tertegun. "Mungkinkah perbuatan keempat orang buta itu?" sahutnya kemudian.

Lu Leng mengangguk. "ltu memang mungkin. Esok pagi kita ke sana harus bertambah waspada."

Tam Goat Hua tidak bicara apa-apa lagi, hanya manggut-manggut lalu memejamkan matanya untuk beristirahat. Tak seberapa lama, hari sudah mulai terang. Tam Goat Hua dan Lu Leng sama sekali tidak tidur, namun mereka berdua pun tidak bercakap-cakap. Berselang beberapa saat, sang surya sudah naik ke atas. Tam Goat Hua dan Lu Leng meloncat turun, lalu memetik buah hutan untuk mengisi perut. Setelah itu barulah mereka menuju puncak Lian Hoa Hong.

Semakin dekat dengan puncak itu, pemandangan semakin indah menakjubkan. Setelah sang surya bergantung di atas, tempat itu jadi berwarna keperak-perakan. Ketika sudah mendekati puncak Lian Hoa Hong, Tam Goat Hua dan Lu Leng menghentikan langkahnya. Mereka melihat sebuah batu besar berukir beberapa huruf.

Siapa berani masuk lagi pasti mati

Di samping batu itu terdapat setumpuk tulang-belulang manusia. Tulisan dan setumpuk tulang belulang itu kelihatan amat mengerikan. Tam Goat Hua dan Lu Leng saling memandang. Walau mereka tidak berbicara, namun dari sorotan mata masing-masing dapat diketahui bahwa mereka sudah tahu akan maksud pihak lain. Maju lagi ke depan mungkin akan terjadi hal-hal yang membahayakan! Kalau mereka terus maju, mungkin akan terjadi hal-hal yang membahayakan. Keadaan itu mendesak mereka untuk saling mendekat.

Tentunya mereka tidak akan mundur karena tulisan dan setumpuk tulang belulang itu, bahkan terus maju. Belasan depa kemudian, di sisi kiri dan kanan terdapat batu-batu yang berbentuk aneh dan di tengah-tengah terdapat sebuah jalan. Saat ini mereka berdua amat tegang sehingga bertambah waspada dan hati-hati.

Sampai di jalan itu, Lu Leng menghela nafas dan berkata, "Kakak Goat, tidak seharusnya aku mengajakmu ke mari."

Tam Goat Hua paham mengapa Lu Leng berkata begitu, karena tempat tersebut amat berbahaya, tidak berbeda dengan istana Ci Cun Kiong. "Apakah kau ingin seorang diri ke mari cari mati?" katanya sambil tersenyum getir.

Lu Leng menarik nafas. "Setelah aku mati, mungkin hatimu akan menjadi lebih lega."

Tam Goat Hua tertawa. "Mungkin hanya aku yang mati, semua urusan akan menjadi beres!"

Walau Tam Goat Hua tertawa, namun sepasang matanya kelihatan bersimbah air. Dia kemudian menambahkan, "Dalam hati pun tidak akan berduka lagi!"

Hati Lu Leng seperti tersayat mendengar kata-kata gadis itu. "Kakak Goat, aku yang tidak baik...," katanya sambil menundukkan kepala.

Tam Goat Hua tersenyum getir. "Semua itu hanya nasib belaka, tiada yang tidak baik."

Lu Leng berjalan dengan kepala tertunduk dan membungkam. Badai cinta tersebut entah kapan akan mereda. Apa yang dikatakan Tam Goat Hua memang benar, nasib telah mempermainkan mereka semua sehingga muncul kekacauan yang menyebabkan keberantakan. Lu Leng teringat kembali akan kejadian di Cing Yun Ling Go Bi San. Kalau tidak dikarenakan Liok Ci Khim Mo, walau dia amat berduka namun masih ada cinta kasih Toan Bok Ang yang amat dalam, maka dia masih dapat mengisi kehampaan hatinya. Namun kini Toan Bok Ang malah menjadi korban cinta, bahkan kehilangan sebelah lengannya.

Lu Leng terus berjalan dengan kepala tertunduk sambil berpikir, dan hatinya semakin berduka. Mendadak dia terkejut karena merasa tangan Tam Goat Hua menggenggam lengannya erat-erat.

"Lihatlah!" kata gadis itu.

Lu Leng segera mendongakkan kepala memandang ke depan, dan seketika hatinya terkejut bukan kepalang. Mereka terus berjalan melewati batu-batu berbentuk aneh yang letaknya sudah mendekati puncak Lian Hoa Hong. Mulai terdengar pula suara air terjun. Tak jauh dari tempat itu terhampar tanah kosong cukup luas. Yang sangat mengejutkan mereka, di sana tampak puluhan ekor harimau sedang mendekam. Tampaknya harimau-harimau itu telah mengetahui akan kehadiran Tam Goat Hua dan Lu Leng, sebab di antaranya ada yang menoleh, menggoyang-goyangkan kepala dan mengibaskan ekor sambil menatap ke arah kedua muda-mudi itu.

"Kakak Goat, kita harus cepat mundur!" bisik Lu Leng yang menyadari adanya gelagat tak menguntungkan.

Tam Goat Hua masih berdiri di tempat. "Kalau kita mundur, jalanan di belakang kita amat sempit. Jika mereka mengejar, kita pasti celaka. Lebih baik kita memberanikan diri, terus maju."

Lu Leng memandang ke depan lagi sambil memutar pikirannya, bagaimana caranya melewati harimau-harimau itu. Namun apa yang dikatakan Tam Goat Hua memang benar, kalau terpaksa mundur tentunya lebih berbahaya. Berpikir sampai di situ, Lu Leng meluruskan golok pusaka Su Yang To ke depan, lalu melangkah. Baru saja dia melangkah, puluhan ekor harimau itu langsung mengaum serentak. Suara mereka seakan mampu menggetarkan hati Lu Leng dan Tam Goat Hua.

"Kakak Goat, kita tidak boleh berpencar!"

Tam Goat Hua tahu urusan ini sangat berbahaya. Meski pun jika mengandalkan kepandaian mereka, menghadapi beberapa ekor harimau memang tidak masalah, namun kini jumlah binatang menggiriskan itu puluhan ekor. Kalau bertindak ceroboh, akibatnya pasti dapat dibayangkan. Mereka berdua segera berdampingan, kemudian melangkah dengan hati-hati. Namun yang mengherankan, harimau-harimau itu cuma mengaum. Posisi mereka seperti semula, sama sekali tidak berubah apalagi bergerak. Hanya mata mereka yang seakan terus mengawasi Lu Leng dan Tam Goat Hua.

Tam Goat Hua dan Lu Leng tidak tahu apa sebabnya. Dengan hati-hati sekali mereka berdua terus berjalan mendekat. Tak lama mereka sudah sampai di tengah-tengah tanah kosong itu. Mendadak terdengar suara siulan yang tak sedap didengar dari tempat yang tidak begitu jauh. Tam Goat Hua dan Lu Leng mendongakkan kepala memandang ke tempat itu, tampak seekor monyet hitam yang amat besar memekik. Ternyata monyet hitam itulah yang mengeluarkan suara siulan.

"Hati-hati!" bisik Goat Hua yang tahu Lu Leng merasa keheranan melihat munculnya monyet itu.

Tam Goat Hua mengeluarkan sepasang rantai yang melekat di lengannya sehingga terdengar suara gemerincingan. Di saat bersamaan, mendadak terlihat dua ekor harimau menerkam ke arah Lu Leng! Tentu saja Lu Leng terkejut bukan kepalang, namun cepat-cepat dia melompat ke belakang sambil mengayunkan golok pusaka Su Yang To. Tampak golok pusaka Su Yang To berkelebat dan tahu-tahu satu dari dua harimau telah menggeram keras-keras.

Darah segar muncrat mengenai pakaian Lu Leng, ternyata golok Su Yang To telah menyambar kaki binatang buas itu. Sedangkan seekor lagi terus menerkam, Lu Leng menundukkan kepala sambil mengangkat golok pusaka Su Yang To ke atas. Seketika perut harimau itu tersobek. Kelihatannya gampang sekali Lu Leng mengatasi kedua harimau itu. Keduanya roboh dan tewas oleh senjata pusaka miliknya.

Setelah kedua harimau itu roboh binasa, yang lain langsung mengaum serentak. Tampak empat ekor harimau menerkam ke arah mereka. Lu Leng yang tidak sempat menengok ke arah Tam Goat Hua dapat mendengar suara gemerincingan rantai yang melekat di lengan gadis itu. Maka dia tahu Tam Goat Hua sudah mulai bertarung melawan harimau-harimau itu.

"Kakak Goat, kau tidak apa-apa?” tanyanya lantang, tetap tanpa menoleh karena harus berwaspada menghadapi harimau yang menerkamnya.

"Aku tidak apa-apa! Kau tidak usah mencemaskanku!" sahut Tam Goat Hua sambil sibuk mengerahkan kemampuannya mengatasi kedua harimau lawannya.

Ketika Lu Leng bertanya, dia pun berkelit menghindari terkaman harimau itu dan melancarkan sebuah pukulan. Pukulannya menghantam bagian kepala harimau yang menerkam, maka harimau itu terguling-guling, kemudian tewas tak bergerak lagi! Lu Leng segera memutar-mutarkan golok pusaka Su Yang To melindungi diri, lalu menengok ke arah Tam Goat Hua. Di sisi gadis itu terdapat tiga ekor harimau yang telah mati, sedangkan sepasang rantainya masih terus berputar-putar menghantam beberapa ekor harimau yang menerkamnya.

Lu Leng segera menarik nafas dalam-dalam, kemudian badannya mencelat ke atas. Ketika badannya mencelat ke atas, tampak dua ekor harimau menerkam ke arahnya. Tampaknya Lu Leng memang sengaja menarik perhatian harimau-harimau itu agar gampang membunuhnya. Salah seekor yang menerkam duluan sudah terkena tendangan Lu Leng, tepat mengena kepalanya. Harimau itu terpental dengan kepala pecah dan roboh, nyawanya pun lepas seketika. Namun terkaman harimau kedua justru membuat Lu Leng sempat kelabakan. Buru-buru ia menarik nafas dalam-dalam, dan mendadak badannya melambung ke atas. Beberapa kali dia berjungkir balik sambil melancarkan sebuah pukulan ke arah kepala harimau itu.

“Plaak!” pukulan yang dilancarkan Lu Leng menghantam kepala harimau hingga makhluk menggiriskan itu ambruk seketika dengan kepala pecah.

Melihat lawannya tak berkutik, Lu Leng merasa lega. Namun perasaan lega itu hanya sekejap, karena ketika dia melihat ke arah bawah hatinya langsung terkejut. Ternyata di bawah terdapat belasan ekor harimau sedang menunggunya dengan mulut terbuka Iebar-lebar. Kalau tubuhnya merosot ke bawah, pasti belasan harimau itu akan mencabik-cabiknya. Setelah menyaksikan itu, Lu Leng segera menarik nafas untuk menghimpun hawa murni, sementara tubuhnya sudah merosot terus ke bawah.

Begitu dekat dengan kawanan binatang buas itu, tiba-tiba kaki kanan Lu Leng menginjak punggung salah satu harimau. Secepat kilat dia mengerahkan ginkang-nya, maka dengan bertumpu pada kaki kanan yang menginjak punggung harimau itu tubuhnya mencelat ke atas. Beberapa kali tubuhnya melakukan salto, berjungkir balik di udara, kemudian meluncur cepat dan mendarat dengan ringan di tempat yang cukup jauh dari kawanan harimau itu.

Saat itulah Lu Leng memperoleh kesempatan mencabut senjatanya. Maka ketika seekor harimau mendadak menerjang ke arahnya, Lu Leng langsung melompat menaiki punggungnya dengan kaki menjepit kuat. Maka harimau-harimau yang seperti sudah haus darah itu tiba-tiba berlompatan memburunya. Raungan dan geraman keras terdengar semakin menggiriskan.

Lu Leng tanpa membuang-buang waktu lagi langsung membabatkan goloknya, seketika itu juga erangan keras terdengar seperti bersahutan. Darah muncrat membanjiri tanah di sekitar tempat pertarungan aneh itu. Beberapa harimau tampak bergelimpangan dengan tubuh tak utuh lagi, berlumuran darah dan tewas! Merasa girang akan keberhasilannya merobohkan beberapa lawan sekaligus, Lu Leng berseru,

"Kakak Goat, cepat naik ke punggung salah seekor harimau!"

Tam Goat Hua saat itu masih bertarung dengan harimau-harimau yang menerkam ke arahnya. Ketika Lu Leng berseru, gadis itu menoleh melihat Lu Leng duduk di atas punggung harimau sambil membabatkan goloknya ke arah harimau-harimau lain. Melihat itu Tam Goat Hua segera meloncat ke arah punggung harimau yang menerkam ke arahnya. Gadis itu berhasil duduk di atas punggung harimau itu, lalu mengayunkan sepasang rantainya ke arah harimau-harimau lain, maka beberapa ekor harimau pun terhantam rantai miliknya, bergelimpangan jatuh dan tewas.

Ketika hampir mendekati Lu Leng, mendadak harimau yang dinaikinya itu menjatuhkan diri berguling-guling di tanah. Perubahan tersebut amat mengejutkan Tam Goat Hua. Dia langsung meloncat turun. Namun baru saja kedua kaki gadis itu mendarat di tanah tiba-tiba pula dua ekor harimau langsung menerkam. Melihat hal itu Tam Goat Hua cepat mengayunkan sepasang rantainya.

"Praak! Praak!” segulung rantai itu menghantam kepala dua ekor harimau. Darah pun mengalir. Kedua harimau yang terhantam rantai ambruk dan tewas seketika!

Akan tetapi saat bersamaan tampak seekor harimau menerkam ke arahnya. Tam Goat Hua kembali langsung mengayunkan rantainya sambil sedikit mendoyongkan tubuhnya.

“Wutt! Praak!” kepala harimau itu pecah.

Namun karena tadi tempatnya cukup tinggi, harimau itu roboh menindihi Tam Goat Hua. Tentu saja hal itu membuatnya kelabakan, sebab ketika dia hendak menggeser badannya, seekor harimau sudah mendekatinya sambil membuka mulutnya lebar-Iebar. Tam Goat Hua sempat terkejut, namun cepat-cepat dikerahkan ilmu peringan tubuhnya untuk melenting ke atas dengan mengandalkan kedua telapak tangannya menekan ke tanah. Seketika tubuhnya mencelat ke atas sehingga terhindar dari serangan harimau itu.

Sambil mencelat ke atas Tam Goat Hua mengayunkan rantai besinya menghantam kepala harimau itu. Harimau besar itu sempoyongan, lalu roboh dan tewas dengan kepala remuk. Semua kejadian itu tak lepas dari pandangan mata Lu Leng. Begitu Tam Goat Hua lolos dari bahaya, pemuda itu segera melesat menghampiri sambil mengayunkan golok pusaka Su Yang To, melindungi dirinya sendiri dan Tam Goat Hua.

"Kakak Goat, tadi aku kaget setengah mati!" ujar Lu Leng sambil terus sibuk mengawasi harimau-harimau itu.

"Mari kita maju bersama ke depan!" ajak Tam Goat Hua.

Tanpa buang-buang waktu, Lu Leng mengayun dan membabatkan golok Su Yang To, sementara Tam Goat Hua pun terus mengibas-ngibaskan rantainya. Keduanya bergerak serentak ke depan. Puluhan ekor harimau itu tinggal separuh jumlahnya, Mereka berdua terus menghantam dan bergerak ke luar dari kepungan. Meski pun harus bekerja keras dan hati-hati, kedua muda-mudi itu akhirnya berhasil menerjang ke luar dari kepungan harimau-harimau itu.

Mereka berlari dan terus berlari. Sampai di sebuah puncak kecil hampir tidak terdengar lagi suara auman harimau. Mereka menarik nafas lega, keduanya berhenti. Saat itu mereka baru menyadari bahwa tubuh masing-masing telah terluka, tercabik dan tergores kuku-kuku harimau. Baik Lu Leng mau pun Tam Goat Hua tak terhindar dari luka-luka cakaran harimau. Di beberapa bagian tubuh mereka tampak mengalir darah. Bahkan wajah Tam Goat Hua yang cantik jelita itu ternoda oleh darah.

"Kita harus mencari sungai untuk mencuci muka!" ujar Lu Leng setelah keduanya sama terdiam sesaat.

Tam Goat Hua menggeleng kepala. "Tidak usah. Semalam kita mendengar suara harimau dan srigala. Kita baru saja melewati kepungan harimau, namun belum menghadapi gerombolan srigala!"

Lu Leng manggut-manggut. Benar juga apa yang dikhawatirkan Tam Goat Hua, pikirnya. Semalam mereka memang mendengar suara harimau dan lolongan srigala. Dia jadi tercenung. Matanya memandang ke depan, tampak sebuah jalan setapak yang menuju ke sebuah rimba. Melewati rimba itu jalan akan sampai di puncak Lian Hoa Hong. Kemudian pemuda itu menoleh ke arah Tam Goat Hua.

"Kakak Goat, kalau ada gerombolan srigala, tentu mereka bersembunyi di rimba itu!"

Tam Goat Hua menyahut, "Aku pikir tidak, sebab srigala tidak bisa memanjat pohon, kurasa tidak akan bersembunyi di dalam rimba itu!"

"Kalau begitu mari kita memasuki rimba itu!"

Tam Goat Hua tidak menolak, maka dia segera melesat mengikuti Lu Leng ke arah rimba itu. Tak seberapa lama mereka sudah memasuki rimba. Suasana terasa sunyi dan sepi. Dengan aman mereka melewati rimba. Kini keduanya harus melewati hamparan tanah sangat luas yang dipenuhi semak dan rerumputan yang tingginya melebihi tubuh manusia. Setelah melewati tanah datar itu tampak sebuah jalan kecil menuju ke puncak Lian Hoa Hong.

Di puncak Lian Hoa Hong terdapat empat buah rumah batu, dan di kanan-kiri rumah-rumah batu tampak belasan buah rumah gubuk yang bentuknya aneh. Atapnya amat tinggi, tidak selayaknya rumah tempat tinggal manusia. Tam Goat Hua dan Lu Leng memandang sejenak. Mereka tidak tahu apa gunanya rumah gubuk tinggi itu.

"Kemungkinan besar gerombolan srigala bersembunyi di rerumputan itu!" ujar Tam Goat Hua dengan suara rendah seraya menunjuk ke arah rerumputan itu.

Lu Leng berkata, "Kalau begitu, mari kita menerjang ke sana! Kita bisa menerjang ke luar dari kepungan harimau, lalu apa yang ditakutkan?"

"Kelihatannya gerombolan srigala lebih banyak dari harimau. Lagi-pula rerumputan itu amat tinggi dan lebat, aku pikir sulit bagi kita melewatinya!"

Lu Leng mengerutkan kening. "Lalu apa akal kita? Kita tetap harus menerjang ke sana untuk bisa sampai di puncak Lian Hoa Hong, tempat tinggal keempat orang buta itu!"

Ucapan Lu Leng membuat hati Tam Goat Hua semakin tak sabaran. Gadis itu memandang ke depan, rerumputan liar itu sebagian besar sudah kuning layu. Setelah memandang sejenak, Tam Goat Hua mencabut sebatang rumput, kemudian dilempar ke atas. Seketika rumput itu terhembus angin ke arah puncak Lian Hoa Hong. Menyaksikan itu giranglah hati Tam Goat Hua.

"Sudah ada akal, bakar rerumputan itu!" ujarnya kemudian sambil tersenyum.

Begitu mendengar apa yang dikatakan Tam Goat Hua, Lu Leng pun tersenyum gembira. Mereka pun segera membuat belasan obor dari rumput kering. Setelah dinyalakan langsung dilempar ke arah rerumputan. Sebelum rerumputan itu terbakar, Tam Goat Hua dan Lu Leng segera melesat pergi menuju ke puncak kecil. Dari atas puncak bukit itu mereka memandang ke bawah. Api menyala dari empat penjuru, dan karena saat itu angin berhembus kencang, api yang membakar begitu cepat menjalar dan berkobar hebat. Api dan kepulan asap tebal bergerak cepat tertiup angin ke arah puncak Lian Hoa Hong.

Lu Leng tertawa menyaksikan hal itu. Apalagi ketika dari jauh tiba-tiba terdengar pekikan-pekikan aneh mirip suara siulan. Beberapa ekor monyet berbulu hitam tampak berhamburan panik dan kebingungan, sementara itu juga dari kepulan asap tebal terlihat puluhan bahkan ratusan ekor srigala berlari ketakutan dari puncak itu. Mereka melolong menjerit-jerit. Namun mereka terjebak, terbakar kobaran api yang menyala hebat. Tak lama kemudian telah bergelimpangan srigala mati terbakar. Empat ekor monyet hitam masih memekik ketakutan, namun tak lama monyet-monyet itu berlarian ke arah puncak Lian Hoa Hong.

Tam Goat Hua dan Lu Leng menunggu sejenak untuk meyakinkan kalau gerombolan srigala tidak kembali ke sana. Ketika tidak melihat srigala-srigala itu lari ke puncak asalnya, barulah keduanya turun dari bukit tempatnya mengawasi keadaan. Sampai di tempat yang terbakar itu, Lu Leng menghampiri srigala yang mati, ternyata dia mengambil dua potong paha srigala.

"Kalau terus ke depan kita akan sampai di sungai kecil. Kita cuci sebentar, maka ini merupakan hidangan yang amat lezat!"

"Benar juga!" sahut Tam Goat Hua tertawa.

"Kakak Goat, dilihat dari keadaan tadi, srigala-srigala itu berjumlah ratusan lebih. Untung kau mendapatkan gagasan bagus ini. Kalau tidak, rasanya tak mungkin kita mampu menghadapi kalau mereka menyerbu kita."

Sejak tadi Lu Leng telah berpikir, kedatangan mereka ke puncak Lian Hoa Hong tentunya akan mengalami berbagai kejadian yang menegangkan. Bisa jadi akan membuat Tam Goat Hua melupakan peristiwa dulu yang menyedihkan. Namun Lu Leng tidak berani berharap Tam Goat Hua akan berbalik mencintainya. Asal Tam Goat Hua bisa melupakan kejadian yang menyedihkan itu, hati Lu Leng sudah merasa puas sekali.

Namun Tam Goat Hua ternyata tidak seperti yang diharapkan. Gadis itu mengucapkan kata-kata hambar, membuat Lu Leng jadi gelisah. Setelah Tam Goat Hua menyahut dengan hambar, Lu Leng tidak banyak bicara lagi. Dia langsung berjalan dengan kepala tertunduk. Tak seberapa lama mereka berdua sudah sampai di pinggir sebuah sungai kecil.

Walau keadaannya cukup dalam, namun tampak airnya amat jernih. Lu Leng mulai mencuci paha srigala ke air sungai. Tam Goat Hua ikut berjongkok untuk membasuh mukanya yang kotor dan ternoda darah. Lu Leng pun mencuci mukanya, setelah itu berdiri. Namun mendadak saja dia membalikkan badannya kembali dengan mata membelalak lebar. Dia terkejut bukan main karena kedua paha srigala tadi hilang!

"Kakak Goat, ada kejadian aneh!" serunya dengan mata jelalatan.

"Kejadian aneh apa?" sahut Tam Goat Hua balik bertanya.

Lu Leng menunjuk ke tanah tempat tadi dia menaruh paha srigala. "Kau lihat, kedua paha srigala entah hilang ke mana?"

Tam Goat Hua segera menoleh. Gadis itu pun terkejut. "Aneh! Apakah ada orang ke mari?"

Lu Leng mengerutkan kening. "Kurasa tidak! Kalau ada orang ke mari, kenapa hanya mencuri kedua paha srigala saja, tidak membokong kita?"

Ketika mereka berdua terheran-heran, mendadak terdengar suara mencurigakan di belakang seperti suara batu yang pecah. Keduanya langsung saja menoleh ke belakang, seketika itu mereka tersentak bukan main. Ternyata di belakang mereka terdapat dua ekor kepiting raksasa berwarna hitam mengkilap sebesar tong air! Yang benar-benar membuat Lu Leng dan Tam Goat Hua merasa tak habis pikir, satu dari dua kepiting itu mampu menghancurkan sebuah batu dengan japitnya. Betapa kuat tenaga yang dimiliki kepiting itu?!

"Kedua paha srigala pasti sudah disantap oleh kedua ekor kepiting raksasa itu!"

Tam Goat Hua segera menarik Lu Leng. "Cepat meloncat ke seberang!"

Lu Leng dan Tam Goat Hua meloncat ke seberang. Sampai di seberang sungai barulah mereka berlega hati menyaksikan kedua ekor kepiting raksasa itu mulai merayap pergi.

"Kakak Goat, kalau kedua kepiting raksasa itu menyerang kita, sulit sekali bagi kita melawan!"

Tam Goat Hua mengernyitkan kening, sepertinya dia memikirkan kejadian aneh ini. "Heran, dua kepiting raksasa muncul di sini, ini pasti punya hubungan dengan keempat orang buta itu. Tapi... kenapa tidak menyerang kita?" gumam gadis itu.

Lu Leng terdiam. Dalam hati ia pun merasa heran dan tak mengerti. Dua kepiting besar seperti itu tahu-tahu muncul dan mencuri paha srigala miliknya. Namun mendadak saja terdengar suara siulan aneh berasal dari tempat yang jauh. Kedua ekor kepiting raksasa yang sudah merayap pergi tiba-tiba berhenti, kemudian dengan cepat membalik dan kembali merayap ke arah sungai, sepertinya kedua kepiting itu hendak menyeberang.

Tentu saja Tam Goat Hua dan Lu Leng tersentak bukan main. Dugaan Tam Goat Hua ternyata benar. Kedua kepiting raksasa sudah turun ke sungai kecil. Tak seberapa lama sudah muncul di pinggir seberang, tempat Tam Goat Hua dan Lu Leng berada. Namun anehnya binatang raksasa itu ternyata hanya berdiam di pinggir sungai. Sementara Tam Goat Hua dan Lu Leng sudah siap waspada, kalau-kalau kedua kepiting itu menyerang mereka.

Begitu melihat kedua ekor kepiting raksasa diam di pinggir sungai, mereka berdua tercengang lagi. Namun mendadak pula terdengar suara pekikan monyet hitam. Tampak kedua kepiting raksasa masih tetap diam. Tam Goat Hua dan Lu Leng mulai mundur. Tiba-tiba kedua kepiting raksasa itu merayap cepat ke arah mereka. Lu Leng segera mengeluarkan golok pusaka Su Yang To, siap membacok kedua kepiting raksasa itu.

"Tunggu!" teriak Tam Goat Hua seraya memegang lengan Lu Leng.

Tentu saja Lu Leng menjadi heran dengan apa yang dilakukan gadis itu. "Kakak Goat...."

Mendadak kedua kepiting raksasa berhenti, sepasang japit mereka diangkat ke atas. Lu Leng terheran-heran, mengapa kedua kepiting raksasa itu berhenti lagi dan tidak menyerang mereka?

Tam Goat Hua berkata dengan suara rendah, "Apakah kau tidak melihat? Kedua kepiting itu tidak berani mendekati kita. Walau monyet hitam terus memekik, kedua binatang ini justru kelihatannya pantang terhadap kita!"

Lu Leng terpaksa diam. Sudah beberapa kali Tam Goat Hua memperlihatkan ketajaman pengamatannya. Lu Leng tak bisa membantah, hanya dia tetap merasa heran dalam hati. Kedua kepiting raksasa agaknya sudah berusia ratusan tahun. Kulitnya keras bagaikan batu, sedangkan sepasang japitnya, tadi disaksikan sendiri oleh Lu Leng dan Tam Goat Hua, mampu meremukkan batu! Betapa kuatnya kedua kepiting raksasa itu. Yang membuat hati Lu Leng bertanya-tanya, mengapa mereka kelihatan agak takut pada Tam Goat Hua dan Lu Leng?

Tam Goat Hua dan Lu Leng tetap mundur. Maka kedua kepiting itu pun bergerak maju. Apabila mereka berdua berhenti, kedua kepiting raksasa pun tidak berani merayap maju, tapi ikut berhenti. Akhirnya Tam Goat Hua dan Lu Leng sampai di sebuah pelataran batu yang berbentuk bundar. Kedua kepiting raksasa itu pun sampai tak jauh dari Lu Leng dan Tam Goat Hua.

Hari sudah mulai senja. Cahaya matahari yang kemerah-merahan membuat pemandangan jadi amat indah menakjubkan. Terdengar suara air terjun yang memekakkan telinga, sehingga kalau berbicara sulit untuk dapat didengar lawan bicaranya. Kini barulah disadari oleh Lu Leng akan kehebatan keempat orang buta yang telah merebut Panah Bulu Api itu. Mereka buta, tetapi memiliki pendengaran yang sangat tajam. Keempatnya tentu sudah lama tinggal di tempat ini. Secara tidak langsung telinga mereka terlatih untuk dapat membedakan suara dalam tempat bising ini.

Tam Goat Hua dan Lu Leng berada di atas pelataran batu. Mereka berdiri berhadapan dengan kedua kepiting raksasa, sama sekali keduanya tidak berani mundur. Namun dalam hati masing-masing sudah mengambil keputusan, begitu tiba di depan rumah batu, mereka berdua akan menyerang ke dalam secara mendadak agar keempat orang buta itu tidak punya kesempatan mengelak. Tidak lama kemudian Lu Leng dan Tam Goat Hua mundur lagi, kira-kira tujuh delapan depa. Mereka merasa ada hawa panas di belakang.

Keduanya merasa terkejut. Dengan cepat mereka langsung membalikkan tubuh. Mata mereka membeliak ketika di depan tampak sosok bayang hitam. Belum juga dapat melihat jelas, tahu-tahu tubuh mereka sudah dipeluk erat-erat. Betapa terkejutnya Tam Goat Hua dan Lu Leng karena mendadak saja tubuh mereka telah terjepit rangkulan yang sangat kuat. Keduanya meronta sekuat tenaga, tetapi tetap tak mampu melepaskan diri. Cepat-cepat mereka mengerahkan hawa murni untuk melawan, dan baru saat itulah terlihat jelas makhluk yang merangkul mereka hingga tak mampu bergerak. Ternyata dua ekor orang hutan berbulu hitam dan sangat besar. Sekujur badan orang hutan itu menyebarkan bau amis.

Tam Goat Hua dan Lu Leng berusaha melepaskan diri, tapi pelukan orang hutan itu malah bertambah kuat. Akhirnya keduanya putus asa, tak tahu harus bagaimana caranya melepaskan diri. Mendadak kedua orang hutan itu mengangkat badan mereka dan dibawa menuju ke arah jurang. Tampaknya kedua orang hutan itu ingin melempar mereka berdua ke dalam jurang. Tam Goat Hua dan Lu Leng berusaha tenang, dan mendadak secara serentak keduanya berteriak.

"Tendang!"

Secepat itu pula Tam Goat Hua dan Lu Leng melancarkan tendangan ke perut orang hutan dengan sekuat tenaga. Tendangan itu membuat orang hutan sama terpekik kesakitan. Sebuah tendangan dahsyat yang sangat kuat. Kepala harimau saja hancur oleh tendangan mereka. Namun kedua orang hutan itu memang bukan makhluk sembarangan. Kecuali bulu-bulunya amat lebat, kulitnya pun tebal, sehingga mendapat tendangan keras dari Lu Leng dan Tam Goat Hua keduanya tampak hanya sempoyongan beberapa langkah saja.

Mendapati hal itu, Lu Leng semakin cemas dan khawatir. Dia berseru ke arah Tam Goat Hua, "Kakak Goat, terus tendang!"

Sambil berteriak Lu Leng terus menendang perut orang hutan yang mengangkat badannya. Berulang-ulang dia terus melancarkan tendangan dengan mengerahkan tenaga dalamnya. Sementara orang hutan itu, meski pun dengan sempoyongan menahan tendangan keras Lu Leng, terus melangkah menuju ke tepi jurang. Ternyata tidak sia-sia apa yang dilakukan Lu Leng. Belum juga sampai di tepi jurang, orang hutan itu terpekik kesakitan, tubuhnya terkulai jatuh. Di saat bersamaan, orang hutan yang mengangkat badan Tam Goat Hua pun sudah jatuh. Lemas dan kesakitan oleh tendangan bertubi-tubi yang dilancarkan gadis itu.

Meski pun menahan rasa sakit dan sudah terkulai, kedua binatang mirip manusia itu masih juga merangkul erat-erat tubuh Lu Leng dan Tam Goat Hua. Lu Leng meronta sekuat tenaga, namun tetap tidak bisa melepaskan diri. Sementara si orang hutan sendiri tidak mampu bangun, hanya berguling-gulingan di tanah. Beberapa kali Lu Leng tertindih tubuh orang hutan itu, nyaris membuatnya tak bisa bernafas. Makhluk menggiriskan itu terus berguling hingga mendekati pinggir jurang, dan saat itulah tiba-tiba muncul gagasan dalam benak Lu Leng.

Ketika badannya menghadap tanah, cepat-cepat Lu Leng membuka mulut menggigit sebuah batu kecil, kemudian dikerahkan hawa murninya untuk menyemburkan batu di mulutnya ke arah tenggorokan si orang hutan.

“Slakk!” batu itu menembus tenggorokan orang hutan.

Maka sambil menjerit-jerit kesakitan orang hutan itu melepaskan Lu Leng. Begitu terlepas Lu Leng langsung meloncat menjauhinya. Dia segera menoleh, melihat Tam Goat Hua dan orang hutan yang memeluknya sudah berada di pinggir jurang. Kalau sepasang kaki gadis itu tidak menggaet sebuah batu, dia pasti sudah jatuh ke dalam jurang bersama orang hutan yang mendekapnya. Lu Leng melesat ke sana sambil mengayunkan golok pusaka Su Yang To ke arah kepala orang hutan itu.

“Serrt!” seketika leher orang hutan itu putus tertebas golok pusaka milik Lu Leng. Kepalanya entah terlontar ke mana, sementara tubuhnya yang besar dan berbulu hitam itu berkelojotan berlumur darah.

Sementara itu pula Tam Goat Hua sudah lepas dari rangkulannya.

"Adik Leng, bagaimana kau bisa menghadapi orang hutan itu?" tanya Tam Goat Hua begitu terlepas dari rangkulan tangan orang hutan.

Sejak mereka berdua meninggalkan kuil tua, baru pertama kali Tam Goat Hua memanggilnya ‘adik Leng’, tentu saja membuat Lu Leng kaget bercampur gembira.

"Akalku agak licik...," sahut Lu Leng sambil tersenyum.

Lu Leng memberitahukan apa yang telah dilakukannya terhadap orang hutan itu, lalu dia menunjuk mulut si orang hutan. “Tuh, kan! Bibirnya sudah pecah!” ujarnya sambil tertawa.

Tiba-tiba Tam Goat Hua menjulurkan tangannya ingin membersihkan noda darah di bibir Lu Leng. Namun mendadak pula tangan itu terhenti sebelum menyentuh bibir Lu Leng. Lu Leng tahu, gadis itu masih menaruh perhatian padanya. Dalam hati dia merasa gembira, namun ketika tangan Tam Goat Hua berhenti, hatinya pun jadi dingin. Tam Goat Hua menghela nafas panjang, kemudian membalikkan badannya.

"Kakak Goat...!" panggil Lu Leng yang tak memahami sikap gadis itu.

Belum juga usai ucapan Lu Leng, Tam Goat Hua sudah membalikkan badannya dengan mata menatap tajam. "Jangan banyak bicara lagi!"

Lu Leng sebenarnya ingin mengatakan sesuatu lagi kepada Tam Goat Hua, namun mendadak saja dia tersentak kaget. Telinganya dapat mendengar ada suara tawa dingin di belakang. Suara air terjun bergemuruh, namun suara tawa dingin itu sepertinya menerobos ke dalam telinga mereka berdua. Ini menandakan kalau orang yang mengeluarkan suara tawa dingin itu memiliki lweekang yang sangat tinggi. Tam Goat Hua dan Lu Leng segera membalikkan badan.

Tampaklah empat orang buta berdiri di depan rumah batu. Di sisi mereka masing-masing berdiri pula orang hutan berbulu hitam mengkilap, memegang sebatang toya besi yang bergerigi-gerigi.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar