Harpa Iblis Jari Sakti Chapter 36

Lu Leng menggeleng-gelengkan kepala. Mendadak dia terbelalak. Ternyata tali yang dibikin dari lukisan itu pun telah hilang. Itu membuat Lu Leng semakin yakin bahwa Toan Bok Ang telah menemukan jalan rahasia. Oleh karena itu dia pun terus memeriksa keadaan ruang atas dan ruang bawah. Namun dia sama sekali tidak menemukan jalan rahasia yang dimaksud sehingga hatinya merasa kecewa sekali. Mungkinkah Toan Bok Ang berhasil mendorong lempengan besi penutup lobang yang di atas itu?

Tentunya tidak mungkin. Pusing Lu Leng memikirkan itu. Setelah berpikir bolak-balik, akhirnya dia mengambil keputusan untuk keluar dari makam itu. Lu Leng mencelat ke atas peti mati tembaga yang kedua. Setelah berdiri di situ, dia menjulurkan sepasang tangannya ke atas menempel di lempengan besi tersebut. Dia mengerahkan lweekang mendorong ke atas dan terdengar suara berderak.

"Kreek!” ternyata lempengan besi itu terdorong ke atas sedikit.

Betapa girangnya Lu Leng. Lalu dia kertak gigi mengerahkan lweekang lagi sambil mendorong.

“Kreek! Kreek...!”

Matanya terasa berkunang-kunang. Mendadak dia membentak keras sambil mendorong sekuat tenaganya. Terdengar suara yang memekakkan telinga, namun di saat bersamaan mulut Lu Leng menyemburkan darah segar, sedangkan peti mati tembaga yang diinjaknya mulai bergoyang. Lu Leng tahu bahwa kalau saat ini dirinya terjatuh ke bawah, pasti akan mati tertindih peti mati tembaga itu. Maka dia segera menjulurkan tangannya ke atas untuk meraih pinggiran lobang, lalu merangkak ke luar melalui lobang tersebut. Setelah berada di atas, mendadak matanya menjadi gelap dan akhirnya dia terkulai pingsan.

Entah berapa lama kemudian, barulah dia siuman. Perlahan-Iahan dia membuka matanya, tampak bintang-bintang bergemerlapan di langit, ternyata hari sudah malam. Lu Leng merasa sekujur badannya sakit sekali, dan pakaiannya penuh noda darah. Dia tidak tahu sudah berapa lama dirinya pingsan di tempat itu. Yang paling berat baginya adalah menahan rasa haus, namun badannya terasa begitu sakit, maka bagaimana mungkin dia merangkak ke bawah untuk mencari air?

Dia menghela nafas panjang. Lempengan besi itu begitu berat. Dia mendorong hingga terluka dalam, tentunya tidak mungkin Toan Bok Ang akan berhasil mendorong lempengan besi itu ke atas. Kini dirinya sudah berada di atas. Dia berhasil meloloskan diri dari makam itu, namun Toan Bok Ang menghilang entah ke mana. Dia masih tidak mengerti. Perlahan-lahan Lu Leng bangun duduk.

Tiba-tiba dia terbelalak, seakan melihat sesuatu yang aneh di sisinya, bahkan dia tidak percaya akan penglihatannya sendiri. Dia segera mengucek-ngucek matanya, kemudian melihat lagi. Ternyata di sisinya terdapat sebuah keranjang berisi berbagai macam buah-buahan. Dia memang sedang haus dan lapar, maka langsung disantapnya buah-buahan itu dengan lahap sekali. Setelah menyantap belasan buah-buahan itu, rasa haus dan laparnya hilang seketika, bahkan semangatnya mulai timbul. Dia bangkit berdiri sambil menengok ke sana ke mari, tapi tidak tampak seorang pun di sekitarnya.

Lu Leng tercengang, kemudian berseru-seru. "Entah sobat dari mana yang menyediakan buah-buahan untukku, aku sungguh berterima kasih! Harap sobat memunculkan diri!"

Walau Lu Leng berseru berulang-ulang, namun tiada sahutan sama sekali. Lu Leng semakin tercengang. Dia berjalan ke sana ke mari, namun keadaan di sekelilingnya tetap sunyi sepi, tidak ada orang kecuali dirinya. Lu Leng duduk bersila menghimpun hawa murni untuk mengobati luka dalamnya. Entah berapa lama kemudian barulah dia membuka matanya dan luka dalamnya sudah hampir sembuh, hari pun sudah mulai terang.

Ketika dia membuka matanya, hidungnya mengendus aroma daging yang amat harum, nyaris membuat air liurnya menetes! Ternyata di hadapannya terdapat sepotong paha rusa panggang, masih mengepulkan asap. Lu Leng menduga yang mengantar paha rusa panggang itu adalah orang yang mengantar buah-buahan untuknya semalam. Tanpa sungkan-sungkan lagi langsung disambarnya paha rusa panggang itu, lalu disantapnya dengan lahap sekali. Sungguh lezat dan wangi paha rusa panggang itu, namun tiba-tiba dia berhenti menyantapnya.

Ternyata matanya melihat sebaris tulisan di atas batu yang di hadapannya. Tulisan itu berbunyi demikian,

Orang yang amat kau cintai, ada kesulitan di telaga Tong Ting, Cepat pergilah kau menolongnya!

Setelah membaca tulisan itu Lu Leng tertegun, kemudian berseru beberapa kali dan mencari ke sana ke mari, namun tetap tiada sahutan. Oleh karena itu dia cepat-cepat menghabiskan makanannya, karena yakin orang yang meninggalkan tulisan itu pasti tokoh tingkatan tua yang mengenali dirinya. Yang dimaksudkan orang yang ada kesulitan di telaga Tong Ting tentunya Tam Goat Hua. Hanya saja Lu Leng tidak tahu bahwa Tam Goat Hua berada di telaga Tong Ting, orang itu justru mengetahuinya.

Letak telaga Tong Ting amat jauh dari tempat itu, yakni beberapa laksa mil. Lalu bagaimana orang itu memperoleh berita tentang itu? Lu Leng terus berpikir. Mungkin ketika Tam Goat Hua mau berangkat ke telaga Tong Ting berjumpa orang itu di sekitar tempat ini. Karena tahu Tam Goat Hua akan mengalami kesulitan di telaga Tong Ting, maka orang yang berkepandaian tinggi itu meninggalkan tulisan untuknya, agar cepat-cepat menyusul Tam Goat Hua. Lu Leng merasa masuk akal apa yang dipikirkannya, maka segera meninggalkan tempat itu dengan hati-hati sekali.

Hampir seharian barulah Lu Leng keluar dari gunung Tang Ku Sat, padahal luka dalamnya belum pulih. Akhirnya dia beristirahat untuk mengobati luka dalamnya. Hari berikutnya luka dalam yang dideritanya sudah pulih, dan itu membuatnya terperangah karena tidak menyangka kalau luka dalamnya bisa pulih begitu cepat. Namun kemudian dia menyadari bahwa itu disebabkan oleh Cit Sek Ling Che yang dimakannya.

Lu Leng segera melanjutkan perjalanan ke arah timur. Sampai di suatu perkampungan dia membeli seekor kuda, lalu melanjutkan perjalanan siang malam dengan menunggang kuda. Belasan hari kemudian, barulah dia memasuki wilayah See Coan, yaitu wilayah aliran sungai Tiang Kang (Cang Ciang). Di situ dia mulai melanjutkan perjalanan air. Karena mengikuti arus, perjalanannya kali ini amat cepat. Lu Leng berdiri di atas perahu, dilihatnya begitu banyak perahu sedang berlayar di sungai itu. Setelah berdiri sejenak, Lu Leng lalu masuk ke dalam perahu untuk beristirahat, dan saking lelahnya dia langsung pulas.

Berselang beberapa saat dia mendusin. Walau dia berada di dalam perahu, namun matanya dapat memandang ke luar, sebab di dalam perahu terdapat sebuah jendela kecil. Kebetulan perahu yang ditumpanginya melewati sebuah perahu besar. Lu Leng melihat dua orang berdiri di haluan perahu besar itu.

Kedua orang itu berbadan pendek kecil, air muka mereka tampak serius. Begitu lihat, Lu Leng segera tahu bahwa mereka berdua kaum rimba persilatan. Salah seorang memegang golok bergerigi, yang satu lagi menggenggam sebuah gelang tembaga. Sebetulnya Lu Leng tidak mau usil mencampuri urusan orang lain, tapi mendadak salah seorang itu tertawa dingin seraya berkata,

"Orang marga Tam, apakah kau masih mau bersembunyi?"

Begitu mendengar ucapan itu, tersentaklah hati Lu Leng. Dia segera menyuruh tukang perahu yang ditumpanginya agar memperlambat laju perahunya. Setelah itu dia ke depan perahu, lalu berdiri di situ. Di saat bersamaan terdengar suara berdesir, dan tampak dua buah senjata rahasia meluncur secepat kilat ke arah kedua orang itu.

Kedua orang itu bersiul aneh sambil berkelit, dan serentak membentak dengan suara keras, "Orang marga Tam, kalau kau tidak mau menyerah, sebentar lagi Kim Toa Ya (Tuan besar Kim) ke mari, nyawamu pasti melayang!"

Di dalam perahu besar itu terdengar suara batuk beberapa kali, menyusul terdengar suara cacian. "Apa itu Kim Toa Ya?! Kalau kalian tidak mau pergi, aku tidak akan berlaku sungkan terhadap kalian!"

Suara cacian itu tidak bertenaga, kemudian terbatuk-batuk beberapa kali lagi. Begitu mendengar suara itu, Lu Leng tahu bahwa orang itu pasti terluka parah, atau dalam keadaan sakit berat. Akan tetapi Lu Leng merasa mengenali suara itu, maka cepat-cepat berpesan kepada tukang perahu agar menunggunya di depan. Setelah itu dia langsung meloncat ke perahu besar itu, lalu berdiri di haluan.

Kini kepandaian Lu Leng sudah tinggi sekali. Kehadirannya di perahu besar itu tidak diketahui siapa pun, sebab gerakannya amat cepat. Lu Leng menggeserkan badannya ke arah jendela perahu, lalu memandang ke dalam. Interior di dalam perahu besar itu amat sederhana. Di sana hanya terdapat dua buah ranjang kayu. Tampak seorang gadis terbaring di atas salah satu ranjang kayu itu, badannya tertutup selimut dan dalam posisi membelakangi Lu Leng. Di ranjang yang satunya lagi duduk seorang pemuda berpakaian seperti sasterawan. Siapa pemuda itu? Tidak lain adalah Tam Ek Hui.

Lu Leng sama sekali tidak menduga kalau dirinya akan berjumpa Tam Ek Hui di perahu besar itu. Maka dia terkejut dan merasa heran, sebab pemuda itu adalah putra Cit San Sin Kun-Tam Sen, yang kepandaiannya lebih tinggi dari Tam Goat Hua. Sedangkan beberapa orang yang di atas perahu besar itu kelihatannya berkepandaian biasa, namun kenapa Tam Ek Hui tidak berani keluar menghadapi mereka?

Lu Leng memperhatikan Tam Ek Hui. Kelihatannya pemuda itu menderita luka dalam yang belum sembuh. Bagaimana pemuda itu mengalami luka parah? Di saat Lu Leng sedang berpikir, mendadak berkelebat dua sosok bayangan ke dalam. Ternyata kedua orang pendek kecil yang berdiri di haluan perahu besar tadi. Begitu melihat ada orang menerjang ke dalam, Tam Ek Hui yang duduk di atas ranjang langsung menyerang dengan senjata rahasia. Namun sayang sekali, luncuran senjata rahasia itu tak bertenaga.

Kedua orang itu mengayunkan senjata masing-masing dan berhasil merontokkan senjata rahasia itu. Kedua orang itu tertawa puas, sementara gadis yang berbaring itu, mendadak membalikkan badannya. Lu Leng segera memandang ke arah gadis itu dan seketika tertegun. Gadis itu tampak kurus dan sepasang matanya redup tak bercahaya. Namun Lu Leng mengenalinya, yang tidak lain adalah Han Giok Shia. Lu Leng tidak habis pikir, bagaimana mereka berdua berada di dalam perahu besar itu dan dalam keadaan mengenaskan?

Kedua orang itu mulai mendekati Tam Ek Hui dan Han Giok Shia, sedangkan Tam Ek Hui dan Han Giok Shia kelihatan tak berdaya sama sekali. Lu Leng tahu bahwa saat ini dirinya tidak boleh tinggal diam, maka dia segera mendorong daun jendela sekaligus melesat ke dalam. Pandangan kedua orang itu menjadi kabur, dan tahu-tahu di dalam ruangan itu sudah bertambah satu orang lagi.

Kemunculan Lu Leng yang mendadak membuat kedua orang itu tertegun, kemudian membentak dengan serentak, "Siapa kau?!"

Saat ini Lu Leng berdiri membelakangi Tam Ek Hui dan Han Giok Shia, maka mereka berdua tidak tahu yang muncul itu Lu Leng.

Terdengar Tam Ek Hui berkata dengan suara lemah. "Sobat, memang gampang memukul mundur kedua orang itu, tapi di belakang mereka justru terdapat dekingan yang amat kuat. Maka tidak perlu demi kami yang sudah sekarat ini kau menanamkan permusuhan dengan mereka."

Apa yang diucapkan Tam Ek Hui, sungguh membuat hati Lu Leng merasa berduka sekali. Maka tanpa menghiraukan Tam Ek Hui, dia langsung melancarkan sebuah pukulan ke arah kedua orang itu. Kedua orang itu segera menangkis dengan senjata masing-masing. Lu Leng mendengus, tidak berkelit namun malah maju selangkah.

“Sert!” terdengar suara, ternyata dia telah mengeluarkan jurus It Ci Keng Thian (Satu Jari Mengejutkan Langit).

Senjata kedua orang itu terpental. Lu Leng segera mengayunkan kaki menendang mereka. Sungguh cepat gerakannya sehingga kedua orang itu terpental.

“Plung! Plung!” terdengar suara, ternyata tubuh mereka berdua sudah jatuh ke dalam sungai.

Setelah itu barulah Lu Leng membalikkan badannya. Seketika Han Giok Shia dan Tam Ek Hui berseru kaget dengan suara lemah,

"Kau?!"

Lu Leng segera maju selangkah dan berkata, "Saudara Tam, nona Han! Kenapa kalian?"

Bibir Han Giok Shia bergerak, tapi tidak mengeluarkan suara, sedangkan Tam Ek Hui menghela nafas panjang. "Aaah! Panjang sekali kalau dituturkan adik Leng. Kedua orang itu telah kau hajar, sebentar lagi Kim Kut Lau pasti ke mari."

Tadi Lu Leng memang mendengar salah seorang yang berdiri di haluan perahu menyebut ‘Kim Toa Ya’, ternyata yang dimaksudkan adalah Kim Kut Lau. Lu Leng tersenyum. "Saudara Tam, legakanlah hatimu! Kalau pun dia ke mari, apa yang harus ditakuti? Luka yang diderita nona Han kelihatannya lebih parah dari lukamu, sebetulnya apa yang telah terjadi?"

Mendadak wajah Tam Ek Hui tampak memerah, pertanda amat emosi. "ltu dikarenakan Pat Liong Thian Im," sahutnya.

Bukan main terkejutnya Lu Leng. "Kalian bertemu lagi Liok Ci Khim Mo?" tanyanya.

"Itu terjadi setengah bulan yang lalu..." sahut Tam Ek Hui. Karena banyak bicara nafasnya menjadi semakin memburu.

Lu Leng maju ke hadapannya, lalu menjulurkan tangannya untuk memegang dada Tam Ek Hui. Dia tahu bahwa luka dalam yang diderita Tam Ek Hui parah sekali, oleh karena itu Lu Leng segera mengerahkan hawa murninya untuk mengobatinya. Walau harus kehilangan sedikit tenaga murninya, Lu Leng sama sekali tidak memikirkan itu.

Tam Ek Hui memejamkan matanya. "Saudara Lu, lebih baik... kau mengobati nona Han dulu!" katanya lemah.

Lu Leng memang tahu bahwa luka dalam yang diderita Han Giok Shia lebih parah dari Tam Ek Hui, seharusnya mengobatinya dulu. Namun Lu Leng merasa tidak enak harus bersentuhan dengan gadis itu, lagipula lweekang yang dimiliki Han Giok Shia berlawanan dengan lweekang-nya. Han Giok Shia memiliki Thai Im Ciang Hoat yang mengandung tenaga lunak, sedangkan Lu Leng memiliki Kim Kong Sin Ci yang mengandung tenaga keras, maka akan berlawanan sehingga akan berakibat fatal. Karena itu dia turun tangan mengobati Tam Ek Hui dulu.

“Plaak!” mendadak terdengar suara tepat ketika Lu Leng baru mau menjelaskan.

Bukan main terkejutnya Lu Leng, sebab saat ini dia sedang mencurahkan perhatiannya mengobati Tam Ek Hui dengan hawa murninya. Akan tetapi suara itu amat mencurigakan, maka mau tidak mau dia harus menoleh ke belakang. Ternyata dinding ruang itu telah berlobang, sedangkan Han Giok Shia sudah tidak kelihatan di ranjang. Betapa terkejutnya Lu Leng. Dia tahu bahwa gadis itu telah diculik, sedangkan gerakan si penculik begitu cepat, mungkin tidak akan berhasil mengejarnya. Kalau saat ini Tam Ek Hui tahu tentang itu pasti celaka, sebab Lu Leng sedang menyalurkan hawa murninya ke dalam tubuhnya untuk mengobatinya. Apabila pemuda itu gugup dan panik, pasti akan tersesat sehingga menjadi cacat seumur hidup.

Lu Leng memandang Tam Ek Hui. Pemuda itu masih memejamkan matanya, sama sekali tidak tahu apa yang terjadi. Oleh karena itu Lu Leng cepat-cepat berkata, "Saudara Tam, legakanlah hatimu! Mengenai luka dalam yang diderita nona Han, aku punya cara lain untuk mengobatinya. Tenangkanlah hatimu!"

Setelah mendengar apa yang dikatakan Lu Leng, wajah Tam Ek Hui tampak mulai tenang. "Suara apa tadi?" tanyanya.

"Suara dari perahu lain, entah suara apa," sahut Lu Leng.

Tam Ek Hui manggut-manggut, tidak banyak bertanya lagi, maka diam-diam Lu Leng menarik nafas lega. Walau Han Giok Shia telah diculik orang dan tidak tahu bagaimana keadaannya, namun saat ini Tam Ek Hui tidak akan mengalami bahaya. Lu Leng pun tidak mau memikirkan itu, karena dia harus memusatkan perhatiannya untuk mengobati Tam Ek Hui. Berselang beberapa saat, wajah Tam Ek Hui mulai tampak kemerah-merahan. Justru di saat itulah terdengar suara tawa dingin di luar, kemudian terdengar pula suara parau.

"Ek Hui, aku adalah famili dekatmu, tapi kau malah bersekongkol dengan orang luar memusuhiku!"

Tam Ek Hui membuka matanya seraya berbisik. "Saudara Lu, luka dalamku telah sembuh dua bagian, cepatlah kau pergi menghadapi Kim Kut Lau.”

Lu Leng manggut-manggut, lalu menarik kembali sepasang telapak tangannya yang menempel di dada Tam Ek Hui. Kebetulan pemuda itu menoleh ke ranjang Han Giok Shia. Karena ranjang itu kosong, maka Tam Ek Hui tertegun sambil mengeluarkan suara.

“Hah...?!”

Lu Leng tahu bahwa luka dalam yang diderita Tam Ek Hui baru sembuh dua bagian. Apabila pemuda itu tahu Han Giok Shia diculik orang, maka luka dalamnya pasti akan bertambah parah. Oleh karena itu Lu Leng segera berkata, "Saudara Tam, legakanlah hatimu. Nona Han dibawa pergi oleh seorang tokoh tua rimba persilatan untuk diobati luka dalamnya."

Tam Ek Hui kurang percaya. "Siapa tokoh tua itu?" tanyanya dengan gugup.

Apa boleh buat! Lu Leng terpaksa harus terus berdusta. "Tokoh tua itu menyuruhku menutup mulut. Saudara Tam, pokoknya kau tenang saja!"

Biar bagaimana pun Tam Ek Hui tetap tidak begitu percaya, sepasang matanya menatap Lu Leng dalam-dalam. Maka timbul rasa tidak enak dalam hati Lu Leng, sebab selama ini dia tidak pernah berdusta. Seandainya Tam Ek Hui terus menatapnya, mungkin sikap dusta Lu Leng akan terlihat. Namun di saat bersamaan terdengar suara tawa panjang di luar sehingga Tam Ek Hui mengalihkan pandangannya, dan itu membuat Lu Leng berlega hati.

"Hahaha! Ek Hui, apakah kau akan merasa aman terus bersembunyi di dalam perahu?"

Lu Leng segera berbisik, "Saudara Tam, kau tetaplah di sini, biar aku yang menghadapinya!"

Sebelum Tam Ek Hui menyahut, Lu Leng sudah bergerak melesat ke haluan perahu. Tampak Kim Kut Lau berdiri di situ dengan tangannya memegang sebuah kipas sambil tersenyum-senyum. Ketika melihat yang muncul itu adalah Lu Leng, dia tertegun dengan mata terbelalak.

"Saudara Tam tidak sudi bertemu, kau mau bilang apa?!" bentak Lu Leng.

Kim Kut Lau tahu bahwa kepandaian Lu Leng sudah tinggi, bahkan mampu melukai si Nabi Setan di Cing Yun Ling, Go Bi San. Namun dia tidak tahu bahwa Lu Leng telah makan Ling Che tujuh warna di Istana Iblis sehingga lweekang-nya bertambah tinggi. Walau Kim Kut Lau tahu bahwa Lu Leng mampu melukai si Setan-Seng Ling, tapi tetap meremehkannya.

Dia menatap Lu Leng dengan kening berkerut kemudian tertawa panjang. "Hahaha...! Bocah, aku dan Ek Hui adalah famili dekat! Kami ingin membicarakan sesuatu, sedangkan kau orang luar, lebih baik minggir saja!"

Ketika Lu Leng baru mau menyahut, sudah terdengar suara Tam Ek Hui dari dalam perahu. "Saudara Lu, tidak usah banyak bicara dengan orang semacam itu! Lebih baik cepat hajar dia!"

Begitu mendengar perkataan itu, wajah Kim Kut Lau langsung berubah tak sedap dilihat. "Ek Hui, apakah kau ingin cari penyakit?"

Karena Tam Ek Hui menyuruh Lu Leng cepat turun tangan, maka Lu Leng tidak tinggal diam. Ketika Kim Kut Lau baru usai berkata, Lu Leng sudah maju selangkah, sekaligus menggerakkan jari tangannya menyerang Kim Kut Lau dengan jurus Siang Hong Cak Yun (Sepasang Puncak Menembus Awan).

Kim Kut Lau tahu akan kelihayan Kim Kong Sin Ci, maka bagaimana mungkin berani menyambut serangan itu? Begitu merasa angin telunjuk mengarahnya, dia langsung berkelit ke sisi Lu Leng sekaligus menyerangnya dengan kipas, mengarah jalan darah Tay Pai Hiat di pinggang Lu Leng. Ketika melihat Kim Kut Lau berkelit, Lu Leng segera merubah jurusnya dengan jurus Cap Bin Li Cing (Menggali Sepuluh Arah). Padahal Kim Kut Lau amat girang dalam hati, karena kipasnya sudah hampir menotok jalan darah Tay Pai Hiat itu. Tapi mendadak dia merasakan adanya tenaga yang amat dahsyat menindih kepalanya.

Bukan main terkejutnya Kim Kut Lau. Dia segera memandang ke atas, tapi justru pandangannya malah menjadi kabur karena melihat begitu banyak bayangan jari mengurung sekujur badannya. Maka dia menghentikan serangannya, lalu mengangkat kipasnya ke atas untuk menangkis serangan yang dilancarkan Lu Leng.

“Plak!” kipas itu patah menjadi dua dan terbang melayang ke atas.

Kim Kut Lau bertambah terkejut. Kalau tidak cepat-cepat mundur, dirinya pasti celaka. Kim Kut Lau memang berkepandaian tinggi. Dia masih berhasil berkelit dengan cara mencelat ke belakang. Namun belum sampai badannya berdiri tegak, Lu Leng menyusulkan serangannya dengan jurus It Ci Keng Thian (Satu Jari Mengejutkan Langit), menggunakan delapan bagian tenaganya.

Akan tetapi tiba-tiba Lu Leng teringat akan suatu hal. Ketika dia makan Cit Sek Ling Che, di dalam kotak giok terukir beberapa baris tulisan, merupakan pesan baginya. Pada waktu itu Lu Leng tidak tahu siapa pemilik Ling Che tujuh warna itu. Pesan tersebut agar Lu Leng tidak mencelakai putra pemilik Cit Sek Ling Che. Karena tidak tahu siapa pemilik itu, maka dia pun tidak begitu menaruh perhatian akan pesan tersebut. Setelah itu barulah dia tahu, pemiliknya adalah Mo Liong Seh Sih. sedangkan Kim Kut Lau adalah putra Mo Liong Seh Sih. Kalau dia turun tangan jahat terhadap Kim Kut Lau, bukankah dia akan berdosa terhadap Mo Liong Seh Sih?

Teringat akan hal tersebut dia segera menarik kembali sebagian besar lweekang-nya, padahal di saat itu Kim Kut Lau sudah pasrah. Namun kemudian Kim Kut Lau menjadi terheran-heran karena tenaga serangan itu tidak begitu dahsyat lagi. Oleh karena itu dia cepat-cepat mundur sambil melancarkan sebuah pukulan untuk menangkis serangan Lu Leng. Walau demikian badannya tetap bergoyang-goyang, hampir terjatuh ke dalam sungai.

Lu Leng tidak menyerangnya lagi, hanya membentak, "Aku telah mengampunimu, apakah kau masih tidak tahu diri?!"

Wajah Kim Kut Lau merah padam. Sejak dia berkecimpung dalam rimba persilatan, bagi yang tahu asal usulnya pasti memandang muka Mo Liong Seh Sih, mengalah padanya. Bagi yang tidak tahu, dia pun dapat merobohkan mereka dengan kepandaiannya yang amat tinggi itu. Akan tetapi, kini menghadapi Lu Leng yang masih begitu muda dia justru tak mampu. Itu membuatnya amat penasaran dan penuh rasa dendam. Sepasang matanya menyorot garang menatap Lu Leng. Walau dia tahu bahwa Lu Leng bukan lawannya, tapi merasa tidak rela meninggalkan perahu itu.

"Hmm!" Lu Leng mendengus dingin ketika melihatnya tidak mau pergi. "Kim Kut Lau, kalau aku tidak kagum dan salut terhadap ayahmu, seranganku tadi pasti sudah melukaimu! Kalau kau masih tidak mau pergi, boleh coba menyambut seranganku lagi!"

Usai berkata Lu Leng melancarkan serangan, mengeluarkan jurus Sam Hoan Toh Goat (Tiga Lingkaran Mengelilingi Bulan). Lu Leng melancarkan serangan tersebut sama sekali tidak berniat melukainya, namun menggunakan tenaga sepenuhnya. Betapa terkejutnya Kim Kut Lau, dan mana dia berani menyambut serangan itu? Dia langsung bersiul panjang sambil mencelat ke belakang beberapa depa, kebetulan jatuh di sebuah
perahu kecil, kemudian melesat ke daratan. Tanpa menoleh lagi dia langsung kabur dan dalam sekejap sudah tidak kelihatan bayangannya.

Ternyata serangan yang dilancarkan Lu Leng tadi memang hanya untuk menakut-nakuti Kim Kut Lau agar dia kabur. Teringat akan Mo Liong Seh Sih dan kedua putranya, Lu Leng menggeleng-gelengkan kepala sambil menghela nafas panjang. Mo Liong Seh Sih begitu gagah dan berhati mulia, sedangkan Hek Sin Kun dan Kim Kut Lau begitu licik serta jahat, sungguh berbeda dengan sifat ayah mereka!

Lu Leng kembali masuk ke perahu dan seketika terbelalak saking terkejutnya. Ketika dia bergebrak dengan Kim Kut Lau, masih mendengar suara Tam Ek Hui dari dalam perahu itu. Sedangkan dia hanya bergebrak empat jurus, berarti dalam waktu yang amat singkat. Namun kini di dalam perahu itu telah kosong. Tam Ek Hui yang duduk di atas ranjang sudah tidak kelihatan. Lu Leng tahu bahwa Tam Ek Hui hilang mendadak, tentunya diculik oleh orang yang tadi menculik Han Giok Shia.

Lu Leng merasa heran, sebab luka dalam yang diderita Tam Ek Hui sudah sembuh dua bagian. Kalau pun musuh muncul, seharusnya dia bisa berteriak minta tolong. Bagaimana mungkin diam saja membiarkan dirinya diculik begitu saja? Apakah si penculik berkepandaian amat tinggi? Lu Leng berdiri termangu-mangu. Mendadak dia mendekati ranjang Tam Ek Hui, ternyata dia melihat sepucuk surat di ranjang itu. Cepat-cepat disambarnya surat itu, lalu segera dibacanya. Surat itu berbunyi demikian,

Tam dan Han tidak apa-apa, Cepat berangkatlah kau ke telaga Tong Ting.

Gaya tulisan itu sama seperti gaya tulisan yang memesannya berangkat ke telaga Tong Ting ketika dia berada di gunung Tang Ku Sat. Setelah membaca surat itu Lu Leng tertegun, padahal tadi dia berdusta kepada Tam Ek Hui bahwa Han Giok Shia ditolong oleh seorang tokoh tua dalam rimba persilatan. Kini kelihatannya memang benar. Orang itu pernah menjaganya di saat mengobati luka dalamnya, sudah pasti orang itu bukan penjahat. Akan tetapi Lu Leng justru merasa bingung, siapa orang itu dan kenapa bertindak begitu misterius?

Lu Leng berpikir sejenak, kemudian berjalan ke luar dan langsung melesat ke daratan. Dia berusaha mengejar perahu yang ditumpanginya tadi, tapi mendadak terdengar suara dentingan-dentingan nyaring di dalam rimba. Begitu mendengar suara itu, Lu Leng segera tahu bahwa itu suara Pat Liong Khim. Lu Leng segera berhenti, kemudian melesat ke belakang sebuah pohon untuk mengintip. Tampak dua orang berada di dalam rimba itu, namun tidak jelas siapa mereka.

Lu Leng segera menahan nafas, kemudian terdengar salah seorang dari mereka berkata, "Ayah, aku tidak mau belajar."

Begitu mendengar suara itu tersentaklah hati Lu Leng, sebab dia mengenali suara itu, tidak lain suara si Budak Setan-Oey Sim Tit.

Kemudian terdengar pula suara bentakan gusar. "Omong kosong! Pat Liong Thian Im menggemparkan kolong langit, kenapa kau tidak mau belajar? Ilmu ginkang-mu sangat tinggi. Maka kalau kau berhasil mempelajari Pat Liong Thian Im, di kolong langit ini tidak akan ada yang menandingimu."

Lu Leng sudah menduga, yang membentak itu adalah Liok Ci Khim Mo yakni ayah Oey Sim Tit.

Terdengar Oey Sim Tit menyahut, "Ayah, Pat Liong Thian Im memang merupakan ilmu yang amat hebat, tapi ayah selalu membunuh orang. Tidak sampai setahun, yang mati di bawah Pat Liong Thian Im sudah ratusan jago tangguh dalam rimba persilatan. Aku... aku sungguh tidak ingin belajar!"

“Plak!” Lu Leng mendengar suara tepat ketika Oey Sim Tit selesai berkata.

Mungkin saking gusarnya Liok Ci Khim Mo menampar putranya itu dan membentak, "Dasar tak berguna!"

"Aku... aku...." sahut Oey Sim Tit tersendat-sendat.

Lu Leng memberanikan diri maju dua langkah, lalu mengintip lagi. Ternyata Liok Ci Khim Mo dan Oey Sim Tit duduk berhadapan. Harpa Pat Liong Khim berada di pangkuan Oey Sim Tit. Berdasarkan percakapan mereka tadi, Lu Leng tahu bahwa Oey Sim Tit belum berhasil mempelajari Pat Liong Thian Im, sedangkan harpa Pat Liong Khim berada di pangkuan Oey Sim Tit. Kalau dia berani turun tangan merebut harpa Pat Liong Khim itu, kemungkinan besar akan berhasil, maka tidak perlu pergi mencari Panah Bulu Api lagi.

Berpikir sampai begitu, tanpa ayal lagi Lu Leng langsung melesat ke arah mereka berdua, sekaligus melancarkan Kim Kong Sin Ci. Tangan kanan mengeluarkan jurus Hong Mong Coh Khai (Turun Hujan Gerimis) dan tangan kiri mengeluarkan jurus Thian Te Kun Tun (Langit Bumi Kacau Balau). Kedua jurus tersebut dikeluarkan dengan serentak. Itu adalah jurus kesebelas dan dua belas dari ilmu Kim Kong Sin Ci, dua jurus yang paling dahsyat dan lihay.

Sejak berhasil menguasai ilmu tersebut, Lu Leng belum pernah mengeluarkan jurus-jurus itu. Saat ini menyangkut keselamatan rimba persilatan, maka Lu Leng langsung mengeluarkan kedua jurus itu. Walau jarak mereka lima enam depa, namun begitu badan Lu Leng melesat ke luar, hanya berjarak sekitarnya tiga depa. Kelihatannya Lu Leng akan berhasil merebut Pat Liong Khim itu.

Namun di saat bersamaan terdengar Oey Sim Tit berseru kaget, dan begitu badannya bergerak tahu-tahu sudah berada di sisi ayahnya. Sedangkan Liok Ci Khim Mo segera menyambar harpa Pat Liong Khim, akan tetapi angin serangan Lu Leng telah menerjang ke arah mereka, membuat Oey Sim Tit terpental jatuh. Liok Ci Khim Mo juga terpental namun tidak jatuh, bahkan jari tangannya masih sempat memetik tali senar harpa Pat Liong Khim.

Seketika terdengar suara harpa yang amat dahsyat menggoncangkan sukma, juga bagaikan laksaan kuda sedang berpacu. Hati Lu Leng tergoncang keras, sepertinya terhantam oleh puluhan buah palu yang beratnya ratusan kati sehingga membuyarkan tenaga Kim Kong Sin Ci. Lu Leng bersiul panjang. Serangan yang dilancarkannya tidak berhasil, itu berarti tiada harapan lagi. Kalau tidak cepat-cepat meloloskan diri, mungkin hari ini dia akan mati di tempat tersebut. Seandainya dia mati, lalu siapa yang akan berangkat ke telaga Tong Ting menolong orang?

Oleh karena itu dia segera mencelat ke belakang tiga depa. Walau Lu Leng berhasil mencelat ke belakang, namun matanya berkunang-kunang dan merasa tanah yang diinjaknya berputar-putar. Dia memaksakan diri untuk lari. Namun baru lima depaan, sekujur badannya terasa tak bertenaga sama sekali, dan akhirnya terkulai. Di saat itulah mendadak dia teringat akan perkataan salah seorang Coan Liong Liok Couw, bahwa dia pernah menghadapi Pat Liong Thian Im. Untung dia terjun ke dalam sungai, maka terhindar dari petaka.

Saat ini kebetulan Lu Leng berada di pinggir sungai. Maka begitu teringat akan hal itu, dia langsung berupaya untuk berguling ke arah sungai. Dia berhasil masuk ke sungai, lalu menenggelamkan diri. Semula dia masih mendengar suara harpa itu, namun setelah tenggelam kira-kira dua depa, dia tak mendengar suara apa pun. Hati Lu Leng masih berdebar-debar. Kemudian dia segera menahan nafas, tentunya tidak berani muncul di permukaan. Setelah itu barulah dia mulai berenang di dasar sungai.

Setelah merasa cukup lama berenang, dia muncul di permukaan. Saat ini hari sudah mulai sore. Setelah muncul di permukaan sungai barulah dia tahu bahwa dirinya berada di tengah-tengah sungai. Tampak dua tiga buah perahu layar, burung-burung beterbangan, tapi tidak tampak ada orang mengejarnya. Barulah Lu Leng menarik nafas lega. Dia berenang ke pinggir, kemudian naik ke atas dan beristirahat di situ. Teringat akan kejadian tadi, hatinya berdebar-debar lagi. Tadi dia menempuh bahaya, namun tidak berhasil merebut harpa Pat Liong Khim. Sungguh kehilangan kesempatan itu.

Liok Ci Khim Mo dan putranya memang terdapat sifat dan watak yang berbeda, tapi mereka berdua tak pernah berpisah. Di mana ada Liok Ci Khim Mo, di situ pasti ada Oey Sim Tit. Di mana ada Oey Sim Tit, di situ pasti ada Liok Ci Khim Mo. Kalau pun berhasil mencari Panah Bulu Api, lalu bagaimana cara mendekati Oey Sim Tit untuk mencuri Busur Api itu?

Berpikir sampai di situ, hati Lu Leng menjadi risau. Dia mendongakkan kepala seraya menghela nafas panjang, setelah itu memandang permukaan sungai sambil bergumam, "Oh, Thian (Tuhan)! Betulkah tiada jalan untuk menyelamatkan rimba persilatan dari malapetaka itu?"

Lu Leng tahu, sejak kejadian di gunung Go Bi San, semua partai besar dan kaum rimba persilatan lainnya sudah pergi bersembunyi menghindari Liok Ci Khim Mo. Tapi berdasarkan apa yang dikatakan Oey Sim Tit ketika Lu Leng berangkat ke gunung Tang Ku Sat, sudah ratusan kaum rimba persilatan mati di bawah Pat Liong Thian Im. Kalau terus begitu, kaum rimba persilatan golongan lurus pasti akan habis. Lu Leng duduk tercenung di pinggir sungai. Setelah pakaiannya agak kering, barulah dia pergi mengejar perahu yang ditumpanginya tadi.

Setelah larut malam, barulah dia berhasil mengejar perahu tersebut. Dia berteriak-teriak memanggil tukang perahu, dan perahu itu segera meluncur ke pinggir. Lu Leng meloncat ke dalam perahu, ternyata perahu itu sudah bertambah dua orang. Ketika Lu Leng mau menegur si tukang perahu, kedua orang itu justru bangkit berdiri. Lu Leng melihat salah seorang dari mereka hanya berlengan satu, sedangkan yang satu lagi tidak punya sepasang kaki. Ternyata mereka berdua adalah orang cacat, namun sikap mereka masih tampak berwibawa.

Sebelum Lu Leng membuka mulut, kedua orang itu sudah berkata, "Saudara kecil, apakah kau yang menyewa perahu ini?"

Lu Leng mengangguk. "Betul. Siapakah anda berdua?"

Kedua orang itu menghela nafas panjang, lalu orang berlengan satu menyahut, "Namaku Pik Giok Sen, yang ini adalah ketua Tiam Cong Pai, bernama Sih Liok Khie."

Sih Liok Khie tersenyum getir sambil berkata, "Sepasang kakiku telah putus, maka aku merasa malu mengaku sebagai ketua Tiam Cong Pai. Kami berdua dicelakai lagi oleh Liok Ci Khim Mo, maka terpaksa bersembunyi di dalam perahu ini. Harap saudara kecil memaafkan kelancangan kami!"

Ketika mendengar orang berkaki buntung itu mengaku Sih Liok Khie, ketua Tiam Cong Pai, Lu Leng langsung menjatuhkan diri berlutut. “Ternyata Susiok (Paman guru), aku... aku Lu Leng!" Berkata sampai di situ, Lu Leng teringat pula akan kematian kedua orang-tuanya, maka tak tertahan lagi air matanya lalu meleleh.

Begitu melihat pemuda itu berlutut sambil memanggil ‘Susiok’, seketika juga Sih Liok Khie terbelalak. Setelah Lu Leng menyebut namanya, barulah dia tahu pemuda yang berlutut di hadapannya adalah putra Sebun It Nio, kakak seperguruannya. Sih Liok Khie memperhatikan wajah Lu Leng, memang agak mirip wajah Sebun It Nio, keras hati dan percaya diri seperti ibunya.

Sebun It Nio lebih awal tiga tahun masuk ke Tiam Cong Pai dari Sih Liok Khie. Ketika masih muda, Sih Liok Khie juga pernah mencintai Sebun It Nio secara diam-diam, namun Sebun It Nio sama sekali tidak mengacuhkannya. Sih Liok Khie tidak tersinggung masih tetap baik terhadap kakak seperguruannya itu. Padahal kedudukannya sebagai ketua harus diserahkan kepada Sebun It Nio, tapi ketika itu guru Sebun It Nio amat gusar akan perjodohan muridnya itu. Untung Sih Liok Khie bermohon kepada guru itu, maka Sebun It Nio tidak diusir dari pintu perguruan.

Saat ini begitu melihat Lu Leng, Sih Liok Khie langsung teringat akan Sebun It Nio, dan timbul pula rasa duka dalam hati. Lama sekali Sih Liok Khie tertegun sambil memandang Lu Leng, kemudian berkata, "Anak Leng, ternyata yang menyewa perahu ini adalah kau. ini sungguh di luar dugaan sama sekali!"

"Paman guru juga bertemu Liok Ci Khim Mo?" tanya Lu Leng.

Sih Liok Khie manggut-manggut. "Ya, aku bertemu dia kedua kalinya. Pertama kali di gunung Bu Yi San. Entah berapa banyak kaum rimba persilatan terpengaruh oleh Pat Liong Thian Im, termasuk ayahmu juga mati di bawah pengaruh suara harpa itu. Hingga kini tak terasa sudah empat tahun berlalu."

Lu Leng manggut-manggut diam, dan air matanya terus berderai-derai.

Sih Liok Khie menghela nafas panjang lalu melanjutkan penuturannya, "Saat itu aku selamat, namun sepasang kakiku kutung. Setelah kembali ke gunung Tiam Cong San, aku terus berlatih selama tiga tahun. Aku kira sudah waktunya membalas dendam. Tapi tidak tahunya, ketika kami baru turun gunung terdengar berita tentang kejadian di Cing Yun Ling gunung Go Bi San. Coba pikir, Giok Bin Sin Kun dan Sui Cing Siansu pun pergi menghindari Liok Ci Khim Mo, bagaimana kami mampu menghadapinya? Bukankah akan mencari mati? Karena itu kami menetap di sekitar sungai Tiang Kang. Sedangkan Liok Ci Khim Mo mengumpulkan kaum rimba persilatan golongan hitam dan mendirikan sebuah istana Bu Lim Ci Cun Ceh Kiong (Istana Penguasa Rimba Persilatan) di sebuah gunung. Aaaah...!"

Dalam setahun ini Lu Leng berada di gunung Tang Ku Sat untuk mencari Panah Bulu Api. Maka bagaimana tindak-tanduk Liok Ci Khim Mo setahun terakhir ini, dia sama sekali tidak mengetahuinya. Kini mendengar Sih Liok Khie mengatakan begitu, tentunya dia amat terkejut.

"Bulim Ci Cun?"

Sih Liok Khie manggut-manggut, kemudian dengan wajah penuh diliputi rasa dendam dia menyahut, "Tidak salah, dia telah menyebut dirinya sebagai Bu Lim Ci Cun. Para anak buahnya yang terdiri dari golongan hitam terus mencari jejak partai-partai besar yang bersembunyi. Kalau sudah tahu jejak mereka, para anak buah itu pun melapor kepada Liok Ci Khim Mo. Setelah itu dia muncul mendadak, memaksa kaum rimba persilatan golongan lurus itu harus tunduk pada perintahnya. Kalau tidak, harpa Pat Liong Khim pasti berbunyi...."

Berkata sampai di situ, Sih Liok Khie menghela nafas panjang, kemudian melanjutkan, "Setahuku, dalam setahun terakhir ini Yu Lao Pun ketua Tai Ci Bun telah meninggal, sedangkan Hui Yan Bun hanya tinggal si Walet Hijau-Yok Kun Sih seorang, namun entah menghilang ke mana. Begitu pula Liat Hwe Cousu, ketua Hwa San Pai juga hilang jejaknya...."

Ketika mendengar sampai di situ, mendadak sepasang mata Lu Leng tampak berapi-api.

Sih Liok Khie berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Bu Tong Pai tersisa satu orang, yakni Sen Hong Kiam Khek. Kemarin Liok Ci Khim Mo berhasil menemukan tempat persembunyian kami, maka Tiam Cong Pai hanya tinggal aku seorang."

Lu Leng tertegun, lama sekali baru bertanya, "Lalu bagaimana Cit Sat Sin Kun dan guruku?"

"ltu aku tidak tahu," sahut Sih Liok Khie.

"Liok Ci Khim Mo pernah ke pulau Hwe Ciauw To, tapi tidak berhasil mencari Cit Sat Sin Kun suami istri. Seperti gurumu, mereka berdua pun jejaknya menghilang. Ada pun mengenai para padri Go Bi Pai, aaah... sungguh kasihan sekali!" sela Pik Giok Sen.

"Bagaimana?" tanya Lu Leng.

Sih Liok Khie memberitahukan, "Sungguh kasihan Sui Cing Siansu! Beliau ingin menyadarkan Liok Ci Khim Mo dengan ajaran-ajaran Sang Buddha, membawa dua belas padri berkepandaian tinggi dan ratusan padri lainnya ke istana Ci Cun Kiong di gunung Tiong Tiau San, namun Liok Ci Khim Mo justru menggunakan Pat Liong Thian Im membinasakan mereka semua."

Betapa terkejutnya Lu Leng. Mendadak dia memukul meja sambil berteriak sekeras-kerasnya, "Apakah tiada seorang pun dapat membasmi penjahat itu?!"

Pik Giok Sen dan Sih Liok Khie menghela nafas panjang, memandang permukaan sungai dengan wajah murung. Lu Leng tahu tiada gunanya gusar, namun dalam hati masih tetap amat emosi.

"Biar bagaimana pun aku harus mencari Panah Bulu Api!" teriaknya.

"Apa gunanya kalau berhasil mencari Panah Bulu Api?" tanya Pik Giok Sen dan Sih Liok Khie serentak.

Lu Leng segera menutur tentang semua itu. Kedua orang itu amat berduka ketika mendengar penuturan Lu Leng tentang pengorbanan Mo Liong Seh Sih.

Pik Giok Sen menghela nafas panjang, "Banyak kaum golongan hitam yang kukenal. Sebulan yang lalu aku bertemu salah seorang, katanya tahun ini Cit Gwee Cap Ngo (Tanggal Lima Belas Bulan Tujuh), Liok Ci Khim Mo akan menyelenggarakan pertemuan besar-besaran di istana Ci Cun Kiong. Kemungkinan besar dia bertujuan memancing ke luar Tong Hong Pek, Tam Sen dan Seh Cing Hua."

Lu Leng menghitung, Cit Gwee Cap Ngo hanya tinggal sebulan lebih. "Kecuali guruku tidak tahu, kalau tahu beliau pasti ke sana mencari kesempatan," katanya.

"Maaf Saudara kecil, kepandaian gurumu memang tinggi sekali. Tapi kalau dia ke sana, mungkin hanya cari mati saja," kata Pik Giok Sen.

Lu Leng tahu Pik Giok Sen berkata sesungguhnya, sebab dia pun telah mengalami itu. Kalau tidak kebetulan berada di pinggir sungai, dia pasti sudah binasa di bawah Pat Liong Thian Im. Lu Leng pun teringat pada Liat Hwe Cousu. Selama dua puluhan tahun, ketua Hwa San Pai itu tidak pernah melepaskan jubah merahnya. Namun setelah kejadian Cing Yun Ling, dia pun melepaskan jubah merahnya.

"Seandainya kita menyamar, mungkin Liok Ci Khim Mo tidak akan mengenali kita," kata Lu Leng.

Pik Giok Sen dan Sih Liok Khie hanya saling memandang dengan kening berkerut, pertanda tidak setuju akan usul Lu Leng. Lu Leng pun diam, namun dalam hati sudah mengambil suatu keputusan, bahwa setelah beres urusan di telaga Tong Ting dia pasti akan berangkat ke istana Ci Cun Kiong di gunung Tiong Tiau San. Sementara perahu itu terus melaju dan hampir tiba di telaga Tong Ting.

Lu Leng segera bertanya kepada tukang perahu, “Masih berapa jauh akan tiba di telaga Tong Ting?”

“Hanya tujuh delapan mil lagi,” tukang perahu memberitahukan.

Lu Leng berpamit kepada Pik Giok Sen dan Sih Liok Khie, kemudian mendarat dan langsung menuju telaga Tong Ting. Ketika Lu Leng meninggalkan perahu itu, sang mentari sedang mulai memancarkan cahayanya. Setelah hari agak siang, dia sudah tiba di pinggir telaga tersebut, lalu berdiam termangu-mangu.

Orang yang meninggalkan pesan itu hanya memberitahukan, bahwa orang yang dicintai Lu Leng mengalami kesulitan di telaga Tong Ting, tapi tidak menjelaskan tepatnya di sebelah mana. Luas telaga Tong Ting hampir ratusan mil, kalau mencari harus menyita banyak waktu. Lagi-pula begitu banyak pulau-pulau kecil di telaga tersebut, bagaimana mungkin mencarinya?

Setelah berpikir sejenak, akhirnya dia mengambil keputusan untuk mengitari telaga itu. Ketika mulai mengitari telaga tersebut Lu Leng bertemu penduduk setempat. Dia berpura-pura menanyakan jalan sambil mengamati tempat itu. Akan tetapi, hingga tengah hari dia belum memperoleh hasil apa-apa. Sang matahari berada di atas kepalanya sehingga membuat Lu Leng merasa haus, lalu berhenti di pinggir sebuah desa kecil. Di desa kecil itu hanya terdapat tiga puluhan rumah. Di luar desa tampak begitu banyak jala yang dijemur, kelihatannya para penduduk desa itu terdiri dari para nelayan.

Di pinggir mulut desa itu terdapat sebuah sungai kecil yang airnya mengalir tenang. Terlihat sebuah kedai teh di bawah sebuah pohon dan beberapa orang tua sedang minum teh di situ. Lu Leng mendekati kedai teh itu, kemudian mengeluarkan setael uang perak. Kapan pemilik kedai teh pernah melihat uang perak yang bergemerlapan itu?

Setelah Lu Leng duduk, pemilik kedai itu segera menyajikan teh istimewa dan beberapa potong semangka, kemudian dia pun menggoreng burung dara. Lu Leng mulai bersantap sambil memandang sungai kecil itu. Begitu tenang dan damai, sehingga membuatnya menjadi berpikir. Untuk apa orang saling membunuh demi nama dan kekuasaan? Itu sungguh tak berarti sama sekali! Bukankah lebih baik hidup tenang dan damai di desa kecil seperti ini? Kalau dirinya tidak memikul dendam kedua orang-tuanya, Lu Leng merasa rela hidup selamanya di desa kecil tersebut.

Di saat Lu Leng sedang berpikir, terdengar suara perahu berlabuh. Lu Leng mendongakkan kepala, tampak seorang nelayan menghampiri kedai teh, kemudian berhenti di hadapan Lu Leng. Setelah memperhatikan wajah Lu Leng sejenak, nelayan itu pun berseri.

"Maaf, tuan muda bermarga Lu?"

Seketika itu terkejutlah Lu Leng, sebab namanya tidak begitu terkenal. Kalau pun terkenal tentunya kaum rimba persilatan yang mengetahuinya. Lalu bagaimana mungkin seorang nelayan mengetahui namanya?

Nelayan itu tertawa. "Semalam aku bermimpi mendapat ikan besar, itu pertanda rejeki. Ternyata benar, hari ini begitu keluar rumah, aku berjumpa tuan penolong. Dia hanya menyuruhku mengantar sepucuk surat, tapi memberiku hadiah sepuluh tael perak. Semula aku mengira amat sulit menemukan orang yang harus menerima surat ini, tidak tahunya hanya dalam setengah hari aku sudah bertemu tuan muda Lu."

"Paman, apakah surat itu ditujukan kepadaku?" tanya Lu Leng.

"Betul," sahut nelayan itu sambil mengangguk, lalu mengeluarkan sepucuk surat dari dalam bajunya. “Ini suratnya," lanjutnya.

Lu Leng menerima surat tersebut, lalu mengeluarkan isinya untuk dibaca. Begitu melihat tulisan surat itu Lu Leng langsung mengenalinya.

Orang yang paling kau cintai berada di pulau Huang Yap, dalam kesulitan besar di tengah telaga, cepatlah kau pergi ke sana, nelayan setempat akan menunjukkan jalan!

Usai membaca, ketika Lu Leng baru mau bertanya kepada nelayan itu, tiba-tiba terdengar suara perahu. Lu Leng segera menoleh dan terkejut bukan main. Tampak sebuah perahu sedang melaju mengikuti arus dan empat orang berdiri di perahu itu. Yang berdiri di paling depan berbadan tinggi besar, membawa sebuah harpa kuno, tidak lain adalah Liok Ci Khim Mo. Lu Leng cepat-cepat menyambar baju rumput salah seorang nelayan yang di sisinya lalu memakainya.

"Kalian semua jangan bersuara! Setelah keempat orang itu berlalu, aku pasti memberi kalian imbalan," kata Lu Leng dengan suara perlahan.

Perahu itu berlabuh, kemudian Liok Ci Khim Mo dan tiga orang lainnya mendarat. Lu Leng duduk membelakangi mereka dengan menundukkan kepala sambil bersantap. Suara langkah semakin mendekat, lalu terdengar salah seorang dari mereka berkata,

"Kami sudah menyelidiki sejelas-jelasnya, nenek tua itu berada di tengah telaga. Kemarin aku melihat dia membawa seorang gadis, dalam keadaan gusar melewati tempat ini. Asal kita berhasil menemukannya, dalam rimba persilatan sudah tiada lagi Hui Yan Bun."

Liok Ci Khim Mo menyahut dingin, "Baik."

Setelah itu terdengar suara orang memesan teh. Lu Leng menahan nafas dan membatin, dua orang itu pasti dari golongan hitam yang bertugas menyelidiki ketua Hui Yan Bun. Ternyata Yok Kun Sih tinggal di tengah telaga. Mereka bertiga mengajak Liok Ci Khim Mo untuk membinasakannya.

Mendadak terdengar suara Oey Sim Tit, "Ayah, nama Yok Kun Sih amat baik dalam rimba persilatan. Kenapa kita harus mencelakainya?"

Liok Ci Khim Mo gusar sekali dan langsung membanting cangkir yang dipegangnya ke tanah.

“Praang!” cangkir itu hancur berkeping-keping.

Setelah itu, Liok Ci Khim Mo berkata dengan suara lantang, "Yang menurut hidup, yang melawan mati! Aku tidak peduli nama baik segala!"

Kedua orang itu segera menyahut, "Betul! Betul! Kalau tidak, bagaimana bisa jadi Bu Lim Ci Cun? Sejak dulu hingga kini, siapa yang berani menyebut dirinya demikian?"

Liok Ci Khim Mo tertawa puas, sedangkan Oey Sim Tit malah menghela nafas panjang. Bagaimana Lu Leng? Saat ini perasaannya tegang sekali, karena apabila Liok Ci Khim Mo tahu akan keberadaannya, dia pasti celaka. Waktu sesaat itu dirasanya lama sekali. Berselang sesaat, Liok Ci Khim Mo dan lainnya kembali ke perahu dan kemudian perahu itu melaju. Setelah tidak mendengar suara perahu itu, barulah Lu Leng mendongakkan kepala memandang ke arah telaga. Perahu itu telah lenyap ditelan kabut.

"Paman tahu di tengah telaga terdapat sebuah pulau Huang Yap To?" tanyanya.

Nelayan itu tertawa. "Hidupku memang di telaga, tentunya tahu pulau itu."

Lu Leng manggut-manggut. "Baik, kalau begitu harap Paman mengantarku ke pulau itu, pasti kuberikan hadiah!"

Nelayan itu mengangguk. "Baiklah!"

Lu Leng bangkit berdiri, kemudian memberikan uang kepada beberapa nelayan yang ada di situ masing-masing setael perak, dan para nelayan itu menerimanya dengan girang. Nelayan itu membawa Lu Leng ke perahu dan begitu berada di perahu tersebut, Lu Leng berpesan.

"Kita harus menjauhi perahu tadi, jangan sampai mereka melihat kita!"

Nelayan itu tampak serba salah. "ltu justru sulit. Sebab di permukaan telaga, walau berjarak sembilan atau sepuluh mil, namun pasti kelihatan. Kalau tuan muda takut dikenali orang, kenapa tidak mau ganti pakaian?"

Lu Leng girang bukan main dan langsung manggut-manggut. "Betul! Betul!"

Nelayan itu membuka sebuah peti kayu untuk mengeluarkan satu stel pakaian kasar, lalu diberikan kepada Lu Leng. Setelah menerima pakaian kasar itu, Lu Leng segera menyalinnya, bahkan juga memakai topi rumput sehingga mirip seorang nelayan. Tak seberapa lama perahu itu sudah berada di tengah telaga. Lu Leng melihat perahu Liok Ci Khim Mo jauh di depan.

"Paman, siapa yang menitipkan surat itu kepadamu?" tanyanya.

Nelayan itu tertawa. "Sungguh mirip bidadari yang baru turun dari kahyangan."

Lu Leng tertegun. Selama ini dia menganggap bahwa orang yang meninggalkan pesan itu adalah seorang tokoh tua rimba persilatan, bahkan yakin pula kalau bukan Tong Hong Pek pasti Tam Sen. Akan tetapi, kini menurut kata nelayan itu, justru seorang gadis yang cantik jelita. Kalau tidak, bagaimana mungkin nelayan itu bilang sungguh mirip bidadari yang baru turun dari kahyangan?

Setelah berpikir sejenak, Lu Leng bertanya lagi, "Paman, bagaimana rupa gadis itu?"

"Sepasang mata gadis itu amat indah dan bening, wajahnya agak bulat dan berbadan sedang. Hanya saja sungguh mengherankan, ketika berbicara denganku kelihatannya seperti mengucurkan air mata. Dia bilang, kalau aku mencari di sekitar telaga pasti akan menemuimu, kemudian dia menghadiahkan sepuluh tael perak kepadaku."

Ketika mendengar nelayan memberitahukan tentang rupa gadis itu, Lu Leng semakin tercengang. Karena berdasarkan apa yang dikatakannya itu, gadis tersebut justru Tam Goat Hua. Akan tetapi, itu bagaimana mungkin? Orang yang amat dicintainya mengalami kesulitan di telaga Tong Ting. Orang yang amat dicintainya sudah pasti Tam Goat Hua, tidak mungkin gadis lain. Lu Leng berpikir lagi, mungkin nelayan itu telah lamur, maka salah melihat!

Namun persoalannya justru siapa gadis yang menulis surat itu? Lu Leng termangu-mangu. Berselang beberapa saat, perahu itu sudah mendekati dua buah pulau. Salah satu di antaranya penuh dedaunan kuning, yang satu lagi tampak menghijau. Lu Leng melihat perahu yang ditumpangi Liok Ci Khim Mo menuju pulau hijau itu. Pulau yang penuh dedaunan kuning, tentunya adalah Huang Yap To (Pulau Daun Kuning). Tak seberapa lama, perahu yang ditumpangi Lu Leng pun sudah sampai di pulau tersebut. Ternyata semua pohon di pulau itu berdaun kuning, maka tidak mengherankan kalau pulau itu dinamakan Pulau Daun Kuning.

Lu Leng menaruh lima tael perak di perahu, kemudian mendadak melesat ke pulau tersebut. Nelayan itu ingin mengucapkan terima kasih, namun Lu Leng sudah melesat pergi. Sebagian pulau itu agak datar, namun sebagian lagi penuh batu curam yang amat bahaya, tampak pula beberapa buah bukit. Sampai di kaki bukit, Lu Leng masih tidak melihat ada orang di situ. Lalu dia mendongakkan kepala, mendadak terlihat sesosok bayangan berkelebat di pinggang bukit itu. Sungguh cepat gerakan sosok bayangan tersebut, sekejap sudah tidak tampak lagi. Melihat ada orang di sana, Lu Leng segera melesat ke sana, tak lama kemudian sudah sampai di tempat itu. Ketika baru mau mencari, justru terdengar suara seorang gadis.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar