Harpa Iblis Jari Sakti Chapter 05

Betapa terkejutnya Han Giok Shia. Walau pun mereka bergebrak hanya satu jurus, dan belum tahu siapa menang atau kalah, tapi ketika kedua senjata itu beradu, Liat Hwe Soh Sim Lun tidak dapat menjepit rantai itu, sudah merupakan hal yang amat mengejutkan. Sebab Sebun It Nio yang memiliki ilmu pedang yang amat lihay dan dahsyat, pedangnya masih kutung beradu dengan Liat Hwe Soh Sim Lun. Kalau begitu, apakah lweekang Tam Goat Hua lebih tinggi dari Sebun It Nio?

Han Giok Shia tersentak dan tidak berani berlaku ayal lagi. Namun Tam Goat Hua telah bergerak ke belakangnya. Han Giok Shia tertawa dalam hati, lalu perlahan-lahan memutar badannya. Di saat itu pula badan Tam Goat Hua ikut berputar ke belakang gadis itu. Mendadak Han Giok Shia bersiul panjang, sekaligus mengibaskan lengan kanannya ke belakang tanpa memutar badannya. Ternyata adalah jurus Toh Hong Pang Hwe (Membalikkan Angin Membantu Api). Senjata Liat Hwe Soh Sim Lun itu berkelebatan mengeluarkan cahaya, dan gelang bergerigi di ujung rantai mengarah ke dada Tam Goat Hua.

Menghadapi jurus andalan itu, Tam Goat Hua sama sekali tidak gugup, malah tampak tenang dan bisa tertawa pula. "Hahaha!"

Di saat bersamaan, dia menggoyangkan sebelah tangannya, maka rantai yang melekat di lengannya ikut berputar-putar, kemudian menangkis Liat Hwe Soh Sim Lun.

“Cring!” Suara benturan kedua senjata itu. Mendadak gelang bergerigi itu berputar menjepit rantai besi, sehingga rantai itu terjepit sambil mengeluarkan suara.

"Kraaak!"

Pada saat itu pula tangan kiri Tam Goat Hua pun bergerak. Bukan main terkejutnya Han Giok Shia, sebab tahu-tahu kakinya terasa sakit sekali. Ternyata rantai di lengan kiri Tam Goat Hua telah melingkar di kaki gadis itu. Di saat bersamaan, gadis itu pun merasa ada serangkum tenaga menyerang ke arahnya, maka tanpa mampu lagi dia terjatuh ke belakang. Karena Liat Hwe Soh Sim Lun menjepit rantai di lengan Tam Goat Hua, maka ketika dia jatuh, Tam Goat Hua pun ikut jatuh menindihnya.

"Ah Shia, berhenti!" seru Hwe Hong Sian Kouw cepat.

Han Giok Shia tidak mendengar seruan gurunya, sebaliknya malah memukul ke arah Tam Goat Hua. Mendadak Han Giok Shia merasa kakinya yang sakit itu menjadi lenggang, ternyata rantai yang melingkar di kakinya telah mengarah dirinya. Betapa terkejutnya Han Giok Shia. Tanpa banyak berpikir lagi dia langsung meloncat ke belakang beberapa depa, dan Liat Hwe Soh Sim Lun pun dilepaskannya.

“Braaak!” Rantai itu menghantam lantai, membuat lantai itu pecah tidak karuan. Kini Han Giok Shia baru tahu akan kelihayan Tam Goat Hua, sebab senjata andalannya telah berpindah ke tangan gadis itu.

"Baru mengerti sedikit ilmu silat, sudah berani bertarung dengan orang! Ha ha!"

Belum lenyap suara tawa Tam Goat Hua, dia sudah mengibaskan tangannya. Liat Hwe Soh Sim Lun itu meluncur ke luar, kemudian terdengar suara yang amat memekakkan telinga. Ternyata senjata itu telah menancap di tembok luar.

Di saat kedua gadis itu bertarung, Lu Sin Kong sudah membopong mayat isterinya. Setelah Liat Hwe Soh Sim Lun terlempar ke luar, Tam Goat Hua berkata. "Lu Cong Piau Tau, mari kita pergi! Lihat siapa yang masih berani menghadang!"

Han Giok Shia segera berseru. "Ayah! Guru!"

Maksudnya agar Han Sun dan Hwe Hong Sian Kouw menghadang kepergian Lu Sin Kong dan Tam Goat Hua, namun ketika Han Giok Shia mendongakkan kepala, dia pun tertegun. Tampak wajah Hwe Hong Sian Kouw berubah agak kehijau-hijauan, sedangkan si Pecut Emas-Han Sun tetap berdiri mematung, dengan wajah pucat pias. Sikap mereka kelihatan seperti telah menyaksikan sesuatu yang amat menakutkan. Han Giok Shia tertegun, sebelum ia bersuara, Tam Goat Hua dan Lu Sin Kong sudah berjalan ke luar.

Han Giok Shia cepat-cepat menghampiri Han Sun dan Hwe Hong Sian Kouw seraya bertanya. "Ayah dan guru kenapa sih?"

Si Pecut Emas-Han Sun menghela nafas panjang, sedangkan Hwe Hong Sian Kouw diam saja. Han Giok Shia tercengang menyaksikan sikap mereka berdua.

"Ayah dan Guru membiarkan mereka pergi, ya sudahlah! Ada urusan apa lagi sih?"

Si Pecut Emas-Han Sun tetap tidak menyahut. Ia hanya mengangkat sebelah tangannya, lalu membelai-belai rambut Han Giok Shia. Selang beberapa saat kemudian barulah ia berpaling seraya berkata, "Sian Kouw, lebih baik bawa Ah Shia pergi bersembunyi ke Hui Yan Bun dulu!"

Hwe Hong Sian Kouw manggut-manggut. "Itu baik juga! Asal dia membawa Liat Hwe Soh Sim Lun-ku, Hui Yan Bun pasti menerimanya."

Walau Han Giok Shia tidak tahu apa yang terjadi, namun pembicaraan si Pecut Emas-Han Sun dengan Hwe Hong Sian Kouw, justru mengenai dirinya seakan telah mengikat permusuhan dengan seorang musuh tangguh, maka ayah dan gurunya menghendaki dirinya pergi ke Hui Yan Bun untuk menghindar.

Perlu diketahui, hati Han Giok Shia amat keras, bahkan sifatnya pun seperti gurunya pula. Maka, mendengar ucapan itu ia langsung berkata. "Ayah aku tidak mau ke mana-mana."

Si Pecut Emas-Han Sun menghela nafas panjang. "Ah Shia, bagaimana sifatmu ayah tahu jelas, namun biar bagaimana pun kau harus mendengar perkataan ayah dan Sian Kouw. Jangan keras hati, ayah tentu akan senang sekali."

Han Giok Shia berpikir, kelihatannya apa yang dikatakan ayah dan gurunya harus dituruti. Tiada gunanya membangkang, meninggalkan tempat ini menuju ke Hui Yan Bun atau tidak, itu tentu bergantung pada dirinya sendiri, maka ada baiknya menurut. Oleh karena itu, Han Giok Shia manggut-manggut.

"Ayah, kenapa aku harus ke Hui Yan Bun, bolehkah aku mengetahuinya?"

Si Pecut Emas-Han Sun menggeleng-gelengkan kepala. "Kelak kau akan mengetahuinya. Kini lebih baik kau tidak banyak bertanya!"

Han Giok Shia tidak banyak bertanya lagi. "Aku akan berpergian jauh, harus berkemas2 dulu," katanya. Setelah itu, dia mengambil senjata Liat Hwe Soh Sim Lun yang menancap di tembok lalu masuk ke dalam.

Si Pecut Emas terus memandang punggung putrinya, lama sekali barulah duduk. "Sian Kouw, ketika gadis itu baru masuk, kelihatannya kau mengenalnya, benarkah begitu?"

Kening Hwe Hong Sian Kouw berkerut-kerut, kemudian menarik nafas dalam-dalam seraya menyahut. "Aku tinggal di puncak menara Hou Yok. Kira-kira dua bulan yang lalu aku pernah melihatnya bersama seorang pemuda pesiar di Hou Yok. Ketika itu banyak orang pesiar di sana, tapi mereka berdua menerobos ke sana ke mari dengan gesit sekali, maka dapat kuketahui mereka memiliki ginkang tingkat tinggi. Karena mereka berdua masih begitu muda, maka kupanggil mereka. Setelah kutanya, mereka mengaku sebagai kakak beradik bermarga Tam, sedang menunggu ayah mereka di Hou Yok. Namun siapa ayah mereka, keduanya tidak memberitahukan. Selanjutnya aku masih sering melihat mereka, namun baru-baru ini tidak pernah melihat gadis itu. Dia entah ke mana lalu muncul mendadak dengan sepasang lengannya terbelenggu rantai besi."

Si Pecut Emas-Han Sun menarik nafas dalam-dalam. "Kalau begitu, sementara ini ayah mereka tidak berada di Su Cou?"

"Kelihatannya memang begitu. Mereka kakak beradik berusia belum dua puluh, tapi kepandaian mereka sudah begitu tinggi. Dapat dibayangkan bagaimana kepandaian ayah mereka," kata Hwe Hong Sian Kouw.

Sampai di sini, mereka berdua diam, tidak berbicara apa-apa lagi. Han Giok Shia yang telah berkemas itu berjalan ke ruang besar, maka mendengar pembicaraan ayah dan gurunya. Apa yang dibicarakan mereka berdua, tidak terlewat dari telinganya. Namun pembicaraan terakhir, dia tidak mengerti siapa yang dimaksudkan. Hanya tahu mereka kakak beradik, masih berada di wilayah Hou Yok.

Tiba-tiba di depan mata Han Giok Shia muncul sebuah bayangan orang, bayangan yang muncul di depan matanya adalah bayangan seorang pemuda berbadan kurus namun tampan. Ketika Han Giok Shia berada di puncak menara Hou Yok bersama Hwe Hong Sian Kouw, untuk melatih Liat Hwe Soh Sim Lun Hoat (Ilmu Gelang Api). Han Giok Shia ke puncak menara Hou Yok itu di malam hari, itu agar tidak diperhatikan orang. Setengah bulan yang lalu, setiap kali dia meninggalkan menara Hou Yok, pasti merasa ada seseorang menguntitnya. Orang itulah yang muncul mendadak dalam benaknya yang merupakan pemuda tampan.

Apa pekerjaan pemuda itu, Han Giok Shia tidak begitu jelas, kelihatannya seperti seorang sastrawan. Beberapa kali muncul, pemuda itu selalu mengenakan jubah hijau. Jubah itu berkibar-kibar terhembus angin, sehingga menambah ketampanannya, membuat hati kaum gadis menjadi berdebar-debar menyaksikannya. Pemuda itu memang tampan. Sepasang matanya menyorot tajam, maka tidak dapat mengelabuhi Han Giok Shia, pemuda itu juga adalah kaum rimba persilatan. Dalam waktu setengah bulan ini, boleh dikatakan setiap malam Han Giok Shia pasti bertemu pemuda itu, namun belum pernah saling menyapa. Han Giok Shia tidak tahu siapa pemuda itu, tapi kini setelah mendengar pembicaraan Hwe Hong Sian Kouw dengan ayahnya, maka dalam benaknya muncul bayangan pemuda itu.

Si Pecut Emas-Han Sun dan Hwe Hong Sian Kouw tetap duduk diam. Han Giok Shia memberi hormat kepada mereka. "Ayah, Guru! Aku mau pergi!"

Hwe Hong Sian Kouw manggut-manggut. "Ah Shia, setelah kau tiba di kaki gunung Hui Yan, pasti akan muncul murid Hui Yan Bun. Mereka akan menanyakan identitasmu. Asal kau memperlihatkan senjata Liat Hwe Soh Sim Lun, dan mengatakan mau bertemu ketua, tentu ada orang membawamu ke sana. Yang penting kau harus ingat, katakan bahwa aku masih ingin pesiar, maka menyuruhmu ke puncak gunung Hui Yan belajar ilmu silat!"

“Ya,” sahut Han Giok Shia lirih, lalu melangkah pergi. Padahal ia sama sekali tidak berniat pergi ke Hui Yan Bun.

Mendadak si Pecut Emas-Han Sun berseru memanggilnya. "Ah Shia!"

Han Giok Shia segera menolehkan kepalanya seraya menyahut, "Ya, ayah."

Kemudian ia berlari mendekati si Pecut Emas-Han Sun, dan mendekap di dadanya. Sebelum mendekap di dada ayahnya, gadis itu melihat sepasang mata ayahnya bersimbah air, dan tak lama air mata itu pun meleleh. Belum pernah Han Giok Shia melihat ayahnya mengucurkan air mata seperti itu. Ayahnya berkepandaian tinggi dan tergolong pendekar gagah, namun kini justru mengucurkan air mata.

Ketika adiknya menghilang mendadak dan boleh dikatakan dalam bahaya, ayahnya hanya tampak tidak gembira, tapi sama sekali tidak mengeluarkan air mata. Kini, ayahnya justru mengucurkan air mata, maka membuat Han Giok Shia merasa sedih.

"Kenapa Ayah menangis?" tanyanya sambil mendongakkan kepala.

Si Pecut Emas-Han Sun segera tertawa. "Anak bodoh! Kenapa ayah harus menangis? Jangan omong sembarangan!"

Gadis itu amat cerdik. Ia tahu bahwa ayahnya begitu, lantaran mengkhawatirkan dirinya.
Maka, ia segera memanggil ayahnya dengan air mata bercucuran. "Ayah! Ayah!"

Si Pecut Emas-Han Sun menjulurkan tangannya untuk membelai putrinya dengan penuh kasih sayang, kemudian berkata sepatah demi sepatah. "Nak, jarak dari sini ke gunung Hui Yan amat jauh. Kau harus ingat, dalam perjalanan jangan bertarung dengan siapa pun. Rubahlah sikapmu yang agak buruk!"

Han Giok Shia manggut-manggut dan menyahut agak terisak-isak. "Aku tahu."

Berselang sesaat, si Pecut Emas-Han Sun berkata lagi. "Setelah kau tiba di puncak gunung Hui Yan, janganlah menelantarkan Ilmu Pecut yang kuajarkan dan ilmu Gelang Api yang diajarkan gurumu, berikut lweekang Sim Hoat (Ilmu Melatih Tenaga Dalam). Kau hanya memperoleh sedikit kulitnya, maka harus terus berlatih dengan giat. Tiga lima tahun kemudian, kau pasti akan berhasil menguasai semua ilmu itu. Aku tidak akan pergi menengokmu, kau pun tidak perlu merindukan kami. Pecut Emas ini sudah kubawa sejak kecil, juga merupakan benda pusaka dalam rimba persilatan, kuhadiahkan kepadamu."

Begitu mendengar perkataan ayahnya, timbullah rasa duka dalam hati Han Giok Shia, karena seakan berpisah selamanya dengan ayahnya. Pada dasarnya dia adalah gadis yang keras hati, maka dia dapat menekan rasa dukanya. Ia manggut-manggut, lalu menerima Pecut Emas tersebut. Namun ketika baru dililitkan pada pinggangnya, mendadak teringat sesuatu.

"Ayah tidak menggunakan Pecut Emas untuk menjaga diri?"

Si Pecut Emas-Han Sun menggeleng-gelengkan kepala. "Aku tidak perlu menggunakannya lagi."

Han Giok Shia mendongakkan kepala. la menatap ayahnya dengan tertegun, karena ayahnya tampak bertambah tua. Kematian adiknya amat mendukakan hati ayahnya, kini ditambah berbagai masalah, maka si Pecut Emas-Han Sun menjadi kelihatan bertambah tua. Diam-diam gadis itu menghela nafas panjang.

Si Pecut Emas-Han Sun berpikir sejenak, lalu berkata. "Masih ada, adikmu...,"

Hubungan Han Giok Shia dengan adiknya amat baik dan akur. Oleh karena itu begitu ayahnya menyinggung adiknya, air matanya tak terbendung lagi, langsung berderai-derai. Kemudian ia mengarahkan pandangan ke tempat lain sambil berkertak gigi.

Si Pecut Emas-Han Sun menghela nafas. "Yang mencelakai adikmu dapat dipastikan bukan Lu Sin Kong. Sebetulnya siapa pembunuh itu, masih sulit dipastikan. Setelah kau berkepandaian tinggi, jangan lupa menyelidiki hal ini, agar dia terlepas dari tuduhan!"

Han Giok Shia mengangguk.

Si Pecut Emas-Han Sun mengibaskan tangannya. "Pergilah!"

Han Giok Shia membalikkan badannya, sekaligus melesat ke luar. Sampai di halaman, air matanya berderai-derai lagi. Dia tidak membuka pintu pagar, namun malah mengambil jalan samping menuju halaman belakang yang mana terdapat pohon bambu. Dia duduk di situ sambil menangis meraung-raung. Karena sifatnya yang keras, maka biasanya ada masalah apa pun, tidak akan membuatnya mengucurkan air mata. Namun saat ini, dia justru merasakan kedukaan itu, sehingga air matanya mengucur deras tak terbendung lagi.

Apakah musuh ayahnya begitu tangguh dan lihay, maka merasa percuma menjaga diri dengan Pecut Emas itu, dan hanya tinggal pasrah saja? Meski pun si Pecut Emas-Han Sun maupun Hwe Hong Sian Kouw tidak memberitahukan apa pun, namun Han Giok Shia dapat mendengar dari nada ucapan ayahnya, yang kedengarannya seperti akan berpisah selamanya. Gadis itu terus menangis. Setelah puas menangis, barulah dia bangkit berdiri.

Halaman belakang itu amat luas. Sedangkan jumlah anggota keluarga si Pecut Emas-Han Sun tidak begitu banyak. Maka tiada seorang pun melihat Han Giok Shia ada di situ. Dia berdiri termangu-mangu, sementara sang surya mulai condong ke barat. Han Giok Shia meraba senjata Liat Hwe Soh Sim Lun di punggungnya dan Pecut Emas yang di pinggangnya. la berkertak gigi dan wajahnya memperlihatkan kekerasan hatinya, kemudian melesat pergi melalui tembok belakang.

Dalam hatinya ia sudah mengambil keputusan, tidak akan ke Hui Yan Bun, melainkan ke Hou Yok menemui Tam Goat Hua untuk bertanya sejelas-jelasnya. Oleh karena itu, Han Giok Shia langsung menuju bukit Hou Yok. Bukit itu tidak begitu tinggi, namun merupakan bukit yang amat terkenal di luar kota Su Cou. Konon raja Gouw dimakamkan di Hou Yok. Biasanya para pelancong ramai bagaikan semut. Tapi saat ini, hari sudah mulai malam, maka para pelancong sudah pulang ke rumah masing-masing, sehingga jalanan tampak sepi.

Beberapa mil kemudian, Han Giok Shia sudah merasa angin malam menerpa-nerpa wajahnya. Di saat bersamaan, hujan gerimis pun mulai turun. Hati gadis itu tercekam oleh berbagai macam masalah, dan itu membuat hatinya tertekan sekali. Kini ia menghadapi cuaca demikian, sehingga membuat perasaannya tidak enak. Ia memandang jauh ke depan. Dilihatnya bayangan menara di puncak bukit itu. Han Giok Shia memperlambat langkahnya. Ia sudah sampai di Hou Yok, sekaligus ingin tahu pemuda yang sering memandangnya, apakah benar adalah kakak Tam Goat Hua.

Perlahan-lahan ia memasuki bukit Hou Yok. Tak berapa lama kemudian gadis itu sudah sampai di sekitar Telaga Pedang. Mendadak terlihat sosok bayangan kecil berkelebat di sisi sebuah batu. Saat ini, bukan hanya hari sudah gelap, bahkan turun gerimis pula. Sudah barang tentu tempat itu jadi sepi sekali. Maka ketika melihat sosok bayangan kecil itu, dia tertegun.

"Siapa?" bentaknya.

Bayangan kecil itu sudah berada di balik batu itu. Tapi begitu mendengar suara bentakan, dia justru berkelebat ke luar seraya menyahut. "Kakak Tam, kau sudah kembali? Paman Tam menyuruhku menunggumu di sini!"

Begitu mendengar suara sahutan itu, tergeraklah hati Han Giok Shia. Ia menoleh kepalanya ke belakang, namun tidak tampak orang lain datang. "Tidak salah, memang aku yang ke mari. Sudah lama kau menungguku di sini?" sahutnya.

Han Giok Shia sungguh cerdik. Ketika mendengar suara itu, ia yakin bahwa yang bersuara itu adalah seorang pemuda. Dalam kegelapan pemuda itu mengira dirinya itu adalah Tam Goat Hua, maka bertanya begitu. Oleh karena itu, Han Giok Shia menggunakan siasat untuk bercakap-cakap dengannya guna mengorek sedikit keterangan.

Walau gelap tapi Han Giok Shia dapat melihat dengan jelas wajah pemuda itu, ternyata masih remaja dan setinggi Han Giok Shia. Usianya sekitar empat lima belas tahun, namun tampak gagah dan sepasang matanya bersinar terang. Han Giok Shia sama sekali tidak kenal siapa dia. Pemuda itu menunggu Tam Goat Hua di tempat ini, tentunya punya hubungan dengan gadis tersebut. Tapi nada perkataannya kedengarannya belum pernah bertemu Tam Goat Hua. Karena itu, Han Giok Shia hendak menyamar sebagai Tam Goat Hua, itulah siasatnya untuk mengorek sedikit keterangan dari mulut anak remaja tersebut.

Gadis itu tersenyum-senyum. "Tentu! Selain kau menunggu di sini, sudah pasti tiada orang lain."

Anak remaja itu tersenyum. Sungguh mengherankan, senyumannya menyerupai senyuman anak dewasa. "Kakak Tam, kata paman Tam kau pergi menengok ayahku, apakah ayahku sudah tiba di Su Cou? Sudah setengah bulan aku meninggalkan rumah, ayahku pasti panik sedikit. Apakah ayahku pernah menanyakan tentang diriku?"

Sesungguhnya Han Giok Hua amat gembira, sebab anak remaja itu sama sekali tidak tahu identitasnya. Akan tetapi, ketika anak remaja itu berkata begitu, justru membuatnya tertegun.

"Sebetulnya siapa kau?" tanyanya.

Pertanyaan tersebut nyaris dilontarkan, namun masih dapat ditahan dalam tenggorokan, kemudian menyahut. "Sudah sampai, dia amat rindu kepadamu."

Anak remaja itu segera bertanya. "Ibuku juga sudah datang? Dia tidak memarahiku? Kini mereka berada di mana? Bolehkah kau membawaku pergi menemui mereka?"

Han Giok Shia semakin tertegun. Ia merasa nada perkataan anak remaja itu mengarah pada Lu Sin Kong, tapi dia masih kurang yakin. Saat ini, anak remaja itu menyinggung tentang ibunya, membuat Han Giok Shia menjadi bercuriga. Karena menyamar sebagai Tam Goat Hua, tentunya tidak bisa bertanya tentang asal-usul anak remaja itu. Tapi dalam hatinya justru timbul suatu ide, maka ia berkata dengan suara rendah.

"Adik kecil, di sini bukan tempat untuk bercakap-cakap, lebih baik kau ikut aku!"

Han Giok Shia menjulurkan tangannya menarik lengan anak remaja itu untuk diajak pergi. Mereka baru berjalan beberapa depa, tiba-tiba terdengar suara langkah yang tergesa-gesa dari kejauhan. Han Giok Shia segera memandang ke arah datangnya suara. Dilihatnya dua sosok bayangan yang tinggi dan pendek berkelebat. Bayangan yang tinggi membopong seseorang. Begitu melihat, Han Giok Shia sudah tahu bahwa sosok bayangan tinggi itu adalah Lu Sin Kong, yang dibopongnya adalah mayat Sebun It Nio. Ada pun bayangan pendek tentunya Tam Goat Hua. Hati Han Giok Shia tersentak, sedangkan anak remaja itu pun telah melihat mereka. Han Giok Shia segera berbisik.

"Adik kecil, pendatang itu bukan orang baik, kau tidak boleh bersuara!"

Anak remaja itu menyahut dengan suara rendah. "Kakak Tam, salah satu dari mereka mirip ayahku!"

Kini Han Giok Shia sudah mengerti, bahwa anak remaja itu memang putra kesayangan Lu Sin Kong dan Sebun It Nio yang bernama Lu Leng. Seketika juga, muncullah berbagai macam urusan dalam benak Han Giok Shia. Ia, teringat akan kematian adiknya yang mengenaskan. Usianya sebaya dengan Lu Leng, tinggi dan besar badan mereka sama pula. Akan tetapi adiknya telah binasa. Berdasarkan apa yang dikatakan Lu Sin Kong, kedengarannya juga kehilangan anak kesayangannya. Namun, putra Lu Sin Kong itu bukankah masih hidup segar bugar dan berada di sisinya?

Dalam hati Han Giok Shia memang telah menganggap Lu Sin Kong dan isterinya yang mencelakai adiknya. Mereka menaruh kepala itu ke dalam kotak kayu, kemudian diantar ke rumahnya. Itu semata-mata hanya ingin membunuh si Pecut Emas-Han Sun ayahnya dan dirinya. Kini, Lu Leng muncul mendadak di bukit Hou Yok, membuatnya lebih yakin, bahwa apa yang dikatakan Lu Sin Kong, semua itu hanya bohong belaka. Api kebencian dalam hatinya, makin lama makin berkobar.

Dia sungguh ingin turun tangan seketika juga untuk menghabiskan nyawa Lu Leng. Sedangkan Lu Leng di saat ini, sama sekali tidak berjaga-jaga, maka boleh dikatakan tidak sulit membunuhnya. Perlahan-lahan Han Giok Shia mengangkat tangannya, tapi justru tidak untuk memukulnya. Mendadak gadis itu ingin tahu satu hal, yakni keluarga Lu dan keluarga Han punya dendam apa? Kenapa Lu Sin Kong begitu tega membunuh adiknya? Lagi-pula Lu Sin Kong dan Tam Goat Hua sudah berada di sekitar tempat tersebut.

Begitu tangannya bergerak, Han Giok Shia justru menotok jalan darah Tay Pai Hiat di tubuh Lu Leng, sehingga membuatnya tak bisa bergerak sama sekali. Han Giok Shia pun merebahkan dirinya, lalu bersama-sama bersembunyi di tempat itu. Di saat bersamaan, Tam Goat Hua dan Lu Sin Kong telah tiba di tempat itu, hanya terpisah beberapa depa saja. Sampai di situ, Tam Goat Hua berhenti. Itu membuat jantung Han Giok Shia menjadi berdebar tidak karuan, takut tempat persembunyiannya mereka ketahui.

Terdengar Tam Goat Hua berkata. "Lu Cong Piau Tau, tidak baik kau terus membopong mayat Lu Hujin, lebih baik kuburkan saja di sini!"

Lu Sin Kong menyahut dengan suara parau. "Tidak! Biar bagaimana pun aku harus membawa mayat isteriku ke Tiam Cong, biar Tiam Cong Pai yang menguburnya di Hun Lam."

Tam Goat Hua menghela nafas panjang. "Lu Cong Piau Tau, aku lihat lukamu telah sembuh. Kalau kau ingin melanjutkan perjalanan, aku pun tidak akan menghalangi waktumu. Tapi apakah kau sama sekali tidak mau menemui ayah dan saudaraku?"

Lu Sin Kong menyahut. "Nona Tam, maksud baikmu kuterima dalam hati. Tapi dendam kematian putra dan isteriku masih belum terbalas, itu membuatku tidak bisa lama-lama di sini."

Tam Goat Hua segera berkata. "Lu Cong Piau Tau, kalau bukan kalian suami isteri yang menyelamatkan diriku di rumah Kim Kut Lau, mungkin saat ini aku masih dirantai. Hanya saja...."

"Nona Tam mau mengatakan apa, katakanlah!" sahut Lu Sin Kong cepat.

Tam Goat Hua segera berkata. "Lu Cong Piau Tau, maafkan aku berterus terang! Siang tadi ketika kita meninggalkan rumah si Pecut Emas-Han Sun, aku melihat ada beberapa jago tangguh dari Hoa San Pai, berjalan mondar-mandir di depan rumah itu. Karena kau kelewat berduka, maka tidak melihat mereka. Aku sengaja memutar dan kembali ke halaman belakang rumah Han Sun, menunggu sampai malam di taman bambu yang rimbun itu, barulah ke mari. Kalau kau seorang diri melanjutkan perjalanan ke Tiam Cong dan Go Bi yang begitu jauh, aku khawatir akan terjadi sesuatu atas dirimu.”

Lu Sin Kong tertawa. "Ha ha! Nona Tam, terima-kasih atas perhatianmu! Mereka itu sama sekali tidak berada dalam mataku. Harap nona sudi menyampaikan salamku kepada ayah dan saudaramu, aku mau pamit sekarang!"

Usai berkata begitu, Lu Sin Kong melesat pergi. Dalam waktu sekejap, dia telah lenyap ditelan kegelapan malam. Walau pembicaraan mereka tadi tidak begitu keras, namun Han Giok Shia dapat mendengarnya dengan jelas. Setelah Lu Sin Kong pergi, barulah Han Giok Shia berpaling untuk memandang Lu Leng.

Di saat bersamaan, Han Giok Shia juga teringat akan kematian adiknya yang begitu mengenaskan, maka dia pun amat gusar. Sudah barang tentu mereka berdua saling menatap dengan penuh kebencian, lama sekali barulah Han Giok Shia mendongakkan kepala. Tampak Tam Goat Hua duduk di atas sebuah batu. Tak lama dia bangkit kembali, lalu berjalan mondar-mandir. Kelihatannya dia sedang menunggu seseorang dengan tidak sabaran.

Han Giok Shia mengintipnya sambil menahan nafas. Tak beberapa lama kemudian, di sebelah barat laut terdengar suara yang amat nyaring, yaitu suara orang membaca syair.

Asap tebal di dalam rimba,
gunung dingin hati berduka,
ada orang merana di loteng,
burung-burung berterbangan,
di mana adalah tempat tinggal....

Itu adalah syair Lie Thet Pek yang amat terkenal. Suara belum sirna, orangnya sudah mendekat. Bukan main cepatnya gerakan orang itu, bahkan tak mengeluarkan suara sedikit pun. Han Giok Shia memandang si pendatang itu. Seketika juga hatinya berdebar-debar. Si pendatang itu tidak lain pemuda kurus yang tampan itu, yang sering dilihatnya setiap malam dalam waktu setengah bulan ini.

Setelah mendekat, Tam Goat Hua menyapanya seraya memanggil. "Kakak!"

Hati Han Giok Shia tertegun. Ternyata dugaannya tidak meleset, pemuda itu memang kakak Tam Goat Hua. Oleh karena itu, dia terus menahan nafas sambil pasang kuping, karena ia yakin bahwa mereka berdua akan membicarakan sesuatu.

"Eh? Adik, kenapa kau ke mari seorang diri?"

Tam Goat Hua menghela nafas panjang. "Lu Cong Piau Tau sudah pergi," gadis itu memberitahukan.

Pemuda itu segera bertanya. "Apakah mereka tetap akan pergi ke Tiam Cong dan Go Bi untuk mengundang para jago tangguh, membuat perhitungan dengn Liok Ci Siansing?"

Tam Goat Hua tampak tercengang. "Tentu! Memangnya kenapa?"

Pemuda itu kelihatan terkejut. "Hah? Adik, kau tidak bertemu ayah?"

Tam Goat Hua menyahut. "Tidak." Gadis itu menggelengkan kepala. "Ayah ke mana?"

"Celaka!" seru pemuda itu.

"Kakak! Apa yang celaka?" Tam Goat Hua menatapnya. "Ada kejadian apa, cepatlah beritahukan!"

Pemuda itu segera menyahut. "Kini tiada waktu untukku menutur, karena kita harus segera pergi mencari Lu Sin Kong."

Tam Goat Hua terheran-heran. Dia menatap pemuda itu dengan tidak mengerti.

"Mengapa?" tanyanya kemudian.

Pemuda itu menyahut. "Putranya tidak mati. Kalau kita tidak segera pergi menyusulnya, bukankah akan terjadi pertarungan mati-matian antara Bu Yi San, Tiam Cong dan Go Bi?"

Tam Goat Hua tampak tertegun. "Putra Lu Sin Kong tidak mati? Bagaimana kau tahu? Legakanlah hatimu, pasti belum jauh dia pergi! Tuturkanlah dulu kejadian itu!"

Pemuda itu tersenyum. "Kenapa kau tidak sabaran? Mengenai kejadian itu, aku pun tidak begitu jelas. Sore ketika kau pulang, juga tidak memberitahukan pergi ke mana selama setengah bulan ini. Sebetulnya kau pergi ke mana dan kenapa sepasang lenganmu terbelenggu sepasang rantai? Dengarkanlah! Lu Sin Kong dan isterinya ke tempat tinggal si Pecut Emas-Han Sun, kemungkinan besar mereka akan bertarung. Karena aku melihat Nona Han tergesa-gesa dan dalam kemarahan besar mengundang Hwe Hong Sian Kouw, gurunya. Kau tidak dapat bersabar sama sekali, langsung pergi sih! Kalau kau bersabar sedikit sampai ayah pulang, bukankah kau akan tahu itu?"

Tam Goat Hua mengendus dingin. "Hm! Masih bilang aku tidak sabaran? Aku justru telah terlambat selangkah sampai di sana, Sebun It Nio telah binasa. Apabila terlambat lebih lama lagi, nyawa Lu Sin Kong pun sulit diselamatkan."

Pemuda itu tampak terkejut sekali. "Adik, benarkah perkataanmu itu?"

"Mengapa aku harus membohongimu?" sahut Tam Goat Hua.

Pemuda itu menghela nafas panjang. "Kalau begitu, antara Lu Sin Kong, si Pecut Emas-Han Sun dan Hwe Hong Sian Kouw sudah mengikat suatu permusuhan."

"Memang begitu," sahut Tam Goat Hua.

Pemuda itu berjalan mondar-mandir sejenak dengan kepala tertunduk. Han Giok Shia yang mengintipnya dapat melihat wajahnya yang muram sekali.

Terdengar Tam Goat Hua berkata. "Kakak, terus terang Lu Sin Kong dan isterinya pernah menyelamatkanku. Tidak hanya mereka dengan si Pecut Emas-Han Sun dan Hwe Hong Sian Kouw terikat suatu permusuhan, tapi aku dengan mereka juga telah terjadi suatu pertikaian pula. Tadi aku telah bertarung dengan putri Han Sun."

Pemuda itu tampak terkejut sekali. Kemudian ia menjulurkan tangannya untuk menggenggam lengan Tam Goat Hua. "Adik, kau... kau melukainya?"

Han Giok Shia dapat mendengar, nada pertanyaan itu penuh mengandung perhatian, itu membuat hatinya berbunga-bunga.

Terdengar Tam Goat Hua tertawa dingin. "Kakak, tidak begitu lama aku pergi, apakah kau telah berkenalan dengan dia?"

Pemuda itu segera menyahut. "Tidak, dik. Kau... kau telah melukainya?"

Tam Goat Hua menyahut dingin. "Kalau aku melukainya, kau mau apa?"

Sepasang alis pemuda itu terangkat sedikit. "Aku akan mengantar obat kepadanya, agar dia lekas sembuh." katanya.

"Mungkin dia tahu kau adalah kakakku, tidak mau menerima kebaikanmu lho!" kata Tam Goat Hua.

Pemuda itu tersenyum getir. "Aku mengantar obat ke sana setulus hati, kenapa dia tidak mau terima?"

Mendengar sampai di situ, hati Han Giok Shia bergejolak, bahkan terasa hangat pula. Di saat seorang gadis remaja tahu ada orang mencintainya, tentunya akan berperasaan demikian. Itu adalah perasaan cinta mulai bersemi. Gembira, hangat, malu-malu dan lain sebagainya. Begitu pula Han Giok Shia. Dengan tertegun dia memandang pemuda itu, dan dalam hatinya berseru-seru. "Kau mengantar obat untukku, aku pasti menerimanya!"

Di saat bersamaan, wajah Tam Goat Hua justru berubah. "Kakak! Bagaimana seandainya dia telah mati di tanganku?"

Wajah pemuda itu langsung berubah pucat pias, lalu menyurut mundur beberapa langkah dan membentak. "Adik!"

Tam Goat Hua tertawa geli. "Kakak! Kenapa kau begitu cemas? Legakanlah hatimu, aku cuma merebut senjata Liat Hwe Soh Sim Lun saja, sama sekali tidak melukainya."

Pemuda itu menghela nafas lega. Wajahnya pun mulai kembali normal. "Dasar! Adik, jangan omong yang bukan-bukan lagi, kita harus segera pergi menyusul Lu Sin Kong, memberitahukannya bahwa putranya belum mati."

Tam Goat Hua mengangguk. "Baik."

Mereka berdua lalu berjalan pergi sambil bercakap-cakap. Sayup-sayup masih terdengar pemuda itu berkata. "Kata ayah, tidak lama lagi dalam rimba persilatan akan terjadi badai. Ayah akan berusaha mencegah badai itu, tapi khawatir kemampuannya terbatas...."

Kata-kata berikutnya, sudah tidak terdengar lagi oleh Han Giok Shia, namun tetap tampak punggung kedua orang itu karena rembulan sudah mulai bersinar. Han Giok Shia terus memandang punggung pemuda itu. Di saat bersamaan terdengar suara kereta yang datangnya sungguh cepat sekali.

Tak beberapa lama kemudian tampak sebuah kereta kuda mewah berpacu cepat sekali.
Saat ini, Tam Goat Hua dan kakaknya sudah sampai di sebuah tikungan. Kereta kuda itu justru mengarah ke sana, lalu menghadang mereka. Di saat bersamaan, terdengarlah suara harpa yang amat nyaring menusuk telinga. Sungguh mengherankan, suara harpa itu entah berasal dari mana. Di saat itu pula kereta kuda tersebut pun berjalan dengan perlahan-lahan.

Tentunya membuat Han Giok Shia tercengang, tapi dia justru menyaksikan suatu keanehan. Begitu mendengar suara harpa itu, Tam Goat Hua dan kakaknya mendadak membalikkan badannya, lalu melesat ke tempat persembunyian Han Giok Shia. Gadis itu memang tidak mau bertemu Tam Goat Hua, namun ingin sekali menjumpai pemuda itu. Di saat hatinya sedang bertentangan, barulah diketahuinya bahwa Tam Goat Hua dan kakaknya tidak mengarah kepadanya, melainkan bergerak cepat berputar-putar membentuk sebuah lingkaran besar.

Tercekat hati Han Giok Shia, kemudian mendengar dengan seksama suara harpa itu, sepertinya berasal dari kereta, namun kedengarannya juga berasal dari empat penjuru. Sementara wajah Tam Goat Hua dan kakaknya, tersirat suatu penderitaan, tapi masih terus berputar2 di tempat itu.

Mengenai kepandaian Tam Goat Hua, Han Giok Shia telah merasakannya, sudah pasti kepandaian kakaknya tidak akan berada di bawahnya. Walau usia mereka berdua belum begitu besar, tapi kepandaian mereka sudah mencapai tingkat tinggi. Melihat keadaan mereka, jelas keduanya masih tidak tahu bahwa dirinya terus berputar di situ, melainkan mengira berlari ke depan. Kekuatan apa yang telah mempengaruhi mereka? Padahal mereka memiliki lweekang yang cukup tinggi, namun masih dapat dikendalikan orang. Apakah suara harpa itu yang mempengaruhi mereka?

Han Giok Shia mencoba mendengarkan suara harpa itu dengan seksama. Tak lama dia pun merasa semangatnya agak terbetot. Kini dia berani memastikan, bahwa orang yang memetik harpa memiliki lweekang yang amat tinggi sekali. Segeralah dia menghimpun hawa murninya, setelah itu barulah dia bisa merasakan agak tenang. Dia memandang ke depan lagi. Dilihatnya Tam Goat Hua dan kakaknya masih terus berputar-putar, sedangkan kereta kuda itu bergerak perlahan-lahan meninggalkan tempat itu, namun kusirnya tidak terlihat, entah berada di mana.

Dalam hati Han Giok Shia tahu, suara harpa itu bukan ditujukan kepadanya, maka dia tidak terpengaruh. Berdasarkan situasi itu, Tam Goat Hua dan kakaknya tidak akan mengalami suatu luka, lagi-pula ayah mereka tentunya bukan orang biasa. Lebih baik cepat-cepat meninggalkan tempat ini. Setelah mengambil keputusan tersebut, dia pun mengapit Lu Leng lalu melesat pergi. Tujuannya ke menara Hou Yok. Sayup-sayup dia masih mendengar suara harpa itu.

Berselang beberapa saat mereka sudah sampai di menara tersebut, kemudian langsung masuk dan naik ke tingkat teratas, yaitu tempat tinggal Hwe Hong Sian Kouw. Han Giok Shia telah faham keadaan di menara itu. Maka begitu mendorong daun pintu tingkat teratas itu, dia pun langsung masuk sekaligus menaruh Lu Leng di Iantai, dan membalikkan badannya untuk melihat ke luar.

Menara itu sangat tinggi, lagi-pula terletak di atas bukit. Maka dari menara tersebut, orang bisa memandang sejauh sepuluh mil, Tampak di tempat tadi Tam Goat Hua dan kakaknya masih terus berputar-putar. Dalam hati Han Giok Shia semakin merasa heran. Dia tidak mempedulikan Lu Leng yang tergeletak di lantai, hanya terus memandang Tam Goat Hua dan kakaknya. Berselang beberapa saat kemudian, terlihat sebuah lengan terjulur ke luar dari dalam kereta itu.

“Plaaak!”

Sebuah pecut bergerak mengeluarkan suara. Kereta kuda itu berpacu cepat ke depan, sedangkan suara harpa itu makin rendah. Setelah suara harpa itu berhenti, Tam Goat Hua dan kakaknya pun berhenti berputar. Mereka berdua tampak tertegun, kemudian melesat pergi. Dalam sekejap keduanya sudah lenyap dari pandangan Han Giok Shia. Sementara Han Giok Shia masih tetap berdiri di dekat jendela. Ia terus memandang ke tempat itu sambil melamun. Ternyata dia sedang mengingat kembali kata-kata pemuda itu, sehingga hatinya merasa kehilangan sesuatu. Setelah pemuda itu lenyap dari pandangannya, barulah ia membalikkan badannya.

Kini hari sudah mulai terang. Namun ketika ia membalikkan badannya, di depan matanya tetap gelap gulita. Han Giok Shia menghela nafas panjang. Kemudian ia mengeluarkan sebuah batu api, dan menyalakan lampu yang tergantung di ruangan itu. Dalam waktu setengah tahun ini, setiap malam dia pasti ke mari, namun tidak pernah memperhatikan bangunan menara itu.

Tingkat teratas menara itu menyerupai sebuah kamar. Di dalamnya terdapat sebuah meja, sebuah kursi dan boleh dijadikan tempat tinggal. Setelah lampu dinyalakan, gadis itu tampak tertegun, bahkan sepasang matanya terbelalak lebar. Dia ingin berteriak tapi tidak dapat mengeluarkan suara. Wajahnya penuh diliputi kedukaan.

"Ayah! Ayah!"

Ia menubruk ke depan. Ternyata ia melihat di dinding ruangan itu muncul sosok bayangan. Bayangan itu tinggi besar, jelas bukan Lu Leng. Lagi-pula ia menaruh Lu Leng di lantai, sedangkan bayangan itu berdiri bersandar di dinding. Rambut orang itu awut-awutan, dadanya tampak terluka dan darahnya belum kering. Sepasang matanya mendelik memandang ke depan, namun sudah redup. Begitu melihat orang itu, Han Giok Shia mengenalinya, yang tidak lain si Pecut Emas-Han Sun, ayahnya. Sungguh tak terduga, dia akan bertemu ayahnya di tempat ini, tapi ayahnya telah mati.

Han Giok Shia memeluk erat-erat mayat ayahnya, lama sekali barulah meledak isak tangisnya. Adiknya telah binasa, ayah pun telah mati, ibu sudah lama tiada, kini dia hanya tinggal sebatang kara. Kali ini, Han Giok Shia jauh lebih sedih dari kesedihannya ketika berada di halaman belakang rumahnya. Ia terus menangis hingga cahaya mentari menyorot ke dalam melalui jendela. Ternyata hari sudah mulai siang.

Han Giok Shia mendongakkan kepala. Wajahnya murung dan kusut, rambutnya awut-awutan tidak karuan, bibirnya berbekas gigitan dan terdapat noda darah. Dapat dibayangkan betapa sedihnya hati gadis itu. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri, lalu merapihkan rambutnya. Dia termangu-mangu lagi.

Di dinding tempat Han Sun bersandar tadi, tampak dua huruf yang ditulis dengan tangan. Yakni huruf ‘Lu’ dan huruf ‘Tam’. Kira-kira tiga kaki di atas kedua huruf itu, terdapat pula bekas sebuah telapak tangan yang cukup dalam, di jempol bercabang sebuah jari, maka telapak tangan itu berjumlah enam jari. Padahal Han Giok Shia sudah berhenti menangis, namun ketika melihat itu dia mulai menangis lagi.

"Ayah! Ayah! Aku sudah tahu! Yang membunuhmu adalah Lu Sin Kong dan orang bermarga Tam itu! Aku sudah tahu! Aku sudah tahu!"

Gadis itu cuma memperhatikan kedua huruf itu, sama sekali tidak melihat bekas telapak tangan tersebut. Gadis itu pun yakin, kedua huruf itu ditulis ayahnya, agar orang tahu pembunuh itu adalah orang bermarga Lu dan bermarga Tam. Walau malamnya dia melihat Lu Sin Kong membopong mayat isterinya pergi namun dalam hatinya telah menganggap Lu Sin Kong yang membunuh ayahnya, maka dia sama sekali tidak bercuriga. Sebab terhadap Lu Sin Kong, dia memang amat benci. Kini melihat kedua huruf itu, sehingga semakin yakin Lu Sin Kong adalah pembunuh ayahnya, sama sekali tidak bercuriga akan keganjilan itu.

Maklum! Gadis itu masih muda dan belum berpengalaman. Lama sekali dia berdiri mematung di situ, kemudian perlahan-lahan memandang Lu Leng dengan penuh kebencian. Jalan darah Tay Pai Hiat di tubuh Lu Leng telah ditotok. Walau anak itu terus menerus menghimpun hawa murninya untuk membuka totokan itu, namun tidak berhasil sama sekali.

Sorotan mata Han Giok Shia yang penuh kebencian itu, ditujukan pada Lu Leng. Berselang beberapa saat, perlahan-lahan dia menjulurkan tangannya untuk meraih senjata Liat Hwe Soh Sim Lun yang di punggungnya, lalu diayunkannya sehingga gelang bergerigi yang ada di ujung rantai itu, melayang ke dada Lu Leng, dan menancap di situ tapi tidak begitu dalam. Walau merasa sakit, tapi Lu Leng sama sekali tidak menjerit. Sebaliknya dia malah berusaha tenang, setelah itu barulah berkata perlahan-lahan.

"Aku dan nona sama sekali tidak saling mengenal, tapi kenapa nona ingin merenggut nyawaku? Harap dijelaskan!"

Saat ini dalam hati Han Giok Shia, justru sedang berpikir harus dengan cara bagaimana membuatnya mati perlahan-lahan dalam keadaan tersiksa. Akan tetapi, perkataan Lu Leng barusan malah membuatnya tertegun. Di saat bersamaan, Lu Leng pun mengerahkan seluruh lweekang-nya. Totokan seketika itu juga terbuka dan mendadak melancarkan sebuah pukulan. Pukulan itu tidak diarahkan pada Han Giok Shia, melainkan ditujukan pada senjata Liat Hwe Soh Sim Lun.

Dalam keadaan tertegun, Han Giok Shia merasakan adanya serangkum tenaga yang amat kuat menerjang ke atas, sehingga membuat badannya terhuyung-huyung ke belakang dan gelang bergerigi yang menancap di dada Lu Leng pun tercabut. Perubahan yang sekejap itu, justru merupakan suatu kesempatan bagi Lu Leng untuk menyelamatkan diri. Tiba-tiba sebelah tangannya menekan lantai, dan seketika juga badannya mencelat sejauh tiga depaan.

Kini Han Giok Shia baru sadar, di saat Lu Leng membuka mulut berbicara, ternyata dia berhasil membuka totokan itu dengan hawa murninya. Oleh karena itu, ketika melihat Lu Leng mencelat, dia pun menggerakkan senjata Liat Hwe Soh Sim Lun untuk menyerangnya, dengan jurus Thian Lung Hwe Yun (Langit Menurunkan Awan Api). Di saat gelang bergerigi itu hampir mengenainya, mendadak Lu Leng berkelit ke samping. Dikarenakan kematian ayahnya, maka timbul kebencian yang amat dalam di hati Han Giok Shia, maka ketika menyerang dia menggunakan sembilan bagian tenaganya.

“Plaaak!”

Senjata Liat Hwe Soh Sim Lun menghantam lantai, sehingga membuat lantai itu berlobang. Lu Leng yang berhasil berkelit, cepat-cepat menyambar sebuah kursi sekaligus menyerang Han Giok Shia. Padahal luka di dadanya cukup berat, namun dia tahu kalau tidak bertahan mati-matian, nyawanya pasti akan melayang. Oleh karena itu, dia pun menggunakan tenaga sepenuhnya untuk menyerang gadis itu, hingga kursi itu mengeluarkan suara menderu-deru.

Han Giok Shia tidak sempat lagi mencabut senjatanya yang menancap di lantai. Dilepaskannya senjata itu sambil meloncat ke belakang sekaligus meraih Pecut Emas yang melilit di pinggangnya.

"Taaar!" Gadis itu menyentakkan Pecut Emas itu, sehingga menimbulkan suara yang mengejutkan Lu Leng.

"Kau adalah puteri Han Sun?" tanya Lu Leng tertegun.

Han Giok Shia tidak menyahut, melainkan terus menggerakkan Pecut Emas itu untuk menyerang Lu Leng.

“Taaar!” Ujung Pecut Emas itu mendarat di bahu kiri Lu Leng, membuat bajunya tersobek dan meninggalkan bekas memerah.

Walau kini bahunya telah terluka, namun Lu Leng tetap mengajukan pertanyaan tadi. Lu Leng amat membutuhkan jawaban, sebab penting sekali bagi dirinya. Semalam jalan darahnya ditotok oleh Han Giok Shia, tapi tetap dapat mendengar pembicaraan Tam Goat Hua, Lu Sin Kong dan kakak Tam Goat Hua. Saat itu, dia tahu dirinya tidak becus, maka dipecundangi orang. Lagi-pula dia pun kurang berpengalaman, sehingga mengira gadis itu adalah Tam Goat Hua.

Selain itu, dia pun tahu ibunya telah binasa di rumah Pecut Emas-Han Sun. Betapa sedihnya hati Lu Leng saat itu. Namun masih belum terpikirkan, gadis yang menotok jalan darahnya justru puteri si Pecut Emas-Han Sun. Hingga saat ini, Han Giok Shia mengeluarkan Pecut Emasnya, barulah dia terpikirkan tentang itu. Apabila benar gadis itu adalah puteri si Pecut Emas-Han Sun, berarti gadis tersebut dan dia merupakan musuh besar. Meski pun bahu Lu Leng terluka oleh Pecut Emas, tapi dia tetap mengajukan pertanyaan tadi.

Han Giok Shia tertawa panjang. "Tidak salah, aku memang puterinya!"

Usai menyahut, mendadak badannya melesat ke depan sambil mengayunkan Pecut Emasnya.

“Serrr!” Gadis itu mengeluarkan jurus Toh Lang Cih Thian (Ombak Menyapu Langit) menyerang Lu Leng. Itu adalah jurus andalan ayahnya yang diwariskan kepadanya. Begitu Pecut Emas itu diayunkan, terdengar suara menderu-deru bagaikan suara ombak.

Sedangkan dada Lu Leng telah terluka, ditambah lagi luka di bahu, itu membuatnya terasa sakit sekali, tapi dia terus berkelit ke sana ke mari.

“Taar! Taar!” Tak henti-hentinya Pecut Emas itu mengeluarkan suara yang mengguncangkan jantung.

Walau sudah berkelit ke sana ke mari, namun badannya tak luput dari hantaman Pecut Emas itu. Terasa sakit sekali ketika Pecut Emas itu mendarat di badannya. Sementara rambut Han Giok Shia sudah awut-awutan, keadaannya bagai orang gila, terus memecut Lu Leng.

Lu Leng sudah tidak mampu berkelit lagi. Namun kebetulan dia berada di dekat senjata Liat Hwe Soh Sim Lun yang tertancap di lantai. Dia menggigit gigi sambil menyambar senjata itu, sekaligus mencabutnya. Kemudian dengan senjata itu dia menangkis Pecut Emas yang terus menyambar-nyambar dirinya.

“Cring!” Kedua senjata itu beradu. Di saat bersamaan Lu Leng meloncat ke samping.

Han Giok Shia tertawa dingin lalu membentak. "Binatang kecil, kau mau kabur ke mana?"

Setelah menggenggam senjata Liat Hwe Soh Sim Lun, Lu Leng berusaha bangkit berdiri, akan tetapi sekujur badannya terasa sakit sekali, sehingga membuatnya tak mampu bangun. Ketika Han Giok Shia tertawa dingin itu bagaikan sembilu menyayat hatinya, maka sekuat tenaga dia berusaha bangkit berdiri dan berhasil, namun tidak bisa berdiri tegak, sebab badannya terus bergoyang-goyang. Dia terpaksa menghimpun hawa murninya, sekaligus mengayunkan senjata Liat Hwe Soh Sim Lun untuk menyerang gadis itu, kemudian mendadak dilepaskannya senjata itu dan menerjang ke arah jendela.

Lu Leng saat ini, sudah tentu akan binasa. Justru dalam hatinya merasa, dari pada terus dipecut oleh musuh, lebih baik meloncat ke luar lewat jendela. Itu akan mati secara menyenangkan. Ketika badannya mulai meluncur ke bawah, tiba-tiba terdengar suara Pecut Emas Han Giok Shia diayun untuk melilit badannya.

“Seerrr!”

Tujuan gadis itu tidak menyelamatkannya, hanya saja tidak menghendakinya mati terhempas di bawah, sebab gadis itu masih ingin menyiksanya. Di saat Pecut Emas itu melilit badan Lu Leng, membuat Lu Leng nyaris tak dapat bernafas, sehingga sepasang tangannya menggapai ke sana ke mari, kebetulan menggapai pinggir jendela. Pada waktu bersamaan, dia mendengar suara tawa Han Giok Shia, kemudian Pecut Emas itu mulai memecutnya.

Tadi Lu Leng tidak mempedulikan apa pun, karena dia telah mengambil keputusan untuk mati terhempas, namun kini hatinya justru berubah keras. Biar bagaimana pun juga, dia sudah tidak ingin mati lagi. Asal ada sedikit kesempatan hidup, dia harus berjuang untuk hidup. Itu demi membalas dendam ibunya, dan saat ini dia justru menemukan kesempatan itu.

Ketika badannya berayun-ayun di pinggir jendela, dia melihat tingkat bawah hanya berjarak dua tiga kaki. Dia tahu, asal hatinya tenang pasti dapat meloncat ke ujung wuwungan tingkat bawah itu, kemudian dengan jurus Toh Kua Kim Ceng (Lonceng Emas Bergantung), dia bisa menerobos ke dalam ruang tingkat bawah itu melalui jendela untuk sementara menghindari siksaan Han Giok Shia.

Lu Leng berkertak gigi menahan rasa sakit Pecut Emas yang terus menghujani badannya, dia memperhatikan ke bawah. Di saat bersamaan Pecut Emas itu mengarah jalan darah yang di punggungnya, itu merupakan jalan darah yang amat penting. Lagi-pula Han Giok Shia menyerangnya dengan jurus Liu Sing Sam Tah (Meteor Membuat Tiga Lingkaran), mengarah tiga jalan darah penting di punggung Lu Leng. Apabila ketiga jalan darah itu tertotok, nyawa Lu Leng pasti melayang seketika.

Oleh karena itu dia menarik nafas dalam-dalam sambil melepaskan tangannya yang memegang pinggir jendela. Ia biarkan badannya merosot ke bawah, kemudian melintangkan kaki kanannya untuk menggaet ujung wuwungan. Maka badannya bergantung di situ dan bergoyang-goyang, sekaligus mengayunkan badannya untuk menerjang ke dalam jendela.

“Buuuk!” Badannya terhempas di lantai, sedangkan ujung wuwungan yang telah menyelamatkan dirinya pun roboh jatuh ke bawah. Untung di bawah tidak terdapat seorang pun. Kalau ada pasti tertimpa oleh ujung wuwungan itu.

Begitu terhempas di lantai, sekujur badan Lu Leng terasa sakit lagi. Tapi dia tahu, kalau masih ingin hidup, haruslah memanfaatkan kesempatan yang sekejap itu untuk meloloskan diri. Karena itu, dia langsung bangkit berdiri. Setelah bangkit berdiri, seketika juga dia merasa merinding. Ternyata di ruang itu terdapat beberapa buah patung dewa yang tampak angker, bahkan seperti hidup. Sungguh aneh sekali, di ruangan itu terdapat begitu banyak sarang laba-laba, namun patung-patung dewa itu justru kelihatan bersih sekali.

Di saat itulah terdengar. suara bentakan Han Giok Shia, dan itu sungguh mengejutkan Lu Leng.

"Binatang kecil! Jangan harap dapat meloloskan diri, kecuali menuju ke alam baka!"

Lu Leng tahu tidak mungkin dirinya bisa lari ke bawah, maka dia bersembunyi di belakang sebuah patung dewa. Baru saja dia bersembunyi, hatinya merasa menyesal sekali, karena jejak kakinya berada di lantai, bahkan menuju ke arah patung tempat dia bersembunyi. Siapa yang melihat jejak itu, pasti tahu ada orang bersembunyi di tempat itu. Namun di saat itu Lu Leng sudah tidak sempat bersembunyi di tempat lain, sebab suara Han Giok Shia sudah semakin mendekat.

Sesungguhnya dari tingkat atas ke tingkat bawah, tidak begitu membutuhkan waktu. Akan tetapi, beberapa tingkat atas menara itu sudah lama tidak diperbaiki, dan tangganya pun sudah lapuk, maka Han Giok Shia harus berhati-hati melangkah turun, sudah barang tentu memberi sedikit waktu untuk Lu Leng bernafas.

Lu Leng saat ini semakin panik, karena tahu sulit baginya untuk meloloskan diri, sehingga membuatnya lupa akan rasa sakit di sekujur badannya. Justru di saat itu, suatu hal yang luar biasa terjadi mendadak. Lu Leng nyaris tidak percaya akan matanya sendiri, mengira itu hanya merupakan halusinasinya lantaran sekujur badannya terluka. Dia menggoyang-goyangkan kepala, apa yang terjadi itu memang nyata, bukan halusinasinya.

Ternyata dia melihat salah satu patung dewa yang di ujung, sekonyong-konyong bangkit berdiri, kemudian bergerak cepat berputar-putar di ruang itu, dan berhenti di dekat jendela, setelah itu mencelat ke tempat semula. Betapa cepatnya gerakan patung dewa itu, sehingga membuat mata Lu Leng menjadi kabur.

Ketika dia menundukkan kepala, memang benar patung dewa itu pernah bangkit berdiri, sekaligus berputar-putar di ruang itu. Sebab jejak kakinya telah terhapus semua, malah muncul jejak kaki lain menuju ke arah jendela. Dalam hati Lu Leng tahu, kalau Han Giok Shia muncul pasti akan melihat jejak kaki itu, dan mengira dirinya telah meloncat ke luar melalui jendela. Di saat dia berpikir, terdengar suara keras.

"Blaaam!", gadis itu sudah menerobos ke dalam.

Sebelah tangannya menggenggam Pecut Emas, yang sebelah lagi memegang senjata Liat Hwe Soh Sim Lun. Padahal gadis itu berparas cantik, namun saat ini dia tampak beringas dan bengis sekali. Lu Leng segera menahan nafas, tak berani bergerak sama sekali.

Han Giok Shia yang telah masuk itu, langsung menengok ke sana ke mari. Dilihatnya jejak kaki di lantai mengarah jendela, maka dia lalu melesat ke jendela itu. Seketika itu juga Lu Leng menarik nafas lega. Namun kemudian berkeluh lagi, sebab dia melihat Han Giok Shia membalikkan badan setelah memperhatikan jejak kaki di lantai. Sedangkan apabila Han Giok Shia memperhatikan patung-patung dewa yang di ruang itu, dia pasti akan menemukan Lu Leng. Justru di saat inilah hal aneh terjadi lagi. Ternyata mendadak jubah patung dewa itu mengembang menutupi badan Lu Leng.

Di saat itu pula terdengar suara dengusan Han Giok Shia yang amat dingin. "Hm! Bocah busuk, aku mau melihat kau kabur ke mana?!"

Kemudian gadis itu melesat ke luar menuju tingkat bawah. Sampai di situ Han Giok Shia sama sekali tidak menemukan jejak kaki. Karena itu, dia terus memeriksa ke bawah. Tercium wangi dupa dan tampak beberapa hweeshio sedang membaca doa. Apa yang telah terjadi di lantai atas, para hweeshio itu sama sekali tidak mengetahuinya.

Han Giok Shia juga tidak punya waktu untuk berbicara dengan mereka, namun segera bertanya. "Maaf! Apakah kalian dapat melihat seorang anak remaja melarikan diri dari sini?"

"Omitohud!" sahut salah seorang hweeshio. "Seorang anak remaja? Tidak."

Han Giok Shia mendekati jendela dan memandang ke bawah, namun tidak tampak ada orang terhempas di bawah sana, dan itu membuatnya tidak habis pikir. Setelah termangu-mangu beberapa saat, gadis itu kembali ke atas lagi. Beberapa hweeshio itu tahu bahwa Hwe Hong Sian Kouw tinggal di tingkat teratas, adalah orang dunia persilatan, maka tidak merasa heran menyaksikan gadis itu naik ke sana.

Han Giok Shia memeriksa setingkat demi setingkat, namun sampai di tingkat itu dia pun tertegun. Padahal tadi di tingkat itu terdapat tujuh delapan buah patung dewa, namun kini sudah Ienyap semuanya. Menyaksikan keadaan itu, sadarlah Han Giok Shia bahwa dirinya telah terjebak oleh siasat orang. Maka dia bersiul panjang seraya bertanya.

"Kurcaci dari mana, beranikah memperlihatkan diri?"

Walau dia berseru beberapa kali, tapi tetap tiada sahutan sama sekali. Tiba-tiba dia teringat akan mayat ayahnya yang masih bersandar di dinding ruangan tingkat atas. Maka segeralah dia berlari ke tingkat teratas itu. Han Giok Shia melihat mayat ayahnya sudah tidak bersandar di dinding lagi, melainkan terbaring di ranjang. Dia langsung menghampiri mayat itu. Dilihatnya selembar kertas menempel di dada mayat ayahnya yang terluka. Pada kertas tersebut terdapat beberapa baris tulisan. Diambilnya surat itu lalu dibacanya.

‘Dada saudara Han, dilukai oleh Hou Jiau Kou (Cakar Harimau) tiada hubungan dengan orang itu. Keponakan tidak boleh bertindak sembarangan terhadap orang baik!’

Pada surat itu tidak tercantum siapa yang menulisnya, hanya terdapat tujuh macam gambar. Yakni sebuah Holou (Semacam Kendi), sebatang suling, sebatang pit, sebuah buku, sebuah kipas, sebuah gelang besi dan sebuah lempengan besi. Gambar-gambar tersebut mewakili apa, Han Giok Shia sama sekali tidak mengetahuinya, bahkan terheran-heran pula.

Tadi di lantai bawah dia melihat tujuh delapan buah patung dewa, tapi tidak memperhatikannya secara seksama. Kini dia melihat ketujuh gambar itu, dapat diduga itu mewakili tujuh orang. Mengenai ketujuh orang tersebut Han Giok Shia pun tidak kenal mau pun tidak mengetahuinya.

Saat ini, dia masih dalam keadaan gusar, maka tidak begitu memperhatikan bunyi tulisan itu. Kematian ayahnya justru dilukai oleh Hou Jiau Kou, semacam senjata yang amat ganas. Dalam hatinya dia menduga, bahwa ketujuh orang tersebut telah menyelamatkan Lu Leng. Oleh karena itu, dirobek-robeknya kertas tersebut, lalu dipeluknya mayat ayahnya sambil menangis meraung-raung dan akhirnya pingsan.

Tak beberapa lama kemudian, dia siuman dari pingsannya. Ketika ia membuka mata, keadaan di sekelilingnya gelap gulita, hanya tampak satu titik sinar. Itu bukan berarti hari sudah gelap, melainkan sepasang matanya tertutup sehelai kain. Han Giok Shia tidak tahu dirinya berada di mana, dan itu membuat hatinya menjadi gugup dan panik.

Mendadak terdengar suara ‘Ting! Ting! Ting’, yaitu suara harpa, tapi cepat sekali suara berhenti, kemudian terdengar lagi suara tawa. "Hahaha!"

Tak seberapa lama, suara tawa itu pun hilang lenyap, barulah Han Giok Shia menghimpun hawa murninya untuk membuka jalan darahnya yang tertotok, melepaskan kain yang menutupi mukanya. Ternyata dia masih tetap berada di tingkat atas menara tersebut dan mayat ayahnya pun tetap terbujur di atas ranjang. Dia terus menatap mayat itu dengan wajah murung.

Berselang beberapa saat, dia mulai berpikir. Ayahnya mati di sini, lalu di mana Hwe Sian Siau Kouw, gurunya? Apakah gurunya juga telah binasa? Kalau tidak, bagaimana mungkin gurunya tidak ke mari? Padahal ketika dia meninggalkan rumah, ayahnya dan gurunya masih duduk di ruang besar, tapi kenapa malam harinya ayahnya sudah menjadi mayat dan berada di sini sedangkan gurunya tidak kelihatan sama sekali?

Berpikir sampai di sini, dia langsung menutupi mayat ayahnya dengan selimut, kemudian segera turun ke tingkat bawah. Ke luar dari menara itu, dia langsung melesat menuju kota. Sampai di depan rumahnya dia tidak membuka pintu pagar lagi, melainkan meloncat ke dalam melalui tembok.

Rumah yang begitu besar, tampak sepi sekali, tiada suara sedikit pun. Han Giok Shia berseru memanggil pembantu tua, kemudian berseru memanggil gurunya, namun tidak terdengar suara sahutan. Dia langsung menerobos memasuki ruang besar. Keadaan ruangan itu pun sama seperti kemarin ketika dia pergi, tidak terdapat perubahan apa pun. Han Giok Shia berputar ke sana ke mari, tapi tidak melihat pembantu. Entah pergi ke mana pembantu itu.

Gadis itu membatin, mungkin gurunya belum mati. Hanya karena musuh amat tangguh, maka gurunya pergi mengundang jago tangguh untuk menghadapi musuh itu. Gurunya punya hubungan baik dengan Hui Yan Bun, tentunya gurunya pergi ke sana. Tapi kemudian Han Giok Shia berpikir lagi, ayahnya dan Hwe Hong Sian Kouw berada di ruang besar ini, sudah pasti tidak ada musuh tangguh ke mari, maka Hwe Hong Sian Kouw berpamit. Sedangkan ayahnya bukan mati di rumah, melainkan di menara Hou Yok, bahkan juga meninggalkan tulisan, yakni Lu dan Tam. Lu tentunya menunjukkan Lu Sin Kong, sedangkan Tam sudah pasti menunjukkan ayah Tam Goat Hua.

Mendadak dalam benak Han Giok Shia kembali muncul sosok bayangan, yaitu pemuda kurus yang tampan itu. Bayangan pemuda itu justru membuatnya tersenyum getir, sebab dia tahu jelas pemuda itu mencintainya, dan dia pun terkesan baik terhadapnya. Padahal kalau urusan terus berkembang, pasti akan baik dan indah sekali. Akan tetapi kini apa pula yang harus dikatakannya?

Han Giok Shia terus berpikir, setelah itu mengambil keputusan, bahwa malam harinya dia akan kembali ke menara itu. Walau dia tidak tahu jejak musuh, namun paling tidak bisa menurunkan mayat ayahnya dan memakamkannya, kemudian setelah itu baru menyusun suatu rencana untuk membalas dendam. Sesudah mengambil keputusan tersebut, barulah Han Giok Shia merebahkan dirinya ke tempat tidur, tapi dia sama sekali tidak bisa pulas. Sulit sekali menunggu hari gelap. Walau tidak begitu lama menunggu, namun dia merasa lama sekali.

Ketika hari mulai gelap, gerimis pun mulai turun. Di saat itulah Han Giok Shia berangkat ke gunung Hou Yok. Tak seberapa lama kemudian, dia sudah berada di sekitar gunung Hou Yok tersebut. Hujan pun makin lama makin lebat, sehingga rambut dan pakaiannya telah basah kuyup, tapi dia sama sekali tidak merasakannya. Dia hanya berharap bertemu kembali dengan Tam Goat Hua dan kakaknya, agar dapat menyelidiki siapa ayah mereka, barulah membalas dendam.

Han Giok Shia mendatangi tempat semalam di mana dia bersembunyi bersama Lu Leng, lalu duduk di atas sebuah batu, membiarkan hujan turun terus mengguyur dirinya. Ketika tengah malam, dia melihat dua sosok bayangan berkelebat. Cepat-cepat dia bersembunyi di balik batu itu. Kedua sosok bayangan itu sudah semakin mendekat, mereka memakai topi rumput lebar. Walau muka mereka ditutup oleh topi rumput lebar itu, namun Han Giok Shia mengenali mereka berdua, yang tidak lain Tam Goat Hua dan kakaknya. Dia langsung menahan nafas dan tidak bergerak sama sekali di tempat persembunyiannya.

Tak lama terdengar suara Tam Goat Hua. "Heran, sebetulnya ayah pergi ke mana, kok sudah malam begini masih belum datang?"

Kakaknya menyahut. "Adik, apakah kau khawatir ayah akan dicelakai orang?"

Tam Goat Hua tertawa. "Tentunya ayah tidak akan dicelakai orang, sebab dalam rimba persilatan tidak banyak pesilat yang dapat bertahan sepuluh jurus melawan senjata Hou Jiau Kou-nya. Aku cuma merasa heran, kenapa ayah tidak datang?"

Usai Tam Goat berkata, sekujur badan Han Giok Shia menggigil. Bukan karena kedinginan, melainkan teringat akan sesuatu. Hou Jiau Kou (Cakar Harimau)! Ternyata itu yang membuatnya menggigil, bahkan juga menyerupai jarum menusuk ke dalam hatinya. Teringat akan tulisan yang tertera di kertas itu, berbunyi demikian. ‘Dada Saudara Han, dilukai oleh Hou Jiau Kou...’

Pada waktu itu dia masih ragu, tapi kini sudah berani memastikan siapa yang dimaksudkan ‘Tam’ itu. Itu membuat darahnya langsung mendidih. Rasanya ingin segera memecut putra-putri musuh besarnya itu, tapi dia justru tahu, seorang diri tidak mungkin dapat melawan mereka berdua. Lagi-pula... bagaimana mungkin dia turun tangan terhadap pemuda kurus tampan itu? Oleh karena itu hatinya manjadi bimbang.

Di saat bersamaan, terdengar pemuda itu menyahut. "Ayah tidak datang, tentunya ada urusan. Adik, kau jangan mengira orang yang berkepandaian tinggi pasti ternama, itu belum tentu. Seperti halnya apa yang kita alami semalam, kau sudah lupa itu?"

"Kalau tidak diungkit masih tidak apa-apa. Tapi kalau diungkit, justru hingga hari ini aku masih merasa gusar dan penasaran sekali."

Pemuda itu tertawa. "Adik, apa gunanya gusar dan penasaran. Suara harpa itu dapat mempengaruhi kita, bahkan membuat kesadaran kita kabur. Kalau si pemetik harpa itu mau mencelakai kita, boleh dikatakan gampang sekali. Aaah! Dalam hal ilmu silat, memang tiada batasnya!"

Tam Goat Hua juga tertawa. "Kakak, kalau malam ini ayah tidak datang, kelihatannya kita tidak bisa terus berdiam di Hou Yok. Kita harus segera berangkat ke gunung Bu Yi, menunggu Lu Sin Kong membawa para jago tangguh dari kedua partai pergi mencari Liok Ci Siansing untuk membuat perhitungan. Kita memunculkan diri dan asal mengatakan sesuatu, mereka pasti tidak akan bertarung mati-matian."

Pemuda itu menyahut. "Gampang sekali kau bicara. Kemarin kita bersama pergi menyusul Lu Sin Kong. Suara harpa itu datang dari langit, membuat kita kehilangan banyak waktu sehingga kita tidak berhasil menyusulnya. Lagi-pula Lu Leng masih hidup. Itu hanya ucapan ayah, aku juga tidak bertemu Lu Leng. Sampai saat ini kedua pihak menghunus pedang bertarung. Kalau kita juga mengucapkan begitu, apakah Lu Sin Kong dan para jago kedua partai itu akan percaya?"

Tam Goat Hua menghela nafas panjang. "Menurutmu, tidak ada yang harus kita lakukan?"

Pemuda itu menyahut, kemudian menghela nafas panjang. "Juga tidak begitu. Kita harus ke gunung Bu Yi. Kalau sampai saatnya mereka tidak percaya, asal kita menyebut julukan ayah, mungkin untuk sementara mereka tidak akan bertarung."

Tam Goat Hua bertepuk tangan. "Ide yang bagus! Mari kita berangkat, jangan membuang waktu lagi!"

Pemuda itu tertawa. "Kau memang tidak sabaran!"

Tam Goat Hua juga tertawa. "Kakak, jangan berkata begitu! Bagaimana kau sendiri semalam? Begitu mendengar aku melukai gadis itu, kau pun tampak begitu gugup dan panik. Kak, perlukah kita ke rumahnya untuk berpamit?"

Pemuda itu memukul Tam Goat Hua. Gadis itu langsung berkelit, kemudian mereka berdua tertawa lagi. Begitu mendengar suara tawa mereka, hawa kegusaran yang berada di rongga dada Han Giok Shia makin menyala, tapi dia terpaksa bertahan.

Kemudian terdengar lagi pemuda itu berkata. "Kita pun harus meninggalkan beberapa kata agar ayah tahu ke mana tujuan kita. Kalau ayah berhasil membawa Lu Leng bukankah baik sekali?"

Tam Goat Hua mengangguk. "Betul apa yang kau katakan."

Mereka berdua menengok ke sana ke mari. Tampak batu besar tempat Han Giok Shia bersembunyi. Mereka berdua mempunyai maksud yang sama, lalu melesat ke arah batu besar itu. Begitu melihat mereka berdua melesat ke arahnya, Han Giok Shia langsung menahan nafas dan tak berani bergerak sedikit pun. Ketika Tam Goat Hua dan pemuda itu sampai di hadapan batu besar, Han Giok Shia dapat mendengar desah nafas mereka, kemudian terdengar pula seperti suara senjata tajam mengukir sesuatu di batu besar itu.

“Sreet! Sreet!”

Berselang sesaat, Tam Goat Hua berkata. "Kakak, biar aku yang mengukir namaku!"

Terdengar lagi suara, "Sreet! Sreet!"

Setelah itu Tam Goat Hua berkata lagi. "Beres! Kalau ayah ke mari pasti melihat ini!"

Badan mereka bergerak, kemudian perlahan-lahan meninggalkan tempat itu. Setelah mereka tidak kelihatan, barulah Han Giok Shia keluar dari tempat persembunyiannya. Dia ke hadapan batu besar itu. Dilihatnya dua baris tulisan diukir di atas batu, yang berbunyi demikian.

'Ayah, Anak telah berangkat ke gunung Bu Yi. Ayah boleh menyusul.'

Berdasarkan ukiran huruf itu, dapat diketahui bahwa lweekang pemuda itu lebih tinggi, sebab ukirannya lebih dalam. Tam Goat Hua tadi mengatakan mengukir namanya sendiri, terlihat ukiran nama tersebut tidak begitu dalam. Han Giok Shia berdiri termangu-mangu di depan batu besar itu. Sampai lama sekali barulah dia mengambil keputusan, yakni untuk berangkat kegunung Bu Yi juga.

Lu Sin Kong mau ke gunung Bu Yi membuat perhitungan. Tam Goat Hua dan kakaknya bernama Tam Ek Hui serta ayah mereka juga mau ke gunung Bu Yi. Itu berarti kedua pembunuh ayahnya berada di gunung Bu Yi, maka Han Giok Shia mengambil keputusan untuk berangkat ke sana. Walau gadis itu tidak kenal Liok Ci Siansing, Tiat Cit Songjin dan lainnya, namun apabila dia membantu mereka menghadapi musuh, tentunya mereka pasti gembira sekali dan akan menyambutnya dengan baik.

Begitu ingat akan dendam tersebut, Han Giok Shia tampak bersemangat sekali, lalu ke menara Hou Yok untuk mengambil mayat ayahnya. Setelah dibawa pulang, hari berikutnya dia membeli sebuah peti mati, kemudian menaruh mayat ayahnya ke dalam peti mati itu, sekaligus dimakamkan di halaman belakang. Isak tangisnya pun meledak di situ. Setelah puas menangis barulah dia berangkat ke gunung Bu Yi.

Sementara ini tidak mengikuti perjalanan Han Giok Shia yang sedang pergi ke gunung Bu Yi, sebaliknya kita harus tahu bagaimana keadaan Lu Leng yang terluka malam itu. Dia bersembunyi di belakang sebuah patung dewa. Ketika Han Giok Shia memasuki lantai itu, patung dewa itu pun menutupi badannya dengan jubahnya. Lu Leng adalah anak cerdik, seketika juga dia dapat menduga, bahwa patung dewa itu adalah orang. Orang-orang itu bersedia menyelamatkannya, tentunya tidak akan mencelakainya, maka dia berlega hati.

Walau dia sudah terluka, namun masih terus bertahan karena ingin hidup. Di saat dia merasa lega, justru sudah tidak kuat bertahan lagi. Dia merasa matanya gelap lalu pingsan. Di saat dia pingsan, kebetulan Han Giok Shia meninggalkan lantai itu menuju lantai bawah. Mendadak ketujuh patung dewa itu bangun serentak, kemudian bergerak cepat bagaikan terbang menuju tingkat teratas. Salah satu patung itu masih menggendong Lu Leng.

Tidak begitu lama berada di tingkat teratas itu, mereka segera turun ke tingkat bawah menggunakan ginkang. Sampai di bawah, mereka langsung melesat pergi laksana kilat. Segala yang berlangsung itu, Lu Leng sama sekali tidak mengetahuinya. Ketika dia siuman dan perlahan-lahan membuka matanya, dia merasa badannya bergoyang-goyang. Ternyata dirinya berada di dalam sebuah perahu yang cukup besar. Begitu siuman, sekujur badannya terasa sakit sekali. Maka dia merintih-rintih tak tertahan. Dia baru saja mengeluarkan suara rintihan, tampak seseorang menjulurkan kepalanya ke dalam.

"Bocah, kau sudah siuman? Perutmu pasti sudah lapar, mau makan?"

Orang itu bertelinga lebar dan tampak ramah, sehingga Lu Leng berkesan baik. Dia berusaha bangun tapi tak mampu bergerak, sebaliknya sekujur badannya bertambah sakit, maka merintih lagi.

"Bocah!" Si Gendut itu menggeleng-gelengkan kepala. "Merasa sakit ya sudahlah! Jangan terus merintih, kau masih hidup kok."

Lu Leng berkertak gigi. Walau sekujur badannya masih terasa sakit sekali, tapi dia sama sekali tidak mengeluarkan suara rintihan lagi. Si Gendut mengacungkan jempolnya sambil manggut-manggut.

"Bagus! Hatimu memang tabah!" katanya.

Ketika si Gendut mengacungkan jempolnya, Lu Leng melihat sebuah gelang berukuran cukup besar di lengannya. Sementara Lu Leng terus menahan rasa sakitnya, sehingga membuat wajahnya tampak meringis-ringis.

"Kau tidak usah cemas, kawan-kawanku itu sedang pergi mencari obat untukmu. Tak lama mereka pasti ke mari. Lukamu itu cukup berat, namun kau memiliki lweekang yang cukup tinggi, maka tidak apa-apa." Kata si Gendut.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar