Harpa Iblis Jari Sakti Chapter 34

Oleh karena itu Liat Hwe Cousu mendongakkan kepala, kemudian mendengus. "Hm!" pertanda dia telah memberi maaf kepada Lu Leng.

Toan Bok Ang juga berhati lapang, Dia segera menghampiri Liat Hwe Cousu, lalu bersujud di hadapannya seraya berkata. "Liat Hwe-cianpwee, aku masih muda tidak tahu apa-apa. Mohon cianpwee sudi memaafkanku!"

Liat Hwe Cousu mendengus lagi, “Hm!”

Toan Bok Ang melanjutkan ucapannya sambil tersenyum. "Kepandaian Cousu sungguh tinggi. Sekali bergerak dapat merebut senjata Sian Tian Sin So dari tanganku. Harap Cousu sudi mengembalikan kepadaku, sekaligus memberi petunjuk agar kelak senjataku itu tidak akan direbut orang lain!"

"Hahaha!" Mo Liong Sih tertawa gelak. "Liat Hwe tua, kali ini kau tidak bisa mengelak. Setahuku Hwa San Pai memiliki beberapa jurus ilmu tangan kosong yang dapat mempertahankan senjata. Aku lihat tentunya kau tidak enak menolak permintaan gadis kecil itu," katanya.

Liat Hwe Cousu menjadi serba salah karena Toan Bok Ang memujinya berkepandaian amat tinggi, membuatnya merasa tidak enak menolaknya. Seketika Liat Hwe Cousu berpikir, kemudian berkata. "Senjata Sian Tian Sin So ini terbuat dari baja murni dan amat tajam, merupakan senjata andalan Seh tua di masa lampau. Kini kukembalikan kepadamu, tapi kau harus menjaganya baik-baik. Hwa San Pai memang memiliki ilmu tangan kosong mempertahankan senjata. Setelah Liok Ci Khim Mo dibasmi, kau boleh ke gunung Hwa San, aku pasti menurunkan ilmu itu kepadamu."

Sesungguhnya Toan Bok Ang tidak bermaksud minta diajari ilmu silat, melainkan hanya ingin minta kembali senjata itu. Maka itu dia segera berkata, "Terimakasih, Cousu!"

Liat Hwe Cousu mengembalikan Sian Tian Sin So kepada Toan Bok Ang. Gadis itu menerimanya dengan wajah berseri, kemudian mundur ke samping Lu Leng. Lu Leng memperhatikan senjata itu, ternyata merupakan sepasang bola baja yang memancarkan cahaya putih, melekat pada seuntai rantai baja pula. Itu memang merupakan senjata pusaka yang tak kalah bila dibanding dengan golok Su Yang To.

Mo Liong Seh Sih memandang Lu Leng dan Toan Bok Ang seraya bertanya, "Bagaimana asal-usul kalian berdua?"

"Guruku, Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek, ayahku Thian Hou Lu Sin Kong, ibuku Sebun It Nio dari Tiam Cong Pai," sahut Lu Leng.

Mo Liong Seh Sih manggut-manggut. "Ooh! Bagaimana keadaan kedua orang-tuamu?"

Pertanyaan itu membuat mata Lu Leng menjadi basah. "Kedua orang-tuaku telah meninggal gara-gara Liok Ct Khim Mo, maka aku punya dendam berdarah dengannya."

Mo Liong Seh Sih menghela nafas panjang, kemudian menunjuk Toan Bok Ang seraya berkata, "Kau pasti murid si Walet Hijau-Yok Kun Sih generasi kedua, bukan?"

Toan Bok Ang tertawa. "Bukan murid generasi kedua, melainkan murid langsung. Beliau adalah guruku."

Mo Liong Seh Sih tampak terkejut. Setelah itu menatapnya kemudian menatap Lu Leng seraya berkata, "Gadis kecil, kalau kelak kau ingin meninggalkan perguruan Hui Yan Bun, boleh minta bantuanku."

Toan Bok Ang terperanjat. Dia tidak tahu apa maksud Mo Liong Seh Sih. Bagaimana seorang tokoh tua menyuruh tingkatan muda meninggalkan perguruannya?

"Seh-locianpwee mentertawakanku?" tanyanya setelah beberapa saat dia tertegun.

Mendadak wajah Mo Liong Seh Sih berubah serius. "Siapa mentertawakanmu? Yang penting kau harus selalu ingat kata-kataku tadi!"

Toan Bok Ang mengangguk. Mo Liong Seh Sih merupakan tokoh tua yang aneh, maka gadis itu tidak berani banyak bicara. Sedangkan Mo Liong Seh Sih tersenyum misterius, sepertinya mengandung suatu arti tertentu, dan itu sungguh membingungkan Toan Bok Ang.

Sementara Lu Leng terus memperhatikan air muka Liat Hwe Cousu, yang kini sudah tampak lembut. Kalau dia berkata sekarang, sudah pasti Liat Hwe Cousu tidak akan melarangnya. Oleh karena itu, Lu Leng segera membuka mulut. "Cianpwee berdua, aku mendengar pembicaraan Liok Ci Khim Mo dengan putranya, bahwa hanya Busur Api dan Panah Bulu Api...."

Ketika Lu Leng baru mengatakan ‘Panah Bulu Api’, wajah Mo Liong Seh Sih mendadak berubah, lalu dia membentak dengan suara mengguntur. "Bocah! Kau bilang apa?!"

Betapa terkejutnya Lu Leng ketika mendengar suara bentakan Mo Liong Seh Sih. Seketika dia berpikir. Dalam perkataannya sama sekali tidak menyinggung perasaan Mo Liong Seh Sih, tapi kenapa orang tua itu mendadak marah? Lama sekali barulah Lu Leng melanjutkan ucapannya. "Aku bilang.... Busur Api dan Panah Bulu Api dapat menundukkan Pat Liong Im dari jarak beberapa mil. Beberapa ratus tahun yang lampau, Pat Liong Thian Im pernah muncul dalam rimba persilatan, justru dengan cara begitu membasminya."

Sembari berkata Lu Leng terus memperhatikan ekspresi wajah Mo Liong Seh Sih. Air muka orang tua itu sudah berubah seperti biasa. Dia duduk dengan kening berkerut-kerut seakan sedang memikirkan suatu masalah pelik. Seusai Lu Leng berkata, Liat Hwe Cousu dan Toan Bok Ang kelihatan kurang percaya.

Berselang sesaat, Mo Liong Seh Sih mendongakkan kepala untuk memandang Lu Leng seraya bertanya, "Bagaimana Liok Ci Khim Mo bilang begitu kepadamu?"

"Liok Ci Khim Mo bukan bilang kepadaku, melainkan kepada putranya!"

Lu Leng menutur tentang dirinya bersembunyi di dalam sebuah lobang pohon, siap membokong Liok Ci Khim Mo dan lain sebagainya. Seusai Lu Leng menutur, Mo Liong Seh Sih menghela nafas panjang. Dari tadi Lu Leng sudah melihat, wajah Mo Liong Seh Sih langsung berubah ketika dia menyebut ‘Panah Bulu Api’. Oleh karena itu dia memberanikan diri berkata.

"Seh-locianpwee, aku tidak berhasil mencari Panah Bulu Api itu di gunung Tang Ku Sat ini, sebaliknya malah nyaris tewas di tangan Hek Sin Kun. Untung Toa Sah dan Ji Sah memberiku Cit Sek Ling Che, maka racun di tanganku dapat dipunahkan dan lweekang pun bertambah tinggi. Seh-locianpwee sudah lama tinggal di gunung Tang Ku Sat ini, apakah pernah melihat Panah Bulu Api itu?"

Mendadak Mo Liong Seh Sih menatap Lu Leng dengan dingin sekali, tapi sama sekali tidak mengeluarkan suara. Hati Lu Leng berdebar-debar keras, tidak tahu Mo Liong Seh Sih sedang memikirkan apa.

Berselang beberapa saat kemudian, Mo Liong Seh Sih menghela nafas panjang seraya berkata. "Kalian bertiga ikut aku!"

Liat Hwe Cousu tertegun. "Seh tua, kau jangan macam-macam, lebih baik terus teranglah!"

Mo Liong Seh Sih tertawa. "Hahaha! Liat Hwe tua, ucapanmu tadi kalau dicetuskan tiga puluh tahun lampau masih ada harganya! Namun kini hatiku telah jernih bagaikan air, tiada niat mencelakai siapa pun lagi! Mati dan hidup tergantung takdir, kalau tidak, apakah aku akan membiarkan kedua pelayanku mati begitu saja?"

Wajah Liat Hwe Cousu memerah, diam dengan mulut membungkam. Mo Liong Seh Sih menghampiri sebuah dinding, lalu menjulurkan tangannya untuk menekan dinding itu. Mendadak dinding itu bergerak, lalu tampak sebuah lorong yang amat panjang. Beberapa depa di sisi kiri kanan lorong itu terdapat dua buah patung orang yang dibikin dari batu, persis seperti orang hidup, namun gaya berdirinya tidak sama. Yang sama hanya tangan patung-patung itu memegang sebuah mutiara yang memancarkan cahaya. Lorong itu tampak remang-remang, sehingga menimbulkan kesan misterius. Setelah dinding itu terbuka, Mo Liong Seh Sih langsung masuk ke dalam.

Wajah Liat Hwe Cousu kelihatan berseri dan mendadak dia berkata. "Seh tua, harap berhenti sebentar!"

Mo Liong Seh Sih menoleh ke belakang. Namun dia belum sampai bersuara, Liat Hwe Cousu sudah bertanya, "Seh tua, apakah barang ini salah satu barang rahasia di dalam Istana Iblismu ini!"

Mo Liong Seh Sih tertawa sambil mengangguk. “Tidak salah!"

"Seh tua, konon selesai dibangun empat puluh sembilan lorong rahasia, yang membangun lorong-lorong itu mati di tangan kalian suami istri. Dan selain kalian berdua, orang luar dilarang memasuki lorong-lorong itu. Betulkah?" tanya Liat Hwe Cousu.

Mo Liong Seh Sih tersenyum getir. "Liat Hwe tua, itu kejadian di masa lampau. Tidak perlu diungkit kembali. Kau boleh masuk dengan hati lega, aku tidak akan mencelakaimu."

Lu Leng dan Toan Bok Ang melihat, ketika Liat Hwe Cousu sedang berbicara, wajahnya tampak serius sekali, pertanda itu bukan urusan sederhana. Lagi-pula mereka berdua pun mendengar bahwa empat puluh sembilan lorong rahasia yang dikatakan Liat Hwe Cousu barusan, penuh diliputi bahaya.

Toan Bok Ang segera merapatkan badannya pada Lu Leng, kemudian berbisik dengan pelan sekali. "Lu-siauhiap, kita masuk apa tidak?"

"Tentu masuk. Kalau Seh-locianpwee ingin mencelakai kita, kenapa harus repot-repot begini?" sahut Lu Leng tanpa berpikir lagi.

Walau mereka berbisik-bisik dengan pelan sekali, namun ketika Lu Leng usai berbisik, Mo Liong Seh Sih membalikkan badannya memandang Lu Leng sambil tertawa. "Haha! Bocah, pengetahuanmu lebih luas! Apa yang kau katakan tadi masuk akal!"

Mo Liong Seh Sih memuji Lu Leng, padahal sesungguhnya sedang menyindir Liat Hwe Cousu sehingga menggusarkan ketua Hwa San Pai itu. "Seh tua, kau tidak perlu menyindir! Bocah itu tidak tahu tentang empat puluh sembilan lorong rahasia, maka tidak tahu akan bahayanya!"

Mo Liong Seh Sih tertawa lagi lalu berkata sungguh-sungguh. "Kalian bertiga ikut di belakangku, jangan terlampau jauh!"

Usai berkata dia mulai mengayunkan kakinya selangkah demi selangkah ke depan. Padahal ginkang Mo Liong Seh Sih amat tinggi, namun ketika berada di dalam lorong itu dia sama sekali tidak menggunakan ginkang, hanya berjalan selangkah demi selangkah. Begitu pula Liat Hwe Cousu, berjalan selangkah demi selangkah di belakang Mo Liong Seh Sih. Wajahnya tampak serius dan tegang, padahal dia amat angkuh dalam rimba persilatan.

Lu Leng dan Toan Bok Ang tercengang, tapi mereka berdua tidak berani banyak berpikir karena harus terus mengikuti di belakang Liat Hwe Cousu. Mereka berdua berjalan sambil memperhatikan sepanjang lorong tersebut. Tampak beberapa buah patung orang, seakan menerjang ke arah mereka. Kalau sebelumnya mereka tidak tahu bahwa itu patung orang yang dibuat dari batu, pasti mengira orang hidup yang menjaga di situ.

Tak seberapa lama kemudian mereka sudah sampai di ujung lorong. Di sana terdapat sebuah patung orang, menghadang di tengah. Dari depan sampai ke ujung lorong, Lu Leng menghitung secara diam-diam. Patung orang yang dilewati berjumlah empat puluh delapan buah, berikut yang menghadang di tengah berjumlah empat puluh sembilan buah. Apakah itu yang disebut empat puluh sembilan lorong rahasia? Lu Leng dan Toan Bok Ang tidak mengetahuinya.

Mo Liong Seh Sih mendekati patung itu, kemudian menoleh ke belakang seraya berpesan. "Kalian harus hati-hati! Himpun hawa murni kalian dan jangan membentur patung orang itu!"

Di saat bersamaan Lu Leng justru sedang berpikir, “Kini sudah sampai di ujung lorong, tapi apa gunanya? Tiada jalan keluarnya!”

Tanpa sengaja dia mendongakkan kepala. Dilihatnya sebuah lobang di atas kepala patung orang itu. Gelap gulita di dalam lobang tersebut, tak tampak apa-apa sama sekali. Seusai Mo Liong Seh Sih berpesan begitu, tidak kelihatan cara bagaimana badannya bergerak, tahu-tahu sudah mencelat ke atas dan masuk ke lobang itu. Setelah itu Liat Hwe Cousu pun ikut mencelat mengikutinya.

Lu Leng dan Toan Bok Ang saling memandangi kemudian gadis itu bertanya, "Lu-siauhiap, bagaimana kau?"

"Nona Toan, perlukah aku membantumu?"

Gadis itu menatap Lu Leng dengan penuh cinta kasih karena sahutan Lu Leng barusan kedengaran amat memperhatikannya. "Aku bisa."

Badan Toan Bok Ang bergerak lalu mencelat ke atas. Gadis itu adalah murid ketua Hui Yan Bun, yang amat terkenal ilmu ginkang-nya. Walau gerakannya tidak secepat Liat Hwe Cousu, tapi dia pun berhasil memasuki lobang itu. Setelah melihat Toan Bok Ang berhasil, Lu Leng segera menghimpun hawa murninya dan seketika mencelat ke atas. Di saat hampir memasuki lobang itu, mendadak Toan Bok Ang menoleh ke arah Lu Leng sambil tersenyum.

Lu Leng tertegun. Kenapa di saat begitu genting, Toan Bok Ang masih menyempatkan waktu memandangnya sambil tersenyum? Apa makna senyuman itu? Sesungguhnya senyuman gadis itu tidak mengandung makna apa pun. Hanya karena dia mendadak teringat Lu Leng tadi amat raemperhatikannya, maka memandangnya sambil tersenyum. Akan tetapi Lu Leng memperhatikannya justru tidak mengandung rasa cinta di dalamnya. Sejak tahu maksud gadis itu, hati Lu Leng menjadi kacau dan resah, rasanya ingin cepat-cepat meninggalkannya. Oleh karena itu, ketika Toan Bok Ang tersenyum, hati pemuda itu semakin risau, sedangkan rasa cinta Toan Bok Ang terhadapnya bertambah dalam.

Saat ini Lu Leng berada di udara. Lantaran hatinya risau, maka badannya langsung merosot ke bawah. Menyaksikan itu, Toan Bok Ang sangat terkejut dan seketika mengeluarkan seruan kaget.

"Hah?! Hati-hati Lu-siauhiap, jangan membentur patung orang itu!"

Lu Leng memandang ke bawah. Ternyata dirinya berada di atas kepala patung orang itu. Walau dia tidak tahu apa akibatnya kalau membentur patung orang tersebut, namun Mo Liong Seh Sih telah berpesan, maka sudah pasti ada alasan tertentu. Bukan main terkejutnya Lu Leng. Dia cepat-cepat menghimpun hawa murni. Namun ketika badannya mulai melambung ke atas, mendadak tampak bayangan Toan Bok Ang merosot ke bawah dan seketika juga terdengar suara teguran.

"Gadis kecil! Kau mau cari mati ya? Cepat ulurkan tangan saling menarik!"

Lu Leng segera menjulurkan tangannya untuk menarik tangan Toan Bok Ang. Akhirnya mereka berdua merosot ke bawah. Di saat bersamaan tampak Mo Liong Seh Sih muncul dari lobang itu, lalu bergantung seperti kelelawar dengan kedua kakinya menggaet pinggiran lobang dan tangannya langsung dijulurkan untuk menangkap mereka. Ketika orang tua itu berhasil menangkap tangan Toan Bok Ang, wajah gadis itu telah berubah pucat pias.

Toan Bok Ang ditarik ke atas, sudah barang tentu Lu Leng juga tertarik ke atas, akhirnya mereka masuk ke lobang. Mo Liong Seh Sih menarik nafas lega. Lu Leng dan Toan Bok Ang tahu bahwa dirinya nyaris mengalami kecelakaan.

Mo Liong Seh Sih sama sekali tidak mempermasalahkan mereka. Setelah berada di dalam lobang, orang-tua itu berkata, "Ayo! Kita melanjutkan ke depan!"

Di saat Mo Liong Seh Sih berkata, Lu Leng melirik Liat Hwe Cousu. Tampak wajahnya menyiratkan rasa keheranan, membuktikan bahwa dia pun tidak tahu tentang empat puluh sembilan lorong rahasia tersebut. Lu Leng dan Toan Bok Ang bangkit berdiri, ternyata lobang itu merupakan sebuah ruang batu. Di sebelah kiri terdapat sebuah pintu batu berwarna kehitam-hitaman. Pada permukaan daun pintu terdapat bintik-bintik putih bagaikan bintang di langit.

Mo Liong Seh Sih menghampiri pintu batu itu. Di saat bersamaan Liat Hwe Cousu berseru girang. "Seh tua, ternyata kau memang sudah berbeda dengan dulu! Bersedia membawa kami ke gudang penyimpanan barang pusaka!"

Mo Liong Seh Sih tersenyum. "Gudang pusaka ini tidak seperti kabar berita yang tersiar di luar. Setelah kau masuk pasti akan merasa kecewa."

Liat Hwe Cousu juga mendekati pintu batu itu. Tangan Mo Liong Seh Sih bergerak cepat sekali menekan-nekan bintik-bintik putih tersebut.

“Plak! Plak! Plak! Plak!” kemudian Mo Liong Seh Sih mendorong pintu batu tersebut.

“Kreeek!” pintu batu itu terbuka.

Kemudian mereka berempat berjalan masuk. Ternyata mereka memasuki ruangan batu juga. Di dalam ruangan itu tampak sebuah batu merah di atas meja batu. Batu merah itu memancarkan cahaya ke seluruh ruangan sehingga ruangan itu tampak kemerah-merahan. Di sisi batu merah itu terdapat suatu benda aneh.

Ketika Liat Hwe Cousu melihat batu merah dan benda aneh itu, wajahnya langsung berseri dan matanya berbinar-binar. Bahkan dia segera menjulurkan tangannya untuk mengambil kedua macam benda itu. Akan tetapi, ketika dia menjulurkan tangannya, Mo Liong Seh Sih juga menjulurkan tangannya untuk menotok jalan darah Kek Ti Hiat di bagian bahu Liat Hwe Cousu.

Liat Hwe Cousu menjulurkan tangannya mengambil kedua macam benda itu, sedangkan Mo Liong Seh Sih menjulurkan tangannya menotok jalan darah di bahunya, maka mau tidak mau Liat Hwe Cousu harus menghindar. Dia segera menarik kembali tangannya, sekaligus balas menotok jalan darah Yang Ti Hiat di lengan Mo Liong Seh Sih. Namun secepat kilat Mo Liong Seh Sih menggeserkan tangannya, lalu bersiul panjang dan berkata.

"Liat Hwe tua, kau adalah ketua Hwa San Pai! Kedudukanmu dalam rimba persilatan pun amat tinggi. Tapi kenapa melakukan hal serendah itu?"

Wajah Liat Hwe Cousu tampak biasa. "Seh tua, di sini banyak pusaka rimba persilatan. Kau seorang diri yang memilikinya. Apakah tidak terlampau serakah?"

Mo Liong Seh Sih tertawa. "Liat Hwe tua, aku yang serakah atau kau yang tidak tahu malu?"

"Kalau begitu, kenapa tadi kau turun tangan menghalangiku?" sahut Liat Hwe Cousu dengan gusar.

Mo Liong Seh Sih tertawa gelak. "Aku memperoleh semua pusaka itu dengan mempertaruhkan nyawaku. Kau ingin mengambilnya begitu saja, apakah tidak takut akan ditertawakan orang di kolong langit? Aku sudah bilang, barang siapa berhasil melewati empat puluh sembilan lorong rahasia, maka dia berhak mengambil satu macam barang pusaka yang ada di dalam gudang ini! Liat Hwe tua, tentang itu, alangkah baiknya dikerjakan kaum muda rimba persilatan saja! Kenapa kau harus marah?"

Liat Hwe Cousu diam saja, tak menyahut. Di dalam gudang itu memang banyak barang pusaka, namun Lu Leng dan Toan Bok Ang tidak begitu menaruh perhatian. Akan tetapi, kini setelah mendengar apa yang dikatakan Mo Liong Seh Sih, kedengarannya mengandung suatu arti yang amat dalam. Sedang Liat Hwe Cousu yang sudah amat terkenal itu, begitu masuk ke gudang tersebut tidak dapat mengendalikan diri, langsung menjulurkan tangan ingin mengambil barang pusaka itu. Dapat dibayangkan, sudah jelas semua barang yang ada di dalam gudang itu pasti merupakan barang pusaka rimba persilatan.

Oleh karena itu Lu Leng dan Toan Bok Ang pun mulai menaruh perhatian terhadap barang-barang pusaka tersebut. Mo Liong Seh Sih berjalan perlahan sekali, dan berhenti sejenak di setiap barang pusaka, seakan menikmati keindahannya, juga kelihatan sedang mengenang cara bagaimana dulu dia memperoleh barang pusaka tersebut. Di atas meja batu terdapat pula sebuah lempengan besi berbentuk empat persegi, tidak begitu panjang dan tidak begitu lebar. Di sisi besi itu terdapat sebuah belati berwarna kehijau-hijauan. Sebuah kotak berisi sebilah golok tipis bergemerlapan yang bentuknya amat aneh, dan masih banyak barang pusaka lain.

Mo Liong Seh Sih menghampiri sebuah kotak kayu, kemudian menghela nafas panjang.
Dibukanya kotak kayu tersebut. Namun setelah terbuka, di dalamnya tidak berisi apa-apa, hanya terdapat bekas tujuh batang panah. Lu Leng amat cerdas. Maka dia tahu tidak mungkin tiada sebab Mo Liong Seh Sih membawa mereka bertiga ke dalam gudang itu.

Oleh karena itu, begitu melihat isi kotak kayu tersebut dia langsung mengeluarkan suara, "Hah?!" kemudian berkata. "Seh-locianpwee hanya memperoleh kotak penyimpan ketujuh batang Panah Bulu Api, tidak mendapatkan panahnya?"

Mo Liong Seh Sih menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak. Dulu aku memang mendapatkan Panah Bulu Api yang berjumlah tujuh batang."

Begitu mendengar ucapan itu, Lu Leng nyaris berjingkrak dan berseru saking girangnya. "Bagus sekali! Walau Busur Api berada di tangan putra Liok Ci Khim Mo, namun tidak sulit mencarinya! Maka rimba persilatan akan tenang kembali...."

Mendadak Lu Leng teringat akan sesuatu, sehingga kata-katanya terputus. Ketika Lu Leng menyinggung soal Panah Bulu Api, kenapa wajah Mo Liong Seh Sih langsung berubah dan tampak tidak senang? Sudah pasti terjadi sesuatu setelah Mo Liong Seh Sih memperoleh Panah Bulu Api itu.

Toan Bok Ang yang tidak tahu apa yang dipikirkan Lu Leng, segera bertanya dengan heran. "Lu-siauhiap, kenapa tidak dilanjutkan?"

Lu Leng belum membuka mulut, Mo Liong Seh Sih sudah berkata. "Bocah! Kau amat cerdas, tentunya sudah menduga ada liku-likunya, kan?"

Lu Leng mengangguk. "Betul, harap locianpwee sudi menjelaskannya!"

"Mari kita meninggalkan gudang ini dulu!" kata Mo Liong Seh Sih, dan mendadak dia menepuk meja batu sehingga kemudian terdengar suara di ujung.

"Kreek!” sebuah pintu terbuka, dan kemudian tampak sebuah lorong.

"Liat Hwe tua, silakan jalan duluan!" kata Mo Liong Seh Sih sambil memandang ke lorong.

Wajah Liat Hwe Cousu tampak tidak senang. "Seh tua, apa maksudmu menyuruhku berjalan duluan?"

Mo Liong Seh Sih tertawa. "Liat Hwe tua, kita tahu isi hati masing-masing. Kenapa masih harus bertanya?"

Wajah Liat Hwe Cousu penuh kegusaran. "Baik! Aku pasti tidak akan melupakan kata-katamu itu!" katanya lalu berjalan menuju lorong itu.

Lu Leng dan Toan Bok Ang tahu, kenapa Mo Liong Seh Sih menyuruh Liat Hwe Cousu berjalan duluan. Itu agar ketua Hwa San Pai tidak memanfaatkan kesempatan untuk menyambar satu dua macam barang pusaka yang di dalam gudang itu. Mereka berdua masih ingat, betapa angkuhnya Liat Hwe Cousu dalam rimba persilatan. Namun setelah bertemu Mo Liong Seh Sih, dirinya seakan dikendalikan. Maka tidak mengherankan kalau Liat Hwe Cousu amat gusar. Tapi dia tidak berani melampiaskan kegusarannya.

Setelah Liat Hwe Cousu melangkah, Mo Liong Seh Sih, Lu Leng dan Toan Bok Ang mengikutinya dari belakang. Mo Liong Seh Sih menekan di dinding, kemudian pintu batu itu tertutup kembali. Lorong itu berbelok-belok, akhirnya sampai di lobang yang mereka masuki tadi. Dengan hati-hati sekali mereka turun dari lobang tersebut, kemudian kembali ke kamar tadi.

Lu Leng tercengang dan tidak habis berpikir, maka dia bertanya. "Seh-locianpwee, sebetulnya ketujuh batang Panah Bulu Api itu berada di mana?"

"Kalian bertiga ikut aku!"

Liat Hwe Cousu tertawa dingin. "Mau ke mana lagi?"

Mo Liong Seh Sih tertawa. "Haha! Liat Hwe tua, kini kau telah berada di gunung Tang Ku Sat, berjalan beberapa mil lagi apa salahnya?"

Sesungguhnya Liat Hwe Cousu amat gusar dalam hati, namun dia tahu jelas dirinya tidak boleh main-main dengan Mo Liong Seh Sih. Maka dia tetap menekan hawa kegusaran yang bergejolak di rongga dadanya. Kini mereka berempat meninggalkan Istana Iblis, menuju ke depan menggunakan ginkang. Tak seberapa lama kemudian sudah sampai di puncak tandus. Puncak itu tidak begitu tinggi, namun terdapat tebing-tebing yang amat terjal dan licin.

Mo Liong Seh Sih tertawa seraya berkata. "Liat Hwe tua, aku tahu kau amat penasaran. Nah, bagaimana kalau kita mencoba kepandaian kita di puncak ini, untuk melihat siapa yang sampai duluan di atas?"

Liat Hwe Cousu memandang ke atas. “Untuk menaiki tebing yang amat tinggi dan licin itu tentunya harus memiliki ginkang yang amat tinggi, bahkan juga harus memiliki ilmu Pik Hou Yu Piak (Harimau Merayap Di Tembok),” pikirnya dalam hati.

Liat Hwe Cousu memang ingin mengadu kepandaian dengan Mo Liong Seh Sih. Oleh karena itu dia menyahut dengan dingin. "Baik!"

Mo Liong Seh Sih menoleh ke arah Lu Leng dan Toan Bok Ang, kemudian berkata sambil tersenyum. "Kalian berdua harus mengerahkan kepandaian masing-masing, merayap ke atas perlahan-lahan!"

Lu Leng manggut-manggut. "Silakan cianpwee berdua naik duluan! Kami ingin menyaksikan kepandaian cianpwee agar mata kami terbuka."

Mo Liong Seh Sih tertawa. "Baiklah, Liat Hwe tua, bersiaplah!"

Usai berkata, badan Mo Liong Seh Sih mencelat ke atas. Kelihatannya orang tua itu tidak berani meremehkan Liat Hwe Cousu. Di saat itu pula Liat Hwe Cousu bersiul panjang dan badannya langsung mencelat ke atas. Tampak dua sosok bayangan bagaikan asap membubung ke atas dan banyak batu kecil berhamburan ke bawah. Lu Leng dan Toan Bok Ang terbelalak menyaksikannya. Walau Toan Bok Ang memiliki ginkang tinggi, namun tetap tidak sanggup naik ke atas menggunakan ilmu Pik Hou Yu Piak (Harimau Merayap Di Tembok), karena harus memiliki lweekang yang amat tinggi.

Liat Hwe Cousu dan Mo Liong Seh Sih terus merayap ke atas dan tampak setanding. Ketika hampir mencapai di atas, kira-kira tujuh delapan depa lagi, mendadak Liat Hwe Cousu menekan dinding tebing lalu berjungkir karena tenaga tekanan itu. Lu Leng dan Toan Bok Ang tidak tahu, apa maksud Liat Hwe Cousu berbuat begitu. Tiba-tiba sepasang tangan Liat Hwe Cousu menekan dinding tebing, maka badannya mencelat ke atas dengan kepala di bawah.

Lu Leng dan Toan Bok Ang terbelalak dengan mulut ternganga lebar, karena kejadian itu sungguh di luar dugaan mereka. Mereka berdua tertegun, sehingga tanpa sadar berseru memuji. Justru dengan cara demikian itu, maka Liat Hwe Cousu lebih tinggi setengah depa dari Mo Liong Seh Sih. Wajah Mo Liong Seh Sih tampak tegang sekali Kemudian dia merayap lebih cepat dan hampir setinggi Liat Hwe Cousu.

Akan tetapi kini hanya tinggal beberapa depa lagi sampai di atas. Wajah Liat Hwe Cousu tampak berseri, sebab dia yakin sampai duluan di atas. Akan tetapi tiba-tiba terdengar Mo Liong Seh Sih bersiul panjang, mendadak badannya mencelat ke atas melampaui Liat Hwe Cousu dan dalam sekejap dia berdiri di atas. Liat Hwe Cousu pun sudah sampai di atas, hanya berselisih sedikit saja.

Mo Liong Seh Sih tertawa gelak. "Haha! Liat Hwe tua, tak kusangka kau mau mengalah terhadapku!"

"Seh tua, jurusmu tadi dari ilmu apa?" tanya Liat Hwe Cousu sambil tersenyum.

"Ilmu Ni Ciu Kang (llmu Mencelat di Atas Lumpur). Liat Hwe tua, ilmumu tadi apakah ilmu Cing Ing Kang (llmu Jungkir ke Atas)? Sungguh hebat ilmu itu, boleh dikatakan tiada duanya di kolong langit," sahut Mo Liong Seh Sih.

Karena Mo Liong Seh Sih memujinya, maka Liat Hwe Cousu merasa senang sekali. "Sama-sama!"

Sementara Lu Leng dan Toan Bok Ang sudah mulai merayap ke atas. Mereka berdua pun mengerahkan ilmu Pik Hou Yu Piak (Harimau Merayap Di Tembok), tentunya tidak bisa dibandingkan dengan Mo Liong Seh Sih dan Liat Hwe Cousu. Setelah bersusah payah, barulah mereka berdua mencapai di atas tebing itu.

Mo Liong Seh Sih memandang mereka berdua sambil manggut-manggut. "Bagus! Bagus! Tidak salah gelombang belakang mendorong gelombang depan. Liat Hwe tua, ketika kita masih muda, apakah sudah memiliki kepandaian seperti ini?"

Liat Hwe Cousu tidak menyahut pertanyaan tersebut, sebaliknya malah bertanya. "Seh tua, kenapa kau mengajakku ke sini?"

Mo Liong Seh Sih menunjuk ke depan. "Kau melihat itu?"

Mereka bertiga segera memandang ke arah yang ditunjuk Mo Liong Seh Sih. Ternyata di sana terdapat sebuah makam batu. Di sisi makam itu terdapat sebuah lobang, khususnya untuk makam sang suami atau istri.

"Seh tua, apakah itu makam istrimu?" tanya Liat Hwe Cousu.

Mo Liong Seh Sih mengangguk. “Tidak salah. Ketika masih hidup istriku sudah tahu, bahwa ketujuh batang Panah Bulu Api bukan panah biasa, maka istriku amat menyukai Panah Bulu Api itu. Oleh karena itu, ketika dia meninggal, kumasukkan ketujuh batang Panah Bulu Api itu ke dalam peti matinya."

Mendengar penuturan itu Lu Leng langsung menghela nafas panjang, karena ketujuh batang Panah Bulu Api itu masih ada. "Seh-locianpwee, kita harus membongkar makam itu, jadi...."

Belum juga Lu Leng usai berkata, Mo Liong Seh Sih sudah menoleh memandangnya. Ketika beradu pandang dengan orang tua itu, Lu Leng terkejut bukan main, kemudian mendadak Mo Liong Seh Sih membentak.

"Siapa lagi yang berkata begitu, aku pasti tidak berlaku sungkan! Istriku sudah meninggal, apakah dia tidak boleh tenang?"

Lu Leng memang berhati keras. Dia mundur selangkah dan berkata."Kalau tidak begitu, bagaimana cara mengambil ketujuh batang Panah Bulu Api itu?"

Mo Liong Seh Sih langsung menggeram. "Bocah yang tak tahu diri!"

Dia langsung menjulurkan tangannya untuk mencengkeram dada Lu Leng. Lu Leng sama sekali tidak menyangka Mo Liong Seh Sih akan menyerangnya begitu mendadak. Jarak mereka hanya beberapa depa, maka cengkeraman itu belum sampai, Lu Leng sudah merasakan adanya tenaga yang amat dahsyat menerjang dadanya. Lu Leng ingin mundur, namun serangan yang dilancarkan Mo Liong Seh Sih justru mengarah ke empat penjuru. Karena itu Lu Leng merasakan adanya tenaga yang amat dahsyat di belakangnya sehingga membuatnya tidak bisa mundur, sedangkan tangan Mo Liong Seh Sih sudah berada di depan dadanya.

Walau Lu Leng tahu bahwa dirinya bukan tandingan Mo Liong Seh Sih, namun tidak bisa tidak harus menangkis. Dia segera menghimpun hawa murni kemudian tangan kanannya diangkat dan jari telunjuknya digerakkan dengan jurus It Ci Keng Thian (Satu Jari Mengejutkan Langit). Akan tetapi, di saat Lu Leng mengangkat tangannya, Mo Liong Seh Sih merubah jurusnya. Jurus It Ci Keng Thian dapat membelah tenaga serangan Mo Liong Seh Sih, kemudian Lu Leng bergerak cepat menghindari dari situ. Di saat bersamaan mendadak telapak tangan Mo Liong Seh Sih diarahkan ke sebuah batu.

“Plaak!” batu itu hancur berkeping-keping.

Walau Lu Leng berhasil berkelit, namun wajahnya tampak pucat pias.

Mo Liong Seh Sih segera menegaskan. "Siapa berani bilang membongkar makam, batu itu sebagai contohnya!"

Toan Bok Ang segera mendekati Lu Leng, kemudian bertanya dengan penuh perhatian. "Lu-siauhiap, apakah kau terluka?"

"Aku tidak apa-apa," sahut Lu Leng.

Usai menyahut, Lu Leng maju selangkah ke hadapan Mo Liong Seh Sih, di wajahnya tersirat kebulatan hatinya. Kebetulan Mo Liong Seh Sih membalikkan badannya, maka mereka berdua berdiri berhadapan dalam jarak dekat. Mo Liong Seh Sih menatapnya tajam. Lu Leng terkejut dalam hati, namun teringat akan kebulatan hatinya, maka nyalinya menjadi besar.

"Seh-locianpwee, kalau begitu Liok Ci Khim Mo pasti menimbulkan petaka dalam rimba persilatan! Apakah locianpwee akan membiarkannya?" ujarnya dengan lantang.

Mo Liong Seh Sih maju satu langkah. Namun Lu Leng tetap berdiri di tempat, tak bergeming sedikit pun. "Liok Ci Khim Mo mengandalkan Pat Liong Thian Im malang melintang dalam rimba persilatan. Entah berapa banyak kaum rimba persilatan akan mati di tangannya. Apakah Seh-locianpwee tidak tahu itu?"

Mo Liong Seh Sih menyahut sepatah demi sepatah dengan suara mengguntur, sehingga suaranya bergema sampai di mana-mana. "Tentu aku tahu tentang itu!"

"Kalau begitu, bukankah batu itu hancur secara penasaran sekali?" ujar Lu Leng sambil menunjuk batu yang hancur itu. Ucapan itu menyindir tindakan Mo Liong Seh Sih tadi.

Wajah Toan Bok Ang yang berdiri di sisinya langsung berubah. "Lu-siauhiap, jangan bicara sembarangan!"

Lu Leng tertawa panjang. "Hahaha! Nona Toan, perkataanmu amat tak berarti! Kau harus tahu, aku bicara demi seluruh kaum rimba persilatan! Kalau pun harus mati, pasti meninggalkan nama baik!"

Mo Liong Seh Sih tertawa dingin. "Bocah! Mulutmu sungguh besar! Namun kau justru akan mati sia-sia. Batu itu tidak akan hancur dengan penasaran!" katanya.

Tadi di dalam Istana Iblis Lu Leng amat kagum pada Mo Liong Seh Sih, karena orang tua itu memikirkan seluruh kaum rimba persilatan. Akan tetapi setelah kejadian barusan, dia mulai memandang rendah terhadap orang tua itu. Walau Lu Leng tahu Mo Liong Seh Sih berkepandaian amat tinggi dan kedudukannya juga begitu tinggi dalam rimba persilatan, namun dia tetap memandang rendah terhadapnya.

Dia mendengus dingin, lalu memandang Toan Bok Ang seraya berkata, "Nona Toan! Mari kita pergi!"

Mo Liong Seh Sih langsung menghadang di hadapannya. "lngin pergi?!" bentaknya sengit.

"Mau apa di sini kalau tidak pergi?" sahut Lu Leng.

"Kau mau ke mana?" tanya Mo Liong Seh Sih dengan dingin.

"Kolong langit sangat luas, Apakah tidak bisa ke mana-mana?" sahut Lu Leng dengan dingin pula.

"Hehehe!" Mo Liong Seh Sih tertawa aneh. "Bukankah kau ingin pergi mengundang para jago tangguh untuk memusuhiku?"

Lu Leng terkejut sebab Mo Liong Seh Sih dapat membaca pikirannya. "Tidak salah!" sahutnya lantang.

Mo Liong Seh Sih tertawa gelak menggetarkan pegunungan itu, lama sekali barulah berkata. "Bocah, aku tidak percaya kau dapat mengundang para jago yang berani memusuhiku!"

"Liok Ci Khim Mo memiliki ilmu Pat Liong Thian Im sehingga menimbulkan petaka dalam rimba persilatan, menyebabkan kaum rimba persilatan pergi menyembunyikan diri, begitu pula...."

Ketika Lu Leng berbicara sampai di situ, wajah Mo Liong Seh Sih langsung berubah. "Begitu pula aku, bukan?"

Lu Leng manggut-manggut. "Tidak salah!"

Mendadak muncul bayangan pukulan di depan matanya. Lu Leng segera berkelit, namun terlambat.

“Plak! Plak!” ternyata dua tamparan mendarat di pipinya, dan kedua tamparan itu sungguh keras.

Sejak makan buah Ling Che, lweekang-nya bertambah maju pesat. Maka ketika kedua tamparan itu mendarat di pipinya, hawa murni di dalam tubuhnya mengadakan perlawanan. Namun demikian kedua pipinya tetap membengkak dan terasa sakit sekali. Ketika tahu dirinya tidak mungkin bisa berkelit, Lu Leng tetap berdiri di tempat. Setelah menerima kedua tamparan itu, dia masih tetap berdiri di tempat dengan kepala didongakkan, bahkan tatapannya memandang rendah terhadap Mo Liong Seh Sih, sedangkan kemarahan Mo Liong Seh Sih belum reda.

"Bocah! Kau jangan merasa penasaran karena aku telah menamparmu! Siapa suruh kau membandingkan aku dengan penjahat Liok Ci Khim Mo?!" bentaknya sengit.

Sementara Toan Bok Ang yang berdiri di samping Lu Leng, hatinya terasa sakit sekali seperti tersayat ketika melihat Lu Leng ditampar. "Lu-siauhiap, kalau kita mau pergi, mari segera pergi! Kita tidak usah lama-lama di sini!"

"Tutup mulut! Siapa pun tidak boleh meninggalkan tempat ini!" bentak Mo Liong Seh Sih.

Liat Hwe Cousu yang diam dari tadi, saat ini membuka mulut. "Aku pun tidak boleh pergi?" tanyanya dengan dingin.

Mo Liong Seh Sih tidak menggubrisnya, malah mendongakkan kepala sambil tertawa panjang. Kemudian dia melesat ke hadapan makam istrinya dan duduk di situ dengan wajah serius. "Usiamu masih muda, namun amat berani dan gagah. Sulit bertemu pemuda sepertimu. Hanya saja kau berdarah panas, itu sungguh sayang sekali!" ujarnya sambil menatap Lu Leng.

Lu Leng tertawa dingin, namun sama sekali tidak menyahut.

Mo Liong Seh Sih mendongakkan kepala memandang langit, lama sekali barulah berkata seperti bergumam. "Apa yang kukatakan, kau tidak mau mendengar. Itu terserah padamu."

Lu Leng membalikkan badannya untuk memandang Toan Bok Ang. "Nona Toan, mari kita pergi!" ajaknya.

Toan Bok Ang mengangguk. Namun ketika mereka baru mau melangkah pergi, mendadak Mo Liong Seh Sih berseru.

"Belum memperoleh Panah Bulu Api, kalian berdua sudah mau pergi?"

Lu Leng terperangah, lalu membalikkan badan memandang orang tua itu. Mo Liong Seh Sih bangkit berdiri, lalu berjalan selangkah demi selangkah mengelilingi sambil mengusap-usap makam istrinya dengan penuh cinta kasih. Setelah itu dia menghela nafas dan bergumam perlahan.

"Istriku, ketika kau masih hidup, aku cuma menaruh perhatian terhadap ilmu silat, sehingga secara tidak langsung menelantarkanmu. Ketika aku baru berpikir ingin bermesraan denganmu, kau justru meninggal. Aaaah...!"

Dia berhenti bergumam, namun pandangannya terus tertuju ke makam. Selang beberapa saat kemudian dia bergumam lagi. "Sebelum kau menarik nafas penghabisan, kau bilang kita telah banyak membunuh orang. Di saat kita masih hidup, pihak musuh tidak berani mencari kita menuntut balas. Namun kalau sudah mati, pihak musuh pasti akan membongkar kuburan. Kau menghendaki di saat masih hidup aku tidak membiarkan siapa pun membongkar kuburanmu. Ketika itu aku menyanggupinya, dan kini aku telah menepati janjiku."

Ketika mendengar sampai di situ, Lu Leng mengeluarkan suara tawa dingin dua kali. Toan Bok Ang yang berdiri di sisinya cepat-cepat menggenggam tangannya agar dia tidak omong sembarangan. Sedangkan Mo Liong Seh Sih, kelihatannya seperti tidak mendengar suara tawa dingin Lu Leng dan terus bergumam.

"Di dalam makammu telah kupasang berbagai macam perangkap. Maka kalau ada orang masuk ke dalam, pasti akan terperangkap. Itu adalah maksud baikku terhadapmu. Kalau aku masih hidup, tentunya tidak ada orang berani ke mari membongkar kuburanmu, namun berapa lama orang hidup? Sudah pasti akan mati. Setelah aku mati, ada orang ke mari membongkar kuburanmu, aku sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Istriku, kau pasti tidak akan menyalahikanku bila kita bertemu di alam baka, bukan?"

Lu Leng terus mendengarkan gumaman Mo Liong Seh Sih dengan penuh perhatian. Gumaman terakhir itu membuatnya tercengang dan hatinya tergerak. Apakah dia telah salah menilai orang tua itu?

Di saat Lu Leng sedang berpikir, mendadak Mo Liong Seh Sih membalikkan badan menghadap mereka bertiga seraya berkata, "Aku pernah berjanji kepada istriku, kalau aku masih hidup pasti menjaga kuburannya. Namun kini kalau tiada ketujuh batang Panah Bulu Api, berarti tidak bisa membasmi Liok Ci Khim Mo. Bocah! Kau menghendaki aku membongkar kuburan istriku, itu tidak bisa sebab aku masih hidup. Tapi setelah aku mati, aku sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi, itu terserah kau saja...."

Ketika Mo Liong Seh Sih berkata sampai di situ, Lu Leng sudah paham akan maksud orang tua itu. Dia segera maju selangkah lalu berlutut di hadapannya. "Seh-locianpwee jangan begitu, tentunya masih ada jalan lain!" ujarnya.

Mo Liong Seh Sih tertawa gelak. "Hahaha! Bocah, kau sudah jelas semua?"

Lu Leng terus berlutut di hadapannya. "Aku sudah jelas semua."

Mo Liong Seh Sih tersenyum. "Kau sudah mengerti?"

"Kini aku sudah mengerti. Seh-locianpwee adalah orang yang amat gagah di kolong langit."

Mo Liong Seh Sih tersenyum lembut.

"Tapi... kenapa Seh-locianpwee memandang ringan soal hidup?" tanya Lu Leng.

Toan Bok Ang terheran-heran dan tidak habis berpikir, kenapa Lu Leng berlutut di hadapan Mo Liong Seh Sih. Namun Toan Bok Ang adalah gadis yang cerdas. Setelah berpikir sejenak, dia pun paham akan hal itu. Sedangkan Liat Hwe Cousu tahu jelas akan sifat Mo Liong Seh Sih. Ketika melihatnya mengangkat tangan ingin memukul Lu Leng, dia sudah tahu bahwa sifatnya tidak seperti dulu lagi, pasti ada sebab musababnya.

Di saat Lu Leng belum begitu mengerti akan maksud Mo Liong Seh Sih, Liat Hwe Cousu sudah mengerti dan tahu bahwa Mo Liong Seh Sih mau berbuat apa. Setelah mengerti akan maksud Mo Liong Seh Sih, dalam hatinya timbul suatu pertentangan. Merasa kagum terhadapnya tapi juga bergirang dalam hati, karena walau Liat Hwe Cousu amat angkuh, tapi bukan penjahat. Lu Leng mengatakan Mo Liong Seh Sih adalah orang yang amat gagah di kolong langit, Liat Hwe Cousu juga mengakuinya sehingga ketua Hwa San Pai itu merasa terharu.

Seusai Lu Leng berbicara, Liat Hwe Cousu menyambung. "Seh tua, aku tahu maksud hatimu. Asal kau bunuh diri di depan makam istrimu, setelah itu terserah kami mau berbuat apa pun. Begitu, kan?"

Mo Liong Seh Sih tertawa. "Haha! Hanya dengan cara demikian maka aku tidak usah menjaga makam istriku dan bisa andil demi rimba persilatan!"

Betapa harunya perasaan Lu Leng sehingga air matanya langsung meleleh. Tadi dia mengira bahwa Mo Liong Seh Sih amat egois, sama sekali tidak memikirkan nasib kaum rimba persilatan. Akan tetapi kini dia tahu bahwa Mo Liong Seh Sih merupakan seorang pendekar yang gagah dan berhati mulia, menepati janji terhadap istrinya juga berkorban demi seluruh kaum rimba persilatan. Saking kagum dan terharunya, Lu Leng tidak tahu harus mengucapkan apa.

Sedangkan Mo Liong Seh Sih langsung mengambil keputusan tersebut, sama sekali tidak mempertimbangkannya. Ketika mendengar Panah Bulu Api, di saat itulah dia telah mengambil keputusan tersebut. Oleh karena itulah dia mengajak mereka bertiga ke gudang rahasia penyimpanan berbagai macam pusaka, agar kaum rimba persilatan tahu, siapa yang dapat menerobos empat puluh sembilan lorong rahasia, maka orang tersebut diperbolehkan mengambil semacam barang pusaka yang ada di dalam gudang rahasia itu. Selain itu dia pun mengajak mereka bertiga ke makam istrinya.

Tadi Mo Liong Seh Sih menyerang Lu Leng, tentunya membuat pemuda itu amat gusar sekali. Tapi kini Lu Leng justru merasa Mo Liong Seh Sih terlampau ringan turun tangan terhadapnya, sebab dia telah membandingkan orang tua itu dengan Liok Ci Khim Mo.

Sementara perasaan Toan Bok Ang juga bergejolak. "Seh-locianpwee, nyonya tua sudah meninggal. Kalau Seh-locianpwee mengambil jalan pendek, nyonya tua pasti tidak senang di alam baka," katanya.

Air muka Mo Liong Seh Sih berubah. "Gadis kecil, perkataan apa itu?! Jadi orang, yang terpenting harus menepati janji. Kalau aku ingkar janji, itu amat memalukan!" sahutnya.

Wajah Toan Bok Ang memerah dan diam seketika.

"Aku yakin akan kedahsyatan Panah Bulu Api. Mengenai Busur Api kalian sudah tahu jatuh ke tangan siapa, dan pasti bisa merebutnya. Semoga dengan Busur Api dan Panah Bulu Api itu kalian dapat membasmi Liok Ci Khim Mo! Tadi aku mengajak kalian ke gudang rahasia, itu agar kalian tahu apa yang tersimpan di sana. Semua benda yang ada di sana merupakan benda pusaka rimba persilatan. Setelah kalian pergi, wakililah aku menyebarkan berita, bahwa siapa yang dapat menerobos empat puluh sembilan lorong rahasia, berhak mengambil satu macam benda pusaka yang di dalam gudang itu!"

Ketika Lu Leng ingin menyela, mendadak Mo Liong Seh Sih mengibaskan lengan jubahnya sehingga pemuda itu terangkat.

"Kau jangan menyela!" ujar Mo Liong Seh Sih. "Dengarkan saja!"

Lu Leng menghela nafas, sedangkan Mo Liong Seh Sih sudah melanjutkan penuturannya dengan suara dalam. "Sebetulnya di dalam gudang itu tersimpan delapan macam benda pusaka, namun Panah Bulu Api telah mendampingi istriku di dalam kuburan, maka kini hanya tinggal tujuh macam saja."

"Benarkah semua benda itu merupakan benda pusaka dalam rimba persilatan?" tanya Toan Bok Ang.

"Tentu. Kini aku tidak punya waktu untuk menjelaskan, tapi Liat Hwe Cousu tahu tentang semua benda pusaka itu," sahut Mo Liong Seh Sih dengan sungguh-sungguh.

"Aku hanya tahu Jala Maut, sepasang Roda Pencabut Nyawa, Belati Pusaka dan Emas Luar Langit. Yang lain aku tidak tahu," kata Liat Hwe Cousu.

Mo Liong Seh Sih manggut-manggut. "Tidak salah. Namun masih terdapat satu buah benda aneh yang kusimpan di dalam kotak kecil, itu adalah Cing Ming Ko (Buah Surara Hijau). Siapa yang makan buah itu, tulangnya akan menjadi kuat dan badannya menjadi sehat, sedangkan kedua lembar daunnya dapat menyembuhkan berbagai macam luka dalam."

Apa yang dikatakan Mo Liong Seh Sih, jangankan Lu Leng dan Toan Bok Ang, Liat Hwe Cousu pun tidak pernah mendengarnya. Berdasarkan itu dapat diketahui bahwa walau kepandaian Liat Hwe Cousu dan Mo Liong Seh Sih berselisih tidak jauh, namun Mo Liong Seh Sih masih punya kelebihan sendiri.

Mo Liong Seh Sih melanjutkan penuturannya, "Di atas meja batu terdapat sebuah kotak pualam berisi Lan Tian Ciok Po (Batu Giok Pusaka)."

Ketika mendengar itu, Lu Leng, Toan Bok Ang dan Liat Hwe Cousu berseru kaget. "Haaah?!"

Lan Tian Giok Po adalah semacam buah aneh. Konon buah tersebut matang sembilan ribu tahun, khasiatnya melebihi buah Cit Sek Ling Che.

Mo Liong Seh Sih menghela nafas panjang. "Aku memperoleh semua benda pusaka itu, membuat nyawaku nyaris melayang. Kini semua benda pusaka itu kusimpan di dalam gudang," katanya. Dia memandang ke langit setelah itu melanjutkan, "Masih ada sepotong emas, yaitu Emas Suci."

"Seh-locianpwee, apa gunanya Emas Suci itu?" tanya Toan Bok Ang.

Mo Liong Seh Sih tersenyum. "Banyak sekali kegunaannya, namun saat ini tak dapat kujelaskan. Emas Suci itu terukir empat huruf menjelaskan tentang kegunaannya."

Berkata sampai di situ, mendadak Mo Liong Seh Sih tertawa gelak tiga kali. Liat Hwe Cousu, Lu Leng dan Toan Bok Ang tahu bahwa orang itu sudah mau membunuh diri.

Lu Leng maju selangkah, lalu memandang Mo Liong Seh Sih seraya bertanya, "Seh-locianpwee, apakah tiada jalan lain lagi?"

Mo Liong Seh Sih sama sekali tidak menghiraukan pertanyaan Lu Leng. Dia merogohkan tangan ke dalam jubahnya, mengeluarkan sebutir pil berwarna hitam. Ditelannya pil itu lalu mendekati kuburan istrinya.

"Makamkan jenazahku baik-baik. Tentang kematianku jangan kalian siarkan ke luar. Hati-hatilah kalian mengambil ketujuh batang Panah Bulu Api!" pesannya kepada Liat Hwe Cousu, Lu Leng dan Toan Bok Ang.

Lu Leng segera melesat ke hadapan kuburan. "Seh-locianpwee...!" serunya.

Akan tetapi setelah berseru dia berhenti, dan air matanya meleleh membasahi pipinya. Ternyata seusai Mo Liong Seh Sih berkata, matanya terpejam perlahan-lahan, wajahnya tampak tenang dan berseri. Lu Leng memandang wajahnya, masih kelihatan seperti hidup. Kini Lu Leng baru tahu bahwa Mo Liong Seh Sih memang merupakan orang aneh nomor wahid dalam rimba persilatan dan berani berkorban demi kaum rimba persilatan.

Betapa sedihnya hati Lu Leng. Dia berdiri termangu-mangu, lama sekali barulah berkata, "Seh-locianpwee, kalau aku tidak dapat membasmi Liok Ci Khim Mo, setelah mati tiada muka berjumpa locianpwee di alam baka."

Usai berkata dia bersujud di hadapan jenazah Mo Liong Seh Sih, kemudian bangkit berdiri. Sementara Liat Hwe Cousu terus memandang jenazah Mo Liong Seh Sih. Ketua Hwa San Pai itu kagum bukan main, namun juga amat berduka.

"Mari kita kuburkan dia dulu!" kata Liat Hwe Cousu.

Liat Hwe Cousu, Lu Leng dan Toan Bok Ang mengangkat sebuah batu yang ada di samping kuburan. Di situ terdapat sebuah lobang. Jenazah Mo Liong Seh Sih ditaruh ke dalam lobang itu, lalu ditutup lagi dengan batu tersebut. Setelah itu Liat Hwe Cousu berkata.

"Lu Leng, kau memiliki ilmu Kim Kong Sin Ci, ukirlah beberapa huruf di batu itu!"

Lu Leng mengangguk, lalu mengerahkan Kim Kong Sin Ci pada jari telunjuknya. Terdengar suara batu digores, dan tampak di atas batu itu beberapa huruf yang berbunyi demikian, ‘Makam Seh Sih Pendekar Besar Nomor Wahid Di KoIong Langit’.

Liat Hwe Cousu manggut-manggut. "Bolehlah! Tapi.... ‘Nomor Wahid’ agak berlebihan."

Hati Lu Leng sedang berduka, maka ketika mendengar Liat Hwe Cousu berkata begitu, dia langsung gusar. "Apakah harus nomor dua?"

Wajah Liat Hwe Cousu berubah. "Jangan kurang ajar!" bentaknya.

Wajah Lu Leng pun berubah, namun mendadak Toan Bok Ang segera maju ke hadapannya lalu mengibaskan tangannya ke belakang, memberi isyarat agar Lu Leng diam. "Liat Hwe Cousu," ujar gadis itu. "Kita harus segera mengambil ketujuh batang Panah Bulu Api. Jangan buang waktu lagi!"

Liat Hwe tertawa dingin. "Kematian Seh tua boleh dikatakan dikarenakan ketujuh Panah Bulu Api. Maka setelah barang tersebut kita dapatkan, harus kusimpan dulu."

Lu Leng dan Toan Bok Ang tertegun mendengar ucapan itu.

"Kemudian aku akan mengundang para jago tangguh untuk merundingkan bagaimana cara merebut Busur Api. Kalian berdua, apakah tidak setuju?"

Lu Leng melihat Mo Liong Seh Sih berkorban demi membasmi Liok Ci Khim Mo, sedangkan Liat Hwe Cousu ingin memanfaatkan pengorbanan Mo Liong Seh Sih demi namanya sendiri. Sebetulnya Lu Leng ingin mencaci Liat Hwe Cousu, namun setelah berpikir sejenak niat itu dibatalkannya. "Baiklah!" sahutnya.

Liat Hwe Cousu tertawa dingin. "Kalian berdua jangan menganggap gampang mengambil Panah Bulu Api itu. Bukankah Seh tua sudah bilang, di dalam kuburan ini terdapat banyak perangkap?"

Lu Leng dan Toan Bok Ang saling memandangi, sebab ucapan Liat Hwe Cousu barusan berarti, kalau tanpa kehadirannya di situ pengorbanan Mo Liong Seh Sih juga akan sia-sia.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar