Harpa Iblis Jari Sakti Chapter 08

Tujuh Dewa mengangguk, sedangkan Tiat Cit melotot dengan nafas memburu menahan kegusarannya. Dia merasa dirinya kurang bisa berdebat, maka diam saja dengan hati mendongkol. Liok Ci Siansing sudah mengambil arak. Mereka semua duduk di situ, minum-minum sambil tertawa.

Berselang beberapa saat, setelah puas minum barulah si Gendut berkata. "Liok Ci, ketika kami kemari, di tengah jalan mendengar kabar bahwa banyak jago tangguh rimba persilatan menuju ke mari. Kau sebagai tuan rumah di sini, bagaimana cara menyambut mereka?"

Liok Ci Siansing bertepuk tangan sambil tertawa. "Lucu sekali! Puncak Sian Jin Hong ini bukan milikku pribadi. Mereka mau ke mari, ada urusan apa denganku?"

Si Sastrawan Se Chi berkata. "Liok Ci, jangan meremehkan urusan ini!"

Liok Ci Siansing mengerutkan kening. "Se Lo Sam, untuk apa kau merusak suasana?"

Si Buku Besi berkata dengan lantang. "Liok Ci..., Go Bi dan Tiam Cong Pai menuduhmu mencelakai putra Lu Sin Kong. Urusan ini bukan kecil, karena akan menimbulkan bencana dalam rimba persilatan."

Liok Ci Siansing memang hambar terhadap segala apa pun. Oleh karena itu dia tetap tertawa. "Kalau pun timbul bencana dalam rimba persilatan, namun bukan aku yang menimbulkannya. Ada hubungan apa dengan diriku?"

Sementara Tiat Cit Song Jin diam saja. Namun sejenak kemudian dia berkata dengan gusar sekali. "Kalian bertujuh tidak usah banyak bicara dengan dia. Sampai saatnya nanti kita lihat bagaimana dia menghadapinya."

Liok Ci Siansing tertawa. "Go Bi dan Tiam Cong Pai tergolong partai besar, bagaimana mereka tidak membicarakan aturan?"

Si Sastrawan Se Chi berkata sungguh-sungguh. "Ini sulit dikatakan, sebab kini urusan tersebut bagaikan sebuah misteri yang dikendalikan oleh seseorang. Yang barusan menggegerkan kolong langit, Cit Sat Sin Ciang pun telah muncul kembali dalam rimba persilatan."

Air muka Liok Ci Siansing tampak berubah. "Apakah pemilik Cit Sat Sin Ciang yang menimbulkan itu?"

Si Sastrawan Se Chi menggeleng-gelengkan kepala. "Justru bukan...."

Kemudian dia memberitahukan tentang semua pertikaian itu. Lu Sin Kong suami isteri, si Pecut Emas-Han Sun, Hwe Hong Sian Kouw dan ketua Hui Yan Bun si Walet Hijau-Yok Kun Sih yang mungkin sudah menuju ke Bu Yi San. Mendengar itu, Liok Ci Siansing mengerutkan kening dan termangu-mangu, sedangkan Tiat Cit Song Jin tertawa dan berkata.

"Haha! Ayo! Main catur lagi! Ayoooo..!!"

Salah satu tujuh dewa Si Gelang Maut Lim Hau memandang Tiat Cit Song Jin seraya berkata. "Saudara Tiat Cit, itu bukan urusan kecil. Di antara kita jangan sampai terjadi perdebatan. Kali ini yang ke mari terdiri dari beberapa ketua partai. Kalau terjadi pertarungan, kita cuma sepuluh orang dan tidak ada yang akan membantu kita."

Tiat Cit Song Jin membusungkan dada, kemudian berkata dengan gagah. "Walau kita cuma sepuluh orang, namun sudah lebih dari cukup."

Apa yang dikatakan Tiat Cit Song Jin memang bukan dibesar-besarkan saja. Perlu diketahui, mereka sepuluh orang rata-rata berkepandaian amat tinggi dan tergolong jago tangguh kelas satu. Kalau terjadi pertarungan dan di pihak lain tidak begitu banyak jago tangguh, tentunya bukan lawan mereka.

Si Sastrawan baru mau membuka mulut tapi tidak jadi, karena tampak dua orang sedang melesat berlari ke puncak Sian Jin Hong. Gerakan kedua orang itu sungguh cepat. Dalam waktu sekejap saja mereka sudah tiba di tempat itu. Setelah terlihat jelas, ternyata dua wanita berusia pertengahan.

Kedua wanita itu memberi hormat, lalu bertanya. "Maaf! Siapa di antara kalian yang bernama Liok Ci Siansing?"

Liok Ci Siansing segera bangkit berdiri dan menyahut. "Aku! Bolehkah aku tahu siapa kalian berdua?"

Salah seorang dari mereka menjawab. "Aku dari perguruan Hui Yan Bun. Guru memberi perintah pada kami untuk kemari mengunjungi Liok Ci Siansing. Guru ingin meminjam tempat agar kami beberapa murid Hui Yan Bun bisa menginap di sini."

Setelah mendengar ucapan wanita itu, Liok Ci Siansing tertawa hambar. "Di tempat ini hanya terdapat sebidang tanah kosong, sama sekali tiada tempat tinggal."

Kedua wanita itu memberi hormat seraya berkata. "Tidak membutuhkan tempat tinggal, cukup sebagian tanah kosong ini saja! Guru pasti amat berterima-kasih."

Liok Ci Siansing manggut-manggut. "Kalau begitu, kalian berdua boleh beristirahat di Sian Jin Hong ini."

"Terima-kasih," ucap kedua wanita itu.

Mereka lalu memandang ke sana ke mari, setelah itu melesat ke bawah sebuah pohon. Mereka mengeluarkan belasan batang besi, lalu ditancapkan ke tanah mengelilingi tempat itu. Setelah belasan batang besi itu tertancap semua, terbentuklah seekor burung walet kecil.

Seusai itu, mereka berdua memberi hormat kepada semua orang dan berkata. "Kami akan pergi menjemput guru kami. Terima-kasih untuk tempat ini!"

Kemudian kedua wanita itu melesat pergi. Liok Ci Siansing menghela nafas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Walau Hui Yan Bun terdiri dari kaum wanita, namun berkedudukan tinggi dalam rimba persilatan. Kedua wanita itu cuma merupakan murid Yok Kun Sih, tapi berkepandaian begitu tinggi dan melaksanakan tugas dengan penuh kesabaran, itu sungguh mengagumkan !"

Dalam hati yang lain, juga sependapat dengan Liok Ci Siansing. Mereka memperbincangkannya sejenak. Tak beberapa lama kemudian, kedua wanita itu telah kembali ke tempat itu. Tampak seorang nenek berpakaian hijau dengan sepasang mata menyorot tajam berjalan di belakang mereka. Ketika melangkah badan nenek itu tampak ringan sekali, seakan sedang melayang-layang di permukaan air. Begitu melihat nenek itu, semua orang sudah tahu bahwa nenek itu adalah si Walet Hijau-Yok Kun Sih yang berkepandaian amat tinggi. Di belakangnya ikut pula empat muridnya.

Sampai di situ, Yok Kun Sih sama sekali tidak mengacuhkan semua orang yang berada di situ, dan semua orang itu juga tidak menghiraukannya. Yok Kun Sih dan murid-muridnya langsung menuju bawah pohon tempat belasan batang besi ditancapkan. Yok Kun Sih duduk di dalamnya, sedangkan murid-muridnya segera memasang tenda.

Menyaksikan ulah nenek dan murid-muridnya itu si Sastrawan Se Chi berbisik. "Berdasarkan situasi, Tiam Cong dan Go Bi Pai tidak akan berada di atas angin. Yok Kun Sih punya hubungan baik dengan Hwe Hong Sian Kouw, dan tentunya akan membantu Hwe Hong Sian Kouw membuat perhitungan dengan Lu Sin Kong."

Semua orang manggut-manggut, kemudian Pit Giok Sen berkata. "Sampai saat itu, kalau kita dapat terlepas dari urusan itu, justru ada tontonan yang amat menarik."

Si Sastrawan Se Chi tertawa. "Apa yang kau pikirkan itu memang tidak salah, namun yang akan celaka lebih dulu adalah kau dan Liok Ci."

Mereka bercakap-cakap sambil minum-minum dan tertawa-tawa. Tak beberapa lama kemudian, di pertengahan gunung itu terdengar suara.

"Bum! Bum! Plak! Plak!", kedengarannya seperti suara ledakan dan suara api menyala, kemudian tampak asap mengepul dan bunga-bunga api membubung.

Melihat itu, Tiat Cit Song Jin tampak gusar sekali. "Sungguh jahat tua bangka itu!"

Kemudian dia membawa senjatanya. Namun ketika baru mau melangkah, tiba-tiba Tujuh Dewa menghalanginya, bahkan Pit Giok Sen membentaknya. "Tiat Cit! Siapa pun yang ke mari, kita tidak boleh menimbulkan urusan! Pokoknya kita biarkan saja!"

Tiat Cit Song Jin menatapnya dengan mata terbelalak. "Pit Giok Sen, biasanya tiada seorang pun dalam matamu, tapi kenapa hari ini kau begitu sabar?"

Liok Ci Siansing berkata serius. "Tiat Cit, ini bukan urusan biasa, jangan sembarangan!"

Sementara asap yang mengepul itu semakin dekat. Sungguh mengherankan, asap itu terus membubung, sama sekali tidak buyar meski pun terhembus angin gunung yang amat kencang. Tak beberapa lama kemudian, seorang lelaki berbadan tinggi besar, berpakaian merah sudah berada di puncak Sian Jin Hong. Tangan laki-laki membawa sebuah obor, yang entah dibuat dari apa. Obor itu tampak membara dan asapnya terus membubung.

Walau pun dia sudah berada di tempat itu, namun tiada seorang pun yang menghiraukannya. Maka lelaki itu kelihatan gusar sekali. Dia memandang semua orang-orang itu kemudian berkata dengan suara keras. "Aku Duta Api Obor dari Hwa San, mendapat perintah guru untuk sementara tinggal di tempat ini. Maka aku terlebih dulu memberitahukan, agar tidak kehilangan penghormatan!"

Semua orang memandangnya dengan acuh tak acuh, dan Tiat Cit Song Jin yang tak sabaran itu langsung meloncat bangun sambil membentak. "Kentut! Kalau kami semua datang di Hwa San dan bersikap demikian, apakah Cousu tua bangka itu tidak akan mencak-mencak?"

Si Duta Api Obor menatap Tiat Cit Song Jin dengan dingin, lalu bertanya. "Andakah tuan rumah di sini?"

Liok Ci Siansng segera memberi isyarat kepada Tiat Cit Song Jin, setelah itu berbisik. "Diam! Saat ini kita tidak boleh emosi!" Tiat Cit Song Jin langsung diam.

"Kalau Hwa San Liat Hwe Cousu mau ke mari, tentunya akan kusambut dengan baik. Silakan anda cari tempat beristirahat!" kata Liok Ci Siansing.

Si Duta Api Obor tertawa dingin. Dengan sikap angkuh dia berjalan ke tempat kosong, lalu menancapkan obornya dan berdiri di situ dengan bertolak pinggang. Semua orang tahu, Hwa San Pai tergolong partai besar maka amat angkuh. Terutama Liat Hwe Cousu, ketua Hwa San Pai. Karena kedudukannya dalam rimba persilatan amat tinggi, maka tak memandang sebelah mata pun terhadap orang lain. Si Duta Api Obor berdudukan cukup tinggi dalam partai itu, yakni di atas kedudukan dua belas tongcu. Kepandaiannya tinggi sekali membuatnya menjadi angkuh.

Tak beberapa lama, terdengar suara musik sayup-sayup, mengalun ke tempat itu. Sesaat kemudian tampak empat bocah berpakaian merah berjalan menuju ke tempat itu sambil memainkan alat musik masing-masing. Di belakang keempat bocah baju merah itu terlihat tiga lelaki yang melangkah mantap dan bertenaga. Dapat diketahui bahwa mereka bertiga berkepandaian tinggi, sebab mereka adalah tongcu dari Hwa San. Terakhir tampak seorang tua berjubah merah. Badannya kurus tinggi bagaikan sebatang bambu dan rambutnya merah. Dia berjalan paling belakang dengan mata memandang ke atas. Sampai di puncak Sian Jin Hong, mereka mendekati obor yang tertancap di tanah itu, lalu melemparkan sesuatu ke obor tersebut.

“Bum! Bum! Bum!” Terdengar suara ledakan dan seketika tampak asap membubung.

Liok Ci Siansing memandang dengan kening berkerut-kerut, kemudian bangkit berdiri seraya berkata. "Lebih baik kita ke dalam gubuk saja!"

Tujuh Dewa menggeleng-gelengkan kepala. "Takut apa di sini?"

Berselang beberapa saat, mendadak terdengar suara tangisan yang amat menyeramkan. Si Sastrawan Se Chi tertawa.

"Bagus! Segala macam setan iblis akan berkumpul di sini!"

Suara tangisan itu kedengaran makin dekat, nada-nya bergelombang amat menusuk telinga. Ketika suara itu hampir mencapai puncak, tiba-tiba terdengar suara bentakan seorang gadis, yang disusul oleh suara sahutan parau yang tak sedap didengar.

"Apa? Cepat minggir, aku mau lewat!"

Semua orang yang berada di puncak Sian lin Hong, langsung memandang ke sana. Tampak empat sosok bayangan berkelebat ke atas sambil bertarung. Dua orang di antara mereka adalah Kou Hun Su-Seng Cai dan Sou Mia Su-Seng Bou, anak si Setan-
Seng Ling, sedangkan dua orang lagi adalah seorang pemuda dan seorang gadis. Pemuda itu berusia dua puluhan, sedangkan si gadis berusia lima belasan. Mereka berdua berpakaian aneh.

Senjata yang di tangan Seng Cai dan Seng Bou terus menghujani mereka dengan totokan, kelihatannya ingin mendahului mereka sampai di puncak. Namun si pemuda dan si gadis itu bergerak laksana kilat, dalam waktu sekejap sudah tiba di puncak.

Begitu tiba di puncak, gadis itu membalikkan badannya seraya membentak. "Arwah gentayangan berani berebut jalan dengan kami, kalian harus tahu kelihayan kami!"

Gadis itu berkata sampai di situ, senjata Seng Cai menderu-deru mengarah kepalanya. Di saat bersamaan, senjata Seng Bou juga bergerak mengarah dadanya. Namun walau diserang dua orang, gadis itu tampak tenang sekali, sama sekali tidak gugup mau pun panik. Yang mengherankan, yakni pemuda yang bersamanya, bukannya membantu sebaliknya malah melangkah pergi dengan sepasang tangan ditaruh ke belakang, sepertinya tahu gadis itu dapat menghadapi lawan-lawannya.

Saat ini yang berkumpul di puncak Sian Jin Hong, adalah jago-jago tangguh yang amat terkenal, misalnya Liat Hwe Cousu dan Yok Kun Sih. Keduanya tahu bagaimana kepandaian Seng Cai dan Seng Bou. Akan tetapi, tiada seorang pun tahu akan asal-usul pemuda dan gadis tersebut, maka banyak orang mengkhawatirkannya. Di saat semua orang memandang gadis itu, tampak gadis itu membentak sambil mencelat ke belakang beberapa depa. Seng Cai dan Seng Bou juga bergerak menyerangnya sambil mengeluarkan tangisan seram.

Si Sastrawan Se Chi sudah siap membela gadis tersebut, namun sekonyong-konyong terdengar gadis itu tertawa nyaring lalu membentak. "Setan liar! Kalian berdua sudah terjebak!"

Di saat bersamaan terdengar pula suara aneh, kemudian tampak dua rantai besi muncul dari dalam lengan baju gadis itu, mengeluarkan suara menderu-deru penuh tenaga mengarah kepala Seng Cai dan Seng Bou. Betapa terkejutnya kakak beradik itu. Mereka hendak meloncat ke belakang, namun mendadak gadis itu melancarkan empat buah pukulan. Di saat gadis itu melancarkan pukulan-pukulannya, sepasang rantai besi itu pun ikut bergerak-gerak, sehingga pukulan-pukulan itu tampak aneh sekali.

Dalam keadaan gugup dan terdesak, Seng Cai dan Seng Bou lupa, bahwa berapa depa di belakang mereka ada jurang. Mereka serentak meloncat ke belakang. Setelah meloncat, barulah mereka tahu tidak beres, karena menginjak tempat kosong. Bersamaan itu, gadis tersebut pun tertawa cekikikan, lalu mengayunkan sepasang rantai besi yang melekat di lengannya. Seng Cai dan Seng Bou berteriak kaget. Mereka berdua jatuh ke jurang, bagaimana mungkin mereka berdua akan bernyawa lagi?

Wajah gadis itu berseri-seri. Dia menghampiri pemuda itu seraya berkata. "Kak, aku telah mengusir kedua setan liar itu!"

Pemuda itu tertawa. "Aku sudah tahu!."

Sikap mereka berdua sungguh tenang sekali, sepertinya tidak pernah terjadi apa-apa. Mereka berdua tenang, namun orang lain amat mencemaskan mereka.

Pit Giok Sen berseru. "Kalian berdua telah membuat petaka besar!"

Siapa pemuda dan gadis itu? Ternyata Tam Goat Hua dan kakaknya. Mendengar seruan Pit Giok Sen, gadis itu bertanya. "Membuat petaka besar? Harap cianpwee menjelaskan!"

Pit Giok Sen menyahut. "Kedua setan muda itu telah mati, setan tua pasti membuat perhitungan dengan kalian!"

Tam Goat Hua tertawa. "Kalau setan tua itu ke mari, aku akan bersembunyi di belakang cianpwee!"

Mendengar sahutan itu, Pit Giok Sen tertawa gelak. Di saat bersamaan terlihat dua orang meloncat ke atas, yang tidak lain adalah Kou Hun Su-Seng Cai dan Sou Mia Su-Seng Bou. Tercengang semua orang, sebab tadi kedua orang itu terpukul ke jurang tapi kini meloncat ke atas tanpa kurang suatu apa pun. Bersamaan terdengar suara tawa yang parau.

"Hahaha! Liok Ci Siansing, yang datang adalah tamu! Walau anak cucu setan yang menyebalkan, namun memukul anjing harus memandang majikannya! Pandanglah muka setan tua, biar mereka yang berada di puncak Sian Jin Hong ini menambah pengetahuan!"

Tampak sosok yang amat gemuk berkelebat ke puncak Sian Jin Hong, ternyata Yu Lao Pun, ketua Tay Chi Bun. Begitu melihat kemunculan si Gemuk itu, Tujuh Dewa langsung tersenyum dingin. Itu dikarenakan perbuatan Yu Lao Pun tempo hari. Namun si Gemuk bersikap biasa-biasa. Dia mendekati orang-orang Hui Yan Bun, kemudian menaruh pikulan batunya dan duduk sambil memandang Seng Cai dan Seng Bou.

"Belum lama ini, ayah kalian pernah merugikan diriku. Sesungguhnya aku tidak ingin menolong kalian, tapi hatiku merasa tidak tega menyaksikan kalian berdua mati, maka aku menyelamatkan kalian. Cepatlah kalian pergi ke tempat lain, jangan berdiri di situ!" berkata Yu Lao Pun penuh wibawa.

Tapi hari yang lalu itu, apa yang dilakukannya terhadap Lu Leng di kedai teh, sungguh merupakan perbuatan rendah! Seng Cai dan Seng Bou amat gusar dan penasaran. Namun mereka tahu bahwa orang-orang yang ada di puncak Sian Jin Hong ini, semuanya jago tangguh, termasuk pemuda dan si gadis itu. Oleh karena itu, mereka berdua terpaksa diam, lalu berjalan ke tempat lain sambil mendengus dingin.

Tam Goat Hua dan kakaknya juga mengayunkan kaki. Namun baru beberapa langkah, mendadak terdengar suara orang memanggil mereka, ternyata pihak Hwa San Pai.

"Gadis kecil, cepat ke mari!"

Orang yang bersuara itu memiliki lweekang tinggi. Suaranya nyaring dan menusuk telinga siapa pun mendengarnya. Walau tidak menyebut nama, namun di situ hanya ada seorang gadis kecil, maka tentu gadis itu yang dipanggilnya. Akan tetapi, Tam Goat Hua dan kakaknya pura-pura tidak mendengar. Mereka berdua tertawa sambil melangkah ke depan. Yang bersuara tadi adalah tongcu keenam dari Hwa San Pai. Ketika melihat mereka berdua tak menggubrisnya, air mukanya langsung berubah. Badannya bergerak cepat, tahu-tahu dia sudah berada di hadapan Tam Goat Hua dan kakaknya.

"Gadis kecil, aku menyuruhmu tapi kenapa kau pura-pura tidak dengar?!" bentaknya gusar.

Tongcu keenam itu bertanya dengan cara membentak, itu sudah tidak sesuai dengan peraturan dalam rimba persilatan. Tapi Hwa San Pai memang angkuh, maka tindakan ini dalam anggapan mereka malah benar. Di saat bersamaan, Tujuh Dewa dan Pit Giok Sen telah bangkit berdiri. Kelihatannya mereka ingin membantu Tam Goat Hua, apabila gadis itu bertarung dengan pihak Hwa San Pai.

Tam Goat Hua justru tertawa ke arah mereka, kemudian menoleh untuk memandang tongcu keenam. "Oh! Ternyata anda memanggilku, namaku bukan gadis kecil lho!"

Tongcu keenam mendengus dingin. "Hm! Gadis kecil, aku tidak bergurau denganmu! Cepat ikut aku, Cousu akan bertanya sesuatu kepadamu!"

Tam Goat Hua terheran-heran. "Cousu? Cousu apa?"

Sikapnya memang sengaja dibuat-buat, dan dia pun tertawa cekikikan. Di antara semua orang, ada yang tak tertahan hingga tertawa gelak. Seng Cai dan Seng Bou tertawa paling keras. Mereka berdua amat girang melihat pihak Hwa San Pai mencari gara-gara dengan gadis itu, dan mereka berdua sengaja tertawa keras untuk memanasi hati pihak Hwa San Pai.

Tongcu keenam itu tak dapat menahan kegusarannya lagi, maka dia lalu menghardik sambil melotot. "Kini Cousu berada di puncak Sian Jin Hong ini. Kau berani bertingkah?"

Usai menghardik, dia langsung menjulurkan tangan kanannya untuk mencengkeram bahu Tam Goat Hua. Akan tetapi, di saat bersamaan pemuda yang berdiri di samping Tam Goat Hua menjulurkan tangannya memegang bahu tongcu keenam. Tongcu keenam merasakan adanya tenaga yang amat kuat menekan ke bawah, membuat lengannya yang telah dijulurkan itu merasa berkesemutan dan akhirnya terkulai ke bawah.

Pemuda itu tersenyum hambar. "Kawan, ada apa katakan saja! Kenapa harus turun tangan?"

Wajah tongcu keenam berubah tak sedap dipandang, namun dia tak mampu bersuara.

Pemuda itu tertawa. "Kawan, silakan kembali ke tempat!" katanya.

Pemuda itu mendorongnya perlahan, namun membuat tongcu keenam itu terhuyung-huyung ke belakang beberapa depa, kemudian jatuh gedebuk di tanah. Begitu jatuh, keangkuhannya menjadi lenyap, bahkan wajahnya tampak meringis-ringis.

Tam Goat Hua tertawa geli. "Kakak turun tangan harus ringan dikit. Orang punya Cousu di sini, jangan main-main lho!"

Kakaknya tertawa. "Siapa sangka tadi dia begitu angkuh, tapi malah tak berguna sama sekali!"

Mereka berdua terus bercakap-cakap, kelihatannya tak memandang sebelah mata pun terhadap Hwa San Pai. Dalam beberapa tahun ini, Hwa San Pai memang amat menonjol. Kedudukannya dalam rimba persilatan pun bertambah tinggi. Maka orang-orang Hwa San Pai itu angkuh sekali. Kini tongcu itu dipermalukan di hadapan semua orang, tentunya menggembirakan mereka semua. Akan tetapi mereka mencemaskan kakak beradik itu. Karena Liat Hwe Cousu, sudah pasti tidak akan membiarkan pihaknya dipermalukan begitu, otomatis akan turun tangan. Bagaimana kepandaian Liat Hwe Cousu, semua orang yang berada di tempat itu tahu jelas, tentunya Tam Goat Hua dan kakaknya akan celaka.

Terhadap mereka berdua, Pit Giok Sen sudah terkesan baik, maka segera berkata. "Kalian berdua duduk di sini saja! Sebentar lagi menonton keramaian, bagaimana?"

Tam Goat Hua langsung memberi hormat kepada Pit Giok Sen, kemudian menyahut. "Terima-kasih atas kebaikan cianpwee." Namun gadis itu tidak mau menerima maksud baik Pit Giok Sen.

Yang di sebelahnya, Tiat Cit Song Jin langsung berseru. "Gadis kecil, kalian berdua ingin mencabut kumis macan?"

Tam Goat Hua dan kakaknya hanya tertawa, tak menjawab sama sekali. Di saat bersamaan dari pihak Hwa San Pai telah melangkah ke luar tiga orang tongcu, sedangkan tongcu keenam yang terjatuh itu bangkit berdiri. Ketiga tongcu itu melesat ke hadapan Tam Goat Hua dan kakaknya, kemudian tertawa terkekeh-kekeh.

"Kepandaian nona cukup lumayan. Sebulan yang lalu, beberapa tongcu kami terluka di sekitar daerah Ciat Kang, apakah nona yang turun tangan? Mohon petunjuk nona!"

Tam Goat Hua tahu apa sebabnya pihak Hwa San Pai mencari gara-gara dengannya. Ternyata sebulan yang lalu, gadis itu yang ingin membalas budi kepada Lu Sin Kong suami isteri, maka di dalam rimba waktu itu dia mengusir beberapa tongcu Hwa San Pai. Akan tetapi Tam Goat Hua justru pura-pura tidak tahu.

Dia tersenyum seraya berkata. "Aku tidak tahu apa maksud kalian. Lagi-pula aku pun tidak mengerti apa itu tongcu. Sebulan yang lalu, ketika aku berada di Ciat Kang, memang pernah berkelahi dengan beberapa orang, sebab mereka sedang berunding cara bagaimana merampok barang kawalan. Kupikir mereka dari golongan hitam, maka aku langsung turun tangan terhadap mereka. Apakah mereka sehaluan dengan kalian?"

Ucapan Tam Goat Hua yang amat tajam itu membuat wajah ketiga tongcu berubah menjadi kehijau-hijauan. "Hmm! Ternyata benar kau! Cousu yang akan menangani itu, mari ikut kami!" kata salah seorang di antara mereka.

Tam Goat Hua tertawa. "Tadi orang itu telah jatuh hingga pantatnya terasa sakit sekali, apakah kalian bertiga juga ingin merasakan itu?"

Salah seorang tongcu berseru. "Untuk apa banyak bicara dengan gadis sialan itu?"

Kedua tongcu lain langsung menyerang Tam Goat Hua dari kiri dan kanan. Tam Goat Hua bergerak cepat mencelat ke belakang, di saat bersamaan rantai yang melekat di lengannya pun bergerak. Gadis itu sudah beberapa kali bertarung dengan para tongcu Hwa San Pai itu. Dia merasa Hwa San Pai hanya bernama kosong, sebab tongcu-tongcu itu masih bukan lawannya. Namun dia justru tidak tahu, bahwa kedudukan Hwa San Pai amat tinggi dalam rimba persilatan, tentunya tidak bernama kosong. Lagi-pula tidak semua tongcu berkepandaian rendah. Misalnya ketiga tongcu itu, mereka berasal dari See Sia. Ketika masih kecil pernah mengalami suatu kemujizatan, akhirnya berguru kepada Liat Hwe Cousu, maka kepandaian mereka tinggi sekali.

Ketika melihat rantai itu mengarah pada mereka, seketika itu juga mereka tertawa gelak. "Hahaha!"

Kemudian mereka mundur selangkah dan badan mereka pun bergerak aneh. Tampak dada mereka cekung ke dalam, itu adalah ilmu ‘Menyusutkan Tulang’. Rantai Tam Goat Hua memang mengarah ke dada mereka, namun tidak mengenai sasaran. Menyaksikan itu, tersentak hatinya, dan ia baru tahu bahwa tidak gampang menghadapi kedua orang itu. Di saat dia baru ingin menarik kembali rantainya, kedua orang itu serentak menjulurkan tangan untuk menyambar rantai tersebut dan berhasil.

Tam Goat Hua merasakan adanya serangkum tenaga dari kiri kanan mengarah kepadanya, dan itu membuatnya terkejut bukan main.

"Kakak!" serunya cepat.

Pemuda itu langsung menggerakkan jari tangannya untuk menotok jalan darah Tay Pai Hiat di tubuh salah seorang lawannya. Akan tetapi, seorang tongcu segera meraih ke pinggang, dan sebuah golok besar sudah berada di tangannya, dan langsung menyerang bahu pemuda itu dengan jurus ‘Gerimis Di Saat Angin Berhembus’. Pemuda itu berkelit ke samping, maka jarinya menotok tempat kosong. Pada saat bersamaan terdengar kedua tongcu itu berseru.

"Satu! Dua! Tiga!"

Mereka berdua menarik rantai besi itu. Tam Goat Hua tak dapat bertahan, maka tertarik ke tempat di mana Liat Hwe Cousu duduk bersila. Ketika menyaksikan pihak Hwa San Pai mengeroyok Tam Goat Hua, dalam hati Tiat Cit Song Jin merasa tidak senang.

"Gadis kecil, jangan takut!" serunya.

Tam Goat Hua memiliki lweekang yang cukup tinggi, namun kedua tongcu itu menariknya sekuat tenaga sehingga dirinya terlempar beberapa depa. Ketika badannya melayang, dia menghimpun hawa murninya, membuat badannya menjadi ringan. Begitu mendengar seruan Tiat Cit Song Jin, Tam Goat Hua bergirang dalam hati. Tampak Tiat Cit Song Jin mengangkat senjatanya, kemudian melangkah lebar ke arah Tam Goat Hua sekaligus menggerakkan senjatanya itu, membuat badan Tam Goat Hua yang melayang itu tertahan, lalu akhirnya jatuh ke bawah. Begitu jatuh, gadis itu segera meraih Tiat Cit senjata aneh milik Tiat Cit Song Jin.

Sedangkan kedua tongcu itu terhuyung-huyung ke belakang tersambar angin senjata tersebut. Akan tetapi, tiba-tiba berkelebat sosok bayangan tinggi besar ke hadapan Tiat Cit Song Jin, yang langsung melancarkan sebuah pukulan. Siapa orang yang tinggi besar itu, tidak lain adalah Duta Api Obor Hwa San Pai. Saat itu, Tiat Cit Song Jin sedang mengangkat senjatanya, maka dadanya terbuka. Pukulan si Duta Api Obor justru mengarah dadanya.

Seketika juga Tiat Cit Song Jin tahu kelihayan pukulan itu. Apabila terkena pukulan itu, kalau pun batu pasti akan hancur. Tiat Cit Song Jin tidak melihat jelas siapa orang itu, tapi sudah sekian lama dia berkecimpung dalam rimba persilatan, tentunya sudah berpengalaman. Baginya sudah sulit untuk menolong Tam Goat Hua, namun dia bersifat solider, tetap menolong gadis itu.

Sebelah tangan Tiat Cit Song Jin menurunkan senjatanya, yang sebelah lagi melindungi dadanya sambil menangkis. Dia berharap Tam Goat Hua dapat melesat pergi menggunakan ilmu ginkang, agar tidak terjatuh ke tangan Liat Hwe Cousu. Akan tetapi, Tiat Cit Song Jin justru tidak tahu, bahwa si Duta Api Obor menggunakan ilmu pukulan Hian Bun Sin Ciang.

Hian Bun Sin Ciang merupakan salah satu ilmu andalan Hwa San Pai, khususnya menggunakan gwakang (tenaga luar). Kalau berhasil mencapai tingkat kesepuluh, maka orang akan kebal terhadap senjata tajam apa pun. Tapi sejak dulu hingga kini, tiada seorang pun yang berhasil mencapai ke tingkat sepuluh. Orang bisa mencapai tingkat keenam, juga sudah luar biasa.

Si Duta Api Obor melancarkan pukulan itu, dengan tujuan membuat Tam Goat Hua melayang ketempat Liat Hwe Cousu. Itu justru menyangkut nama Hwa San Pai, maka dia melancarkan pukulan itu dengan sepenuh tenaga.

“Blaaam!” Terdengar suara benturan yang memekakkan telinga.

Tiat Cit itu merupakan senjata pusaka, maka suara benturan mendengung sampai ke mana-mana. Tiat Cit Song Jin juga merasakan adanya tenaga yang amat dahsyat mengarah dadanya, maka dia cepat-cepat menyurut mundur. Kalau tidak, dia pasti terluka.

Di saat Tiat Cit Song Jin menyurut mundur, tenaga itu justru mengarah ke Tam Goat Hua. Kebetulan gadis itu mengerahkan ilmu ginkang ‘Turun Di Pasir Datar’ untuk melesat pergi. Itu membuat badan Tam Goat Hua melayang ke atas, sedangkan si Duta Api Obor bergerak cepat mendorong badan gadis itu dengan ilmu Hian Bun Sin Kang.

Tam Goat Hua tak bisa berbuat apa-apa, sebab dia sedang berada di udara. Maka, Hian Bun Sin Kang yang dilancarkan si Duta Api mendorong badan gadis itu ke arah Liat Hwe Cousu lalu jatuh. Semua kejadian itu hanya berlangsung sekejap. Pemuda itu pun tidak dapat menolong adiknya. Tam Goat Hua yang jatuh di hadapan Liat Hwe Cousu, segera berguling agar dapat meninggalkan tempat itu.

Akan tetapi, Liat Hwe Cousu yang dari tadi duduk diam dengan mata terpejam itu, mendadak membuka matanya. Tam Goat Hua yang sedang berguling juga melihat Liat Hwe Cousu membuka matanya. Sudah barang tentu mereka berdua beradu pandang. Tam Goat Hua merasa dalam mata Liat Hwe Cousu menyorot sinar yang amat aneh, maka seketika gadis tersebut menjadi tertegun. Di saat itu lengan Liat Hwe Cousu bergerak cepat sekali, dan tahu-tahu sudah mencengkeram nadi gadis itu.

Tam Goat Hua tak berkutik sama sekali. Perlu diketahui tadi Liat Hwe Cousu telah mengerahkan ilmu Hian Sin Hoat, yaitu salah satu ilmu rahasia Hwa San Pai. Kalau Tam Goat Hua tidak memiliki lweekang tinggi, pasti sudah pingsan ketika dicengkeram nadinya. Namun ilmu Hian Sin Hoat hanya membuatnya tertegun. Begitu nadinya dicengkeram dia merasa sekujur badannya berkesemutan, dan hal itu membuatnya tercengang sebab Liat Hwe Cousu memiliki lweekang yang amat tinggi. Ketika nadinya dicengkeram, seharusnya dia merasa tersiksa, bukan merasa berkesemutan.

Tam Goat Hua cuma tercengang sebentar, tapi kemudian mengerti sebab musababnya.
Ternyata ketika Tam Goat Hua tertangkap oleh Kim Kut Lau, sepasang lengannya dibelenggu dengan semacam gelang yang disambung dengan rantai besi. Kalau Lu Sin Kong tidak menggunakan golok pendek yang amat tajam itu, tentunya rantai itu tidak dapat diputuskan. Setelah meloloskan diri, Tam Goat Hua tidak mau memutuskan sisa rantai yang melekat di lengannya, sebab gadis itu menggunakan sepasang rantai itu sebagai senjata. Maka ketika Liat Hwe Cousu mencengkeram nadinya, justru mencengkeram gelang yang di lengannya, maka nadinya terlindung oleh gelang itu.

"Duta Api Obor!" panggil Liat Hwe Cousu. Suaranya begitu perlahan, namun amat bertenaga, sehingga yang mendengarnya, seperti terpukul oleh sesuatu yang amat berat.

"Ya!" sahut si Duta Api Obor. Dia membalikkan badan, lalu menghampiri Liat Hwe Cousu.

Pada waktu bersamaan, kakak Tam Goat Hua pun melesat ke hadapan ketua Hwa San Pai itu, lalu berdiri dengan tenang di situ dan berkata. "Liat Hwe Cousu, meski pun adikku bersalah tapi kalau Cousu turun tangan sendiri, bukankah itu merupakan lelucon?"

Liat Hwe Cousu hanya mendengus, sama sekali tidak menyahut, kemudian memandang si Duta Api Obor. "Bawa gadis ini ke samping! Setelah urusan di sini usai, barulah kita hukum."

"Ya!" Si Duta Api Obor mengangguk, lalu menjulurkan tangannya untuk mencengkeram bahu Tam Goat Hua.

Saat itu, gadis tersebut tampak panik. Sebab dia tahu, di Bu Yi San akan terjadi urusan besar. Apabila dia tidak bisa mengatasi urusan itu, ya sudahlah! Namun kalau dia ditangkap orang di hadapan begitu banyak jago tangguh, kelak bagaimana dia jadi orang? Maka sebelum tangan si Duta Api Obor sampai di bahunya, dia sudah meronta sekuat tenaga.

Tapi dia sudah jatuh ke tangan Liat Hwe Cousu, tidak mungkin begitu gampang dapat meloloskan diri. Di saat meronta, dia justru merasa sekujur badannya bertambah berkesemutan. Sedangkan tangan si Duta Api Obor telah menekan jalan darah Hu Keng Hiat di bahunya, dan itu membuatnya tak bisa bergerak, namun masih bisa berseru memanggil kakaknya.

"Kakak...!"

Kakaknya segera memberi isyarat. Tam Goat Hua tahu bahwa kakaknya sangat pintar, maka sudah pasti mempunyai perhitungan dalam hati. Kalau tidak, tentunya tidak akan memberi isyarat kepadanya. Maka gadis itu bersabar. Di saat itulah si Duta Api Obor melemparnya ke samping di tengah-tengah para murid Hwa San Pai, dan beberapa murid Hwa San Pai segera mengikatnya.

Kakak Tam Goat Hua diam saja, namun di saat gadis itu sedang diikat, mendadak dia bersiul panjang dan badannya berkelebat menubruk ke arah api obor tersebut. Sementara si Duta Api Obor dan kedua tongcu menjaga Tam Goat Hua, maka pemuda itu menggunakan kesempatan itu untuk menubruk api obor itu. Perlu diketahui, api obor itu merupakan tanda kepercayaan Liat Hwe Cousu. Si Duta Api Obor yang membawa obor tersebut, sebelumnya telah bersumpah, ‘Api nyala orang hidup, api padam orang mati’.

Kalau obor itu jatuh ke tangan orang lain, dia pasti akan mendapat hukuman berat. Oleh karena itu, obor itu boleh dikatakan merupakan nyawa si Duta Api Obor. Kini melihat ada orang menubruk ke arah obor, guguplah hatinya. Kemudian dilepaskannya Tam Goat Hua dan langsung melesat ke arah obor itu.

Begitu si Duta Api Obor melesat pergi, Tam Goat Hua menjadi bebas. Dia langsung menggerakkan sepasang tangannya, sehingga kedua rantai yang melekat di lengannya menyambar cepat ke arah kedua tongcu.

“Plak! Plak!” Tam Goat Hua menghantam punggung mereka.

"Uaakh! Uaakh!" Kedua tongcu itu memuntahkan darah segar.

Sedangkan kakak Tam Goat Hua yang menubruk obor itu, hanya memancing si Duta Api Obor. Dia tahu, apabila dia menubruk ke sana, si Duta Api Obor pasti mengejarnya. Di saat si Duta Api Obor melesat ke arahnya, dia cepat-cepat berputar. Ketika si Duta Api Obor sampai di sisinya, dia telah melesat ke sisi Tam Goat Hua. Ketika itu Tam Goat Hua sudah melepaskan tali yang mengikat kakinya. Kemudian mereka kakak beradik melangkah ke belakang dengan bergandengan tangan.

Itu membuat si Duta Api Obor tahu dirinya terjebak. Ketika dia baru mau melesat ke arah Tam Goat Hua dan kakaknya, Tujuh Dewa telah maju semua, sekaligus mengelilingi mereka berdua. Menyaksikan itu gusarlah si Duta Api Obor, sehingga wajahnya berubah menjadi kehijau-hijauan. Dia tahu Tujuh Dewa masing-masing berkepandaian amat tinggi, maka tidak berani bertindak sembarangan, sebaliknya malah memberi hormat kepada Liat Hwe Cousu seraya berkata.

"Cousu, tahanan itu telah lepas, harap Cousu beri petunjuk!"

Perlahan-lahan Liat Hwe Cousu membuka matanya. Namun ketika dia baru mau membuka mulut, tiba-tiba si Sastrawan Se Chi telah melangkah maju ke hadapannya. "Liat Hwe Cousu, berdasarkan kedudukanmu dalam rimba persilatan, apakah di hadapan sekian banyak orang, kau masih punya muka menangkap kembali gadis kecil yang telah meloloskan diri itu?"

Liat Hwe Cousu menyahut perlahan. "Tujuh Dewa, apakah kalian ingin membelanya?"

Si Sastrawan Se Chi tertawa. "Berdasarkan apa kami harus membelanya? Tapi Liat Hwe Cousu harus memikirkan nama dan kedudukan! Kalau dalam wilayahmu sendiri, kau mau membakarnya dengan pukulan Liat Hwe Ciang pun tiada urusan dengan kami!"

Si Sastrawan Se Chi tahu jelas bagaimana sifat Liat Hwe Cousu, angkuh dan tak memandang sebelah pun mata pada orang lain. Tapi kalau dia mau turun tangan, itu sungguh merepotkan. Maka dia mencetuskan perkataan tajam menusuk perasaan Liat Hwe Cousu, agar ketua Hwa San Pai itu tidak turun tangan.

Liat Hwe Cousu tertawa terkekeh-kekeh. "He he he! Baiklah! Karena kau pandai berbicara, maka aku tidak akan turun tangan lagi! Duta Api Obor dan tongcu semua, segera kembali ke tempat masing-masing!"

Betapa penasaran si Duta Api Obor dan beberapa tongcu, namun Liat Hwe Cousu telah
memerintahkan begitu, maka mereka harus menurut. Seketika juga mereka kembali ke tempat masing-masing. Sedangkan Tujuh Dewa menggiring Tam Goat Hua dan kakaknya ke sisi batu hijau.

Tam Goat Hua tertawa. "Terima-kasih atas pertolongan cianpwee sekalian!" ucapnya sambil memberi hormat.

Si Gendut Lim Hau tertawa gelak. "Hahaha! Gadis kecil, kau jangan menganggap gampang menghadapi Liat Hwe Cousu. Turun dari puncak Sian Jin Hong itu, kau pasti akan celaka lho!"

Tam Goat Hua meleletkan lidahnya. "Kalau begitu, selamanya aku tidak akan turun dari puncak Sian Jin Hong ini!" katanya.

Ucapannya itu membuat semua orang tertawa. Di saat bersamaan mereka pun berpikir, tidak salah ungkapan ‘Ombak Belakang Mendorong Ombak Depan’, generasi muda akan menggantikan generasi tua. Siapa sangka mereka berdua yang masih begitu muda, tapi justru berani mencabut kumis macan.

Di saat semua orang sedang tertawa, mendadak di puncak itu telah bertambah seorang berkaki satu, mengenakan pakaian serba hitam. Orang berkaki satu itu memiliki raut wajah aneh. Sepasang pipinya cekung ke dalam, mata cuma sebesar kacang tanah, tampak hitam tak tampak putihnya, tangannya membawa sebatang tongkat yang hitam mengkilap. Yang mengejutkan adalah kemunculannya, karena tiada seorang pun tahu dari mana dia muncul.

Orang berkaki satu itu memandang semua orang dengan dingin sekali, lalu badannya mendadak melambung ke atas dan berputar-putar sejenak di udara, setelah itu melesat ke arah sebuah pohon. Badannya melambung lagi ke atas setinggi tiga depaan, kemudian duduk di atas sebatang dahan sambil memejamkan matanya. Yang kenal orang berkaki satu itu tentunya tahu, bahwa dia adalah makhluk aneh dari golongan sesat, Thay San Hek Sin Kun.

Saat ini Lu Sin Kong masih belum muncul, tontonan menarik belum mulai, maka para pendatang itu tidak saling menghiraukan. Hari itu, hingga hari sudah gelap, tidak ada yang muncul lagi. Para tamu yang berada di puncak Sian Jin Hong, tidur di sembarangan tempat, di bawah pohon, di tanah kosong atau di dalam tenda, makan pun masing-masing. Para tamu itu terdiri dari golongan sesat, lurus dan lainnya. Mereka ke tempat tersebut dengan maksud yang berbeda. Setelah tiba di tempat itu, kecuali terhadap orang sendiri mereka sama sekali tidak bercakap-cakap dengan pihak lain, tapi justru tidak terjadi bentrokan.

Keesokan paginya, tampak dua orang berkelebat ke puncak Sian Jin Hong, yang seorang adalah Kim Kut Lau. Sungguh mengherankan, begitu Kim Kut Lau sampai di situ, Hek Sin Kun yang sedang duduk santai di dahan pohon, langsung berseru.

"Saudara Kim!"

Kim Kut Lau manggut-manggut, lalu melesat ke dahan pohon itu dan duduk di sebelah Hek Sin Kun. Bagaimana asal-usul Kim Kut Lau, dalam rimba persilatan jarang ada orang mengetahuinya. Biasanya dia bergerak seorang diri, tapi justru kenal Hek Sin Kun yang telah tersohor itu, maka semua orang terheran-heran.

Orang yang satu lagi adalah Sen Hong Kiam Kek Ouw Yang Seh, yakni jago tangguh kelas dua dari Bu Tong Pai. Seng Hong Kiam Kek (Pendekar Pedang Penimbul Angin) Ouw Yang Seh tiba di tempat itu hanya memberi hormat kepada Yu Lao Pun dan Tujuh Dewa, lalu duduk di atas sebuah batu. Berselang beberapa saat, tampak dua orang wanita melesat ke arah puncak Sian Jin Hong. Begitu mereka berdua muncul di tempat itu, pihak Hui Yan Bun langsung berdiri semua.

Si Walet Hijau-Yok Kun Sin melesat dengan ringan ke arah mereka, kemudian bertanya dengan suara dalam. "Hong Kouw, kenapa sekarang baru sampai?"

Ternyata Hwe Hong Sian Kouw, yang kemudian menyahut dengan suara lantang. "Panjang kalau diceritakan! Panjang...."

Mereka berdua lalu masuk ke lingkaran yang di bentuk dengan belasan batang besi. Yang berjalan di belakang Hwe Hong Sian Kouw adalah Toan Bok Ang. Gadis itu memandang ke arah Tujuh Dewa sambil memperlihatkan muka aneh, lalu meleletkan lidahnya ke arah Yu Lao Pun. Itu membuat Tam Goat Hua tertawa geli, sehingga membuat Toan Bok Ang memandangnya.

Begitu melihat gadis yang sebaya dengannya itu, seketika timbul kesan baik di hatinya, kemudian dia tersenyum-senyum kepadanya. Di saat bersamaan dia pun melihat pemuda yang terdiri di sisi gadis itu. Wajahnya langsung memerah kemudian dia cepat-cepat memalingkan kepalanya dan berjalan ke dalam lingkaran itu.

Tak beberapa lama kemudian muncul lagi seorang anak gadis, yang tangannya membawa sebuah senjata aneh, dan di pinggangnya terselip sebuah Pecut Emas. Dia berdiri sejenak, kemudian menangis seraya berseru.

"Guru!"

Hwe Hong Sian Kouw segera bangkit berdiri dan menatap gadis itu dalam-dalam. "Eh? Ah Shia, kau tidak ke Hui Yan San?"

Gadis itu Han Giok Shia, putri si Pecut Emas-Han Sun. Dia langsung mendekap di dada Hwe Hong Sian Kouw. "Guru, ayah sudah meninggal, Guru tahu siapa yang mencelakainya?"

Hwe Hong Sian Kouw menghela nafas panjang. "Han Tayhiap sudah meninggal? Aaah! Guru pun nyaris tewas. Siapa yang mencelakainya, kini masih sulit dipastikan. Dendam memang harus dibalas, namun tidak perlu terburu-buru."

Apa yang dikatakan Hwe Hong Sian Kouw itu membuat semua orang tertegun dan terperangah, sebab siapa yang mampu membunuh si Pecut Emas-Han Sun dan melukai Hwe Hong Sian Kouw? Sekonyong-konyong terdengar suara yang amat dingin, berasal dari atas pohon.

"Siapa yang mencelakai si Pecut Emas-Han Sun, jangan berpura-pura tidak tahu urusan!"

Semua orang memandang ke atas pohon itu. Ternyata yang bersuara itu adalah Kim Kut Lau, yang duduk di sebelah Hek Sin Kun. Nada suaranya sepertinya sudah tahu siapa yang mencelakai si Pecut Emas-Han Sun. Seharusnya Hwe Hong Sian Kouw segera bertanya lebih jelas kepada Kim Kut Lau. Akan tetapi, ketika Hwe Hong Sian Kouw mendongakkan kepala, seketika juga wajahnya berubah gusar seraya membentak.

"Siapa kau?"

Kim Kut Lau tertawa terkekeh-kekeh. "He he he! Kau peduli amat aku siapa? Jelas yang mencelakai si Pecut Emas-Han Sun bukan aku!"

Wajah Hwe Hong Sian Kouw tampak semakin gusar. Nafasnya pun memburu. Namun berselang sesaat wajahnya yang merah padam itu berubah menjadi pucat pias, kegusarannya yang tersirat di wajahnya pun hilang lenyap, akhirnya wajahnya berubah menjadi kelabu.

Perubahan itu membuat semua orang tercengang, namun Kim Kut Lau malah tertawa gelak. "Hahaha! Nona kecil, kau harus pasrah! Di masa hidupnya, ayahmu adalah seorang gagah, tapi pergaulannya kurang luas. Kini dia telah binasa, sedangkan kau seorang diri. Bagaimana mungkin kau dapat membalaskan dendamnya? Lebih baik kau pergi saja!"

Perkataan Kim Kut Lau itu menimbulkan kecurigaan Han Giok Shia. "Siapa kau? Kenapa kau tidak mau berterus terang?"

Kim Kut Lau tertawa lagi dan menyahut. "Nona kecil, ada orang dari Cing Sia Pai ke mari! Di masa hidupnya ayahmu punya hubungan baik dengan partai itu, maka kau boleh minta bantuan mereka untuk membalas dendam ayahmu!"

Tentunya Han Giok Shia tahu, almarhum punya hubungan baik dan akrab dengan Cing Sia Pai. Namun kini dia ingin tahu jelas, sebetulnya siapa yang membunuh ayahnya! Oleh karena itu, dia bertanya lagi. "Katakan, sebetulnya siapa musuh ayahku?"

Di saat bersamaan, mendadak terdengar suara siulan yang amat panjang, merdu dan amat harus, membuat orang merasa nyaman mendengarnya. Kemudian tampak cahaya keperakan berkelebat, muncul seorang tosu tua berwajah kemerah-merahan. Tangan tosu itu menggenggam sebatang pedang yang bergemerlapan. Dia memakai Gin Koan (Topi Perak), tidak lain adalah Gin Koan Tojin yakni ketua Cing Sia Pai. Tampak empat tosu berusia pertengahan mengikutinya dari belakang. Mereka bertangan kosong, namun di pinggang masing-masing bergantung suatu benda berbentuk bulat, entah benda apa itu.

Begitu sampai di situ, tosu tua itu tersenyum. "Sobat yang mana tadi yang menyinggung partaiku?"

Kim Kut Lau segera menyahut. "Tidak berani. Karena si Pecut Emas-Han Sun dicelakai orang, maka aku memberi petunjuk kepadanya agar minta bantuanmu, agar bisa membalas dendam ayahnya."

Wajah Gin Koan Tojin berubah. Kemudian dia menolehkan kepalanya memandang Han Giok Shia seraya bertanya. "Nona Han, kapan ayahmu meninggal? Kenapa aku tidak tahu?"

Pertanyaan Gin Koan Tojin justru membangkitkan kesedihan dan kegusaran Han Giok Shia, sehingga sepasang matanya tampak membara. "Gin Koan Tojin, ayahku meninggal sebulan yang lalu. Aku... aku seorang diri yang memakamkannya, kemudian ke mari mencari pembunuh ayahku, maka belum mengabarkan kepada kawan baik ayahku!"

Wajah Gin Koan Tojin berubah murung tapi tampak serius, kemudian dia berkata. "Kalau begitu, kau pasti sudah tahu siapa pembunuh ayahmu. Apakah pembunuh itu berada di puncak ini?"

Sesungguhnya Han Giok Shia tidak begitu jelas tentang siapa pembunuh ayahnya, karena pada waktu itu dia telah meninggalkan rumah. Tapi dalam hatinya justru menganggap musuh besar itu adalah Lu Sin Kong. Lagi-pula kini orang tersebut belum muncul, maka Han Giok Shia berkertak gigi seraya menjawab. "Menurut aku, pasti Lu Sin Kong...."

Berkata sampai di sini, Han Giok Shia mendongakkan kepala. Dilihatnya Tam Goat Hua dan kakaknya berdiri tak jauh dari dirinya. Kesan Han Giok Shia terhadap kakak Tam Goat Hua amat dalam sekali. Lagi-pula hari itu, ketika dia bersembunyi di balik batu di Hou Yok mendengar pembicaraan mereka kakak beradik, sehingga membuat cintanya semakin bersemi. Akan tetapi, akhirnya justru timbul suatu masalah, hingga Han Giok Shia tidak bisa berpikir lebih teliti. Kini Tam Goat Hua dan kakaknya berdiri di situ, itu membuat hati Han Giok Shia menjadi agak kacau.

Namun begitu teringat akan kematian ayahnya, dia tidak bisa tidak membenci Tam Goat Hua. Hari itu, dia bertarung dengan Tam Goat Hua di hadapan ayah dan gurunya. Dia terjungkal dan bahkan Tam Goat Hua pun berhasil membawa pergi Lu Sin Kong. Oleh karena itu, Han Giok Shia pun menganggap Tam Goat Hua sebagai musuh ayahnya.

Sedangkan Gin Koan Tojin justru tidak tahu bahwa hati gadis tersebut sedang begitu kacau. Dia menatapnya dalam-dalam seraya berkata, "Walau Thian Hou Lu Sin Kong berkepandaian tinggi, namun setanding dengan ayahmu. Tentunya masih ada orang lain, siapa orang itu?"

Tanpa berpikir panjang lagi, Han Giok Shia langsung menunjuk Tam Goat Hua. "Mungkin dia."

Gin Koan Tojin segera menolehkan kepalanya. Dilihatnya sepasang muda-mudi berdiri di situ. Mereka berwajah tampan dan cantik, bertulang bagus dan berbakat. Lagi-pula wajah mereka berdua tidak menyiratkan sedikit hawa sesat pun. Kelihatannya mereka tidak berhati jahat.

Walau Gin Koan Tojin berpikir demikian, namun si Pecut Emas-Han Sun adalah kawan baiknya. Sebelum menyucikan diri, dia senang memakai topi perak, maka mereka berdua disebut Pecut Emas Topi Perak. Kemudian Gin Koan Tojin menyucikan diri menjadi tosu, sehingga mereka berdua jarang kunjung-mengunjungi. Akan tetapi, jalinan hubungan mereka tetap baik dan akrab. Kini begitu mendengar tentang kematian si Pecut Emas-Han Sun, hatinya berduka sekali dan dia mengambil keputusan untuk membalas dendam kawan baiknya itu.

Oleh karena itu, walau dia telah melihat Tam Goat Hua dan kakaknya bukan orang jahat, tapi tetap membentak. "Gadis kecil, siapa gurumu dan kenapa kau mencelakai si Pecut Emas-Han Sun?"

Sesungguhnya Tam Goat Hua juga ingin mendengar dari mulut Kim Kut Lau, siapa yang membunuh si Pecut Emas-Han Sun karena Han Sun merupakan seorang pendekar yang gagah bijaksana. Hari itu ketika Lu Sin Kong suami isteri tiba di rumahnya, begitu melihat mereka berdua terkena pukulan Im Si Ciang, langsung memberikan mereka obat Kiu Coan Siau Hoan Tan yang amat berharga. Padahal Han Sun dengan mereka tidak punya hubungan apa pun. Berdasarkan itu, dapat dibayangkan betapa besarnya jiwa si Pecut Emas-Han Sun.

Akan tetapi, Tam Goat Hua justru tidak menyangka, bahwa di hadapan Gin Koan Tojin, Han Giok Shia malah menuduh dirinya dan Lu Sin Kong yang membunuh ayahnya. Dalam hati Tam Goat Hua, memang tidak terkesan baik terhadap Han Giok Shia. Karena Gin Koan Tojin bertanya dengan cara membentak, itu membuatnya langsung naik darah dan kemudian tersenyum dingin seraya menyahut.

"Sungguh menggelikan pertanyaan Tojin! Aku sendiri pun ingin tahu, kenapa aku pergi membunuh Han Tayhiap? Seandainya nona Han menunjuk Tojin sebagai pembunuh, apakah orang juga akan berpikir demikian?"

Gin Koan Tojin tertegun dan membungkam seketika. Han Giok Shia melototi Tam Goat Hua, kemudian berkata kepada Gin Koan Tojin. "Tojin, gadis liar itu banyak akalnya, Tojin jangan sampai terjebak."

Sebetulnya Tam Goat Hua masih memandang muka kakaknya, maka dia tidak mau ribut mulut dengan Han Giok Shia. Akan tetapi Han Giok Shia justru mencacinya sebagai gadis liar, maka membuatnya tak dapat bersabar lagi. Dia melangkah maju beberapa langkah dengan wajah muram.

"Nona Han, ayahmu adalah seorang pendekar yang gagah bijaksana! Kau adalah putri satu-satunya, kalau bicara jangan sembarangan!"

Begitu melihat Tam Goat Hua melangkah maju, mata Han Giok Shia langsung membara, maka mana mendengar apa yang diucapkannya?

"Hm!" dengusnya dingin. Kemudian mendadak dia menggerakkan Liat Hwe Soh Sim Lun. Jurus ‘Burung Gagak Api Menari’ dikeluarkan menyerang bagian dada Tam Goat Hua. Tam Goat Hua tertawa dingin beberapa kali.

"Kau pernah terjungkal di tanganku, kini masih ingin mempermalukan diri sendiri?"

Gadis itu berkelit ke samping. Namun di saat dia baru mau membalas, mendadak terdengar suara kakaknya. "Adik, nona Han mungkin salah paham, kau tidak boleh balas!"

Padahal Tam Goat Hua sudah menjulurkan tangannya untuk mencengkeram lengan Han Giok Shia. Tapi begitu mendengar suara kakaknya, dia langsung menarik kembali tangannya sekaligus meloncat kebelakang beberapa langkah. Betapa gusarnya Han Giok Shia. Di saat dia mau mengejar Tam Goat Hua, justru dicegah Gin Koan Tojin.

"Tojin...." Han Giok Shia mengerutkan kening dengan dada turun naik karena menahan kegusarannya.

Ternyata Gin Koan Tojin melihat kepandaian Tam Goat Hua jauh di atas kepandaian Han Giok Shia. Namun Tam Goat Hua malah mundur ketika mendengar suara kakaknya, itu membuktikan dia berhati bajik, maka belum tentu dia pembunuh si Pecut Ernas-Han Sun. Oleh karena itu, Gin Koan Tojin segera menahan Han Giok Shia.

"Nona Han, dendam ayahmu akan kupikul. Pokoknya Cing Sia Pai akan menuntut balas dendam ayahmu."

Mendengar ucapan itu, Han Giok Shia langsung berlutut di hadapan Gin Koan Tojin. Dengan demikian Gin Koan Tojin sudah tidak bisa menarik omongannya lagi, harus dilaksanakannya. Semua orang merasa gelombang yang satu belum tenang, tapi gelombang lain sudah muncul.

Justru di saat itulah mendadak terdengar suara tawa Kim Kut Lau yang duduk di dahan pohon. Semua orang tidak begitu kenal Kim Kut Lau, begitu pula mengenai kepandaiannya. Yang tahu jelas hanya Yu Lao Pun, yakni ketua Tay Chi Bun dan Tam Goat Hua. Mereka berdua tahu bahwa kepandaian Kim Kut Lau di atas mereka. Terutama Tam Goat Hua, dia pernah ditangkap dan dibelenggu oleh Kim Kut Lau. Namun kini dia bersama Tujuh Dewa, maka tidak merasa takut pada Kim Kut Lau.

Sebelum suara tawa Kim Kut Lau sirna, Tam Goat Hua sudah membentak. "Kenapa kau tertawa?"

Kim Kut Lau berhenti tertawa. Dia memandang Tam Goat Hua sejenak, lalu manggut-manggut, dan setelah itu menolehkan kepalanya seraya berkata. "Yang membunuh si Pecut Emas-Han Sun, kalau tidak mau mengaku sendiri, aku akan membongkarnya di hadapan semua orang!"

Apa yang dikatakan Kim Kut Lau, justru mendapat perhatian dari semua orang, terutama Han Giok Shia. Oleh karena itu, Han Giok Shia segera mendongakkan kepala memandang Kim Kut Lau. Begitu memandang, hatinya tertegun seketika. Sebab saat ini, Kim Kut Lau tidak hanya memandang Han Giok Shia seorang. Justru itu, membuat semua orang dan Han Giok Shia merasa heran sekali.

Karena seusai berkata, Kim Kut Lau terus menatap satu orang dengan sorotan aneh. Siapa orang itu? Tidak lain adalah Hwe Hong Sian Kouw. Yang lebih mengherankan lagi adalah sikap Hwe Hong Sian Kouw. Dia terus menundukkan kepala dan wajahnya tampak kelabu. Semua orang tahu bahwa Hwe Hong Sian Kouw beradat keras, galak dan berangasan, namun amat jujur dan lurus. Lagi-pula Hwe Hong Sian Kouw dan si Pecut Emas-Han Sun merupakan kawan baik, dan itu siapa pun tahu.

Tiga puluh tahun yang telah lampau, Hwe Hong Sian Kouw dan si Pecut Emas-Han Sun, merupakan sepasang kekasih. Tapi karena Hwe Hong Sian Kouw beradat tidak karuan, maka mereka berdua sering ribut dan akhirnya berpisah, yang satu ke Utara, yang satu lagi ke Selatan. Beberapa tahun kemudian, karena perintah dari orang-tuanya maka Han Sun memperisteri seorang gadis, yang lalu melahirkan seorang putra dan putri. Han Sun memperisteri gadis itu bukan berdasarkan kemauan sendiri, melainkan mentaati perintah orang-tuanya.

Lewat beberapa tahun kemudian orang-tua dan isteri Han Sun meninggal. Sejak itulah dia tidak berkecimpung dalam rimba persilatan lagi, menetap di kota Su Cou. Tidak disangka sama sekali, mendadak muncul Hwe Hong Sian Kouw. Begitu berjumpa, membuat mereka teringat akan masa lalu. Mereka berdua pun merasa, gara-gara ketika masih muda tidak mau saling mengalah, akhirnya jalinan cinta kasih mereka menjadi berantakan, dan merusak jodoh mereka.

Tiga puluh tahun kemudian mereka justru berjumpa kembali, namun keduanya sama-sama sudah tua, tentunya tidak mungkin menjadi suami isteri lagi. Maka Han Sun menyuruh Han Giok Shia, putrinya mengangkat Hwe Hong Sian Kouw sebagai guru. Semua itu diketahui jelas oleh kaum rimba persilatan tingkatan tua. Maka ketika melihat Kim Kut Lau terus menatap Hwe Hong Sian Kouw, semua orang itu terheran-heran.

Lama sekali baru Han Giok Shia membuka mulut. "Katakan saja siapa pembunuh itu! Kenapa harus dia mengaku sendiri?"

"Ha ha!" Kim Kut Lau tertawa, sekaligus mematahkan sebatang ranting kecil, lalu dilempar ke udara. Ketika melayang turun, ranting kecil itu jatuh di depan Hwe Hong Sian Kouw.

Setelah itu, Kim Kut Lau berkata lagi. "Nona Han, ranting kecil itu jatuh ke mana, dialah pembunuh ayahmu."

Begitu ucapan tersebut dicetuskan, terperangahlah semua orang. Tadi Kim Kut Lau hanya menatap Hwe Hong Sian Kouw, seakan menunjuknya sebagai pembunuh, saat ini malah mengatakannya secara terang-terangan. Kalau Kim Kut Lau ingin mengeruhkan urusan, pertanda dia amat bodoh, sebab tiada seorang pun akan mempercayainya.

Han Giok Shia termangu-mangu. Di saat bersamaan, terdengar si Walet Hijau-Yok Kun Sih bertanya dengan dingin. "Sebetulnya kau siapa?"

Ketika Kim Kut Lau baru mau menjawab, mendadak Hwe Hong Sian Kouw mendongakkan kepala. Air mukanya begitu tak sedap dipandang, namun menyiratkan penderitaannya yang teramat dalam.

"Kim Kut Lau!" bentaknya. "Kau... kau... kau...."

Tiga kali berturut-turut menyebut ‘Kau’, tapi tak dapat melanjutkannya. Dari itu dapat diketahui bahwa kini perasaan Hwe Hong Sian Kouw kacau sekali. Sedangkan Kim Kut Lau masih tetap duduk di dahan pohon sambil menggoyang-goyangkan kakinya.

"Kau ingin bertanya, bagaimana aku mengetahuinya? Terus terang, aku amat tertarik akan barang kawalan Lu Sin Kong, maka aku ke rumah Han Sun. Ha ha! Aku justru menyaksikan Hwe Hong Sian Kouw menusuk dada Han Sun dengan patahan kaki kursi."

"Itu omong kosong!" Terdengar suara seruan semua orang.

Hwe Hong Sian Kouw menggoyang-goyangkan tangannya ke arah semua orang, kemudian berkata sengit kepada Kim Kut Lau. "Kim Kut Lau! Ketika itu kau menyaksikan kejadian tersebut, kenapa kau tidak mencegahku?"

Apa yang diucapkan Hwe Hong Sian Kouw, membuat hening suasana di puncak Sian Jin Hong.

Kim Kut Lau tertawa. "Lucu sekali! Bagaimana hubunganmu dengan Han Tayhiap, semua orang pasti tahu! Kau mementingkan keuntungan tapi melupakan persahabatan. Mau membunuhnya, tentunya Han Tayhiap akan mati secara ikhlas di tanganmu! Untuk apa aku harus turun tangan mencegahmu?"

Sekujur badan Hwe Hong Sian Kouw gemetar, lama sekali barulah dia bertanya. "Siapa yang mementingkan keuntungan melupakan persahabatan?"

Kim Kut Lau menyahut dengan lantang. "Kalian dengar semua, dia bilang bukan mementingkan keuntungan melupakan persahabatan, tentunya ada sebab lain! Kita adalah orang luar, tidak bisa banyak bicara! Kalau kita banyak bicara, berarti akan turut campur urusan pribadi orang!"

Seusai Kim Kut Lau berkata begitu, Han Giok Shia dan Gin Koan Tojin sudah maju mengepung Hwe Hong Sian Kouw. Di saat bersamaan, Gin Koan Tojin pun memberi isyarat kepada keempat tosu yang mengikutinya. Begitu melihat isyarat itu, keempat tosu itu pun berpencar mengepung Hwe Hong Sian Kouw.

Justru di saat itulah mendadak si Walet Hijau Yok Kun Sih melesat ke arah Hwe Hong Sian Kouw. Begitu melihat ada orang melesat ke arah Hwe Hong Sian Kouw, keempat tosu itu pun bergerak menyambutnya. Di saat keempat tosu itu baru bergerak, terdengar suara berdesir.

"Seeer!", si Walet Hijau telah berhasil melewati mereka menerobos ke sisi Hwe Hong Sian Kouw.

Air muka keempat tosu itu berubah hebat, kemudian mereka serentak menjulurkan tangan untuk menepuk benda bulat yang bergantung di pinggang mereka masing-masing.

“Plak! Trang!”

Mendadak muncul sebatang pedang di tangan masing-masing. Keempat pedang itu bergemerlapan, dan tampak amat lemas. Mereka berempat maju selangkah, kemudian menggerakkan pedang masing-masing.

“Ser! Ser! Ser! Ser!” Keempat pedang itu berkelebatan ke arah Yok Kun Sih.

Tapi di saat bersamaan, terdengar suara seruan Gin Koan Tojin. "Jangan kurang ajar!"

Begitu mendengar suara seruan itu, keempat tosu tersebut segera mundur, lalu melingkarkan pedang masing-masing sehingga berbentuk bulat. Setelah keempat tosu itu mundur, Gin Koan Tojin memandang Yok Kun Sih dengan dingin.

"Yok Kun Sih, sudah lama aku mendengar nama besarmu, tapi kita tidak pernah berjumpa. Setahuku kau amat bijaksana, tapi kenapa sekarang mencegah kami turun tangan? Harap dijelaskan!"

Dalam golongan lurus, ketua Hui Yan Bun si Walet Hijau-Yok Kun Sih dan ketua Cing Sia Pai-Gin Koan Tojin, berkedudukan tinggi dalam rimba persilatan. Karena itu, sudah ada beberapa orang mau tampil mendamaikan mereka, tapi si Walet Hijau-Yok Kun Sih justru berkata.

"Tojin, tunggu aku tahu sampai jelas dulu persoalan itu!"

Dia menjulurkan tangannya untuk memegang lengan Hwe Hong Sian Kouw, kemudian bertanya. "Hong Kouw, apakah benar apa yang dikatakan orang itu?"

Hwe Hong Sian Kouw menyahut dengan suara lantang. "Tidak salah, Kun Sih! Kau tidak usah mempedulikan diriku, biar mereka turun tangan!"

Gin Koan Tojin segera berkata. "Yok Kun Sih harap mundur!"

Yok Kun Sih membentak gusar. "Tojin! Kenapa kau tidak bisa bersabar sebentar?"

Wajah Gin Koan Tojin berubah menjadi dingin sekali. "Dia telah mengaku, apakah Hui Yan Bun ingin bentrok dengan Cing Sia Pai?"

Saat itu pihak golongan sesat semuanya ingin menyaksikan keramaian tersebut. Sedangkan golongan lurus justru tidak habis pikir kenapa Hwe Hong Sian Kouw mencelakai si Pecut Emas-Han Sun? Asal Hwe Hong Sian Kouw menyangkal, semua orang pasti mempercayainya. Akan tetapi Hwe Hong Sian Kouw malah mengakuinya. Semua orang yakin bahwa kejadian itu pasti terselip sesuatu, maka Pit Giok Sen segera berseru.

"Gin Koan Tojin, hitam atau putihnya persoalan ini masih belum jelas, tapi kenapa kau begitu terburu-buru? Bersabarlah sedikit!"

Sementara Yok Kun Sih cepat-cepat berkata. "Hong Kouw, aku yakin pasti ada sebab lain. Jelaskanlah!"

Hwe Hong Sian Kouw menghela nafas panjang. "Kalau kujelaskan, tiada seorang pun akan percaya! Untuk apa aku menjelaskan?"

Yok Kun Sih segera menyahut. "Hong Kouw, aku mempercayaimu!"

Si Sastrawan dan lainnya juga berkata dengan serentak. "Kami juga mempercayaimu!"

Hwe Hong Sian Kouw tampak terharu, lalu berkata sekeras-kerasnya. "Kalau begitu, akan kukatakan!" Dia berhenti sejenak, kemudian barulah melanjutkan. "Hari itu, Lu Sin Kong ditolong oleh gadis itu...." Hwe Hong Sian Kouw menunjuk Tam Goat Hua. "Setelah dia membawa pergi Lu Sin Kong, kami anggap kepandaian yang diperlihatkannya sedikit mirip dengan kepandaian pemilik Cit Sat Sin Ciang di masa lampau, yaitu ilmu Hian Bu Sam Na, maka aku dan Han Tayhiap terkejut bukan kepalang."

Mendengar sampai di situ, Tujuh Dewa pun mengeluarkan suara kaget.

"Hah!" dan mereka langsung teringat akan orang yang memakai kain penutup muka.

Si Sastrawan menolehkan kepala untuk memandang Tam Goat Hua seraya bertanya. "Gadis kecil, apa margamu?"

Tam Goat Hua tertawa. "Aku bermarga Tam!"

Si Sastrawan Se Chi tertegun. "Nona Tam, siapa yang mengajarmu ilmu Hian Bu Sam Na?"

Tam Goat Hua menyahut. "Apa itu ilmu Hian Bu Sam Na, aku tak tahu sama sekali."

Saat ini walau hati Hwe Hong Sian Kouw amat kacau, tapi pembicaraan mereka tidak terlepas dari pendengarannya. Dia segera berkata. "Kau merebut senjata Ah Shia dengan jurus aneh, bukankah itu adalah ilmu Hian Bu Sam Na?"

Tam Goat Hua tertawa. "Heran! Bagaimana mungkin aku tidak tahu akan ilmu silat sendiri? Itu memang ilmu Kin Na Ciu (ilmu Mencengkeram), tapi tentang ilmu Hian Bu Sam Na, aku tidak pernah mendengarnya."

Yok Kun Sih memandang sejenak Tam Goat Hua dan kakaknya, kemudian berkata kepada Hwe Hong Sian Kouw. "Kau lanjutkan saja, tidak usah mempedulikan mereka!"

Hwe Hong Sian Kouw manggut-manggut lalu melanjutkan. "Setelah kami berdua terkejut, aku menyuruh Ah Shia ke Hui Yan San belajar ilmu silat kepadamu."

Yok Kun Sih manggut-manggut. "Oooh! Tapi dia tidak pernah datang di Hui Yan San menemuiku."

Saat ini, Han Giok Shia tahu bahwa orang yang membunuh ayahnya tidak lain adalah gurunya sendiri, dan itu membuat hatinya menjadi berduka dan kacau balau. Apa yang dibicarakan orang-orang di sekelilingnya sama sekali tidak masuk ke telinganya.

"Dia pernah ke sana atau tidak, kami tidak mengetahuinya," kata Hwe Hong Sian Kouw. "Kami tahu pihak lain tidak bersenjata, maka kami memberikan senjata kami kepada Ah Shia agar dia dapat melindungi dirinya dengan kedua senjata itu. Lagi pula kami pun tahu bahwa pihak lawan berkepandaian amat tinggi. Percuma kami memiliki senjata, maka kami menunggu kemunculannya dengan tangan kosong."

"Apakah dia muncul?" tanya Yok Kun Sih.

"Tidak," sahut Hwe Hong Sian Kouw. "Mungkin kami salah mengenali ilmu silat gadis ini. Berselang beberapa saat, terdengar suara harpa...."

Ketika Hwe Hong Sian Kouw berkata sampai di situ, beberapa orang langsung bertanya.
"Terdengar suara harpa?" Orang-orang yang bertanya itu termasuk Han Giok Shia, Tam Goat Hua dan kakaknya.

Wajah Hwe Hong Sian Kouw tampak menderita sekali, kemudian dia menyahut sambil berkertak gigi. "Benar. Aku mendengar suara harpa. Setelah itu aku tidak tahu apa yang telah terjadi. Aku hanya mendengar suara jeritan, dan itu membuatku tersentak sadar bahwa aku telah terluka parah, sedangkan Han Tayhiap telah mati di tanganku."

Mendengar itu, Yok Kun Sih menjadi diam. Dia memang ingin membela Hwe Hong Sian Kouw. Namun apa yang dituturkan Hwe Hong Sian Kouw, amat sulit untuk dipercaya.

Ketika melihat Yok Kun Sih diam saja, Gin Koan Tojin berkata dingin. "Yok Kun Sih, kau sudah boleh mundur."

Yok Kun Sih bersifat aneh, namun hubungannya dengan Hwe Hong Sian Kouw amat baik. Saat itu, walau dia tidak begitu percaya akan penuturan Hwe Hong Sian Kouw, tapi dia tetap membelanya.

Maka dia tertawa dingin. "Kenapa aku harus mundur? Siapa berani turun tangan terhadap Hwe Hong Sian Kouw, berarti dia mau cari gara-gara dengan Hui Yan Bun!"

Begitu mendengar ucapan itu, wajah Gin Koan Tojin langsung berubah, lalu dia tertawa panjang. "Hahahaaaa! Bagus! Bagus!"

Kemudian dia menghunus pedangnya, setelah itu dia langsung menyerang Yok Kun Sih. Tidak tampak Yok Kun Sih bergerak, tapi badannya justru telah mencelat ke belakang, bahkan sempat membawa Hwe Hong Sian Kouw.

Melihat itu, Han Giok Shia segera berseru dengan penuh dendam. "Harap Tojin membalas dendam ayahku!"

Gin Koan Tojin menyahut. "Tenanglah nona Han, aku pasti membalas dendam ayahmu!"

Seketika suasana menjadi tegang mencekam. Orang lain sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Cing Sia Pai dan Hui Yan Bun sama-sama golongan lurus. Kini kedua ketua itu, justru telah bentrok dan kelihatannya sudah siap bertarung.

Terdengar Hwe Hong Sian Kouw berkata. "Kun Sih, untuk apa kau membelaku sehingga menimbulkan bentrokan dengan Cing Sia Pai?"

Yok Kun Sih menyahut sungguh-sungguh. "Hong Kouw, kau tidak perlu mempedulikanku. Kau mendengar suara harpa itu, tentunya ada orang lain yang menimbulkan kejadian itu. Kini hatimu sedang kacau, lebih baik pergi beristirahat sejenak!"

Kemudian dia berpaling seraya memanggil. "Ang!"

Toan Bok Ang segera menghadap. "Ya, Guru."

"Bawalah Hong Kouw pergi beristirahat!" pesan Yok Kun Sih.

Toan Bok Ang mengangguk, lalu menarik Hwe Hong Sian Kouw meninggalkan tempat itu. Saat ini pikiran Hwe Hong Sian Kouw memang amat kacau. Ketika Toan Bok Ang menariknya pergi, dia pun ikut.

Setelah menyaksikan semua itu, mendadak Han Giok Shia berseru dengan hati hancur. "Guru!"

Hwe Hong Sian Kouw memandangnya, kemudian tersenyum getir seraya bertanya. "Ah Shia, kenapa kau masih memanggilku guru?"

Sepasang mata Han Giok Shia tampak membara. "Tentunya aku tetap memanggilmu guru. Asal kau masih mempunyai rasa sebagai seorang guru, saat ini kau harus...."

Toan Bok Ang tahu bahwa Han Giok Shia akan mengatakan apa, sudah pasti akan menyuruh Hwe Hong Sian Kouw membunuh diri. Toan Bok Ang khawatir Hwe Hong Sian Kouw akan menurutinya. Oleh karena itu, secepat kilat dia menggerakkan pecutnya ke arah Han Giok Shia, dan ujung pecut itu berhasil menotok jalan darah Hu Keng Hiat di tubuh gadis itu, maka tidak dapat melanjutkan ucapannya.

Sementara Gin Koan Tojin dan si Walet Hijau-Yok Kun Sih, berdiri berhadapan dalam jarak beberapa depa, sama sekali tanpa ada yang bergerak. Mereka berdua adalah jago tangguh kelas satu masa kini. Kalau mereka mau bertarung, tentunya berbeda dengan orang lain. Mereka akan mencari kelemahan pihak lawan untuk merebut kemenangan. Karena itu, mereka berdua berdiri diam di tempat. Angin berhembus ke arah mereka, membuat pakaian mereka berkibar-kibar.

Ketika Toan Bok Ang menotok jalan darah Han Giok Shia, itu tidak terlewat dari mata Gin Koan Tojin, namun tosu tua itu tidak dapat berbuat apa pun. Tapi empat tosu lain murid Gin Koan Tojin langsung melesat ke hadapan gadis itu.

“Trang! Trang! Trang! Trang!” Keempat Tosu itu menghunus pedang masing-masing, kemudian mendadak menyerang Toan Bok Ang.

Setelah berhasil menotok jalan darah Han Giok Shia sehingga membuat gadis itu tidak dapat melanjutkan ucapannya, Toan Bok Ang merasa puas sekali. Akan tetapi pedang keempat tosu itu telah mengarah kepadanya. Betapa terkejutnya hati gadis itu. Dia mau balas menyerang, tapi sudah terlambat. Karena itu dia mengerahkan ilmu ginkang perguruannya untuk menghindar. Gerakan ‘Induk Walet Mencari Makanan’ dikeluarkan, badannya melambung kemudian melesat ke luar laksana kilat.

Seketika Toan Bok Ang sudah berada sejauh beberapa depa. Kemudian disusul dengan gerakan ‘Sekali Terbang Menembus Langit’. Akan tetapi, ketika dia berdiri barulah tahu ujung lengan bajunya telah tersobek oleh pedang, bahkan bahu dan kakinya pun tergores sedikit. Ternyata keempat pedang itu tidak menyerang tempat kosong. Itu membuat Toan Bok Ang gusar sekali. Dia memandang keempat tosu itu sambil mendengus.

"Tosu bau, sungguh hebat ilmu pedang kalian!"

Salah seorang tosu tertawa dingin. "Tidak sebanding dengan gerakan nona yang begitu indah dan aneh!"

Toan Bok Ang maju selangkah sambil menuding keempat tosu itu seraya membentak. "Kalian berempat, maju semua!"

Tiga tosu itu malah mundur. Hanya satu tosu tetap berdiri di situ. Mereka berempat tak pernah berbicara, tapi gerak-gerik mereka justru sesuai dengan kemauan hati.

Tosu yang berdiri tak bergerak itu, menatap Toan Bok Ang dengan dingin seraya berkata. "Aku seorang diri, mohon petunjuk ilmu cambuk nona!"

Tadi Toan Bok Ang telah kehilangan muka, kini dia harus merebut kembali itu. Maka ia tidak peduli kedua pihak sama-sama dari golongan lurus, atau apabila mereka bertarung tentu akan menjadi bahan tertawaan golongan sesat. Ketika melihat cuma satu tosu itu, bergiranglah Toan Bok Ang dalam hati dan berkata. "Baik, aku akan memberi pelajaran kepadamu!"

Usia Toan Bok Ang jauh lebih muda dari keempat tosu itu, namun derajatnya justru sama. Kini kedua beiah pihak sudah jadi musuh, omong sombong sedikit tidak akan keterlaluan. Usai berkata begitu, Toan Bok Ang maju selangkah, dan cambuk yang di tangannya sudah meliuk-liuk ke arah tosu itu. Cambuknya juga bergemerlapan seperti Pecut Emas milik Han Giok Shia, ketika bergerak memancarkan cahaya.

Kebetulan Tosu itu pun menggunakan pedang perak yang memancarkan cahaya. Tampak cahaya putih berkelebatan, mereka berdua sudah bertarung tiga jurus. Dalam gulungan cahaya yang satu, tampak seorang tosu. Dalam gulungan cahaya lain, tampak seorang gadis cantik jelita. Bukan main indahnya gerakan mereka, sesekali terdengar pula suara benturan dan bunga api pun berpijar-pijar. Sungguh indah pemandangan itu! Kelihatannya mereka berdua setanding, sebab belum ada yang terdesak mau pun di atas angin.

Ketika Toan Bok Ang baru bertarung dengan tosu itu, kakak Tam Goat Hua segera mendekati Han Giok Shia, sekaligus membebaskan totokan itu. Setelah totokan itu bebas, Han Giok Shia bisa bergerak dan bersuara. Dia ingin mencaci, namun begitu lihat yang membebaskan totokannya adalah pemuda pujaan hatinya, wajahnya langsung berubah kemerah-merahan. Seseorang gadis walau bersifat keras, namun di hadapan pemuda pujaan hatinya, pasti menjadi lembut sekali, begitu pula Han Giok Shia. Dia menundukkan wajahnya dalam-dalam.

Pemuda itu menatapnya, kemudian berkata dengan suara rendah. "Nona Han, meski pun gurumu mengakui mencelakai ayahmu, tapi pasti ada sebab lain."

Han Giok Shia bertanya dengan air mata berderai-derai. "Bagaimana... kau tahu ada sebab lain?"

Pemuda itu menghela nafas panjang. "Aku akan memberitahukan satu hal, kau pasti akan lebih mengerti."

Han Giok Shia merasa nada suara pemuda itu mengandung suatu kekuatan yang tak dapat dilawannya. Bahkan nada suara itu pun membuatnya terasa nyaman dan lega, terutama di saat ini, hatinya menjadi agak tenang.

"Mengenai hal apa?" tanyanya perlahan.

Pemuda itu tertawa. "Panjang sekali kalau diceritakan. Bagaimana kalau Nona Han ke tempat kami untuk beristirahat sejenak?"

Han Giok Shia mendongakkan kepala memandang Tam Goat Hua, kemudian berkata. "Aku khawatir adikmu...."

Pemuda itu tertawa lagi. "Adikku berhati lurus, lambat laun nona Han akan mengerti."

Setelah mengatakan begitu, wajah pemuda itu justru kemerah-merahan. Han Giok Shia yang mendengar, seketika juga hatinya berbunga-bunga. Kemudian mereka berdua ke sisi Tujuh Dewa. Dalam hati Han Giok Shia dan Tam Goat Hua memang sudah ada ganjelan, maka ketika bertatap muka, mereka berdua cuma berbasa-basi dengan hambar.

Di saat bersamaan, suasana di tempat itu bertambah tegang karena Gin Koan Tojin dan si Walet Hijau-Yok Kun Sih sudah mulai bertarung. Akan tetapi gerakan mereka tampak lamban sekali, kelihatannya seperti sedang berlatih. Tentu, sebab dalam pandangan seorang ahli, mereka berdua bertarung menggunakan lweekang, maka pertarungan mereka berjarak beberapa depa. Walau kelihatan lamban, namun setiap gerakan disertai dengan tenaga.

Di pihak lain, pertarungan antara Toan Bok Ang dengan tosu itu justru semakin cepat. Dalam waktu sekejap, sudah melewati dua puluh jurus. Diam-diam Toan Bok Ang penasaran sekali. Menghadapi salah seorang tosu itu saja tak mampu merobohkannya, apalagi mereka berempat maju serentak? Karena itu, gadis tersebut merasa malu sekali. Dia terus berpikir cara bagaimana merobohkan tosu itu, mendadak timbul suatu ide dalam hatinya.

Setelah pertarungan mereka melewati dua puluh empat jurus, sekonyong-konyong Toan Bok Ang mengeluarkan jurus ‘Burung Walet Beterbangan’. Tapi baru mengeluarkan setengah jurus tiba-tiba Toan Bok Ang berhenti, tidak melanjutkan jurus itu. Jurus Pik Yan Hun Hui merupakan jurus andalan ilmu cambuknya, yang setiap jurusnya mengandung sembilan gerakan. Ketika mempelajari jurus tersebut dia membutuhkan waktu hampir setengah tahun, barulah dapat menguasai jurus itu. Maka, dapat dibayangkan betapa lihay dan dahsyatnya jurus tersebut.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar