Harpa Iblis Jari Sakti Chapter 03

Lu Sin Kong tambah heran. "Memangnya masih ada siapa lagi di dunia ini yang berarti bagi kita? Yang tua sudah lama mati, yang kecil...," berkata sampai di sini, ia tidak sanggup melanjutkannya lagi.

"Itu dia. Makanya aku ingin mengejarnya sampai dapat agar dapat menanyakannya sejelas mungkin. Sayangnya gerakan orang itu terlalu cepat. Tahu-tahu di sini kita menemukan golok itu."

Walau pun ucapan Sebun It Nio hanya samar-samar, namun Lu Sin Kong langsung memahami maksud istrinya. Orang tadi mengatakan akan menggunakan ‘seseorang’ untuk ditukar dengan kotak yang dibawanya. Kemungkinan ‘seseorang’ yang dimaksud itu anak mereka, Lu Leng. Tapi Lu Sin Kong sendiri tidak berani memberikan komentar apa-apa. Hatinya semakin pedih melihat keadaan istrinya. Sebab, tubuh Lu Leng sudah muncul di gudang penyimpanan hartanya, mana mungkin orang itu bisa menggunakannya untuk ditukarkan dengan kotak ini?

Dia hanya dapat menghibur istrinya dengan berkata, "Hujin, tujuan orang itu tidak lain dari kotak ini juga. Sesampainya kita di Su Cou, pasti dia akan mencari kita lagi."

"Betul. Gerakan orang ini cepat sekali. Bahkan ilmu meringankan tubuh si Setan yang terkenal yakni Kui Heng Kong masih belum sanggup menandinginya. Sayangnya wajah orang itu ditutup dengan cadar hitam sehingga kita tidak tahu siapa dia," kata Sebun lt Nio.

"Ini memang aneh, aku juga tidak terpikir kira-kira siapa orang itu."

Kedua orang itu berunding sebentar. Matahari sudah hampir menyingsing, mereka tidak mencari kuda tunggangan, malah meneruskan perjalanan ke depan. Sepanjang hari itu mereka tidak menemui kejadian apa-apa. Malam harinya mereka menginap di kota Kuang Tek Ceng, juga tidak terjadi apa-apa. Keesokan harinya mereka sudah sampai di wilayah Se Kiang. Kalau dihitung-hitung, satu hari lagi mereka akan mencapai kota Su Cou. Mereka merundingkan apa yang akan mereka lakukan setelah sampai di Su Cou dan menyerahkan kotak itu kepada si Pecut Emas-Han Sun. Seandainya si Pecut Emas bersedia memberitahukan rahasia yang ada pada kotak, tentulah merupakan hal yang terbaik. Tapi bila dia juga tidak bersedia mengatakannya, ya sudah. Mereka lalu merencanakan untuk menyamar supaya tidak ada yang mengenali.

Hari itu, karena ingin secepatnya sampai di wilayah Su Cou, mereka memilih jalan pegunungan, yakni di sebelah utara wilayah Se Kiang. Di sana memang paling banyak jalan yang berliku-liku di antara perbukitan. Siang harinya mereka sudah mencapai bukit Pek Cang Hong, dan sore harinya telah melalui Tong Tian Bok. Asal sudah melewati wilayah Sai Tian Bok, jalan yang ditempuh tidak berliku-liku lagi. Daerah itu juga sudah dekat sekali dengan telaga Thai Hu. Bila menyusuri telaga itu, paling-paling hanya menghabiskan waktu setengah hari untuk sampai di Su Cou.

Kedua orang itu mengitari wilayah Tong Tian Bok. Baru berjalan kurang lebih satu sekonyong-konyong mereka melihat ada seseorang yang tubuhnya gemuk sekali sedang tidur di tepi sungai. Benda yang dijadikan bantal berupa sebuah batu bulat. Lu Sin Kong dan Sebun It Nio melihat orang itu yang bukan lain dari pada si Dewa Gemuk Yu Lao Pun, keduanya menjadi tertegun.

Tampak orang itu melonjak bangun sambil tertawa terbahak-bahak. "Ternyata kalian benar-benar mengambil jalan ini, dugaanku memang tepat sekali," katanya.

"Memangnya kenapa kalau kami mengambil jalan ini?" tanya Sebun It Nio dengan nada dingin.

Yu Lao Pun tertawa terkekeh-kekeh. "Sebun It Nio, sepasang pedangmu memang sudah terkenal sekali di dunia bu-lim. Sebetulnya si Gemuk ini tidak berminat meminta petunjuk darimu, tapi kalau kau sudi memberi pelajaran, aku juga tidak akan menolak."

Sebun It Nio sadar bahwa orang yang gemuk ini tidak mudah dihadapi. Untuk sesaat dia juga terpaksa menahan kemarahannya. Kemudian sembari tertawa dingin dia berkata, "Selamanya Tai Ci Bun selalu mengaku dirinya sebagai perguruan golongan lurus, tidak disangka-sangka sang ketuanya justru melakukan perbuatan serendah ini."

"Perbuatan rendah apa yang telah kulakukan? Masih untung ada aku yang menunggu di sini. Seandainya kalian meneruskan perjalanan, lalu bertemu dengan sahabat dari Sai Tian Bok itu, kalian bisa celaka!"

Tentu saja Lu Sin Kong dan Sebun It Nio tahu siapa yang dimaksud dengan ‘Sahabat dari Sai Tian Bok’. Maka hati mereka semakin gundah.

"Apakah dia juga telah mengincar kami?" tanya Lu Sin Kong.

Yu Lao Pun menganggukkan kepalanya. Baru saja dia ingin menyahut, sekonyong-konyong terdengar suara pekikan aneh, yang datangnya dari sebelah barat. Wajah Yu Lao Pun berubah seketika. "Cepat menyeberang sungai!" teriaknya.

Tubuhnya melesat ke depan, tahu-tahu dia sudah berada di seberang sungai. Begitu sampai di seberang, tangan Yu Lao Pun sudah memanggul batu besarnya. Dia melihat Lu Sin Kong dan Sebun It Nio masih berdiri di tempat semula. Saking paniknya sampai-sampai lemak di seluruh tubuhnya berguncang-guncang.

"Kalian masih tidak menyeberang?!" teriaknya.

Ketika mendengar suara pekikan aneh yang tidak mirip suara tertawa atau pun suara tangisan, juga tidak mirip tercetus dari mulut seorang manusia, lebih pantas kalau dikatakan timbul dari suatu alat yang ditiup. Bulu kuduknya merinding seketika karena suara itu benar-benar tidak enak didengar.

Hatinya sudah dapat menduga apa yang sedang terjadi. Sembari tertawa dingin, dia menyahut. "Menyeberangi sungai ketemu maling, tidak menyeberangi sungai juga bertemu maling. Untuk apa kami menyeberang?"

Yu Lao Pun semakin panik. "Lu Cong Piau Tau, setidaknya nada bicaraku masih sungkan, lagi-pula aku bukan maling. Kalau sahabat itu tiba di sini, apakah dia akan bersikap sesungkan aku?" katanya.

Sementara itu, suara pekikan yang aneh tadi sudah semakin dekat. Hati Sebun It Nio tergerak, "Boleh juga, biar kita menyeberang dulu baru membicarakan urusan lainnya."

Kedua orang itu segera mencelat. Tapi baru sampai setengah jalan, suara pekikan aneh itu sudah ada di belakangnya dan berhenti mendadak, kemudian disusul oleh suara bentakan seseorang, "Jangan menyeberang!"

Tapi ketika orang itu berbicara, Lu Sin Kong dan Sebun It Nio sudah sampai di seberang. Yu Lao Pun menarik nafas lega. Setelah menyeberang, keduanya menoleh untuk melihat. Tampak seseorang yang bentuk tubuhnya tinggi sekali. Dengan jubah berwarna hijau pupus yang bagian bawahnya melambai-lambai karena tiupan angin, dia
berdiri di sana dengan tampang angker. Di lengan baju kiri orang itu tersulam gambar tengkorak kepala dari benang emas sehingga cahayanya berkilauan. Raut wajahnya memperlihatkan usianya kurang lebih empat puluh tahun. Bentuk hidung dan bibirnya bagus, hanya sorot matanya yang mengandung hawa sesat membuat orang yang memandangnya menjadi bergidik. Begitu sampai di tepi sungai, dia mengambil ancang-ancang untuk menyeberang.

Di saat itulah, tiba-tiba terdengar Yu Lao Pun berseru. "Sahabat, kita pernah membatasi wilayah kita masing-masing dengan sungai ini. Tong Tian Bok dan Sai Tian Bok, siapa pun tidak boleh melanggar peraturan ini. Apakah kau ingin menelan kembali kata-katamu sendiri?"

Orang itu tertawa terbahak-bahak. "Yu Gendut, kalau melanggar sekali sajakan tidak apa-apa?" sahutnya.

Wajah si Dewa Gemuk langsung berubah, kemudian ia memanggul batu besarnya di pundak. "Tempo hari kita pernah menepuk tangan sebagai perjanjian. Siapa pun tidak boleh menyeberangi dunia yang lainnya untuk mencari gara-gara. Kalau kau berani mengingkari janjimu sendiri, kau kira aku akan takut kepadamu?"

Orang itu kembali tertawa terkekeh-kekeh. "Oh ya, memang betul. Asal aku tidak mencari gara-gara, kenapa aku tidak boleh menyeberang ke tempatmu?"

Si Dewa Gemuk melirik sekilas kepada Lu Sin Kong dan Sebun It Nio, kemudian mencelat mundur sejauh satu depa lebih sembari berkata, "Kedua orang ini merupakan tamu agungku. Kalau kau memang mempunyai minat atas diri mereka berdua, sebaiknya sekarang juga kau katakan terus terang!"

Terdengar orang itu mengeluarkan suara keluhan, "Aihh...!"

Tahu-tahu dia sudah sampai di depan mata, tidak terlihat bagaimana caranya bergerak, seakan-akan ia melayang lewat permukaan sungai tanpa menimbulkan suara sedikit pun.

"Yu Gendut, kenapa kau bisa tahu isi hatiku sih?" tanyanya dengan nada tenang.

Dari nada suaranya, dapat dipastikan bahwa dia akan turun tangan terhadap suami istri Lu Sin Kong. Mimik wajah Sebun It Nio dan Lu Sin Kong memperlihatkan tawa dingin, dan mereka juga menggeser diri ke samping.

Yu Lao Pun menunggu sampai orang itu berdiri tegak. Mimik wajahnya justru memperlihatkan kecemasan. Kemudian setelah mendengus satu kali, ia berkata, "Kau benar-benar hendak turun tangan terhadap mereka?"

Orang itu tersenyum kepada Yu Lao Pun, kemudian membalikkan tubuhnya untuk menjura kepada Lu Sin Kong dan istrinya. "Selamat berjumpa Lu Cong Piau Tau, cayhe sudah lama mendengar nama besar kalian. Begitu terkenalnya sehingga seperti guntur yang memekakkan telinga. Hari ini kita dapat berjumpa di sini, sesungguhnya cayhe menyesal sekali mengapa sampai sekarang baru ada jodoh untuk bertemu muka," katanya dengan nada sungkan.

Lu Sin Kong tahu bahwa orang ini hatinya keji sekali. Perbuatan apa pun sanggup dilakukannya. Bahkan si Dewa Gemuk yang menjadi ciangbunjin perguruan Tai Ci Bun dan daerah ini merupakan daerah kekuasaannya pun masih merasa segan terhadap orang ini.

Meski pun mereka suami istri tidak harus takut kepadanya, namun kalau sudah bertemu tentunya tidak mudah untuk melepaskan diri. Karena orang itu memperlihatkan sikap sungkan, kenapa dia sendiri juga tidak ikut berpura-pura saja? Maka dia segera membalas penghormatan orang itu sambil menyahut, "Tidak berani, tidak berani. Nama besar tuan-lah yang begitu tersohor sehingga tidak ada tandingannya di dunia ini."

Wajah orang itu agak berubah mendengar ucapan Lu Sin Kong. "Kalau begitu, tentunya Lu Cong Piau Tau tahu siapa namaku?" tanyanya.

"Cayhe tidak tahu. Tapi di dunia ini, bila menyebut kata Kim Kut Lau, siapa yang tidak pernah mendengarnya?" sahut Lu Sin Kong.

"Rupanya begitu." kata orang itu sambil tertawa terkekeh-kekeh. "Bila kita sama-sama sudah lama mengetahui nama masing-masing, sekarang cayhe mempunyai sebuah permintaan yang kurang pantas, rasanya Lu Cong Piau Tau tidak akan menolaknya, bukan?"

Belum lagi Lu Sin Kong menjawab, Sebun It Nio sudah menukas dengan nada tajam, "Kim Kut Lau, sudah tahu permintaanmu kurang pantas, tapi kenapa kau masih berharap orang akan mengabulkannya?"

Kim Kut Lau tertawa dingin. "Apakah kalian bahkan tidak memberi kesempatan kepadaku untuk mengatakannya?" tanyanya.

Lu Sin Kong dan Sebun It Nio sama-sama mundur dua langkah, "Coba kau katakan dulu!"

"Dengar kabar bahwa kepergian kalian berdua dari kota Lam Cong kali ini karena mengawal sesuatu barang yang berharga sekali, tujuannya ke Su Cou. Kemungkinan barang yang kalian bawa itu ada hubungan yang erat sekali denganku, maka aku ingin menanyakannya. Entah Lu Cong Piau Tau dan Lu Hujin bersedia memberitahukan apa tidak?"

Bagaimana pun, Sebun It Nio memang lebih teliti dari pada suaminya. Dalam hati dia berpikir, “Orang ini tidak ketahuan marga mau pun namanya. Hanya saja, dalam mengenakan pakaian apa pun, di lengan kiri bajunya selalu ada sulaman Tengkorak Emas, maka dia dijuluki Kim Kut Lau. Semua tokoh di dunia ini selalu ada asal-usul atau nama perguruannya, hanya orang ini yang misterius sekali, tidak pernah ada yang tahu siapa gurunya atau berasal dari perguruan mana.”

Lima enam tahun yang lalu, di dunia kang-ouw masih belum pernah terdengar nama orang ini. Pada suatu hari di musim gugur, secara berturut-turut di wilayah Kan Liang dia melukai Tujuh Harimau dari keluarga Cui. Pada hari keduanya, dia membuat si Tombak Perak Tan Cu Ciat dari Lan Cui sampai terluka parah. Bahkan mulai saat ini kedua kaki Tan Cu Ciat patah dan mengundurkan diri dari dunia persilatan.

Ketujuh orang pertama yang dilukainya adalah tokoh-tokoh golongan hitam yang banyak melakukan kejahatan, sedangkan Tan Cu Ciat justru pendekar dari golongan putih. Maka dari itu pula, tidak ada orang yang dapat menerka watak Kim Kut Lau ini. Adatnya angin-anginan. Kadang-kadang dia sendiri tidak ragu-ragu melakukan perbuatan serendah apa pun, namun ada kalanya dia juga bisa bersikap gagah seperti seorang pendekar budiman.

Setelah dua hari berturut-turut melukai delapan tokoh terkemuka, dalam perjalanannya dari wilayah Kan Liang ke selatan, setiap tokoh yang bertemu dengannya selalu ditantangnya berkelahi, dan semuanya kalah di tangannya. Maka dalam waktu singkat namanya pun menjadi terkenal. Tapi begitu sampai di Sai Tian Bok, orang-orang hanya mendengar bahwa dia pernah berselisih beberapa kali dengan ketua perguruan Tai Ci Bun. Selain itu tidak pernah terbetik kabar beritanya.

Dalam hati Sebun It Nio sendiri sebetulnya sedang dibingungkan oleh kotak yang mereka kawal. Sekarang dia mendengar tokoh misterius ini mengatakan bahwa kemungkinan kotak itu mempunyai hubungan yang erat dengannya, dan orang itu ingin menanyakannya. Maka pikirannya menjadi tergerak seketika. Mungkinkah orang ini tahu rahasia kotak yang dikawalnya? Ataukah ia tahu asal-usul orang yang bernama Ki Hok?

Oleh karena itu dia segera tertawa datar sembari berkata, "Sebetulnya, mengingat ketulusan hati tuan yang menanyakannya, seharusnya kami harus memberitahu. Tapi urusan ini membuat kami sendiri terbenam dalam kabut teka-teki, kami sendiri bahkan tidak tahu barang apa yang kami kawal."

Kim Kut Lau tersenyum. "Lu Hujin, urusan ini penyelesaiannya mudah sekali. Asal kita buka kotak itu, tentu kita akan segera mengetahuinya, bukan?"

Wajah Sebun It Nio agak berubah mendengar usulnya. "Apakah tuan tidak merasa bahwa ucapan tuan ini agak keterlaluan? Kami sudah berjanji untuk mengantarkan kotak ini ke Su Cou, mana boleh kami membukanya di tengah jalan?"

Sekonyong-konyong Kim Kut Lau menarik nafas panjang."Kalau kalian tetap berkeras, mungkin aku terpaksa bersikap lancang!"

Sembari berbicara, tubuhnya bergerak. Maka Tengkorak Emas yang tersularn di lengan kiri bajunya ikut bergerak. Raut wajah orang itu cukup bagus, namun kilauan cahaya dari Tengkorak Emas di lengannya menimbulkan kesan yang sangat menyeramkan.

Lu Sin Kong tertawa dingin. "Entah pusaka apa yang ada dalam kotak yang kami kawal itu sehingga menarik minat begitu banyak tokoh dunia bu-lim. Seandainya tuan benar-benar ingin memberikan petunjuk kepada kami, silakan mulai!"

Tubuhnya berkelebat, kakinya ditekuk sedikit, kuda-kudanya kokoh sekali dan tampangnya menunjukkan wibawa besar.

Tanpa sadar Kim Kut Lau menyatakan pujiannya, "Orang bilang bahwa Lu Cong Piau Tau merupakan anak murid Go Bi Pai dari golongan orang biasa yang paling menonjol bakatnya, ternyata memang bukan ucapan kosong belaka!"

Sembari berbicara, kakinya maju dua langkah. Namun baru saja dia ingin menerjang ke depan, tiba-tiba terasa ada angin kuat yang berkesiur di sisinya. Dengan memanggul batunya yang berat, Yu Lao Pun sudah menghadang di depannya. Lemak di seluruh tubuhnya tampak berguncang-guncang.

"Sahabat, seandainya kau tetap hendak turun tangan di Tong Tian Bok ini, maafkan kalau aku tidak bisa mengijinkan," katanya.

"Tidak apa-apa, paling aku harus menggebahmu terlebih dahulu!" bentak Kim Kut Lau sembari mengulurkan tangannya untuk menekan batu yang dipanggul Yu Lao Pun.

Yu Lao Pun membentak dengan keras dan dengan tiba-tiba mengangkat batu besarnya tinggi ke atas. Gerakannya ini jelas telah mengerahkan hawa murni Tai Ci Kang-nya sebanyak tujuh bagian, namun tangan Kim Kut Lau tetap menekan di atas batu itu, hanya wajahnya saja yang dari putih berubah menjadi merah padam. Hal ini membuktikan bahwa dia juga telah mengerahkan tenaga dalamnya untuk mengadu kekuatan dengan si Dewa Gemuk. Tampak tempat kaki keduanya berpijak semakin lama semakin melesak ke dalam, bahkan bebatuan yang ada di tepi sungai itu sampai hancur berderai oleh pijakan kaki atau getaran kedua orang itu.

Bagaimana pun Lu Sin Kong dan Sebun It Nio juga terhitung ahli dalam bidang ini. Melihat keadaan kedua orang itu, mereka tahu bahwa keduanya sedang mengadu kekuatan tenaga dalam dengan dibatasi oleh batu besar tersebut. Untuk sesaat pasti sulit menentukan siapa yang akan menang. Kalau tidak menggunakan kesempatan ini untuk pergi, tunggu kapan lagi?

Sebun It Nio tertawa panjang. "Kalian berdua silahkan mengadu ilmu dengan tenang. Maafkan karena kami tidak bisa menemani lebih lama lagi!"

Sembari berbicara, tubuhnya melesat ke depan. Sungai yang lebarnya dua depaan itu berhasil diseberanginya dalam satu kali lompatan. Keduanya sudah sampai di seberang. Namun baru saja mereka bermaksud melangkah pergi, tiba-tiba terdengar Kim Kut Lau memperdengarkan suaranya yang tidak mirip tawa atau tangisan. Pokoknya tidak enak didengar! Tepat pada saat itu pula terdengar bunyi yang keras.

“Plokkk...!”

Mereka menolehkan kepalanya untuk melihat, tampak batu besar yang menjadi senjata andalan si Dewa Gemuk sudah gompal sebagian. Daerah yang gompal itu bekas tekanan tangan Kim Kut Lau. Sedangkan orangnya sendiri sudah mencelat seperti terbang untuk menerjang ke arah mereka.

Tanpa sadar, saat itu juga Lu Sin Kong dan Sebun It Nio dibuat terpana oleh kejadian itu. Sebab, dalam mengadu kekuatan antara dua tokoh kelas tinggi, sebelum ada hasilnya, siapa pun tidak dapat melepaskan diri begitu saja. Yang mengundurkan diri justru yang akan mengalami kerugian. Entah ilmu apa yang digunakan oleh si Tengkorak Emas sehingga dia dapat memisahkan diri dengan mudah dari lawannya bahkan sempat menerjang ke seberang.

Tampak mimik wajah Yu Lao Pun menyiratkan kemarahan. "Jangan pergi!" bentaknya.

Kim Kut Lau menerjang ke luar dengan mencelat ke atas, lalu meliukkan tubuhnya lewat bawah. Gerakannya tidak kalah cepat dengan lawannya. Air bermuncratan kemana-mana. Sebagian tubuhnya sudah terendam di dalam sungai. Batu besar yang digunakan sebagai senjata langsung dihantamkan ke atas untuk menyerang dada Kim Kut Lau.

Suara pekikan aneh masih terus berkumandang dari mulut Kim Kut Lau. Tubuhnya yang sedang mengapung di tengah udara tahu-tahu mencelat lebih tinggi lagi, setinggi lima ciok. Sebetulnya dengan melambungnya tubuh orang itu, senjata Yu Lao Pun tidak mungkin mencapai sasarannya lagi. Tapi entah jurus apa yang digunakan si Dewa Gemuk itu, apalagi ditambah dengan hawa murni Tai Ci Kang yang dikuasainya, walau pun senjatanya sendiri tidak sanggup mengenai lawan, tapi tenaga pantulannya yang kuat dan tajam malah terus melanda ke atas.

Tubuh Lim Kut Lau sedang melayang di tengah udara, maka sulit baginya untuk mengerahkan tenaga dalam. Begitu kekuatan pantulan batu Yu Lao Pun melanda datang, tanpa dapat dipertahankan lagi tubuhnya tertahan. Dalam keadaan genting dia menjulurkan kedua tangannya untuk diadukan dengan kekuatan batu besar itu, tapi terlambat. Tubuhnya malah terpental ke belakang sejauh tiga depa dan mendarat kembali di tempatnya semula.

Memang hal ini yang menjadi tujuan Yu Lao Pun, maka dia pun tertawa terbahak-bahak. "Sahabat, jangan harap dapat menyeberang!"

Kim Kut Lau juga ikut tertawa. "Yu Gendut, kau diam saja di sana, aku tidak bisa menemani lebih lama lagi."

Hati Yu Lao Pun langsung tergerak. "Kau mau ke mana?"

Kim Kut Lau tertawa terbahak-bahak dengan nada aneh. "Di atas bukit Song Kui Hong aku boleh membuka pantangan dengan membunuh sepuas hati, kenapa aku tidak ke sana saja?" katanya.

Bukit Song Kui Hong merupakan markas perguruan Tai Ci Bun. Anak murid Yu Lao Pun yang sebanyak tiga generasi, jumlahnya ada delapan puluh orang, dan semuanya tinggal di bukit itu. Ucapan Kim Kut Lau barusan menyiratkan bahwa dia akan membunuh seluruh anak muridnya. Yu Lao Pun sendiri sadar, bahwa kecuali dirinya sendiri, bila dipaksakan mungkin masih bisa menghadapi Kim Kut Lau dengan seimbang. Bahkan kedua murid kesayangannya bisa saja masih belum mampu menandingi orang ini. Bila membiarkan dia naik ke bukit Song Kui Hong, kemungkinan perguruan Tai Ci Bun akan musnah di tangannya. Karena itu hatinya menjadi cemas sekali.

Tapi si Dewa Gemuk juga bukan orang bodoh. Dia tidak memperlihatkan kepanikan dalam hatinya, malah tertawa dingin sambil berkata, "Kalau bukit Song Kui Hong begitu mudah didatangi musuh, apakah perguruan Tai Ci Bun pantas berdiri di muka bumi ini?"

"Kalau begitu, tentunya kau mempunyai keberanian untuk membiarkan aku ke sana bukan?" tantang Kim Kut Lau.

"Bagus! Kalau kau mendaki puncak bukit Song Kui Hong, aku akan mendatangi San Tian Bok untuk mengacak-acak di sana!" sahut Yu Lao Pun.

Mendengar ucapannya, wajah Kim Kut Lau agak berubah juga. Kemudian dengan nada tajam dia bertanya, "Yu Gendut, ucapanmu ini serius apa tidak?"

Hati Yu Lao Pun agak bimbang. Terhadap misteri yang menyelimuti si tokoh sesat yang menjadi tetangganya ini, sebetulnya ingin sekali ia mengungkapkan rahasianya. Tapi sejak kemunculan orang ini, beberapa kali mereka sempat bergebrak, sayangnya tidak pernah ada hasilnya. Akhirnya mereka memutuskan untuk menggunakan sungai ini sebagai batas dunia masing-masing, maka selama beberapa tahun ini keadaan menjadi aman dan tentram. Sampai hari ini baru timbul kembali perselisihan di antara kedua orang.

Mendengar nada suara Kim Kut Lau yang seakan mengandung rasa takut begitu mengetahui dirinya akan mengunjungi tempat tinggalnya, diam-diam Yu Lao Pun merasa heran. "Kau toh akan mendaki bukit Song Kui Hong, tentu aku harus balas berkunjung ke tempatmu!" katanya.

Kim Kut Lau mengeluarkan suara tertawa yang aneh. Kemudian dia membalikkan tubuhnya untuk menerjang ke arah Yu Lao Pun. Gerakannya cepat bagai kilat. Begitu sampai di tengah sungai, telapak tangannya menghantam.

“Bummm...!!” Air sungai bermuncratan ke mana-mana, orangnya sendiri terus maju ke depan. Pukulannya semakin cecar, bahkan bebatuan dalam sungai terbang ke atas lalu menjadi senjata rahasia yang menyerang ke arah Yu Lao Pun.

Sementara itu, Yu Lao Pun sendiri seakan tidak mempedulikan air sungai yang seperti air mancur menari-nari itu. Seluruh tubuhnya dilindungi dengan hawa murni Tai Ci Kang-nya, maka meski pun bebatuan yang dihantam Kim Kut Lau menerpa seluruh tubuhnya, tapi batu-batu itu terpental kembali. Orangnya sendiri tetap berjalan dengan langkah lebar untuk menyeberangi sungai itu.

Melihat keadaan ini, Sebun It Nio berkata kepada Lu Sin Kong dengan suara rendah, "Mari kita pergi!"

Lu Sin Kong menganggukkan kepalanya. Selagi kedua pihak sibuk dengan urusan mereka, dia dan istrinya segera meninggalkan tempat itu dengan diam-diam. Tentu saja Yu Lao Pun dan Kim Kut Lau melihat kepergian kedua orang itu. Namun keduanya tidak berdaya, sebab mengalihkan perhatian sedikit saja, lawan akan menggunakan kesempatan itu untuk membokong. Karena itu mereka hanya dapat memandangi bayangan tubuh Lu Sin Kong dan Sebun It Nio yang menghilang di tikungan sebuah bukit.

Kim Kut Lau tertawa dingin. "Yu Gendut, apakah antara kita tidak bisa disatukan lagi?" tanyanya.

Yu Lao Pun sadar, kali ini persengketaannya dengan manusia aneh ini sudah semakin dalam. Terdengar dia mengeluarkan suara siulan panjang, dan suara itu berkumandang sampai jauh. "Betul. Kita tidak mungkin bersatu lagi," katanya kemudian.

Wajah Kim Kut Lau berubah angker. "Yu Gendut, kau kira aku ini benar-benar takut terhadap perguruan Tai Cin Bun? Terus terang saja, kalau karena bukan masih ada sedikit kebaikan dalam diriku ini, sejak dulu aku sudah rnemusnahkan perguruanmu itu!"

"Bila kau berminat memusnahkannya sekarang, rasanya masih belum terlambat!" sahut Yu Lao Pun dengan nada yang tidak kalah dinginnya.

Kim Kut Lau tertawa terbahak-bahak. "Yu Gendut, sekarang sepasang suami istri Lu Cong Piau Tau sudah pergi. Apa sebetulnya yang ingin kau dapatkan dari mereka?"

Yu Lao Pun melihat lawannya masih belum turun tangan juga, malah mengajukan pertanyaan seperti ini, hatinya menjadi bimbang. "Kau sendiri? Apa yang ingin kau dapatkan?" ia balik bertanya.

"Benda yang ingin kudapatkan itu, sedikit pun tidak ada manfaatnya bagimu, tapi kau masih turun tangan juga. Hal ini membuktikan bahwa kau pasti keliru," kata Kim Kut Lau.

Yu Lao Pun tertawa dingin. "Lucu! Keliru atau tidak, apa urusannya denganmu?"

"Kalau kau tidak bersedia mengatakannya, aku juga tidak akan memaksamu," kata Kim Kut Lau sambil berjalan mondar-mandir. "Kau toh tinggal di Tong Tian Bok, memangnya aku bisa mengusirmu? Yu Gendut, minggirlah, kita hentikan saja pertarungan ini untuk sementara!"

Yu Lao Pun tertawa dingin. "Betul. Kalau aku minggir, kau bisa pergi mengejar kedua suami istri itu bukan?"

"Kau kira aku tidak bisa menerobos?"

"Coba saja!" tantang Yu Lao Pun.

Meski pun mulut mereka saling berdebat, tapi siapa pun tidak ada maksud untuk menyerang terlebih dahulu. Keduanya berdiri tegak saling menunggu.

Sekarang kita tinggalkan dulu Kim Kut Lau dan Yu Lao Pun yang masih berkutet di tepi sungai. Kita kembali kepada Lu Sin Kong dan Sebun It Nio yang sedang meneruskan perjalannya. Mereka berlari dan karena dari belakang tidak terlihat ada yang mengejar, maka keduanya melambatkan langkah kakinya.

"Kita sudah dua kali memeriksa kotak itu, di dalamnya kosong melompong. Kenapa mereka masih saja mengintil kita?" kata Sebun It Nio dengan nada tidak habis mengerti.

"Masih ada satu hal lagi yang membingungkan. Baru beberapa hari kita menerima barang kawalan ini di Lam Cong, tapi kenapa sepertinya tokoh-tokoh di seluruh dunia sudah mengetahui hal ini?" sambung Lu Sin Kong.

Sebun It Nio merenung sejenak, kemudian dengan tiba-tiba mengeluarkan seruan terkejut. "Ah! Aku mengerti sekarang!"

"Apa yang kau mengerti?" tanya sang suami.

Ditanya begitu Lu Hujin diam sesaat seperti ragu namun dia kembali berkata, "Kita telah diperalat orang. Dengan kata lain, kita dijadikan umpan. Pasti ada suatu barang yang penting sekali harus diantarkan ke tangan si Pecut Emas-Han Sun di Su Cou. Tapi mereka takut banyak orang yang mengincar di tengah jalan. Maka pihak lawan pura-pura menitipkan kotak kosong ini ke tangan kita, agar kita mengantarnya sendiri. Sementara itu, barang yang asli dibawa oleh orang lain secara diam-diam. Perhatikan seluruh tokoh di dunia kang-ouw pasti tertuju kepada kita, dengan demikian barang itu dapat sampai dengan selamat di tangan si Pecut Emas," kata Sebun It Nio menjelaskan pemikirannya.

Lu Sin Kong merenung sejenak. Dia merasa apa yang dikatakan oleh sang istri ada benarnya juga, maka dia berkata dengan nada marah. "Kalau benar begitu, sungguh keterlaluan orang yang menyerahkan kotak kosong ini kepada kita!"

Sebun It Nio tertawa dingin. "Untuk mendapatkan imbalan besar, memang sudah seharusnya mengeluarkan pengorbanan. Apanya yang keterlaluan?"

Mendengar nada sindiran istrinya yang menyiratkan kegilaan dirinya akan harta, Lu Sin Kong merasa malu sehingga wajahnya berubah merah padam. "Bagaimana kejadian yang sebenarnya, tidak lama lagi kita akan tahu. Benar tidaknya dugaanmu itu, untuk sementara kita juga tidak bisa memastikan."

Sebun It Nio hanya tertawa dingin. Dalam beberapa hari ini, kehidupan mereka yang biasanya tenang tiba-tiba saja dilanda berbagai kemelut yang memusingkan. Yang paling menyedihkan justru kematian anak mereka yang semata wayang, Lu Leng. Kepiluan hati mereka tidak terkatakan. Hanya karena mereka sudah menjadi suami istri selama sepuluh tahun, maka keduanya sama-sama mengalah. Sampai detik ini, keduanya tidak pernah bertengkar juga.

Sebun It Nio hanya mendengus. Dia tidak mengatakan apa-apa lagi. Lu Sin Kong mengajaknya meneruskan perjalanan. Sepanjang jalan, pikiran mereka melayang-layang. Kalau bukan teringat kematian Lu Leng yang mengenaskan, mereka berpikir tentang kotak misterius yang mereka kawal. Belum lagi berjaga-jaga terhadap kemunculan para tokoh yang ingin merebutnya.

Tanpa terasa, langit sudah mulai gelap. Tiba-tiba Lu Sin Kong tertegun, "Hujin, mengapa kita sudah berjalan begitu lama tapi masih belum juga ke luar dari wilayah Sai Tian Bok?" tanyanya.

Sebun It Nio mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Tampak pepohonan yang rimbun, dan di sebelah timur ada sebuah bukit. Ternyata jalan itu sudah pernah mereka lalui sebelumnya.

"Hujin, daerah Sai Tian Bok ini banyak bukit-bukit, maka sulit bagi kita untuk menemukan jalan. Sekarang hari sudah menjelang malam, percuma saja kita putar-putar di sini.Sebaiknya kita bermalam di tempat ini saja," kata Lu Sin Kong.

"Kalau begitu, keenakan si Maling Enam Jari itu dapat hidup lebih lama satu hari lagi," sahut istrinya dengan nada berapi-api. Rupanya dalam hati wanita itu terus memikirkan kapan mereka bisa menyerbu ke gunung Bu Yi San untuk membalas dendam atas kematian anak mereka. Dia berharap semakin cepat semakin baik, maka dia mengucapkan kata-kata seperti itu.

Lu Sin Kong tertawa getir. "Yang penting kita bisa mengundang jago-jago dari Go Bi Pai dan Tiam Cong Pai, dengan demikian kita pasti bisa menuntut balas. Toh tidak mungkin kita lakukan hari ini juga, beda beberapa hari, kan tidak apa-apa?"

Di saat keduanya terlibat pembicaraan, tiba-tiba di daerah pegunungan yang gelap terlihat setitik sinar api, dan oleh karena itu keduanya menjadi tertegun seketika. Tempat mereka berada merupakan daerah pedalaman, tepatnya di dalam hutan belantara di pegunungan. Gelapnya tidak terkira, belum lagi suara lolongan serigala dan suara burung hantu yang menyeramkan. Sungguh sulit dibayangkan ada manusia yang bersedia membangun rumahnya di tempat seperti ini!

Kedua orang itu memperhatikan beberapa saat, kemudian terdengar Lu Sin Kong berkata, "Hujin, ternyata di sini ada rumah. Bagaimana kalau kita menumpang barang satu malam saja?"

"Kau ini bagaimana sih? Memangnya kesulitan yang kita dapatkan sepanjang jalan masih kurang banyak, lalu kau sekarang malah ingin mengasongkan dirimu sendiri ke rumah orang?"

Lu Sin Kong tertawa panjang. "Hujin, apakah kau ketakutan karena digertak oleh orang-orang itu? Sejak meninggalkan kota Lam Cong, entah sudah berapa banyak jago-jago yang kita temui, apakah kita sempat terluka sedikit pun juga?"

Sebun It Nio ikut tertawa. "Apa yang kau katakan memang benar."

Kedua orang itu segera menyusuri jalan menuju sinar itu. Belum seberapa jauh mereka berjalan, terlihat bahwa sinar itu ada empat titik. Mereka terus berjalan ke depan. Terlihat di dalam keremangan malam ada tujuh delapan rumah yang berderet menjadi satu. Semuanya dibangun dengan batu besar yang kokoh. Di bagian tengah terdapat sebuah pintu besar berwarna hitam pekat. Keempat sinar yang mereka lihat tadi terbit dari empat buah lentera yang tergantung di atas pintu.

Lentera-lentera itu besar sekali, sepertinya terbuat dari emas, dan bentuknya aneh sekali. Sampai sekian lama mereka memperhatikan, tapi tetap tidak dapat menerka bentuknya seperti apa. Tiba-tiba serangkum angin kencang berhembus, membuat lentera-lentera berputaran beberapa kali. Saat itulah Lu Sin Kong dan Sebun It Nio baru bisa melihat bentuk lentera tersebut dengan jelas. Rupanya model lentera itu dibuat menuruti bentuk tengkorak kepala yang besar sekali. Hati Sebun It Nio bergidik seketika.

"Tidak disangka-sangka kita malah keliru menerobos ke sana ke mari, akhirnya ke tempat tinggalnya Kim Kut Lau," katanya.

Lu Sin Kong juga tertawa getir. "Benar-benar kebetulan sekali. Keempat lentera ini tampaknya baru dinyalakan. Mungkinkah Kim Kut Lau-nya sendiri sudah pulang?"

Sebun It Nio merenung sejenak. "Rasanya belum. Kalau dia sudah pulang, masa kita tidak ketemu dengannya?"

"Hujin, ingatkah kau, tadi Kim Kut Lau mengatakan bahwa kotak yang kita bawa ini kemungkinanberhubungan dengannya? Tadinya kita masih belum sadar bahwa diri kita telah diperalat orang sehingga kita tidak memberitahukan kepadanya bahwa kotak ini sebenarnya kosong. Kalau dipikir-pikir, si Ki Hok itu memang keterlaluan. Kenapa kita tidak membalasnya? Tidak peduli Kim Kut Lau ada atau tidak, kita ketuk saja pintunya dan numpang menginap satu malam," kata Lu Sin Kong.

Sebun It Nio tertawa dingin. "Betul. Kita gunakan cara ‘senjata makan tuan’," sahutnya.

Sembari berbicara, mereka berjalan menuju pintu besar itu. Belum sempat keduanya mengetuk pintu, dari dalam terdengar suara lembut pertanyaan seorang gadis. "Siapa yang datang?"

Hati Lu Sin Kong dan Sebun It Nio tercekat. Keduanya berpikir, meski pun mereka tidak sempat meringankan langkah kaki, tapi orang di dalam rumah bisa tahu kedatangan mereka, sebenarnya bukan hal yang mudah! Hal ini membuktikan bahwa pendengaran gadis itu tajam sekali.

Sebun It Nio segera melirik kepada Lu Sin Kong kemudian berkata, "Kami kebetulan lewat di tempat ini, mohon dapat menginap barang semalaman saja."

Untuk beberapa saat tidak terdengar suara gadis itu. Mungkin ia sedang ragu-ragu. Namun akhirnya terdengar dia menyahut, "Kalian bisa muncul di tempat ini tentunya kalian juga orang-orang dari dunia bu-lim. Mengapa kalian tidak bermalam di tempat lain atau meneruskan perjalanan saja? Kenapa harus datang ke sini untuk mencari kesulitan?"

Mendengar nada suaranya yang lembut dan nyaring, Lu Sin Kong dan Sebun It Nio menaksir usia gadis itu pasti masih muda sekali. Dalam hati mereka berpikir, selamanya Kim Kut Lau terkenal suka malang melintang seorang diri, tidak pernah terdengar berita bahwa dia mempunyai kekasih atau istri. Mungkinkah tempat ini bukan kediaman Kim Kut Lau? Kalau dibilang bukan, kenapa di atas pintunya ada lentera berbentuk tengkorak kepala manusia?

Sebun It Nio merenung sejenak, kemudian dia bertanya, "Apakah karena tuan rumahnya sedang tidak ada, maka kau merasa tidak leluasa untuk menerima tamu?"

Nada suara gadis itu seakan terkejut sekali, "Aih, bagaimana kau bisa tahu bahwa tuan rumah sedang tidak ada?"

Di saat berbicara, dari dalam pintu terdengar suara gemerincing yang tidak henti-hentinya. Tidak lama kemudian suara itu sudah sampai di dekat mereka, yang disusul satu suara berderak.

“Kreakkk...!” Pintu besar itu telah terbuka.

Sebun It Nio cepat-cepat menjulurkan tangannya untuk mendorong pintu itu. Setelah diperhatikan sekejap, dia pun tertegun. Rupanya orang yang membuka pintu itu memang seorang gadis yang masih muda sekali. Rambutnya yang panjang terurai sampai ke bahu. Alisnya melengkung seperti bulan sabit, hidungnya mancung, bibirnya mungil. Cantiknya sampai sulit dilukiskan dengan kata-kata. Namun, pakaian yang dikenakannya sudah lusuh sekali, bahkan ada beberapa bagian yang sudah koyak, sehingga lengan kirinya terlihat dari luar. Kulitnya putih mulus, tapi banyak guratan garis
berwarna merah, seakan-akan pernah dicambuk dengan keras. Semua ini masih tidak mengherankan. Yang paling aneh justru di pergelangan tangannya diborgol oleh seutas rantai besi yang tebal. Rantai itu panjangnya mencapai empat depaan, terus menjuntai ke dalam dan terikat pada sebuah tiang besar di ruangan.

Sebun It Nio tertegun sesaat. Dia tidak bisa menerka asal-usul gadis itu. Begitu melihat mereka berdua, wajah gadis itu langsung berubah berseri-seri. Gadis itu menyembulkan kepalanya ke luar untuk melihat ke sekeliling, lalu bertanya dengan suara rendah, "Apakah kalian berdua suami istri Lu Cong Piau Tau dan Lu Hujin dari kota Lam Cong? Cepat masuk ke dalam!"

Kedua orang itu dapat melihat bahwa rantai yang memborgol kedua tangan gadis itu tidak seberapa panjang, paling-paling dia bisa berjalan sampai depan pintu untuk menyalakan lentera-lentera di atasnya. Tapi sekali bicara saja dia sudah dapat menebak asal-usul mereka, tentu saja mereka merasa heran. Untuk sesaat keduanya merasa bimbang.

Terdengar gadis itu berkata pula, "Kalian berdua tidak perlu khawatir, aku tidak bermaksud jahat!"

Sebun It Nio menjulurkan tangan untuk membelai-belai kepala gadis itu, sekilas bibirnya
menyunggingkan senyuman. "Kalau pun kau bermaksud jahat, kami juga tidak takut. Bagaimana kau bisa tahu nama kami, apakah Kim Kut Lau yang mengatakannya?"

Mendengar nama ‘Kim Kut Lau’, rnimik wajah gadis itu langsung berubah ketakutan, "Di mana dia?" tanyanya dengan nada bergetar.

Melihat gadis itu begitu cantik, dan sikapnya penurut, Sebun It Nio membayangkan bahwa gadis itu pasti setiap hari merasakan siksaan Kim Kut Lau. Maka timbul rasa kasihan dan sayang dalam hatinya. "Dia sedang bertarung melawan si Dewa Gemuk Yu Lao Pun di tepi sungai, untuk sementara pasti tidak bisa diselesaikan. Meski pun dia pulang, tidak ada yang perlu ditakuti!"

Wajah gadis itu menyiratkan perasaannya yang agak lega. Dia mempersilakan kedua orang itu masuk, setelah itu merapatkan pintunya kembali. Di saat bergerak, rantai tangannya tidak hentinya mengeluarkan suara gemerincing. Mereka masuk ke dalam rumah. Lu Sin Kong dan Sebun It Nio dapat melihat dekorasi di dalamnya yang sederhana sekali. Bahkan meja dan kursinya juga terbuat dari kayu biasa. Justru tiang tempat mengikat rantai besi di tangan gadis itu yang terbuat dari baja murni. Tanpa sungkan-sungkan lagi Lu Sin Kong dan Sebun It Nio duduk di atas kursi.

"Aku mempunyai sebuah permintaan, entah kalian dapat mengabulkannya apa tidak?" tanya gadis itu.

"Ada apa, katakan saja!" sahut Sebun It Nio.

Gadis itu tampak bimbang sejenak, namun akhirnya berkata juga, "Ayahku tidak tahu sama sekali bahwa aku ditangkap oleh Kim Kut Lau lalu ditahan di sini. Seandainya kalian bersedia memberitahukan kepada ayahku agar beliau bisa datang memberikan pertolongan, untuk selamanya aku tidak akan lupa budi ini."

"Siapa ayahmu?" tanya Lu Sin Kong.

Gadis itu menarik nafas panjang. "Kalian toh akan ke Su Cou. Sesampainya di sana, kalau bisa mampir sebentar di Kiam Si, maka kalian bisa bertemu dengannya," sahutnya.

Lu Sin Kong tertawa sumbang. "Telaga Kiam Si di Hou Yok merupakan tempat yang sangat terkenal di luar kota Su Cou. Orang yang melancong di sana tidak terhitung jumlahnya, bagaimana kami bisa tahu yang mana ayahmu?"

"Kalian tunggu sebentar!" kata gadis itu sembari berjalan menuju sebuah pintu yang terletak di sebelah kiri, lalu masuk ke dalamnya.

Lu Sin Kong dan Sebun It Nio melihat rantai besi di tangannya tertarik sampai habis. Berat rantai itu mungkin mencapai empat lima ratus kati, tapi gadis itu bisa menggondolnya sambil berjalan ke sana ke mari. Hal ini membuktikan bahwa tenaga dalamnya sudah mencapai taraf yang cukup tinggi. Di saat keduanya sedang berpikir, gadis itu berjalan keluar kembali dengan sebuah bungkusan di kedua tangannya.

"Setelah sampai di telaga Kiam Si, harap kalian buka bungkusan ini, ayahku pasti akan datang menemui kalian," katanya.

Sebun It Nio menyambut bungkusan itu, yang ternyata berat sekali. "Apakah ayahmu selalu ada di sekitar telaga itu?" tanyanya.

"Betul," sahut gadis itu.

"Apa sebetulnya isi bungkusan ini?" tanya Sebun It Nio sambil mengulurkan tangannya dengan maksud membuka bungkusan itu.

"Lu Hujin, sebelum sampai di telaga Kiam Si, jangan sekali-sekali kalian buka bungkusan itu," cegah gadis itu.

Mendengar kata-katanya, hati Sebun It Nio langsung merasa kurang senang. Maka dia menoleh kepada Lu Sin Kong sambil berkata, "Bagus sekali! Kita menerima suatu barang untuk dikawal, tapi isinya kita tidak boleh tahu. Sekarang kita menerima permintaan orang untuk mencari bantuan, barang yang dititipkan juga tidak boleh dilihat!"

Sebetulnya hati Lu Sin Kong juga kurang puas mendapat perlakuan seperti itu. Tapi ketika dia menolehkan kepalanya, dilihatnya mimik wajah gadis itu menunjukkan kecemasan yang tidak terkira. Tangannya menjulur untuk mengambil kembali bungkusan itu, namun sepertinya ragu-ragu, mungkin takut Sebun It Nio akan tersinggung.

Lu Sin Kong merasa iba melihatnya. Setelah memperhatikan sejenak, dia tersenyum, "Hujin, usianya masih muda, tindakannya tentu saja tidak dapat disamakan dengan orang dewasa, kenapa kau harus perhitungan dengannya? Kembalikan saja bungkusan itu kepadanya!"

Mimik wajah gadis itu bertambah cemas, bahkan air matanya sudah mengembang. "Apakah kalian berdua tidak sudi menolong sama sekali?" tanyanya panik.

Lu Sin Kong tertawa. "Kau meminta kami menemui ayahmu, tujuannya agar dia bisa datang ke mari menolongmu bukan?"

Dengan air mata menetes, gadis itu menganggukkan kepalanya.

"Itu dia! Kalau sekarang kami membebaskanmu, kan sama saja?" kata Lu Sin Kong.

Mimik wajah gadis itu menyiratkan perasaan kurang percaya. "Kalian berdua sudi menyampaikan keadaanku ini kepada ayahku saja, aku sudah berterima-kasih sekali. Aku tidak berani mengharap kalian berdua memikul bahaya sebesar ini."

"Kalau kami menolongmu, paling-paling menambah perselisihan dengan Kim Kut Lau. Apanya yang harus ditakutkan?" kata Lu Sin Kong.

Gadis itu seakan ingin mengatakan sesuatu namun dibatalkannya. Maka Sebun It Nio langsung menukas, "Mengharap kami menolongmu sebetulnya tidak sulit, asal kau mau mengatakan dengan terus terang, siapa namamu, siapa nama ayahmu!"

"Ayah bernama Tam Sen, aku bernama Tam Goat Hua," sahut gadis itu.

Sebun It Nio merasa bahwa di dunia bu-lim tidak ada tokoh yang bernama Tam Sen, apalagi nama Tam Goat Hua, dia belum pernah mendengarnya sekali pun. Tapi mimik wajah gadis itu menunjukkan bahwa dia tidak berbohong, maka dia bertanya, "Ayahmu pasti tokoh bu-lim juga. Bolehkah kami tahu dia berasal dari partai atau perguruan apa?"

"Harap Lu Hujin maafkan, ayahku dari partai atau perguruan mana, aku sendiri tidak tahu," sahut Tam Goat Hua.

Dalam hati Sebun It Nio berpikir, mengapa dalam beberapa hari ini, urusan seaneh apa pun pernah mereka temui. Masa ada puteri sendiri yang tidak tahu asal-usul partai atau perguruan ayahnya? Baru saja dia ingin bertanya lagi, tiba-tiba Lu Sin Kong mengeluarkan siulan panjang, jari tangannya mengirimkan sebuah totokan ke dada Tam Goat Hua.

Gadis itu memandangnya dengan mata terbelalak, namun tidak bisa bergerak sedikit pun. Serangan yang dilakukan oleh Lu Sin Kong sebenarnya hanya untuk menyelidiki asal-usul gadis itu. Tidak tahunya Tam Goat Hua tidak bergerak sama sekali. Dalam hati Lu Sin Kong berpikir, ketenangan Tam Goat Hua dalam menghadapi lawan sudah mencapai taraf air muka tak berubah walau gunung runtuh di hadapannya.

Dalam hatinya sudah tahu, gadis itu amat cerdik dan banyak akalnya. Dia juga berpikir tidak peduli gadis itu dari golongan lurus atau dari golongan sesat, yang jelas Kim Kut Lau bukan orang baik. Gadis itu berada di tempat ini, sekujur badan pun terdapat bekas cambukan. Kini dia bertemu dengannya, kenapa tidak menolongnya?

Lu Sin Kong tersenyum seraya berkata, "Nona Tam, legakanlah hatimu! Kami sudah bilang bersedia menolongmu, tentunya kami pun sudah siap menghadapi resikonya."

"Kalau begitu...," ucap Tam Goat Hua. "Aku amat berterima-kasih sekali."

Tiba-tiba Lu Sin Kong mengerutkan kening. Ternyata dia melihat lengan gadis itu pun diborgol dengan besi tebal. Kecuali dengan pedang pusaka, barulah dapat memutuskan borgol itu. Lagi-pula, walau punya pedang pusaka, juga harus berhati-hati memutuskan borgol tersebut. Sebab kalau tidak, lengannya pun akan putus terbacok. Itu membuat Lu Sin Kong membungkam, dan tanpa sadar dia pun menggeleng-gelengkan kepala.

"Borgol di lengan itu tidak dapat diputuskan," kata Sebun It Nio dan menambahkan, "Kenapa kita tidak memutuskan rantai besi itu saja?"

Perkataan itu menyadarkan Lu Sin Kong. Maka, dia memandang rantai besi itu seraya berkata, "Hujin, ambilkan golok Leng-ji!"

Sebun It Nio tahu bahwa golok milik putranya amat tajam. Kalau menggunakannya disertai dengan tenaga dalam, tentunya tidak sulit memutuskan rantai besi itu. Dia mengangguk, kemudian merogoh ke dalam bajunya dan terdengar suara ‘Cring’, golok tersebut sudah berada di tangannya.

Begitu golok itu berada di tangan Sebun It Nio, mendadak Tam Goat Hua berseru tak tertahan. "Haah? Golok ini?" Namun kemudian gadis tersebut diam, tidak melanjutkannya.

Hal itu membuat Sebun It Nio merasa heran. "Kenapa golok ini?" tanyanya.

"Golok ini...," sahut Tam Goat Hua agak tersendat-sendat, "dapatkah... memutuskan besi?"

Sebun It Nio tahu bahwa apa yang akan dikatakan Tam Goat Hua, bukanlah perkataan tersebut. Golok itu diketemukan di luar kota Lam Cong ratusan mil jauhnya, itu betul-betul merupakan suatu teka-teki.

Namun dapat dipastikan bahwa golok itu pasti erat hubungannya dengan orang yang mencelakai Lu Leng. Oleh karena itu, bagaimana mungkin Sebun lt Nio begitu gampang melepaskan. "Kau pernah melihat golok ini?" tanyanya lagi.

Tam Goat Hua tidak menyahut.

Sebun It Nio menatapnya tajam, kemudian berkata, "Kalau kau mengharapkan pertolongan kami, haruslah berkata sejujurnya!"

Wajah Tam Goat Hua kemerah-merahan, lalu ia menundukkan kepala.

Saat ini, Lu Sin Kong juga dapat melihat akan keanehan urusan itu. Maka dia segera berkata, "Nona Tam, terus terang sebetulnya golok ini milik putraku, tapi...."

Sebelum Lu Sin Kong menyelesaikan ucapannya, Sebun It Nio sudah memelototinya. Lu Sin Kong tahu bahwa istrinya melarangnya membocorkan tentang musibah tersebut, agar orang luar tidak mengetahuinya. Akhirnya dia menghela nafas panjang seraya berkata, "Tentunya dulu kau tidak pernah melihat golok ini. Kalau belum lama ini kau pernah melihat golok ini, biar bagaimana pun harap kau sudi menutur tentang kejadiannya itu, lebih baik sejelas-jelasnya!"

Seusai Lu Sin Kong berkata, Tam Goat Hua memberitahukan. "Tiga hari yang lalu, aku memang pernah melihat golok ini."

Tersentak hati Sebun It Nio mendengar ucapan itu. "Ketika itu, golok ini berada di tangan siapa?" tanyanya.

"Aku tidak melihat dengan jelas," sahut Tam Goat Hua.

"Tiga hari yang lalu, ketika Kim Kut Lau mencambuki diriku, dia pun memaksaku menceritakan suatu urusan. Dalam kurun waktu setengah tahun ini, dia mengurung diriku di sini dan setiap hari menyiksaku, tujuannya memaksaku menceritakan rahasia itu, namun aku tidak mau...."

"Cepatlah kau ceritakan tentang golok ini!" desak Sebun It Nio.

Tam Goat Hua mengangguk, kemudian berkata. "Ketika itu hari sudah menjelang malam, mendadak di luar terdengar suara yang amat lirih. Tak seberapa lama kemudian terdengar pula suara seseorang di luar.
‘Saudara Chiang ada?’
Begitu mendengar suara itu, Kim Kut Lau segera menyeretku ke ruang sebelah, sekaligus menutup pintu ruang itu. Tak lama, aku mendengar suara langkah masuk ke dalam. Karena merasa heran, aku mengintip melalui celah-celah daun pintu. Dalam kegelapan tampak Kim Kut Lau bercakap-cakap dengan seseorang. Barulah aku tahu bahwa orang itu kaum rimba persilatan, dan aku pun tahu bahwa Kim Kut Lau bermarga Chiang."

"Lalu siapa orang itu?" tanya Lu Sin Kong.

"Aku tidak melihat wajahnya," sahut Tam Goat Hua. "Hanya melihat punggungnya. Mereka berdua bercakap-cakap dengan suara rendah, maka aku tidak dapat mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan. Di saat bersamaan, mendadak terdengar suara harpa...."

Mendengar sampai di situ, Lu Sin Kong dan Sebun It Nio nyaris meloncat saking terkejutnya. "Suara harpa?"

Terbelalak Tam Goat Hua memandang mereka. Gadis itu merasa heran kenapa suami istri itu tampak begitu terkejut? Kemudian ia manggut-manggut dan melanjutkan, "Memang suara harpa. Suara itu begitu lembut menggetarkan. Kim Kut Lau dan orang itu bangkit berdiri serentak. Saat itu, barulah kulihat wajah orang tersebut. Pakaiannya mewah tapi dandanannya mirip pengurus rumah."

Tersentak lagi hati Lu Sin Kong dan membatin, mungkinkah Ki Hok?

Sedangkan Tam Goat Hua melanjutkan. "Suara harpa masuk ke dalam rumah. Aku ingin melihat orangnya, tapi tidak terlihat jelas. Hanya tampak cahaya golok berkelebat, yakni golok ini."

Sebun It Nio segera bertanya, "Siapa yang memegang golok ini?"

Tam Goat Hua berpikir sejenak. "Aku pikir pasti pemetik harpa itu, sebab sebelah tangannya terdapat enam jari," jawabnya kemudian.

Sebun It Nio langsung mencaci sengit. "Jahanam!"

"Aku pernah dengar...," kata Tam Goat Hua. "Liok Ci Siansing dari gunung Bu Yi San Hok Kian, paling gemar main harpa. Aku kira dialah orangnya."

Sebun It Nio berkeretak gigi seraya berkata, "Tentu dia! Selain dia siapa lagi?"

"Setelah cahaya golok itu sirna...," lanjut Tam Goat Hua, "Mereka bertiga bercakap-cakap dengan suara rendah, maka aku tidak mendengar jelas percakapan mereka. Kemudian Kim Kut Lau mengantar tamu-tamu itu ke luar. Setelah itu, dia menyeretku ke luar pula, dan bertanya padaku apakah aku tadi mencuri melihat. Tentunya aku menjawab tidak, barulah dia melepaskanku."

"Terima-kasih kau telah menutur tentang itu kepadaku," ucap Sebun It Nio dan mendadak dia mengayunkan tangannya.

"Cring!" Ternyata dia mulai memotong rantai besi dengan golok yang dipegangnya. Putuslah rantai itu, namun masih tersisa di lengan Tam Goat Hua. Gadis itu mengibaskan lengannya sehingga terdengar suara menderu dan....

"Plak!" Sisa rantai besi di lengannya menghantam ujung meja batu, sehingga membuat ujung meja batu itu hancur lebur.

Tam Goat Hua tertawa gembira. "Bagus! Sisa rantai besi di lenganku ini menjadi semacam senjata istimewa. Lu Hujin, tolong potong rantai besi yang di lengan kiriku!"

Lu Sin Kong tahu, bahwa golok itu bukan golok pusaka yang dapat memotong besi. Kalau ingin memotong rantai besi itu, haruslah menggunakan lweekang. Oleh karena itu, dia berkata pada istrinya. "Hujin, berikan golok itu kepadaku!"

Sebun It Nio mengangguk, lalu menyerahkan golok itu kepada suaminya. Setelah menerima golok itu, Lu Sin Kong mengerahkan lweekangnya, lalu menebas rantai besi itu.

"Cring!"

Putuslah rantai besi itu, tapi tetap tersisa seperti yang di lengan kanan gadis itu. Terdengar suara seruan gembira, kemudian Tam Goat Hua menjatuhkan diri berlutut di hadapan kedua orang itu. "Terima-kasih atas pertolongan kalian berdua!" ucapnya. "Biar bagaimana pun, aku tidak akan bilang kalian berdua yang menolongku, kalian berdua boleh berlega hati!"

Lu Sin Kong tersenyum. "Orang gagah bertanggung jawab atas perbuatannya. Kau bilang pun kami tidak takut!"

Bibir Tam Goat Hua tampak bergerak sedikit. Sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak dicetuskannya, melainkan berkata, "Apakah kalian berdua masih mau bermalam di sini?"

"Tidak salah," sahut Lu Sin Kong.

"Lweekang kalian berdua sungguh tinggi, tentunya tidak takut pada Kim Kut Lau," kata Tam Goat Hua. "Tapi tahukah kalian berdua, siapa guru Kim Kut Lau?"

Lu Sin Kong dan Sebun It Nio tertegun. Mereka saling memandang dan kemudian menggelengkan kepala. "Tidak tahu!" jawab mereka hampir serentak.

"Ketika aku baru berada di sini," kata Tam Goat Hua. "Kim Kut Lau masih belum merantai diriku, hanya mengurungku di dalam rumah, aku bisa berjalan ke sana ke mari dan tanpa sengaja... aku menemukan rahasia perguruannya. Mari kalian berdua ikut aku melihat-lihat."

Lu Sin Kong baru mau bangkit berdiri, tapi mendadak melihat air muka Sebun It Nio agak aneh, dan itu membuatnya menjadi tertegun. "Ada orang ke mari!"

Wajah Tam Goat Hua langsung berubah. la langsung menyambar bungkusan itu dan cepat-cepat masuk ke dalam. Tak lama kemudian, Lu Sin Kong mendegar suara langkah kaki yang tergesa-gesa. Mereka berdua saling memandang, lalu bangkit berdiri.
Sebelum mereka bersembunyi, sudah terdengar suara keras.

"Blamm...!", tampak sosok bayangan menerobos ke dalam, yang tidak lain adalah Kim Kut Lau. Wajah orang itu pucat pasi. Begitu sampai di dalam rumah, dia langsung duduk tanpa menghiraukan Lu Sin Kong dan Sebun It Nio. Kim Kut Lau perlahan-lahan mendongakkan kepala. Ketika melihat rantai besi yang telah putus itu, wajahnya bertambah pucat menakutkan.

"Ka... kalian melepaskannya?"

Menyaksikan keadaan Kim Kut Lau, Lu Sin Kong tahu bahwa Kim Kut Lau terluka parah. Maka rasa permusuhannya menjadi berkurang.

"Tidak salah!"

"Uaaakh!" Mendadak mulut Kim Kut Lau menyemburkan darah segar. Dia menuding Lu Sin Kong dengan tangan bergemetar. "Kalian.... kalian kenapa begitu ceroboh?"

Lu Sin Kong tahu, pasti ada sebabnya Kim Kut Lau berkata begitu. "Sebetulnya siapa gadis itu?" tanyanya segera.

Kim Kut Lau menghela nafas panjang. "Dia bermarga Tam...," berkata sampai di sini, Kim Kut Lau menggoyang-goyangkan tangannya. "Dia sudah pergi, untuk apa mengungkitnya lagi? Kalian boleh meninggalkan rurnah ini!"

"Tidak bisa!" sahut Sebun It Nio. "Kami masih ingin bertanya, pernahkah kau melihat golok ini?"

Air muka Kim Kut Lau berubah dan tampak terkejut. "Eh? Kenapa golok ini bisa berada di tangan kalian?"

Sebun It Nio tertawa dingin. "Ketika kau melihat golok ini...," tanya Sebun it Nio sambil menatapnya tajam. "Golok ini berada di tangan siapa?"

Kim Kut Lau bangkit seraya menyahut, "Liok...Ci.... Liok Ci...."

Hanya mencetuskan empat perkataan, mendadak badannya sempoyongan, lalu jatuh gedebukan di lantai. Lu Sin Kong segera mengarah padanya, ternyata Kim Kut Lau telah pingsan, bahkan nafasnya pun amat lemah sekali, kelihatannya sudah sulit ditolong. Lu Sin Kong menoleh ke arah Sebun It Nio. Dilihatnya istrinya termangu-mangu di tempat dan wajahnya menghijau.

"Hujin, siapa musuh kita kini sudah jelas. Kita harus cepat-cepat rnengantar kotak kayu itu, lalu rnelaksanakannya sesuai rencana."

Sebun It Nio mengeluarkan suara siulan panjang, sekaligus menyimpan golok itu, kemudian melanjutkan perjalanan di malam hari bersama Lu Sin Kong. Ketika hari mulai terang, mereka berdua sudah keluar dari Sai Thian Bok. Jalan yang mereka lalui mulai rata, maka dengan mudah mereka mempercepat langkah masing-masing. Tak beberapa lama, mereka sudah berada di luar belasan mil dan hari pun sudah terang.

Di saat mereka sampai di depan sebuah rimba, mendadak terdengar suara jeritan yang menyayat hati di dalam rimba itu, menyusul tampak tubuh seorang lelaki terpental ke luar dari dalam rimba tersebut. Begitu menyentuh tanah, lelaki itu binasa. Sebun It Nio menghampirinya, dan seketika juga dia berteriak kaget.

"Hah! Ini adalah Thian Hiang Tong Tongcu Hoa San bernama Sou Tai Hok!"

Dia mendongakkan kepala. Tampak beberapa sosok bayangan berkelebatan di dalam rimba, ternyata beberapa orang sedang bertarung dengan sengit. Mereka berdua, sesungguhnya tidak mau banyak urusan. Lagi-pula pertarungan antara kaum rimba persilatan merupakan hal yang biasa. Tapi setelah mereka memperhatikan dengan cermat, terlihat empat orang mengurung seseorang. Orang yang dikurung itu bersenjata aneh, yakni sepasang rantai besi yang melekat di lengannya. Kini mereka berdua baru tahu, bahwa orang yang dikurung itu, tidak lain adalah Tam Goat Hua.

Hati Lu Sin Kong tergerak. Dia memandang istrinya seraya berkata, "Hujin, ketika Kim Kut Lau mengetahui kita melepaskan gadis itu, lukanya menjadi bertambah parah. Itu membuktikan bahwa gadis tersebut punya asal-usul yang luar biasa. Kita lihat bagaimana kepandaiannya, tapi kita jangan memperlihatkan diri, dan setelah menyaksikannya kita langsung pergi. Bagaimana?"

Sesungguhnya dalam hati Sebun It Nio, sudah tirnbul kecurigaan mengenai asal-usul Tam Goat Hua, maka dia manggut-manggut. Mereka berdua mendekati rimba itu, lalu bersembunyi di balik sebuah pohon dan mengintip.

Sebun It Nio terkejut dan berkata, "Ilmu silat gadis itu jauh di atas perkiraan kita. Keempat orang yang mengurungnya, semuanya adalah anggota Hoa San Pai Cap Jie Tongcu."

Kedudukan ketua Hoa San Pai Liat Hwe Cousu amat tinggi dalam rimba persilatan, lweekang-nya pun tinggi sekali. Namun karena sudah tua maka ia jarang berkecimpung di rimba persilatan lagi. Reputasi Hoa San Pai sudah tersohor sampai ke mana-mana. Sedangkan ke dua belas tongcu-nya juga berkepandaian tinggi dan tergolong jago tinggi dalam rimba persilatan. Kalau ada yang menyiarkan berita bahwa keempat tongcu Hoa San pai mengeroyok seorang gadis namun masih tidak dapat berada di atas angin, tentunya tiada seorang pun akan percaya.

Begitu pula Lu Sin Kong, seandainya tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, dia pun tidak akan percaya. Dia terus memperhatikan pertarungan itu. Tampak sepasang telapak tangan Tam Goat Hua berkelebatan ke sana ke mari dan amat aneh pula gerakannya. Jelas gadis itu menggunakan semacam ilmu pukulan, tapi ada sepasang rantai besi melekat di lengannya, sehingga kelihatan seperti menggunakan senjata. Justru karena itu, maka sulit sekali bagi lawan menjaga setiap serangannya, dan itu membuat wajah keempat tongcu Hoa San Pai menjadi tegang. Sedangkan wajah gadis itu tetap tampak tenang dan berseri-seri.

Tak beberapa lama kemudian, tampak Tam Goat Hua melengkungkan lengannya, lalu menyerang salah seorang lawannya, sehingga menimbulkan suara.

"Cring!" Ternyata Tam Goat Hua mengibaskan tangannya, sekaligus memajukan badannya. Pukulan yang dilancarkannya mendarat telak di dada orang itu, membuat orang itu menjerit dan terpental jauh sekali. Ketiga orang lainnya, langsung mundur serentak.

Tam Goat Hua tertawa. "Hihihi! Bagaimana? Tak mau bertarung lagi?" tanya Tam Goat Hua sambil tertawa.

Salah seorang dari mereka sudah berusia agak lanjut, namun masih tampak gagah sekali. "Anak gadis! Kau dari perguruan mana?" bentak orang itu.

Tam Goat Hua tertawa seraya berkata, "Melawanku saja kau tak sanggup, untuk apa menanyakan perguruanku? Kalian bertiga lebih baik segera kembali ke gunung Hoa San! Jangan coba-coba atau bermimpi ingin pergi mencari Lu Sin Kong, maka aku akan melepaskan kalian! Kalau kalian ingin mengundang Liat Hwe Cousu membalas dendam ini, silakan ke Su Cou! Kami ayah dan anak amat senang akan menunggu di sana, maka masih akan tinggal di sana untuk beberapa bulan!"

Begitu Lu Sin Kong dan Sebun It Nio mendengar itu, tentunya dapat menduga sebab musabab pertarungan tersebut.

Karena Lu Sin Kong pernah melukai Te Hio Hio Cu dari Hoa San Pai, maka Hoa San Pai mengutus beberapa jago untuk menangkapnya. Kelima orang itu mungkin sedang berunding di dalam rimba, justru kepergok oleh Tam Goat Hua sehingga terjadi pertarungan, sebab gadis itu merasa berhutang budi kepada Lu Sin Kong dan istrinya.

Mereka berdua berpikir lama sekali, kemudian Sebun It Nio berbisik di telinga suaminya. "Kau dapat melihat ilmu pukulan itu, berasal dari perguruan mana?"

Lu Sin Kong menggelengkan kepala. "Sungguh memalukan, aku tidak mengenali ilmu pukulan itu!"

"Aku pun tidak mengenali ilmu pukulan itu," kata Sebun It Nio. "Tapi kalau diperhatikan dengan seksama, ilmu pukulan itu amat aneh dan sulit diduga gerakan-gerakannya."

"Tidak salah," sahut Lu Sin Kong. "Ilmu pukulan itu seharusnya sudah terkenal dalam rimba persilatan, tapi kita malah tidak mengenalinya."

Di saat mereka sedang berbisik-bisik, terdengar suara bentakan orang tua Hoa San Pai itu. "Kalau begitu, Nona harus meninggalkan nama!"

Tam Goat Hua tersenyum simpul. "Margaku Tam, namaku Goat Hua!" sahut gadis itu. “Ayahku bernama Tam Sen, sudah ingat?"

"Hm!" dengus orang tua Hoa San Pai itu. "Baik, gunung takkan berubah, air sungai terus mengalir, kita akan berjumpa kelak!"

Orang tua Hoa San Pai itu melesat pergi. Yang lain segera mengikutinya. Mereka sama sekali tidak mempedulikan mayat teman mereka itu. Setelah mereka pergi, wajah Tam Goat Hua tampak berseri dan menyiratkan puas. Gadis itu bersenandung sambil melangkah ke luar rimba. Kelihatannya dia menyerupai anak gadis yang belum tahu apa-apa dan berhati polos, tapi tak disangka, tadi kedua Hiang Cu Hoa San Pai, justru mati di tangannya.

Lu Sin Kong ingin memunculkan diri menemui anak gadis itu, tapi dicegah oleh Sebun It Nio. Setelah Tam Goat Hua tidak kelihatan, barulah Sebun It Nio berkata, "Anak gadis itu masih muda, tapi ilmu silatnya di atas kita. Sebelum tahu jelas asal-usulnya, lebih baik kita jangan mendekatinya!"

"Justru kepandaiannya begitu tinggi," sahut Lu Sin Kong. "Maka aku berpikir ingin minta bantuannya."

"Kalau dia punya hubungan dengan pihak Liok Ci Siansiang, bukankah kita yang akan masuk perangkap?" kata Sebun It Nio.

"Tam Sen! Tam Sen...," gumam Lu Sin Kong menyebut nama tersebut berulang kali, namun tetap tidak ingat akan orang tersebut.

Memang banyak jago dalam rimba persilatan, tapi nama itu justru tidak diketahui orang. Seperti halnya Liok Ci Siansiang, Tiat Cit Siong Jin, Liat Hwe Cousu dan Kim Kut Lau, siapa yang tidak tahu nama mereka? Akan tetapi sebaliknya Tam Sen, siapa dia? Mungkin gadis tersebut sengaja merahasiakan julukan ayahnya. Kalau tidak, tentunya ada alasan lainnya untuk dijelaskan. Oleh karena itu, timbulnya kecurigaan Sebun It Nio, memang masuk diakal.

Setelah merapikan pakaian, mereka melanjutkan perjalanan. Ketika hari mulai menjelang malam, tibalah mereka di sebuah kota, lalu bermalam di penginapan. Mereka tidak menemui kejadian apa pun. Keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan lagi. Di saat hari mulai senja, mereka sudah tiba di luar pintu kota Su Cou. Lu Sin Kong dan Sebun It Nio, sudah lama berkecimpung dalam rimba persilatan. Sedangkan si Pecut Emas-Han Sun, jauh di daerah Hun Lam. Karena itu mereka tidak pernah bertemu muka.

Mereka berdua memasuki pintu kota itu, dan yakin dapat mencari alamat rumah Kim Pian Han Sun, karena penduduk setempat pasti tahu rumahnya. Berjalan tak beberapa lama, tampak sebuah Piau Kiok (Perusahaan Ekspedisi). Ketika Lu Sin Kong baru mau menuju ke perusahaan itu untuk menanyakan alamat rumah Han Sun, mendadak muncul dua orang dari sebuah tikungan jalan. Mereka berpakaian ringkas dan terlihat sebuah pecut bergemerlapan melingkar di pinggang mereka.

Kedua orang itu mengamati Lu Sin Kong dan Sebun It Nio, kemudian menjura seraya berkata, "Kalian berdua dari Lam Cong mengantar barang ke mari, guru kami sudah menunggu beberapa hari."

Sebun It Nio menatap mereka dan bertanya. "Guru kalian...."

Kedua orang itu menunjuk pecut yang melingkar di pinggang masing-masing, lalu salah seorang dari mereka menyahut, "Guru kami adalah Kim Pian Teng Kian Kun (Si Pecut Emas Menggetarkan Jagat), beliau bernama Han Sun."

Mendengar ucapan itu, Lu Sin Kong dan Sebun It Nio bergirang dalam hati, sebab mereka berdua tidak usah repot-repot mencari alamat rumah Han Sun.

"Harap kalian menunjukkan jalan!"

Kedua orang itu mengangguk, lalu berjalan. Lu Sin Kong dan Sebun It Nio mengikuti mereka dari arah belakang. Agak mengherankan karena kedua orang itu melalui jalan kecil yang sepi. Setelah menikung ke sana ke mari, tak lama kemudian sampailah di depan pintu rumah. Rumah itu sungguh besar sekali. Di depan pintunya terdapat dua buah singa batu dan dipinggirnya terlihat dua orang berdiri berjaga2. Dua orang itu juga berpakaian ringkas dengan sebuah pecut melingkar di pinggang.

Kedua penunjuk jalan tadi menghampiri mereka lalu berkata. "Cepat lapor kepada guru, Lu Cong Piau Tau dan istrinya telah tiba!"

Kedua orang itu mengangguk, lalu segera masuk ke dalam. Lu Sin Kong dan istrinya mengikuti kedua penujuk jalan memasuki pintu itu. Setelah melewati halaman yang amat luas, barulah sampai di ruang depan. Kedua penunjuk jalan itu mempersilakan mereka duduk. Begitu duduk, sudah ada orang menyuguhkan teh. Tak beberapa lama kemudian, dari dalam berjalan ke luar seorang lelaki berusia lima puluhan, sepasang matanya bersinar-sinar.

"Selamat datang, aku Han Sun! Kalian telah capek lelah di tengah jalan."

"Di tengah jalan...," sahut Lu Sin Kong. "Memang banyak sekali kaum rimba persilatan menghendaki barang bawaan kami. Namun tidak memalukan, barang itu tetap dapat kami antarkan sampai di tempat."

Kim Pian Han Sun mengerutkan kening, kemudian berkata. "Memang karena barang maka banyak kaum rimba persilatan menghendakinya, dan itu merupakan hal yang wajar. Kini barang itu telah sampai di sini, itu sungguh tidak gampang!"

Mereka bertiga duduk. Kemudian Lu Sin Kong mengeluarkan kotak kayu dari dalam bajunya. Kim Pian Han Sun menjulurkan tangannya ingin menerima kotak kayu itu, namun Sebun It Nio justru bertanya.

"Bolehkah aku bertanya, sebetulnya barang apa yang ada di dalam kotak ini?"

"Maaf!" ucap Kim Pian Han Sun. "Aku punya kesulitan untuk memberitahukan, harap maklum!" sahut Kim Pian Han Sun.

Usai berkata begitu, dia bangkit berdiri untuk menerima kotak kayu tersebut. Begitu melihat Kim Pian Han Sun amat tegang, timbullah kecurigaan dalam hati Sebun lt Nio dan membatin. “Ada orang berani memberi imbalan begitu tinggi, khusus untuk mengantar kotak kayu tersebut ke tempat ini. Di tengah jalan banyak kaum rimba persilatan ingin merebutnya, namun tetap aman sampai di tempat. Tentunya tidak ada lagi yang merebut kotak kayu itu, tapi kenapa Kim Pian Han Sun tampak begitu tegang dan gelisah?”

Berpikir sampai di situ, Sebun It Nio segera memberi isyarat kepada Lu Sin Kong. Begitu melihat isyarat, Lu Sin Kong cepat-cepat menarik tangannya, dan Sebun It Nio berkata. "Karena Han Tayhiap tidak mau memberitahukan, maka kami pun tidak akan bertanya lagi. Hanya saja... kami ingin tahu suatu hal dari Han Tayhiap."

Tersirat lagi kegelisahan di wajah Kim Pian Han Sun, namun hanya sekilas. Hal itu membuat Sebun It Nio semakin bercuriga, sehingga keningnya tampak berkerut.

"Ingin tahu tentang hal apa? Katakanlah!" ujar Kim Pian Han Sun cepat.

"Kali ini kami mengantar kotak kayu sampai di sini, dan memperoleh imbalan yang amat tinggi. Namun kami justru tidak tahu siapa orang itu, maka bolehkah Han Tayhiap memberitahukan?" kata Sebun It Nio.

Kim Pian Han Sun tertawa. "Itu adalah kawan lamaku, tapi aku tidak leluasa menyebut namanya."

Sebun It Nio segera mendesak. "Apa marganya, tentunya Han Tayhiap tidak berkeberatan untuk memberitahukan, bukan?"

Kim Pian Han Sun tertawa terbahak-bahak lagi. "Memang berkeberatan. Lu Cong Piau Tau serahkan saja kotak kayu itu kepadaku, lalu tinggallah di sini beberapa hari, bagaimana?"

Sebun It Nio terus mengajukan berbagai pertanyaan. Hal itu dikarenakan telah timbul kecurigaan dalam hatinya. Akan tetapi, dia bertanya kian ke mari justru tiada hasilnya. Tentunya dia harus menyerahkan kotak kayu itu kepada Kim Pian Han Sun. Akhirnya dia berpaling. Dilihatnya belasan lelaki berdiri di ruang itu. Di pinggang masing-masing melingkar sebuah pecut emas. Begitu melihat itu, dalam hati Sebun lt Nio menjadi terang.

Teringat pula akan julukan Kim Pian Teng Kian Kun, yaitu julukan Han Sun. Tidak usah bertanya pun bisa tahu, pecut emas merupakan senjata andalan Han Sun. Siapa yang melihat pecut emas, pasti akan teringat Han Sun. Tapi kalau dipikirkan secara seksama,
justru amat mencurigakan, sebab di pinggang orang-orang terdapat pecut emas, jelas sengaja berbuat begitu.

Menyaksikan itu, dalam hati Sebun It Nio berani memastikan, bahwa kecurigaannya beralasan. Ia langsung menjulurkan tangannya untuk menyambar kotak kayu yang berada di tangan Lu Sin Kong, lalu berkata. "Entah berapa berat Pecut Emas-Han Sun itu?"

Lu Sin Kong tertegun dan membatin, “Kenapa pula istriku? Di hadapan tuan rumah justru menyebut namanya langsung.”

Di saat Lu Sin Kong terheran-heran, dan terdengar suara sahutan Kim Pian Han Sun. "Pecut emasnya...," tercetus sampai di situ, Kim Pian Han Sun cepat-cepat berhenti.

Di saat bersamaan, Sebun It Nio menatapnya seraya bertanya, "Siapa kau?" Kemudian disodorkannya kotak kayu itu ke hadapan Lu Sin Kong. "Simpanlah!"

Sementara Kim Pian Han Sun tampak tenang. Dipandangnya Sebun It Nio seraya menyahut, "Kenapa Lu Hujin bertanya begitu? Aku adalah Han Sun!"

"Hm!" degus Sebun It Nio. "Kalau kau Han Sun, kenapa tadi menyahut ‘Pecut Emas’, dan juga kenapa di pinggang anak buahmu melingkar pecut emas pula?" Usai berkata begitu, Sebun It Nio bangkit berdiri sekaligus menghunus pedangnya, dan langsung menyerang dada Kim Pian Han Sun.

Wajah Han Sun berubah. Ia cepat-cepat meloncat ke belakang dan menyambar sebuah kursi untuk menangkis serangan Sebun It Nio. Lu Sin Kong juga menyadari akan adanya ketidak-beresan itu. Kakinya bergerak ke depan sekaligus mengayunkan tangannya untuk memukul kursi tersebut. Sedangkan pedang Sebun It Nio tetap menyerang Han Sun dengan jurus ‘Meteor Mengejar Bulan’.

Han Sun bersiul panjang sambil mencelat ke samping, sekaligus melemparkan kursi itu. Tangannya pun bergerak dan sebuah senjata aneh sudah berada di tangannya, yakni sebuah Poan Koan Pit (Pencil Cina). Senjata itu menangkis pedang Sebun It Nio. Ilmu pedang Sebun It Nio, masih di atas ketua Tiam Cong Pai Sih Liok Khie. Jurus Liu Sing Kan Goat terdapat tiga perubahan. Dapat dibayangkan betapa lihainya jurus itu. Namun jurus yang dikeluarkan Han Sun juga aneh dan lihay, maka terdegarlah suara benturan senjata.

“Trang! Trang! Trang!”

Benturan itu membuat tangan Sebun It Nio berkesemutan. Cepat-cepat ia menggeserkan kakinya, kemudian menyerang dengan jurus ‘Mendorong Daun Jendela Memandang Rembulan’.

"Bangsat!" bentaknya mencaci. "Siapa kau?"

Han Sun tidak menyahut, melainkan memutar poan-koan-pit-nya, sekaligus maju selangkah.

“Trang!” Poan-koan-pit Han Sun membentur pedang Sebun It Nio kemudian mengarah jalan darah Yang Kut Hiat di lengan wanita itu.

Sebun It Nio tertawa panjang. "Cukup tinggi kepandaianmu, bung!" katanya.

Ia menarik pedangnya untuk menangkis poan-koan-pit, kemudian diputar membentuk beberapa buah lingkaran dan mengarah ke dada Han Sun. Jurus ‘Menyiram Air Mengejutkan Langit’, merupakan jurus dalam bahaya merebut kemenangan, kelihaiannya tak terbayangkan. Han Sun berteriak kaget dan segera meloncat ke belakang. Bajunya tersobek di bagian dada, sehingga tampak dadanya yang bidang terukir huruf ‘Poan’ (Hakim).

Setelah Sebun It Nio bertarung dengan Han Sun, Lu Sin Kong sudah tahu apa gerangan yang telah terjadi. Ternyata ada orang menyamar sebagai Han Sun untuk menipu dirinya. Untung istrinya bercuriga, kalau tidak barang tersebut pasti jatuh ke tangan orang itu. Namun dia pun bingung dan tidak habis pikir, sebetulnya siapa orang yang menyamar sebagi Han Sun itu. Kepandaiannya begitu tinggi dan tampak berwibawa. Sesudah baju orang itu tersobek dan terlihat huruf ‘Poan’ tersebut, Sebun It Nio dan Lu Sin Kong paham.

"Hahaha!" Lu Sin Kong tertawa gelak.

Sebun It Nio maju selangkah dan ketika baru mau melancarkan serangan kembali, tiba-tiba terdengar suara.

“Tang!”

Orang-orang yang berdiri di situ serentak menjatuhkan diri berlutut, dan ‘Han Sun’ itu pun segera mundur, lalu berdiri agak membungkuk sambil menjura. Lu Sin Kong dan Sebun It Nio tersentak menyaksikan keadaan itu.

“Cring!” Lu Sin Kong sudah menghunus goloknya diikat di pinggangnya.

Sedangkan Sebun It Nio mundur selangkah membelakangi punggung suaminya, sehingga mereka berdiri dengan punggung menghadap punggung. Di saat itulah terdengar suara tangisan lirih.

"Hati-hatilah!" bisik Sebun It Nio. "Sepanjang jalan kita bertemu begitu banyak jago, tapi kali ini justru setan tua itu datang sendiri."

Lu Sin Kong mengangguk. "Aku tahu."

Setelah melihat huruf ‘Poan’ yang terukir di dada orang itu, Lu Sin Kong dan Sebun It Nio pun tahu bahwa itu adalah bawahan Pak Bong San Kui Sen-Seng Ling. Murid Kui Seng Seng Ling memang banyak sekali. Selain kedua putranya Kou Hun Su-Seng Cai dan Sou Mia Su-Seng Bou, masih terdapat Hakim Kiri, Hakim Kanan, Setan Kepala Kerbau, Setan Muka Kuda, Setan Tuyul dan Setan Hitam Putih. Beberapa hari yang lalu, ketika mereka berdua bertemu orang aneh yang memakai kain penutup muka, orang aneh itu telah melukai Setan Hitam Putih. Ternyata Kui Sen-Seng Ling tetap mengutus orang mengikuti mereka berdua.

Orang yang menyamar sebagai Han Sun, yang bersenjata poan-koan-pit dengan dada berukir huruf ‘Poan’ itu jelas salah satu Hakim Kiri Kanan, anak buah Kui Sen-Seng Ling.
Sesungguhnya Kui Sen-Seng Ling tidak pernah berhubungan dengan kaum rimba persilatan. Dia tinggal di istana misteri di gunung Pak Bong San yang disebut Istana Setan.

Di saat Sebun lt Nio berbisik-bisik dengan Lu Sin Kong, suara tangisan itu semakin mendekat. Tak beberapa lama kemudian tampak dua sosok bayangan berkelebat ke dalam ruang itu, ternyata dua orang berpakaian berkabung, yang tidak lain adalah Kou Hun Su-Seng Cai dan Sou Mia Su-Seng Bou.

Orang yang menyamar sebagai Han Sun segera memberi hormat, kemudian bertanya. "Sen Kun sudah tiba?"

Seng Cai memandang Lu Sin Kong dan Sebun It Nio sejenak lalu menyahut.
"Sen Kun sudah tiba."

Sebelum suara sahutan itu sirna, mendadak ruangan itu terasa bergetar-getar. Tampak dua lelaki bertubuh tinggi besar berjalan memasuki ruangan. Di belakang mereka sebuah tandu yang digotong empat orang. Di dalamnya duduk seorang aneh berjubah kuning. Wajah orang itu kehijauan, badannya kurus kering dan sepasang matanya berbentuk segitiga, sulit diduga berapa usianya. Sampai di tengah ruangan, keempat orang itu menaruh tandu ke bawah. Lu Sin Kong dan Sebun It Nio saling memandang. Dugaan mereka memang tidak meleset, orang aneh itu adalah Kui Sen-Seng Ling. Setelah tandu itu ditaruh ke bawah, Kui Sen-Seng Ling melangkah ke luar dari tandu itu sambil menatap lelaki yang menyamar sebagai Han Sun.

"Kenapa tidak tampak Hakim Kanan?"

"Hakim Kanan meninggalkan kota kemarin," sahut orang itu dengan hormat. "Dia pergi menyelidiki jejak kedua orang ini, hingga kini belum pulang."

Kui Sen-Seng Ling terus menatapnya dan kemudian mengeluarkan suara dengusan. "Hingga kini masih belum pulang?"

"Ya." Orang itu mengangguk.

Perlahan-lahan Kui Sen-Seng Ling memalingkan kepalanya untuk memandang Lu Sin Kong seraya berkata. "Tamu agung sampai di sini, kenapa tidak duduk saja?"

Lu Sin Kong tertawa dingin. "Kau menghendaki apa, katakan saja!"

"Sejak kalian berdua berangkat dari Lam Cong, aku sudah mengutus beberapa orang untuk menghadang kalian di tengah jalan. Kalian berdua memang tidak bernama kosong, maka aku terpaksa ke mari. Kotak kayu yang di dalam baju Lu Cong Piau Tau, harap diperlihatkan!"

Air muka Lu Sin Kong berubah seketika. "Kotak kayu itu akan kusampaikan kepada si Pecut Emas-Han Sun, bagaimana mungkin kuserahkan kepadamu?"

Kui Sen-Seng Ling tertawa dingin. Betapa tingginya lweekang Si Setan itu, dapat dirasakan Lu Sin Kong dan Sebun It Nio, karena tawa dingin itu membuat mereka merinding.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar