Harpa Iblis Jari Sakti Chapter 29

Kini hanya Lu Leng seorang diri yang mengetahui rahasia besar ini. Oleh karena itu Lu Leng pun mulai mempertimbangkan. Dia berpikir keras bagaimana cara untuk mengalahkan tokoh bengis ini.

"Mereka telah pergi, aku tidak takut! Aku akan ke tempat mereka, apakah mereka dapat meloloskan diri?" ujar Liok Ci Khim Mo pada anaknya sendiri.

Tak seberapa lama kemudian, Lu Leng sudah melihat mereka. Ternyata mereka berdua berputar berjalan di depan Lu Leng. Seketika perasaan Lu Leng jadi tegang dan penuh emosi. Kalau mengikuti rencana semula, dia akan menyerang Liok Ci Khim Mo dari belakang, saat itu merupakan kesempatan baik baginya. Akan tetapi kepandaian Liok Ci Khim Mo cukup lumayan. Apabila serangannya gagal, berarti dirinya yang akan binasa. Tentang rahasia yang diketahuinya itu, juga akan ikut terkubur selamanya.

Kalau tadi Lu Leng tidak mendengar tentang rahasia itu, saat ini dia pasti sudah menyerang Liok Ci Khim Mo dengan golok pusaka di tangannya. Padahal kalau sampai gagal, ini sangat menyangkut nasib kehidupan rimba persilatan. Oleh karena itu, walau Liok Ci Khim Mo sudah berada di depannya, dia tetap harus mempertimbangkan secara hati-hati. Tidak boleh bertindak gegabah tanpa pertimbangan matang.

Di saat dia sedang mempertimbangkan itu, Liok Ci Khim Mo dan Oey Sim Tit sudah semakin jauh. Lu Leng baru tersadar bahwa dirinya saat ini sangat berperan sebagai pemegang kunci atas hancur dan damainya kehidupan rimba persilatan. Dialah seorang pemegang rahasia atas kedua tokoh anak dan bapak ini. Kebimbangan dan rasa sesal menyergap hatinya. Saat ini dia tak tahu, apakah dirinya akan menjadi pencipta perdamaian atau mala-petaka bagi rimba persilatan.

Lama sekali pemuda itu tertegun di tempat persembunyiannya. sementara itu Liok Ci Khim Mo dan Oey Sim Tit sudah tidak kelihatan. Lu Leng berpikir, “Sui Cing Siansu telah meninggalkan kuilnya pergi ke Thian Tiok. Yang lain pasti sudah menghindar entah ke mana. Maka Liok Ci pasti tidak dapat menemukan mereka, kecuali bertemu di tengah jalan.”

Lu Leng tidak berani lama-lama di situ. Dia mengambil keputusan pergi ke gunung Tang Ku Sat mencari Panah Bulu Api, setelah itu baru mengambil keputusan lagi. Maka dia segera melesat pergi meninggalkan gunung Go Bi San. Ketika sampai di sebuah puncak, dia melihat satu stel pakaian merah tergeletak di atas sebuah batu.

Lu Leng tercengang. Dia kenal benar pakaian itu, pemiliknya tak lain Tam Goat Hua. Di saat gadis itu pergi mendadak, Lu Leng memiliki dua dugaan. Pertama gadis itu akan membunuh diri terjun ke jurang, kedua dia akan hidup menyendiri di suatu tempat sepi, melewati hari-hari yang penuh penderitaan. Dengan kedua kemungkinan itu, sudah pasti Lu Leng tidak akan berjumpa dengannya lagi. Karena itu hati Lu Leng semakin berduka.

"Kakak Goat, kau... kau berada di mana?!" Lu Leng berteriak sejadi-jadinya, namun tidak juga terdengar suara sahutan sama sekali.

Lu Leng mendekat dan mengambil pakaian tersebut. Ternyata di batu itu terdapat sebaris tulisan yang diukir dengan tangan. Tertegun Lu Leng karena Tam Goat Hua tidak memiliki lweekang setinggi itu.

Anak Leng,
Pakaian merah milik Goat Hua ini kutemukan di sudut batu. Dia mengalami kejadian yang amat mendukakan hatinya, sedangkan hatiku sudah beku. Aku tahu kau pasti melewati tempat ini, maka kutinggalkan tulisan di sini. Baik-baiklah kau menjaga diri.
Pek

Ternyata Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek yang meninggalkan tulisan tersebut, dan khusus ditujukan kepada Lu Leng. Lu Leng tertegun setelah membacanya. Air mata mengalir membasahi pipi. Pakaian merah Tam Goat Hua berada di situ, tentu dirinya sudah celaka, pikirnya semakin tidak karuan. Lu Leng menyimpan pakaian merah itu ke dalam bajunya.

Sesungguhnya siapa pun tidak bersalah dalam hal itu. Tam Goat Hua dan Tong Hong Pek terdapat hubungan cinta kasih yang amat erat. Lu Leng mencintai Tam Goat Hua, namun dia sudah setulus hati memberi selamat kepada mereka berdua. Dia rela hidup menderita demi kebahagiaan Tam Goat Hua dan Tong Hong Pek! Namun petaka terjadi di luar dugaan. Lu Leng dan Tam Goat Hua telah terpengaruh oleh Pat Liong Thian Im, sehingga menyebabkan mereka berdua melakukan perbuatan yang tidak senonoh dalam sergapan nafsu iblis pengaruh bunyi alunan harpa sakti itu. Kini pakaian merah Tam Goat Hua berada di situ, pertanda kalau gadis itu sudah membunuh diri terjun ke jurang.

Berpikir sampai di sini, dendamnya terhadap Liok Ci Khim Mo bertambah dalam, bergejolak mendidih dalam jiwanya. "Kakak Goat, aku tahu kau tidak membenciku. Kau benci Liok Ci Khim Mo. Aku akan menuntut balas padanya!" geram Lu Leng sambil mendongakkan kepala ke langit, seakan bersumpah setulus hati.

Dia meninggalkan tempat itu dan langsung menuju ke gunung Tang Ku Sat. Gunung tersebut terletak di tengah-tengah wilayah Cing Hai dan Tibet. Puncaknya sambung-menyambung ribuan mil, dan terselimuti salju yang amat sulit didaki. Lu Leng sama sekali tidak tahu, di puncak mana Liok Ci Khim Mo menemukan Liong Thian Im. Maka kalau ingin mencari ketujuh batang panah Bulu Api tersebut, sulitnya sama seperti mencari jarum di dasar laut.

Akan tetapi Lu Leng sama sekali tidak memikirkan itu. Dia terus menuju ke gunung Tang Ku Sat. Kalau harus membutuhkan waktu sepuluh tahun, dia tetap akan mencari ketujuh batang Panah Bulu Api itu! Oleh karena itu Lu Leng terus melakukan perjalanan siang dan malam menuju ke gunung Tang Ku Sat. Dalam perjalanan dia sama sekali tidak memperlihatkan dirinya dalam kaum rimba persilatan, maka tidak mengalami suatu kejadian yang di luar dugaan.

Sebulan kemudian dia sudah berada di sekitar gunung tersebut. Di wilayah itu penduduk semakin jarang, juga tidak tampak tanah datar. Yang ada hanya tebing yang curam. Semakin mendekati gunung Tang Ku Sat, Lu Leng semakin merasa sulit mencari tujuh batang Panah Bulu Api. Namun dia tetap melakukan perjalanan.

Hari itu dia memasuki sebuah lembah. Tampak puncak gunung menjulang ke langit. Dia berhenti sambil berpikir, rasanya tak ada lagi tempat yang harus dituju. Namun akhirnya dia melangkah, berusaha mencari dua puncak gunung yang saling berhadapan seperti yang dikatakan Liok Ci Khim Mo. Dua tokoh yang saling bertarung itu berdiri di dua puncak yang saling berhadapan.

Kalau dia dapat mencari dua puncak yang berhadapan itu, bukankah sudah punya harapan? Berpikir sampai di situ, timbullah harapan dalam hati Lu Leng. Maka dia mulai memperhatikan semua puncak gunung yang berada di situ. Akan tetapi dia tidak melihat ada sepasang puncak gunung yang saling berhadapan.

Hampir tiga bulan Lu Leng berputar-putar di pegunungan Tang Ku Sat. Tiga bulan kemudian datanglah musim salju. Di pegunungan itu hanya terdapat salju dan hembusan angin dingin. Dalam tiga bulan itu Lu Leng hanya makan buah-buahan yang didapat di sana. Sungguh diluar dugaan, buah-buahan itu amat berkhasiat sehingga membuat lweekang Lu Leng bertambah maju pesat. Bahkan luka di dadanya telah sembuh.

Akan tetapi luka di dalam hatinya tidak bisa sembuh, masih terasa sakit dan pedih. Setiap kali dia berhenti beristirahat, bayangan Tam Goat Hua muncul di matanya. Kemudian sepertinya mendengar suara seruan gadis itu.

"Jangan sentuh aku!" itu adalah suara seruan Tam Goat Hua ketika Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek memegang bahunya. Saat itu gadis tersebut kembali ke ruang besar.

Terkenang semua itu di benak Lu Leng yang nelangsa. Teringat akan hal itu, air mata Lu Leng meleleh. Dalam waktu tiga bulan, entah sudah berapa kali mengucurkan air mata jika teringat pada Tam Goat Hua. Dalam tiga bulan pula, dia tidak memperoleh hasil apa pun. Namun Lu Leng tidak putus asa, tetap mencari dari puncak gunung ke puncak gunung lain.

Hari itu hawa udara amat buruk, angin berhembus kencang menerbangkan bunga-bunga salju. Segala apa pun yang berada di jarak beberapa depa, sama sekali tidak kelihatan. Lu Leng mendaki puncak gunung dengan cara memegang batu yang ada di tebing. Walau Lu Leng memiliki lweekang tinggi, namun beberapa kali dia nyaris jatuh terhembus oleh angin kencang yang berhembus dahsyat.

Sampai di tengah gunung, Lu Leng terpaksa berhenti. KebetuIan dia berada di atas sebuah batu datar. Ternyata batu itu menonjol ke luar dari punggung gunung. Batu besar itu dipenuhi salju sehingga amat licin. Perlahan-lahan Lu Leng menggeserkan badannya ke depan, maksudnya agar badannya menempel pada dinding gunung. Sesampainya di dinding gunung, dia bersandar sambil memandang ke sekelilingnya. Tidak tampak apa pun, kecuali bunga-bunga salju yang berterbangan.

Lu Leng menghela nafas panjang. Dia tidak tahu kapan badai salju akan berhenti. Kalau badai salju berlangsung tujuh delapan hari, sedangkan dia terkurung di situ, kemungkinan besar dia tidak akan tahan sebab angin terus menerus berhembus kencang dan sangat dingin. Kalau tiada tempat berteduh, dia betul-betul tidak dapat bertahan. Setelah berpikir sejenak, dia mulai meraba-raba dinding gunung.

“Mudah-mudahan ada goa agar dapat berteduh,” pikirnya berharap-harap cemas.

Benar saja, tak seberapa lama dia melihat sebuah goa kecil. Dia memasuki goa tersebut. Begitu masuk ke dalam goa kecil itu, suara hembusan angin yang menderu-deru tidak begitu kedengaran lagi, bahkan ia terhindar dari bunga-bunga salju. Lu Leng mulai menghimpun hawa murni, membuat sekujur badannya mulai terasa hangat dan nyaman. Ketika dia baru mau memejamkan mata untuk tidur sejenak, mendadak terdengar suara helaan nafas di atas kepalanya.

Lu Leng terkejut bukan kepalang. Selama tiga bulan dia berada di gunung Tang Ku Sat tak pernah sekali pun bertemu orang. Kini di dalam goa yang amat kecil itu telinganya mendengar suara helaan nafas. Semula dia mengira telinganya salah dengar, mungkin itu cuma hembusan angin. Akan tetapi tak lama kemudian terdengar lagi suara helaan nafas itu. Tidak salah! Itu memang suara helaan nafas manusia, sebab Lu Leng mendengar dengan jelas sekali.

Perlahan-lahan dia membalikkan badan, lalu mendongakkan kepala memandang ke atas. Namun suasana begitu gelap dan tak dapat melihat apa pun. Walau mulut goa itu kecil namun di dalamnya amat besar. Lu Leng tertegun sambil menahan nafas, kemudian merangkak ke dalam. Setelah berdiri, dia mulai mendengar lagi dengan penuh perhatian. Terdengar lagi suara helaan nafas, namun tiada seorang pun. Kemudian terdengar suara batuk pula.

Lu Leng yakin di dalam goa itu terdapat orang lain. Kalau goa tersebut ada penghuninya, sudah pasti penghuninya adalah kaum rimba persilatan yang berkepandaian tinggi. “Tidak mungkin orang biasa menghuni goa di tempat yang terasing ini,” begitu pikir Lu Leng.

Lu Leng sama sekali tidak berani bersuara. Perlahan-lahan ia berjalan ke dalam. Dia bisa menduga siapa kira-kira menusia yang menghuni goa di tebing gunung bersalju ini. Mendadak terdengar suara seseorang. Lu Leng langsung memasang telinga dengan penuh perhatian.

"Aaah! Aku bilang lebih baik kita kabur ke seberang laut saja, melewati hari-hari yang tenang. Tapi kau malah mau membalas dendam. Kini kita terkurung di sini. Kalau kurang lebih setengah bulan lamanya, kita pasti mati kelaparan!"

Lu Leng tahu itu suara wanita. Dia merasa kenal akan suara itu, namun lupa di mana dia pernah mendengarnya. Kemudian terdengar lagi suara lelaki yang parau.

"Kakak, kini penjahat Liok Ci itu malang-melintang dalam rimba persilatan. Biar kita menyingkir ke mana, dia pasti tidak akan melepaskan kita! Dulu kita yang menemukan Pat Liong Thian Im, kini hanya kita berdua yang tahu bagaimana melawan Pat Liong Thian Im itu. Bagaimana mungkin dia akan melepaskan kita?"

Wanita itu menyahut, "Memang tidak salah. Tapi ketika kita datang ke sini, sudah dengar penjahat Liok Ci itu telah berkumpul kembali dengan putranya. Busur Api berada di tangan putranya!"

Lelaki itu tertawa dingin. "Walau Busur Api berada di tangan putranya, tidak persoalan bagi kita. Asal kita berhasil mencari Panah Bulu Api, lalu kita memanah mati penjahat Liok Ci, bukankah kita yang akan malang-melintang dalam rimba persilatan? Nah, walau harus menderita sekarang, tapi tidak jadi masalah!"

Mendengar sampai di situ, tersentak hati Lu Leng, Kini dia baru ingat siapa yang berbicara itu. Tidak lain adalah wanita buruk rupa dan Chou Kim Kong-Huang Yen, dua orang dari Coan Tiong Liok Chou!. Begitu tahu mereka berdua, giranglah hati Lu Leng, sebab Liok Ci Khim Mo adalah Chou Ling Koan-Oey Tung, salah seorang Coan Tiong Liok Chou! Kini kedua orang itu berada di dalam goa, tentunya Lu Leng merasa gembira, sebab mereka berdua pasti tahu di mana kedua puncak yang berhadapan itu.

Perlahan-lahan Lu Leng berjalan ke dalam. Ketika menikung, tampak ada sedikit cahaya yang berasal dari mulut goa. Terlihat ada seorang wanita tinggi gemuk berwajah buruk menakutkan dan seorang lelaki berkaki satu. Mereka berdua duduk di mulut goa sambil memandang ke luar. Lu Leng bersandar pada dinding goa. Gerak-geriknya sama sekali tidak mengeluarkan suara, maka kedua orang itu tidak
tahu akan keberadaannya di situ.

Terdengar suara wanita buruk rupa, "Tidak salah katamu? Dulu kita terus mencari tapi tidak berhasil menemukan Panah Bulu Api itu. Kini kita pergi mencari lagi, bukankah akan sia-sia juga?"

Huang Yen menghela nafas panjang, "Aaah! Biar bagaimana pun kita harus terus mencari. Kalau tidak berhasil menemukan Panah Bulu Api, berarti penjahat Liok Ci masih berumur panjang!" Huang Yen berhenti sejenak, setelah itu melanjutkan, "Berdasarkan tulisan itu, ketujuh batang Panah Bulu Api memang telah diluncurkan. Mungkin menembus ke dalam batu. Kalau kita cari dengan teliti, walau harus membuang waktu satu dua tahun, pasti akan berhasil menemukannya."

Wanita buruk rupa tertawa. "Hehehe! Tidak berhasil menemukan tujuh batang, satu batang pun sudah lumayan!"

Mereka berdua bercakap-cakap sejenak, lalu tidur. Lu Leng tahu, apabila badai salju tidak berhenti, mereka berdua tidak akan pergi. Karena itu Lu Leng mundur dari situ, kemudian dia juga tertidur. Entah berapa lama kemudian, barulah dia terjaga. Mendapati suasana sepi Lu Leng segera bangun sambil memandang ke depan. Ternyata badai salju telah berhenti, wanita buruk rupa dan lelaki berkaki satu sudah tidak kelihatan lagi di mulut goa.

Dia segera melesat ke sana. Dia melihat jejak kaki di permukaan salju. Lu Leng girang. Dia tahu mereka berdua belum lama pergi, maka dia mengikuti jejak-jejak itu. Dan tak lama dia sudah turun dari puncak gunung. Jejak-jejak kaki itu masih kelihatan, tampak pula lobang-lobang kecil, rupanya bekas tongkat penyanggah milik lelaki berkaki satu itu.

Akan tetapi, setelah turun dari puncak gunung, dia melihat ada jejak kaki lain. Jejak kaki itu tidak begitu dalam. Kalau Lu Leng tidak memperhatikan tentunya tidak akan tahu telah bertambah jumlah jejak kaki baru. Jejak kaki baru itu berjarak amat jauh, pertanda ginkang-nya lebih tinggi dari si wanita buruk rupa mau pun Huang Yen, lelaki berkaki satu itu. Lu Leng tertegun. Dia tahu bukan cuma dia seorang yang menguntit mereka berdua. Ternyata masih ada orang lain, entah siapa dan apakah orang ini melihat Lu Leng?

Karena itu Lu Leng tambah berhati-hati. Dia terus bergerak ke depan, tak lama kemudian terdengar suara mereka berdua. Lu Leng tidak merasa khawatir akan kedua orang itu. Yang membuatnya was-was justru orang yang satu itu. Begitu mendengar suara kedua orang itu, Lu Leng segera berhenti, dia bersembunyi di belakang sebuah batu besar.

Mendadak terdengar suara seruan wanita buruk rupa, "Siapa yang mengikuti kami di belakang?!"

Ketika mendengar seruan itu, Lu Leng bertambah yakin ada orang lain mengikuti mereka. Lu Leng berada agak jauh dari mereka. Berdasarkan kepandaian mereka, sudah pasti tidak akan mengetahui Lu Leng mengikuti mereka. Suara seruan itu tentunya ditujukan kepada orang yang satu itu.

Terdengar suara Chou Kim Kong-Huang Yen. "Kak, di tempat ini bagaimana mungkin ada orang menguntit kita? Jangan banyak bercuriga!"

Wanita buruk rupa mendengus dingin. "Hm! Urusan dalam rimba persilatan tak mudah diduga. Ketika kita turun dari puncak gunung itu, aku sudah merasa ada orang menguntit kita," sahutnya.

"Kalau begitu kita toleh saja ke belakang, pasti kelihatan orang itu," kata lelaki berkaki satu.

"Kita terus berjalan dulu!" sahut wanita buruk rupa.

Mereka berdua terus berjalan. Walau mereka sudah agak jauh, namun Lu Leng masih belum memunculkan diri. Dia bukan takut terlihat oleh kedua orang itu, melainkan ingin melihat siapa orang yang satu itu. Akan tetapi, cukup lama Lu Leng menunggu, tak terlihat siapa pun. Lu Leng khawatir akan membuang waktu sehingga kehilangan jejak kedua orang itu, maka segera mengikuti mereka.

Lu Leng terus mengikuti mereka hingga hari mulai gelap. Dari jauh dia melihat kedua orang itu berhenti di depan sebuah puncak gunung. Walau terus mengikuti mereka berdua, tapi Lu Leng pun memperhatikan jejak kaki yang lain. Jarak-jejak kaki itu semakin agak jauh. Mungkin orang itu pun sudah tahu bahwa dirinya diketahui oleh kedua orang yang di depan, maka dia lebih berhati-hati. Lu Leng mendongakkan kepala untuk memandang puncak gunung itu, dan seketika juga tersentak.

Ternyata puncak gunung itu tidak begitu tinggi, hanya kira-kira tiga atau empat mil di seberang sana. Di sana juga tampak sebuah puncak yang tingginya sama dengan puncak tersebut. Kedua puncak itu berhadapan. Kalau Lu Leng yang mencari sendiri, tentunya tidak akan memperhatikan kedua puncak itu. Wanita buruk rupa dan lelaki berkaki satu mulai mendaki, dan tak lama mereka sudah sampai di pinggang gunung itu.

Di saat bersamaan, Lu Leng melihat sosok bayangan melesat ke luar dari kaki gunung. Sungguh cepat gerakan orang itu, sehingga dalam sekejap dia sudah bersembunyi di belakang sebuah batu. Tak lama orang itu melesat ke luar lagi dari persembunyiannya, namun kira-kira empat lima depa kembali bersembunyi lagi. Gerakan orang itu memang sungguh cepat sekali. Lu Leng melihat dia melesat dua kali, tapi sama sekali tidak melihat jelas wajahnya.

Setelah melihat dia melesat ke puncak gunung itu, Lu Leng ikut melesat ke sana. Akan tetapi gerakan orang itu laksana kilat. Dia melewati kedua orang itu dan sampai duluan di puncak gunung tersebut. Lu Leng terus melesat ke atas dan tak lama sudah sampai di sana. Dia lalu bersembunyi di belakang sebuah batu sambil melongok ke luar, namun orang itu sudah tidak kelihatan. Yang tampak hanya wanita buruk dan lelaki berkaki satu, keduanya sedang berdiri di puncak gunung sambil menarik nafas dalam-dalam.

"Kakak, dulu kami berusaha menghapus tulisan itu, tapi bekasnya pasti masih ada. Kita harus cari dengan cermat. Akan malang melintang dalam rimba persilatan atau mati di tangan penjahat Liok Ci, itu tergantung pada kita berhasil atau tidak mencari ketujuh batang Panah Bulu Api tersebut."

Wanita buruk rupa itu mulai mencari ke sana ke mari, kemudian mendadak mengeluarkan suara lirih, lalu berkata, "Lho! Ini tidak benar! sepertinya ada orang datang di tempat ini!"

Air muka Huang Yen langsung berubah. "Itu bagaimana mungkin?"

Wanita buruk rupa menunjuk sebatang ranting pohon yang patah. "Ketika kita ke mari, aku masih ingat tidak ada ranting yang patah di pohon ini," katanya.

Lu Leng yang bersembunyi di belakang batu merasa kagum juga terhadap wanita buruk rupa dan gemuk bagaikan babi itu, sebab dia begitu teliti.

Sedangkan Huang Yen hanya termangu-mangu. "Mungkin terhembus angin kencang, maka ranting pohon itu menjadi patah!" sahutnya kemudian.

Wanita buruk rupa menggeleng-gelengkan kepalanya. "Jangan-jangan penjahat Liok Ci pernah ke mari mencari Panah-Bulu Api."

"Takut apa? Dia toh belum menemukannya!"

Mereka berdua bercakap-cakap sejenak. Setelah itu Huang Yen mengambil ranting yang patah itu, lalu digunakannya untuk menyapu bunga salju di tempat itu. Lu Leng yang bersembunyi di belakang batu tidak begitu mempedulikan kedua orang itu. Dia justru merasa heran, karena tidak tahu orang yang satu itu kini bersembunyi di mana. Sementara itu Huang Yen terus menyapu bunga-bunga salju sehingga mendekati Lu Leng.

Lu Leng pun berpikir. Kini dirinya sudah sampai di puncak gunung tersebut, tujuan sudah tercapai. Maka kalau pun memunculkan diri, juga tidak apa-apa. Mengenai orang yang satu itu, setelah Lu Leng mengendalikan wanita buruk rupa dan lelaki berkaki satu, barulah mencari orang tersebut. Puncak gunung itu tidak seberapa luas, tidak mungkin tidak menemukannya, Lu Leng mengambil keputusan begitu, maka lalu bersiap-siap menunggu Huang Yen sampai lebih mendekat lagi, barulah turun tangan.

Huang Yen terus menyapu bunga-bunga salju. Ketika mendekati tempat persembunyian Lu Leng, mendadak dia mendengar suara bentakan keras. Namun apa yang terjadi dia pun tidak jelas, hanya tahu-tahu ada serangkum angin yang amat kuat menyerang dadanya sehingga membuatnya terpental. Ternyata Lu Leng telah menyerangnya, namun tidak menggunakan Kim Kong Sin Ci. Ketika Huang Yen terpental, Lu Leng segera bergerak cepat untuk mencengkeramnya dengan jurus Thui Yun Nah Goat (Mendorong Awan Mengambil Bulan), yakni salah satu jurus Kin Na Ciu (llmu Mencengkeram).

Lu Leng berhasil mencengkeram nadi Huang Yen, dan seketika juga lelaki berkaki satu menjerit. "Aaaakh!"

Wanita buruk rupa langsung berteriak aneh, lalu berkata, "Ternyata benar ada orang!"

Dia mengayunkan tangannya, ternyata menyerang Lu Leng dengan senjata rahasia beracun. Tampak dua batang jarum meluncur secepat kilat ke arah Lu Leng. Lu Leng segera menggerakkan jari telunjuknya ke arah senjata rahasia beracun itu dengan mengeluarkan jurus Siang Hong Cak Yun (Sepacang Puncak Menembus Awan) dan berhasil menjatuhkan kedua batang jarum tersebut.

Di saat bersamaan, Lu Leng mencelat ke belakang sambil menarik Huang Yen. Wanita buruk rupa tampak gusar sekali. Dia berteriak aneh lagi sambil menyerang Lu Leng. Lu Leng tidak menangkis serangan itu, melainkan mencelat ke belakang sambil menarik Huang Yen. "Wanita jelek! Kau bukan lawanku! Kalau kau masih menyerang, jangan menyalahkanku bertindak sadis terhadapmu!" bentaknya sengit.

"Phui!" wanita buruk rupa langsung meludah dan mencaci. "Dasar penjahat kecil! Kau menang hanya dengan cara membokong!"

Lu Leng tertawa panjang, lalu mendadak jari telunjuknya bergerak, ternyata dia telah mengeluarkan jurus It Ci Keng Thian (Satu Jari Mengejutkan Langit). Namun serangannya tidak diarahkan pada wanita buruk rupa itu, melainkan diarahkan pada sebuah batu. Jurus tersebut menggunakan delapan bagian tenaga sehingga menimbulkan suara menderu-deru.

“Plaak!” kemudian terdengar suara, dan batu itu telah terbelah menjadi empat.

Lu Leng mendongakkan kepala. Dilihatnya wajah wanita buruk rupa itu telah berubah pucat pias. Lu Leng tertawa sambil menatap wanita buruk rupa itu seraya bertanya, "Wanita jelek, menurutmu bagaimana?"

Wanita buruk rupa tertegun. Dia diam saja dengan mulut ternganga lebar, sedangkan Lu Leng mengibaskan tangannya yang mencengkeram lelaki berkaki satu sehingga membuat lelaki berkaki satu itu terpental beberapa depa.

"Sebetulnya aku tidak bermaksud memusuhi kalian, namun aku punya dendam dengan Liok Ci Khim Mo. Kalau dia belum mati, aku merasa tidak enak makan dan tidak bisa tidur nyenyak! Kalian juga amat membencinya, bagaimana kalau kita bertiga bekerja sama saja?" katanya.

"Bekerja sama apa?" tanya wanita buruk rupa.

Lu Leng tersenyum. "Bekerja sama untuk mencari Panah Bulu Api, setelah itu bekerja sama lagi untuk merebut Busur Api itu," sahutnya.

Wajah wanita buruk rupa dan lelaki berkaki satu langsung berubah pucat ketika mendengar perkataan Lu Leng. Selama ini mereka menganggap rahasia tersebut hanya mereka dan Liok Ci Khim Mo yang mengetahuinya, tapi tidak tahunya Lu Leng pun sudah tahu tentang itu. Mereka berdua tertegun lama sekali.

"Bagaimana kau tahu tentang itu ?" tanya wanita buruk rupa.

"Kini jangan berbicara soal itu. Yang menguntit kalian berdua sampai disini, tidak hanya aku seorang!" sahut Lu Leng lalu berseru lantang.

"Sobat, sekarang kau boleh memperlihatkan diri! Kalau kita mempunyai musuh yang sama, alangkah baiknya kalau kita bekerja sama saja!"

Lu Leng berseru berulang kali, namun tidak ada sahutan sama sekali, maka dia amat gusar dalam hati dan langsung mendengus dingin. "Sobat, aku melihatmu naik ke puncak ini! Jangan sampai aku bertindak terhadapmu, sebab akan merusak suasana!"

Akan tetapi tetap tiada sahutan. Kini wanita buruk rupa dan lelaki berkaki satu mulai tidak percaya. Lu Leng mendengus dingin.

"Hmm!" badannya langsung bergerak, ternyata Lu Leng berputar ke seluruh puncak tersebut.

Sungguh mengherankan, sebab jelas tadi dia melihat seseorang meloncat ke puncak itu, namun kini dia telah mencari ke sana ke mari tidak menemukan siapa pun. Maka dia tertegun. "Kalian berdua, tadi aku melihat seseorang berpakaian hitam melesat ke mari. Dia tidak mau memunculkan diri juga tidak apa-apa, mari kita cari!" katanya.

Wanita buruk rupa dan lelaki berkaki satu itu saling memandang. Mereka berdua tahu bahwa diri mereka tak mampu melawan Lu Leng. Tapi mereka merasa tidak rela, apabila Panah Bulu Api jatuh ke tangannya. Oleh karena itu, lelaki berkaki satu berkata dingin.

"Lu-siauhiap, dulu kami pernah mencari di sekitar tempat ini, namun tiada hasilnya. Kini kami ke mari hanya mengadu untung saja, silakan kau mencari seorang diri!"

Betapa gusarnya Lu Leng, tapi tidak mau sembarangan turun tangan melukai orang, dia hanya mendengus dingin. "Hm! Kalian berdua tidak mau bantu, terserah!"

Usai berkata begitu Lu Leng mulai mencari, dan tak lama hari pun sudah mulai gelap. Wanita buruk rupa dan lelaki berkaki satu menyalakan api, kemudian membakar seekor kelinci. Lu Leng pun sudah membuat api unggun. Dia berdiri termangu-mangu di sisi api unggun itu. Matanya memandang ke puncak seberang sambil mengingat kembali cerita Liok Ci Khim Mo. Ke tujuh Panah Bulu Api meluncur dari puncak seberang, sampai di sini masih dapat melukai orang yang memetik Pat Liong Kim. Dapat dibayangkan betapa dahsyatnya tenaga luncuran itu.

Kalau begitu, mungkinkah Panah Bulu Api itu jatuh ke bawah? Kemungkinan itu amat kecil. Kalau benar begitu, panah-panah Bulu Api itu pasti menembus dada orang yang memetik Pat Liong Khim, kemudian jatuh ke bawah gunung. Seandainya memang begitu, orang itu pasti terluka parah sekali, dan bagaimana mungkin masih kuat bertarung dengan musuh besarnya yang memanahnya?

Ketika hampir menemui ajal, mereka berdua masih sempat meninggalkan tulisan, pertanda mereka masih sadar. Sudah pasti mereka menyimpan ke tujuh Panah Bulu Api itu di suatu tempat. Mereka berdua mati di sini, tentunya ketujuh Panah Bulu Api itu disimpan di sekitar tempat ini. Akan tetapi hingga saat ini yang mencari ketujuh batang Panah Bulu Api itu masih belum berhasil. Itu sungguh susah dimengerti! Lu Leng terus berpikir, mendadak telinganya mendengar suara desiran di belakangnya.

“Serr!”

Dia sedang melamun, justru tidak disangka di saat ini ada orang membokongnya dengan senjata rahasia. Oleh karena itu, begitu mendengar suara desiran itu, senjata rahasia tersebut sudah mendekatinya. Dia segera menggeserkan badannya ke samping dan berhasil berkelit, namun terdengar suara desir sekali lagi. Kali ini dia sudah tidak keburu berkelit, maka bahu kirinya terkena senjata rahasia itu.

Lu Leng dapat merasakan, senjata rahasia itu berupa jarum halus. Ketika terkena dia tidak merasa sakit, hanya merasa ngilu saja. Jelas senjata rahasia itu mengandung racun. Betapa gusarnya Lu Leng. Dia membalikkan badan mengarah wanita buruk rupa dan lelaki berkaki satu seraya membentak.

"Kalian berdua sungguh tak tahu diri! Aku tidak mau mencelakai kalian, tapi kalian malah menyerangku dengan senjata rahasia!"

Lu Leng mengerahkan lweekang untuk menahan racun, kemudian melesat ke hadapan mereka. Dia ingin turun tangan menghajar mereka agar mereka tahu rasa. Akan tetapi ketika sampai di hadapan mereka, Lu Leng malah tertegun. Dari cahaya api unggun, terlihat wajah mereka amat menakutkan, menghijau dan bernoda darah, maka jelas mereka berdua telah mati.

Padahal Lu Leng mengira mereka berdua yang membokongnya dengan senjata rahasia. Namun setelah melihat mereka berdua telah mati, barulah Lu Leng tahu bahwa dugaannya meleset. Yang menyerangnya dengan senjata rahasia bukanlah kedua orang itu, melainkan orang yangbersembunyi. Dari wajah kedua orang itu dapat diketahui bahwa mereka berdua mati karena racun. Sedangkan bahu kiri Lu Leng makin terasa ngilu, jangan-jangan racun senjata rahasia itu sudah mulai menjalar, tidak tertolong lagi.

Berpikir begitu, Lu Leng terkejut bukan main. Dia cepat-cepat mengeluarkan Soat Hun Cu, lalu digosok-gosokkannya pada bahu kiri yang terluka itu. Berselang sesaat rasa ngilu itu pun hilang. Lu Leng melihat di Soat Hun Cu itu ada garis-garis hitam, tapi dalam sekejap garis-garis hitam itu lenyap.

Lu Leng menyimpan Soat Hun Cu itu, kemudian tertawa dingin. "Sobat! Kau telah menyerangku dengan senjata rahasia beracun, kenapa masih tidak mau memunculkan diri?"

Saat itu sudah malam. Di puncak gunung itu amat sepi, tak terdengar suara apa pun. Lu Leng tahu bahwa pertanyaannya tidak akan disahuti. Meski pun begitu dia pun pasang kuping mendengarkan dengan penuh perhatian, tapi tidak terdengar apa-apa. Kini Lu Leng tahu bahwa orang yang tidak mau muncul itu berkepandaian amat tinggi, bahkan amat licik. Dia berada di tempat gelap, sedangkan Lu Leng berada di tempat terang, maka sudah pasti merugikan dirinya. Wanita buruk rupa dan lelaki berkaki satu telah binasa. Kalau Lu Leng tidak berhati-hati menjaga diri, mungkin akan terkena serangan gelap juga.

Malam itu Lu Leng sama sekali tidak berani tidur, melainkan terus berjaga-jaga. Akan tetapi malam itu sudah hampir berlalu, justru tiada gerak-gerik apa pun. Ketika hari mulai terang, terdengar suara pekikan di langit, yakni suara pekikan burung. Lu Leng mendongakkan kepala. Dilihatnya beberapa ekor burung elang berputar-putar di udara. Ternyata burung-burung elang itu telah mencium bau mayat.

Bukan main terkejutnya Lu Leng karena burung-burung elang itu amat besar. Mendadak burung-burung elang itu menukik ke bawah, ke arah mayat wanita buruk rupa dan mayat lelaki berkaki satu, kemudian menyambar kedua mayat itu sekaligus dibawa terbang ke atas menuju sebuah tebing yang tak begitu jauh. Lu Leng terus memandang burung-burung elang itu. Dari tebing muncul lagi beberapa ekor burung elang, lalu menghilang di dalam tebing. Tertegun Lu Leng menyaksikan itu. Tebing tersebut amat tinggi, membuat Lu Leng termangu-mangu.

Tak seberapa lama, hari sudah terang. Lu Leng memandang ke arah tebing itu lagi. Tampak beberapa ekor burung elang terbang ke luar dari tebing itu menuju puncak tempat Lu Leng berdiri, lalu menukik ke bawah sambil menyambar. Sungguh besar burung-burung elang itu! Ketika menyambar menimbulkan suara bagaikan hembusan angin kencang.

Betapa terkejutnya Lu Leng. Dia langsung berkelit sambil menyambar sebatang dahan pohon, lalu menyerang ke atas. Ternyata burung elang itu tidak menyambar Lu Leng, melainkan menyambar dahan pohon untuk membuat sarang. Menyaksikan itu, hati Lu Leng tergerak. Dia segera teringat akan Panah Bulu Api. Bagaimana bentuknya, dia sama sekali tidak pernah menyaksikannya, namun semua orang pasti menduga bahwa Panah Bulu Api itu berukuran kecil. Karena Busur Api tidak begitu besar, otomatis Panah Bulu Api pun pasti berukuran kecil pula. Dan apabila panah Bulu Api berukuran besar, sudah pasti disambar oleh burung-burung elang itu untuk membuat sarang.

Berpikir sampai begitu, hati Lu Leng amat girang. Setelah mengisi perut dengan daging kelinci bakar, mulailah dia mencari lagi sampai di seluruh pelosok gunung itu. Akan tetapi hingga senja tetap tiada hasilnya. Itu membuat Lu Leng yakin, kalau pun ke tujuh batang Panah Bulu Api masih ada, tentunya tidak berada di puncak gunung ini. Lu Leng memandang lagi ke tebing tempat burung-burung elang beterbangan. Kalau dugaannya benar, panah-panah Bulu Api itu dibawa pergi oleh burung-burung elang itu untuk membuat sarang, apa salahnya ke tebing itu melihat-lihat?

Setelah mengambil keputusan itu, Lu Leng segera turun. Dia amat berhati-hati dan waspada akan belakangnya, apakah ada orang mengikutinya atau tidak, namun justru tidak ada. Orang yang pernah membokongnya dengan senjata rahasia beracun, sepertinya telah hilang lenyap. Walau demikian Lu Leng tetap waspada. Tebing itu kelihatan amat dekat, namun ketika didekati justru terasa jauh sekali. Ketika Lu Leng hampir sampai di tebing itu, hari sudah gelap. Maka dia terpaksa bermalam di situ, namun tetap waspada.

Keesokan harinya begitu hari mulai terang, Lu Leng langsung berangkat ke tebing itu. Dari jauh tebing itu kelihatan lurus ke atas dan lurus ke bawah, namun setelah didekati justru tampak jelas condong ke bawah, seakan menindih siapa pun yang berada di sana, bahkan amat bahaya pula. Akan tetapi Lu Leng sama sekali tidak menghiraukan bahaya apa pun dan langsung mendaki tebing itu.

Ketika tengah hari Lu Leng baru sampai di sebuah batu yang menonjol ke luar dari dinding tebing. Dia berdiri di situ bersandar pada dinding tebing sambil mengatur pernafasannya, kemudian memandang ke atas. Kalau dia naik lagi, sudah pasti berada di sekitar sarang burung elang itu. Lu Leng menundukkan kepala memandang ke bawah. Walau dia berkepandaian tinggi, namun merasa bergemetar juga.

Lu Leng membatin, seandainya saat ini muncul orang yang membokongnya dengan senjata rahasia beracun itu, tentu dirinya pasti celaka. Sebab kalau dirinya diserang dengan senjata rahasia beracun, bagaimana mungkin berkelit? Di saat bersamaan mendadak terdengar suara tawa dingin beberapa depa di atasnya. Seketika itu juga sukma Lu Leng seakan terbetot ke luar saking terkejut.

Tadi dia baru memikirkan itu, tapi kini orang itu justru muncul di atas. Kalau dia menyerang dari atas, Lu Leng pasti sulit untuk berkelit. Walau begitu Lu Leng tetap berusaha tenang, lalu memandang ke atas. Di atas juga terdapat sebuah batu yang menonjol ke luar dari dinding tebing. Suara tawa dingin itu berasal dari atas, sudah pasti orang itu berada di atas batu tersebut. Berselang beberapa saat terdengar suara keras berdebum.

"Buum!" kemudian tampak sebuah batu besar meluncur ke bawah.

Begitu cepat luncuran batu itu, maka jelas didorong orang dari atas. Lu Leng memang sudah siap sebelumnya. Tangan kanannya menggenggam golok pusaka, dan tangan kirinya memegang ujung sebuah batu. Ketika melihat batu itu meluncur ke bawah ke arahnya, dia langsung mengayunkan golok pusakanya dan mengeluarkan jurus Hou Siau Sen Hong (Harimau Mengaung Menimbulkan Angin).

"Plaak!" batu itu terbelah dua dan semua belahannya jatuh ke bawah.

Akan tetapi, tenaga luncurannya amat kuat, sehingga membuat tangan Lu Leng yang menggenggamgolok pusaka itu terasa sakit dan badannya pun bergoyang-goyang, nyaris ikut terjatuh ke bawah. Bukan main terkejutnya Lu Leng. Padahal dia melihat ginkang orang itu amat tinggi. Walau orang itu berada di sekitarnya, namun Lu Leng tidak melihat orang tersebut. Kemungkinan besar orang itu adalah Oey Sim Tit.

Akan tetapi berdasarkan tenaga mendorong batu itu, orang yang di atas itu bukan Oey Sim Tit, sebab si Budak Setan itu tidak memiliki tenaga yang begitu besar. Sedangkan lweekang orang itu amat tinggi, pertanda dia tergolong jago ulung dalam rimba persilatan. Lu Leng termangu-mangu beberapa saat, kemudian berseru.

"Kepandaian anda amat tinggi, tapi kenapa perbuatan anda begitu rendah?"

Orang itu tidak menyahut, hanya terdengar tawa dingin dan terdengar lagi dua kali suara berdebum, lalu tampak dua buah batu meluncur ke bawah lagi ke arah Lu Leng. Ketika menyaksikan lweekang orang itu sedemikian tinggi, terkejutlah Lu Leng. Sebelah tangannya memegang erat-erat ujung batu. Di saat sebuah batu sudah mendekat, dia langsung mengayunkan golok pusakanya ke arah batu itu.

“Plaak!” batu itu melambung ke atas, sedikit membentur batu yang satu lagi sehingga kedua batu itu jatuh ke bawah lewat di samping Lu Leng.

Akan tetapi, di saat bersamaan, Lu Leng merasa ada tenaga yang amat kuat menindih dari atas. Dia masih sempat mendongakkan kepala, melihat sebuah batu yang lebih besar dari tadi meluncur ke bawah mengarahnya. Seketika Lu Leng mengayunkan golok pusakanya ke atas, mengeluarkan jurus Hou Siau Sen Hong (Harimau Mengaung Menimbulkan Angin) dengan tenaga sepenuhnya.

Berat batu itu kira-kira empat lima ratus kati, namun tenaga luncurannya justru mencapai ribuan kati. Ketika golok pusakanya membentur batu besar tersebut, tangan Lu Leng terasa sakit sekali. Di saat itu pula dadanya pun terasa sakit bukan main, sehingga sebelah tangannya yang memegang ujung batu menjadi terlepas dan kakinya terpeleset menginjak tempat kosong. Karena itu posisi badan Lu Leng jadi miring. Lu Leng tahu, kalau tidak bisa berdiri tegak lagi dia pasti jatuh ke bawah, bagaimana mungkin masih bisa punya nyawa? Maka sebelah kakinya berusaha tetap menginjak batu, lalu dia menjaga keseimbangan badannya agar tidak jatuh.

Padahal sesungguhnya, walau sebelah kakinya telah menginjak tempat kosong, tapi kalau dia menghimpun hawa murni, badannya pasti bisa naik ke atas. Namun di saat bersamaan, batu yang tertangkis oleh golok pusakanya justru jatuh ke bawah lewat di sampingnya. Betapa dahsyatnya luncuran batu besar itu sehingga menimbulkan suara menderu-deru. Lu Leng sedang berusaha naik ke atas, tapi malah tersambar oleh angin luncuran batu besar itu sehingga membuat badannya bertambah miring, dan akhirnya jatuh.

Betapa gugupnya Lu Leng. Dia cepat-cepat menjulurkan tangannya untuk meraih pinggiran batu yang menonjol dari dinding tebing, namun tidak tercapai sehingga badannya merosot ke bawah, dan sekejap sudah merosot satu depa. Tanpa sengaja Lu Leng melihat ke bawah. Batu besar yang jatuh tadi justru berada di bawah kakinya. Seketika timbul suatu ide dalam hatinya.

Dia segera menginjak batu besar itu, lalu meloncat ke atas. Akhirnya sampai juga di atas batu yang menonjol dari dinding tebing itu dan nyawanya pun selamat. Lu Leng melihat ke bawah, batu besar yang diinjaknya tadi terus meluncur ke bawah dan sekejap sudah tidak kelihatan lagi. Lu Leng menarik nafas dalam-dalam. Ternyata hatinya masih berdebar-debar tegang. Kemudian dia mendongakkan kepala memandang ke atas. Dilihatnya sosok bayangan hitam berkelebat ke atas, sungguh cepat gerakannya!

Lu Leng segera berteriak sekeras-kerasnya. "Sobat! Apakah kau sudah kehabisan akal untuk mencelakaiku?"

Perlu diketahui, orang yang di atas itu juga berdiri di sebuah batu yang menonjol dari dinding tebing. Maka tidak gampang baginya mendorong batu besar untuk menindih Lu Leng yang berada di bawah. Kini mungkin sudah tidak ada batu besar di sekitarnya, maka dia langsung pergi. Itu sungguh menguntungkan Lu Leng. Kalau di sekitar orang itu masih terdapat batu besar, lalu didorongnya lagi ke arah Lu Leng ketika meloncat ke atas, sudah pasti Lu Leng tidak bisa selamat.

Ketika Lu Leng berteriak, orang itu sama sekali tidak menoleh. Ia hanya mengeluarkan tawa dingin terus melesat ke atas, yaitu ke tempat burung-burung elang berkumpul, lalu menghilang dari pandangan Lu Leng. Lu Leng melihat orang itu menghilang di tempat tersebut, hatinya jadi gugup. Dia segera menghimpun hawa murni lalu melesat ke atas, yakni ke batu yang menonjol itu. Setelah itu dia menarik nafas dalam-dalam lalu melesat ke atas lagi, dan tak lama sudah sampai di tempat orang tadi menghilang.

Sarang burung-burung elang itu hanya berjarak lima enam depa dari tempat tersebut. Tempatnya amat licin, lagi pula hanya terdapat beberapa buah batu yang menonjol ke luar. Kalau tidak ada musuh berada di situ, memang tidak begitu sulit bagi Lu Leng untuk mencapai tempat sarang burung elang itu. Akan tetapi kini orang itu justru berada di atas. Kalau orang itu menyerang sekarang, Lu Leng masih dapat bertahan. Tapi kalau dia naik ke atas dan diserang di saat itu, Lu Leng pasti celaka. Oleh karena itu Lu Leng tetap diam di situ, tidak berani mencoba naik ke atas, sebab amat membahayakan dirinya.

Lu Leng mendengar suara pekikan burung elang dua kali, setelah itu tampak dua sosok bayangan melayang ke arahnya. Dia langsung mengayunkan Su Yang To, sekaligus mengeluarkan jurus Nuh Hou Eng Cit (Harimau Marah Meloncat). Seketika kepala dan mukanya terkena percikan darah, ternyata dua sosok bayangan itu adalah dua ekor burung elang yang sudah terbunuh oleh Lu Leng. Dalam hati Lu Leng amat gusar tapi juga merasa geli, karena orang itu sungguh iseng, menangkap burung elang dan di lempar ke arahnya.

Ketika Lu Leng baru mau mentertawakan orang itu, sungguh wajahnya berubah pucat karena teringat akan sesuatu. Ternyata orang itu punya pikiran yang sama seperti Lu Leng. Lu Leng segera bersandar pada dinding tebing, kemudian mengerahkan tenaga Kim Kong Sin Ci pada jari telunjuknya. Di saat dia telah mengerahkan tenaga itu, mendadak tampak dua sosok bayangan lagi meluncur ke arahnya. Dua sosok bayangan itu ternyata dua ekor burung elang yang terbang menyambarnya dengan kuku yang amat tajam. Lu Leng langsung menyerang dengan Kim Kong Sin Ci mengeluarkan jurus It Ci Keng Thian (Satu jari Mengejutkan Langit).

“Plaak!” salah seekor terpental, namun yang seekor lagi masih tetap menyambarnya.

Lu Leng cepat-cepat menggerakkan golok Su Yang To dengan jurus Nuh Hou Eng Cit (Harimau Marah Meloncat), Go Hou Phu Yo (Harimau Lapar Menerkam Domba) dan jurus Wa Hou Seh Seng (Harimau Mendekam). Terdengar burung itu memekik lalu jatuh. Ternyata sayapnya telah terbacok golok Lu Leng. Sedangkan burung elang yang terpental akibat terkena serangan Kim Kong Sin Ci, masih berusaha terbang ke arah Lu Leng. Padahal Lu Leng menggunakan delapan bagian tenaganya, namun burung elang itu tidak mati sungguh mengejutkan Lu Leng. Akan tetapi mendadak burung elang itu terbang ke sarangnya, maka Lu Leng menarik nafas lega.

Namun dia pun tahu, bahwa itu merupakan siasat orang tersebut, agar Lu Leng melukai burung elang tersebut, maka burung-burung elang itu akan membalas. Kini burung elang yang terluka itu sudah terbang kembali ke sarangnya. Dia pasti akan memberitahu kawan-kawannya, kemudian menyerang Lu Leng lagi. Dugaan Lu Leng tidak meleset, sebab tak seberapa lama terdengar suara pekikan burung elang, lalu tampak segerombolan burung elang terbang ke luar dari sarang.

Burung-burung elang itu terbang di udara, Lu Leng menghitung, burung-burung elang itu berjumlah tujuh ekor lebih. Saat ini perasaan Lu Leng amat tegang, lebih tegang dari tempo hari ketika bersembunyi di dalam lobang pohon ingin membokong Liok Ci Khim Mo. Karena saat ini, kalau dia celaka berarti tidak bisa membalas dendam, bahkan akan mati dengan tulang hancur di bawah tebing. Mata Lu Leng terus menatap ketujuh ekor burung elang itu.

Mendadak burung-burung elang itu terbang berpencar, yang di tengah satu ekor, kiri dan kanan tiga ekor, meluncur ke bawah menyerang Lu Leng. Lu Leng sudah tidak bisa berpikir panjang lagi. Ketika burung-burung elang itu sudah dekat dengan dirinya, dia langsung menyerang dengan ilmu Kim Kong Sin Ci, mengeluarkan jurus Cap Bin Li Cing (Menggali Sepuluh Arah). Jurus tersebut membuat burung-burung elang itu terpental akan tetapi kemudian mulai menyerang lagi.

Lu Leng yakin bahwa dalam tiga puluh jurus belum tentu dapat melukai burung-burung elang itu. Sebaliknya dirinya pasti sudah lelah sekali. Seandainya dia dapat melukai ketujuh ekor burung elang itu, apakah tiada burung elang lain terbang ke luar dari sarang lagi? Misalnya sudah tidak ada, tapi dia pun telah kehilangan banyak tenaga, bagaimana mungkin mampu melawan orang itu?

Di saat bersamaan, ketujuh ekor burung elang itu sudah mendekat, namun sayap mereka saling membentur, sehingga membuat gerakan mereka menjadi lamban. Lu Leng segera mengayunkan golok Su Yang To ke arah salah seekor yang paling depan. Ujung golok pusaka itu berhasil menyabet leher burung elang itu, kemudian Lu Leng mengayunkan golok pusaka itu ke arah kakinya.

“Sret!” sepasang kaki burung itu putus, lalu burung itu jatuh menimpa Lu Leng sehingga badan Lu Leng tertutup semua. Itu amat menguntungkan Lu Leng, sebab burung-burung elang lain kehilangan sasaran.

Sementara itu burung-burung elang lainnya masih terus menyerang Lu Leng. Mendadak Lu Leng mengangkat burung elang yang menimpanya, langsung disambitkan ke salah seekor dari mereka yang paling dekat. Sambitan yang disertai lweekang itu tepat mengenai burung itu sehingga sebelah sayapnya patah, kemudian kedua burung itu jatuh ke dasar tebing. Setelah berhasil melukai kedua ekor burung elang itu, semangat Lu Leng terbangun.

Tampak dua ekor elang menyerangnya lagi. Lu Leng menangkis dengan golok Su Yang To, mengeluarkan jurus San Hou Pah Bwee (Harimau Gunung Mengibaskan Ekor). Golok Su Yang To berkelebatan mengarah kedua ekor burung elang itu, lalu terdengar suara pekikan. Ternyata sayap kedua ekor burung elang itu sudah tersabet putus, dan kedua burung itu langsung jatuh ke dasar tebing. Kini hanya tersisa tiga ekor, semangat Lu Leng pun bertambah.

Mendadak tampak dua ekor burung elang menyerangnya. Ketika Lu Leng baru mau menyerang, mendadak seekor burung elang yang paling besar memekik keras. Kemudian kedua ekor burung elang yang menyerang itu langsung terbang ke atas, sedangkan burung elang yang paling besar itu menukik ke bawah. Lu Leng terbelalak karena melihat tujuh delapan helai bulu sayapnya bagaikan perak, bergemerlapan tertimpa sinar matahari. Bahkan burung elang itu tampak galak sekali. Beberapa helai bulu sayapnya berwarna perak, pertanda burung elang itu paling tua, juga merupakan raja di antara burung-burung elang tersebut.

Oleh karena itu Lu Leng pun berhati-hati menghadapi raja burung elang itu. Sementara raja burung elang yang sudah menukik itu mendadak berhenti, lalu berputar-putar di atas kepala Lu Leng, makin lama makin cepat. Sedangkan Lu Leng terus menatap raja burung elang itu dengan mata tak berkedip dan lebih berhati-hati. Raja burung elang itu terus berputar, membuat orang pusing melihatnya. Hati Lu Leng tersentak sekali. Sekonyong-konyong raja burung elang itu meluncur ke arahnya bagaikan meteor. Lu Leng langsung mengayunkan golok Su Yang To. Akan tetapi raja burung elang itu meluncur begitu cepat, dan berhasil mencengkeram bahu kanan Lu Leng. Begitu bahu kanannya tercengkeram, tenaga ayunan Lu Leng jadi berkurang, dan salah arah pula.

“Sret!” golok Su Yang To hanya berhasil merontokkan beberapa helai bulu sayapnya burung elang itu.

Ketika Lu Leng mau menyerang lagi, raja burung elang itu sudah terbang ke atas. Lu Leng tertegun, karena badannya ikut terbawa ke atas. Kalau dia menyerang membuat raja burung elang itu terluka, otomatis dia pun akan ikut jatuh ke bawah dan sudah pasti akan mati bersama raja burung elang itu. Karena itu Lu Leng tidak berani melancarkan serangan. Tapi bahu kanannya terasa sakit sekali. Tanpa berpikir panjang lagi Lu Leng langsung menusuk ke atas, sehingga badan raja burung elang itu berlobang, dan darahnya mengucur membasahi kepala Lu Leng. Sedangkan raja burung elang itu langsung merosot ke bawah. Berselang sesaat raja burung elang itu terbang ke atas lagi, justru ke arah sarangnya.

Lu Leng bergirang dalam hati, sebab kalau sampai di sarang raja burung elang itu dirinya pasti selamat. Tak lama raja burung elang itu sudah mendekati sarangnya dan langsung menerobos ke dalam. Itu tidak di luar dugaan Lu Leng, maka Lu Leng amat girang. Akan tetapi, di saat bersamaan mendadak terdengar dua suara desir dari dalam sarang itu. Tampak meluncur dua batang ranting pohon yang ujungnya telah diruncingkan. Dilihat dari luncurannya, jelas kedua ranting itu disambitkan oleh orang yang memiliki lweekang tinggi.

Saat ini Lu Leng berada di bawah perut raja burung elang, sedangkan kedua batang ranting pohon itu mengarah badan raja burung elang itu. Lu Leng tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau raja burung elang itu tertembus oleh kedua batang ranting pohon tersebut Lu Leng pun tidak akan selamat. Keadaan itu membuat Lu Leng mengucurkan keringat dingin. Perlu di ketahui, raja burung elang itu sudah berusia seratus tahun lebih, maka amat kuat dan cerdik pula. Kalau tidak, bagaimana mungkin raja burung elang itu dapat mencengkeram bahu Lu Leng?

Di saat kedua ranting pohon itu sudah mendekat, mendadak raja burung elang itu mengembangkan sayapnya terbang ke atas. Kedua batang ranting pohon itu melewati sisi Lu Leng. Di saat raja burung elang itu terbang ke atas, Lu Leng memandang ke dalam sarang itu. Sarang itu amat besar, luasnya hampir dua depa. Di dalamnya terdapat banyak ranting pohon, bahkan tampak seseorang. Tangan orang itu memegang beberapa ranting, namun tidak dapat terlihat jelas wajahnya.

Saat ini Lu Leng amat membenci orang itu sampai ke tulang sumsum. Orang itu pasti telah mencuri dengar pembicaraan wanita buruk rupa dengan lelaki berkaki satu, maka tahu rahasia Panah Bulu Api tersebut. Orang itu ingin mendapatkan Panah Bulu Api, tentunya akan memanah Liok Ci Khim Mo, maka boleh dikatakan dia bermusuhan Liok Ci Khim Mo. Akan tetapi, berdasarkan gerak-gerik dan tindakannya, Lu Leng berkesimpulan bahwa orang itu memang menginginkan Panah Bulu Api. Dia mau memanah Liok Ci Khim Mo bukan demi keselamatan rimba persilatan, melainkan ingin memperoleh Pat Liong Khim, lalu menggantikan kedudukan Liok Ci Khim Mo untuk menimbulkan petaka dalam rimba persilatan lagi. Orang yang berhati begitu, memang pantas dibunuh. Oleh karena itu, Lu Leng segera berteriak sekeras-kerasnya.

"Bangsat! Lihat kau atau aku yang lebih lihay!"

Orang itu tetap tidak menyahut, hanya tertawa dingin saja. Sementara raja burung elang mulai meluncur lagi ke sarangnya. Namun orang itu menyambit lagi dengan ranting pohon, sehingga membuat raja burung elang itu harus terbang ke atas menghindar. Terakhir kali, sebatang ranting berhasil menembus sayap raja burung elang itu. Setelah sayapnya terluka, raja burung elang itu merosot ke bawah. Lu Leng segera mencabut ranting pohon itu agar raja burung elang dapat terbang ke atas lagi. Saat ini Lu Leng tahu bahwa orang berpakaian hitam itu pasti berpikir sama seperti apa yang dipikirkannya.

Ketujuh batang Panah Bulu Api pasti dibawa oleh burung elang untuk membuat sarangnya. Karena itu orang berpakaian hitam tersebut mendahuluinya ke sarang burung elang untuk mencari ketujuh batang Panah Bulu Api itu. Berdasarkan itu dapat diketahui betapa liciknya orang berpakaian hitam itu, lagi pula dia pun berkepandaian amat tinggi. Orang berpakaian hitam itu memang licik sekali. Entah sudah berapa kali Lu Leng ingin melihat wajahnya, namun dia selalu menunduk.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar