Harpa Iblis Jari Sakti Chapter 47

Berselang beberapa saat mereka baru mencapai ketinggian enam depa. Semakin ke atas, curahan air terjun itu semakin deras sehingga membuat mereka merasa susah bernafas. Namun mereka tahu hanya itu jalan satu-satunya meloloskan diri, maka mereka terus merayap ke atas dengan hati-hati sekali! Tak seberapa lama Lu Leng merasa telinganya mau pecah, bahkan pandangannya pun mulai gelap. Betapa derasnya curahan air terjun itu pada dirinya sehingga membuat Lu Leng menjadi susah bernafas. Sedangkan Tam Goat Hua tidak begitu parah, sebab dia berada di bawah Lu Leng. Entah sudah berapa kali Lu Leng nyaris jatuh, tapi dia masih bisa bertahan, sekaligus mengingatkan diri sendiri. “Tidak boleh jatuh! Tidak boleh jatuh!"

Apabila dia jatuh, kandaslah niatnya menuntut balas terhadap Liok Ci Khim Mo. Dia pun teringat akan kematian para bhiksu Go Bi Pai, para murid Hui Yan Bun dan lain-lainnya. Semua itu memberi kekuatan kepadanya sehingga membuat dirinya masih mampu merayap ke atas. Entah berapa lama kemudian, tangan Lu Leng sudah tidak meraih pinggiran batu lagi. Hati Lu Leng girang bukan main, sebab dia tahu sebentar lagi akan sampai di atas. Apalagi ketika dia memandang ke bawah, tampak bayangan gadis itu berada di bawahnya.

Lu Leng berlaku hati-hati sekali. Dia menghimpun hawa murninya, lalu mencelat ke atas. Akan tetapi, begitu sampai di atas dirinya terdorong arus air yang mengalir ke bawah. Betapa terkejutnya Lu Leng, dia nyaris jatuh ke bawah karena terdorong arus air itu. Lu Leng segera menengok ke sana ke mari. Ternyata di situ terdapat sebuah pilar batu, maka Lu Leng cepat-cepat memeluk pilar itu. Ketika dia berhasil memeluk pilar batu itu, sepasang kakinya terasa dipegang Tam Goat Hua. Lu Leng segera menjulurkan tangannya ke bawah meraih tangan gadis itu, sekaligus menariknya ke atas. Tam Goat Hua pun cepat-cepat memeluk pilar batu itu.

Lu Leng mulai memanjat ke atas, begitu pula Tam Goat Hua. Ketika sampai di atas Lu Leng menengok ke sekitar, ternyata ada sebidang tanah di sebelah kanan yang jaraknya hanya tiga depaan. Lu Leng segera menghimpun hawa murni, kemudian melesat ke arah tanah kosong itu dan berhasil mencapai tempat tersebut. Ketika dia baru mau menoleh, Tam Goat Hua sudah jatuh di sisinya. Mereka berdua saling memandang dan sama-sama menarik nafas lega.

"Kakak Goat, kita sudah berhasil meloloskan diri," kata Lu Leng.

Walau Lu Leng berkata dengan suara keras, namun terdengar lirih sekali oleh Tam Goat Hua karena masih terdengar suara gemuruh air terjun.

"Kita tidak boleh lama-lama di sini, harus cepat-cepat meninggalkan tempat ini!" sahut Tam Goat Hua dengan suara keras pula.

Lu Leng mengangguk. "Ya!"

Mereka berdua berjalan, lalu memandang ke bawah. Tampak Liok Ci Khim Mo sedang duduk bersila di dekat air terjun memangku harpa Pat Liong Khim. Terlihat pula beberapa orang berjalan mondar-mandir di dekat air terjun, tapi tidak tampak Oey Sim Tit. Kemudian Lu Leng mengalihkan pandangannya ke arah rumah batu, tampak keempat orang buta tergeletak di depan rumah batu itu. Setelah memandang sejenak, Lu Leng mengeluarkan Busur Api dan golok pusakanya.

"Kau mau berbuat apa?" tanya Tam Goat Hua.

"lngin memanah Liok Ci Khim Mo dengan Su Yang To ini," sahut Lu Leng.

"Kau yakin dapat mengenainya?"

Lu Leng tertegun, lalu menggeleng-gelengkan kepala. Walau Busur Api itu amat hebat tenaganya, tapi golok pusaka Su Yang To bukan sejenis panah. Lagi-pula jaraknya begitu jauh, maka tidak dapat dipastikan Lu Leng dapat memanahnya.

Oleh karena itu Tam Goat Hua berkata, "Kalau tidak yakin lebih baik jangan melakukannya, sebab malah akan mengejutkannya. Kita harus cepat-cepat meninggalkan tempat ini."

Lu Leng manggut-manggut. Mereka berdua membalikkan badan, lalu segera meninggalkan tempat itu. Berselang beberapa saat, mereka sudah berada di bawah puncak Lian Hoa Hong. Begitu sampai di bawah puncak Lian Hoa Hong, tanpa memandang Lu Leng lagi Tam Goat Hua langsung melesat pergi. Betapa gugupnya Lu Leng melihat sikap gadis itu.

"Kakak Goat, kau mau ke mana?"

"Kau tidak usah mempedulikanku. Ketika kita mau ke mari, bukankah aku sudah berkata sejelas-jelasnya? Setelah urusan di sini beres, kau jangan berpikir menemuiku lagi! Kini kau telah memperoleh Busur Api, masih mau apa?" sahutnya sambil lari.

Lu Leng terus mengejarnya. Ketika mendengar kata-kata Tam Goat Hua tadi, hatinya merasa berduka sekali. Kini dia merasa lebih baik tetap berada di dalam goa itu, sebab akan terus berdampingan dengan Tam Goat Hua, dari pada dapat meloloskan diri tapi harus berpisah dengan gadis itu. Air mata Lu Leng langsung meleleh.

"Kakak Goat, aku memang tak dapat menahan kepergianmu, namun masih ada satu hal yang perlu kutanyakan kepadamu," katanya terisak-isak.

Tam Goat Hua berhenti seraya bertanya, "Tentang apa?"

Lu Leng juga berhenti dan segera menjawab, "Kakak Goat, bagaimana kau bisa terjatuh ke tangan Liok Ci Khim Mo?"

"Ketika aku jatuh, sepasang rantai yang melekat di lenganku menyangkut sebuah pohon, maka aku tidak mati. Aku kembali ke mari, tapi di tengah jalan bertemu mereka. Hanya begitu saja," tutur Tam Goat Hua.

Sebetulnya Lu Leng berharap Tam Goat Hua mau menutur jauh lebih panjang, jadi bisa lebih lama bersamanya. Akan tetapi Tam Goat Hua justru menutur secara singkat, maka membuat Lu Leng tertegun.

"Kakak Goat, setelah kau bertemu mereka, lalu bagaimana?" tanyanya kemudian.

“Tentunya aku terluka, Oey Sim Tit memohon kepada ayahnya agar aku ditolong. Nah, cuma begitu," sahut Tam Goat Hua lalu melesat pergi.

"Kakak Goat! Kakak Goat...!" panggil Lu Leng.

"Masih ada urusan apa?" tanya Tam Goat Hua dingin.

"Kakak Goat, kau tidak mau bertanya kepadaku bagaimana aku memperoleh Busur Api?" sahut Lu Leng.

Tam Goat Hua tersenyum getir. "Busur Api, Liok Ci Khim Mo dan urusan lain sudah tiada hubungan dengan diriku, mengapa aku harus bertanya kepadamu tentang itu?" katanya dengan nada sedih, dan di wajahnya tersirat penderitaan hatinya.

Lu Leng menghela nafas panjang. Dia tidak tahu apa yang harus diucapkannya untuk menahan Tam Goat Hua.

"Kakak Goat, kau... sungguh tidak mau bertemu denganku lagi?" tanyanya dengan melelehkan air mata.

Tam Goat Hua berusaha mengendalikan diri. “Tentunya aku mau pergi," tegasnya lalu melesat pergi.

Sejak tadi Tam Goat Hua sama sekali tidak mau beradu pandang dengan Lu Leng. Seusai berkata dia langsung melesat pergi, maka Lu Leng tahu tiada gunanya mengejar gadis itu. Dia hanya mendongakkan kepala memandang punggungnya. Namun mendadak Lu Leng terbelalak seakan tak percaya akan penglihatannya. Ternyata dia melihat Tam Goat Hua membalikkan badannya melesat ke arah Lu Leng, tentunya membuat Lu Leng tertegun dan gembira, lalu langsung menyapanya dengan hati berdebar-debar.

"Kakak Goat, apakah kau...."

“Tidak! Hanya ada beberapa patah kata yang harus kusampaikan kepadamu!" potong Tam Goat Hoa.

Lu Leng menarik nafas dingin. "Kakak Goat mau menyampaikan kata-kata apa kepadaku?"

Tam Goat Hua berpikir sejenak. "Aku sama sekali tidak menyalahkanmu, karena bukan kau yang bersalah. Tapi kalau membuat Toan Bok Ang menderita seumur hidup, itu adalah kesalahanmu. Apa yang akan kukatakan sudah kukatakan, kau harus ingat selalu, tidak boleh lupa!" katanya kemudian.

"Kakak Goat, aku...."

Ketika Lu Leng berkata sampai di situ, mendadak Tam Goat Hua melesat pergi. Lu Leng mengejar beberapa langkah lalu berhenti. Dia tahu kali ini Tam Goat Hua betul-betul pergi, selanjutnya bisa berjumpa lagi atau tidak, tidak dapat dipastikan. Seandainya bisa berjumpa, lalu mau apa? Siapa yang dapat mengobati luka-luka di hati Tam Goat Hua? Lu Leng terus berpikir dengan air mata berderai-derai, sedangkan bayangan gadis itu semakin jauh, akhirnya lenyap dari pandangan Lu Leng. Entah berapa puluh kali Lu Leng berteriak-teriak memanggilnya, namun bagaimana mungkin gadis itu mendengarnya?

Teringat akan kata-kata Tam Goat Hua, itu membuatnya teringat pula pada Toan Bok Ang. Apa yang dikatakan Tam Goat Hua memang benar. Apabila dia membuat Toan Bok Ang menderita, itu adalah kesalahannya. Nada perkataan Tam Goat Hua, menyuruhnya pergi menebus kesalahannya itu. Kedengarannya amat gampang, asal Lu Leng bersedia mencintai Toan Bok Ang, maka Toan Bok Ang akan hidup bahagia. Akan tetapi, untuk melaksanakannya sungguh sulit dan tidak memungkinkan. Kalau cinta bisa dipaksa atau bisa dialihkan tentunya Tam Goat Hua tidak akan begitu terluka hatinya.

Lu Leng berdiri mematung di tempat, kemudian tersenyum getir. Berselang beberapa saat barulah dia berjalan. Kini dia telah memiliki Busur Api. Asalkan bisa memperoleh Panah Bulu Api, sudah pasti dapat membasmi Liok Ci Khim Mo. Lu Leng terus berjalan sambil berpikir dengan kepala tertunduk. Kira-kira tiga empat mil, mendadak terdengar suara seruan dari arah depan.

"Saudara Lu! Saudara Lu!"

Bukan main terkejutnya Lu Leng, dia langsung berhenti lalu mendongakkan kepala. Tampak seseorang berdiri tak seberapa jauh di depannya, ternyata Oey Sim Tit. Lu Leng terkejut, lalu menengok ke sana ke mari. Sesungguhnya dia tidak takut kepada Oey Sim Tit, melainkan khawatir kalau-kalau Liok Ci Khim Mo juga berada di sekitar tempat tersebut.

Oey Sim Tit segera berkata dengan suara rendah, "Saudara Lu, hanya aku seorang berada di sini."

Lu Leng tahu Oey Sim Tit tidak berdusta, maka dia menarik nafas lega. "Sedang apa kau di sini?" tanyanya.

"Ayahku tidak mengizinkanku tinggal di puncak Lian Hoa Hong dan aku diusir ke bawah, maka aku jalan-jalan ke sana ke mari!"

"Ng!" Lu Leng manggut-manggut, "Masih ada urusan yang harus kuselesaikan, sampai jumpa!"

"Saudara Lu, aku... aku ingin bicara!" kata Oey Sim Tit.

Lu Leng menggoyang-goyangkan sepasang tangannya. "Lain kali saja, tidak perlu dibicarakan sekarang!"

Lu Leng ingin cepat-cepat menghindari Oey Sim Tit. Karena Busur Api berada padanya maka ia ingin cepat-cepat menjauhinya.

Wajah Oey Sim Tit tampak gugup. "Saudara Lu, kau boleh melanjutkan perjalanan sambil mendengarkan pembicaraanku.”

Lu Leng tertegun mendengar ucapan itu. Dia tahu Oey Sim Tit memiliki ginkang yang amat tinggi. Kalau dia mau mengikuti Lu Leng, tentunya Lu Leng tak dapat menghindar. Karena itu Lu Leng lalu duduk di atas sebuah batu.

"Kau mau bicara apa, bicaralah!" katanya sambil memandang Oey Sim Tit.

Oey Sim Tit menundukkan kepala sambil berpikir. "Saudara Lu, aku sudah menduga, yang menotok jalan darahku dan membawa nona Tam pergi adalah kau. Tapi aku pikir kalian berdua tidak dapat meloloskan diri, itu amat mencemaskanku," katanya kemudian.

Apa yang dikatakan Oey Sim Tit berdasarkan suara hatinya, membuat Lu Leng terharu sekali mendengarnya. Namun dia tahu, apa yang akan dikatakan Oey Sim Tit bukan hanya itu saja.

"Sim Tit, kau masih mau mengatakan apa? Katakanlah.”

Oey Sim Tit terus memandang Lu Leng dengan wajah penuh duka.

"Cepat katakan!" desak Lu Leng.

Oey Sim Tit tetap diam, kemudian mendadak menjatuhkan diri berlutut di hadapan Lu Leng. Lu Leng sama sekali tidak menyangka Oey Sim Tit akan melakukan itu.

"Sim Tit, cepat bangun! Apa maksudmu ini?" katanya.

"Kau telah menyelamatkan nyawaku...," sahut Oey Sim Tit.

"Kalau dihitung, kau lebih banyak menyelamatkan nyawaku," kata Lu Leng.

Oey Sim Tit tetap berlutut sehingga Lu Leng menjadi gugup dan berlutut pula di hadapannya. Wajah Oey Sim Tit tampak berubah.

"Saudara Lu, jangan begini!"

Lu Leng tersenyum getir. "Sim Tit, kenapa kau selalu menganggap dirimu sebagai orang rendah? Kau berlutut di hadapanku, kenapa aku tidak boleh?"

Wajah Oey Sim Tit kelihatan gugup. "Bagaimana aku bisa dibandingkan dengan Saudara Lu? Saudara Lu masih muda dan amat tampan, sedangkan aku... terhitung apa?"

"Baik! Baik! Tidak usah banyak bicara lagi, kita sudah saling berlutut! Bagaimana?" sahut Lu Leng. Dia bangkit berdiri lalu membangunkan Oey Sim Tit.

Oey Sim Tit memandangnya seraya berkata, "Saudara Lu, aku harus bermohon kepadamu."

Lu Leng terkejut mendengar ucapan itu. "Bermohon padaku? Memangnya ada urusan apa?"

"Sesungguhnya... tidak seharusnya aku mengajukan permohonan, tapi...."

Lu Leng menghela nafas panjang. Sebelum Oey Sim Tit usai berkata, dia menatapnya. "Sim Tit, cepat katakan! Jangan berbelil-belit!"

Oey Sim Tit mendongakkan kepala memandang Lu Leng, lalu mendadak menjatuhkan diri berlutut lagi di hadapan Lu Leng. Lu Leng tahu, kalau Oey Sim Tit tidak berlutut tentu sulit baginya untuk berbicara, maka membiarkannya berlutut.

"Saudara Lu, aku tahu kau telah memperoleh Busur Api," kata Oey Sim Tit.

Lu Leng terkejut sekali mendengar ucapan itu. "Bagaimana?" tanyanya.

"Saudara Lu, aku mohon kau mau mengembalikan Busur Api itu kepadaku!" sahut Oey Sim Tit dengan air mata meleleh.

Lu Leng menggelengkan kepala. “Sim Tit, hanya ini yang tak dapat kukabulkan."

Oey Sim Tit gugup. "Saudara Lu, kalau aku tidak memiliki Busur Api, setiap saat pasti mencemaskan ayahku. Aku amat mencintainya, tidak bisa membiarkannya dibokong orang."

Lu Leng menghela nafas panjang. Dia tahu Oey Sim Tit berhati lemah, maka harus diberi ketegasan. "Sim Tit! Aku bersusah payah dan mempertaruhkan nyawaku demi memperoleh Busur Api, justru untuk menghadapi Liok Ci Khim Mo, ayahmu! Berdasarkan hubungan kita, apa pun permintaanmu aku harus mengabulkan! Namun tentang ini, aku tidak bisa!"

Usai menegaskan, Lu Leng membalikkan badannya kemudian melesat pergi. Akan tetapi, setelah melesat beberapa depa jauhnya, dia menoleh ke belakang dan seketika juga menarik nafas dingin. Ternyata Oey Sim Tit berada di belakangnya, dan ketika Lu Leng menoleh ke belakang, dia langsung memanggil,

"Saudara Lu...."

Lu Leng tidak menyahut, melainkan segera menghimpun hawa murninya, kemudian melesat pergi dengan mengerahkan ginkang. Kira-kira tiga mil kemudian barulah dia berhenti. Akan tetapi, baru saja dia berhenti, mendadak terdengar suara Oey Sim Tit yang amat lirih. Dia segera menoleh ke belakang, tampak Oey Sim Tit berdiri di belakangnya. Lu Leng berpikir, berdasarkan ginkang-nya pasti tidak dapat menghindari Oey Sim Tit. Lu Leng menggeleng-gelengkan kepala.

"Sim Tit, sebetulnya kau mau apa?" tanyanya

"Saudara Lu, aku mobon... sudilah kiranya kau kembalikan Busur Api itu kepadaku!" sahut Oey Sim Tit.

"Sudah kukatakan, tidak bisa kusanggupi!” kata Lu Leng.

"Kalau begitu, aku akan terus mengikutimu hingga kau mau mengembalikan Busur Api itu padaku," kata Oey Sim Tit.

Lu Leng tertegun, lama sekali baru membuka mulut, "Sim Tit, kau ingin menyulitkanku?"

"Saudara Lu, aku... aku demi ayahku, kau... harus memaafkanku!" sahut Oey Sim Tit.

"Ayahmu adalah seorang penjahat yang harus dibasmi!" teriak Lu Leng saking gusarnya.

"ltu pandanganmu dan juga pandangan orang lain, namun menurut pandanganku dia tetap ayahku!" kata Oey Sim Tit.

Lu Leng berpikir, Oey Sim Tit amat mencintai ayahnya, maka percuma banyak bicara dengannya. Kalau dia terus-menerus mengikutinya, Lu Leng memang akan kewalahan. Bukankah lebih baik menotok jalan darahnya agar dia tidak bisa mengikutinya lagi?

"Sim Tit, kalau kau masih mengikutiku, aku tidak akan berlaku sungkan kepadamu!" ancamnya kemudian.

"Saudara Lu, aku memang bukan tandinganmu. Tapi sebelum memperoleh Busur Api, aku tidak akan pergi," sahut Oey Sim Tit dengan wajah muram.

Lu Leng mendengus dingin, kemudian mendadak menjulurkan tangannya menotok jalan darah di bahu Oey Sim Tit. Akan tetapi Oey Sim Tit berkelit, lalu melesat pergi. Tubuhnya berkelebat bagaikan segulung asap sehingga dalam sekejap sudah hilang dari pandangan Lu Leng. Setelah totokannya membentur tempat kosong, Lu Leng segera membalikkan badannya, lalu melesat pergi. Begitu melesat pergi, Lu Leng merasa Oey Sim Tit mengikuti di belakangnya. Namun Lu Leng tidak mempedulikannya dan terus melesat pergi.

Kira-kira setengah mil kemudian mendadak Lu Leng menjulurkan tangannya ke belakang, menotok jalan darah Oey Sim Tit. Tapi Oey Sim Tit yang sudah siap sebelumnya segera menghindar sehingga totokan Lu Leng mengenai tempat kosong. Lu Leng betul-betul kehabisan akal, maka terpaksa dia terus melesat hingga matahari tenggelam di ufuk barat. Dia menoleh ke belakang, tampak Oey Sim Tit masih terus mengikutinya. Lu Leng tahu, sebelum memperoleh Busur Api, Oey Sim Tit pasti tidak akan meninggalkannya. Apa boleh buat, Lu Leng terpaksa membiarkannya.

Ketika Lu Leng meninggalkan puncak Lian Hoa Hong, dia sudah mengambil keputusan mencari gurunya, maka dia menempuh jalan yang ke arah barat. Dalam perjalanan ini Oey Sim Tit terus mengikutinya. Lu Leng tidur, dia pun tidur. Lu Leng berangkat, dia pun segera mengikutinya. Entah sudah berapa kali Lu Leng turun tangan menotok jalan darahnya, namun Oey Sim Tit tetap dapat menghindar menggunakan ginkang. Pernah sekali ketika Oey Sim Tit tidur, Lu Leng segera melesat pergi. Tapi Oey Sim Tit tetap dapat mengejarnya! Empat hari berturut-turut Oey Sim Tit boleh dikatakan merupakan bayangannya. Lu Leng betul-betuI kewalahan!

Hari itu ketika berada di sekitar gunung salju, mereka berdua memasuki sebuah kota kecil. Lu Leng langsung masuk ke sebuah rumah makan, lalu duduk. Oey Sim Tit mengikutinya, kemudian duduk di hadapan Lu Leng. Lu Leng menatapnya sambil tersenyum.

"Sim Tit, kau mau makan apa?" tanyanya.

"Apa saja. Aku hanya menghendaki Busur Api," sahut Oey Sim Tit.

Lu Leng menggeleng-gelengkan kepala, kemudian memesan sepiring daging kambing. Ketika dia mulai bersantap, Oey Sim Tit juga ikut makan sedikit.

"Saudara Lu, aku...," katanya.

Lu Leng langsung menggoyang-goyangkan tangannya, memutuskan ucapan Oey Sim Tit. "Jangan katakan lagi. Kau menghendaki Busur Api, tapi aku tidak bisa memberikan. Terserah kalau kau mau terus mengikutiku. Aku memang berhutang budi kepadamu, tapi aku sama sekali tidak bisa memberikan barang itu kepadamu."

Oey Sim Tit menghela nafas panjang. Dia tidak berkata apa-apa lagi, hanya menundukkan kepala sambil bersantap. Berselang beberapa saat, mendadak tampak dua lelaki berpakaian ringkas melongok ke dalam rumah makan. Setelah itu kedua lelaki itu langsung masuk dan menghampiri Oey Sim Tit sambil berseru.

“Tuan muda, setengah mati kami mencari, ternyata tuan muda berada di sini!"

Oey Sim Tit memandang kedua lelaki itu seraya bertanya, "Apakah ayahku yang menyuruh kalian mencariku?"

“Tidak salah! Setelah tidak melihat tuan muda, Ci Cun menyuruh entah berapa orang mencari tuan muda, maka tuan muda harus ikut kami pulang!” sahut salah seorang dari dua lelaki itu.

Oey Sim Tit menggeleng-gelengkan kepala. “Aku masih ada urusan. Kalian pulanglah, beritahukan kepada ayahku bahwa sementara ini aku tidak bisa pulang ke istana Ci Cun Kiong!"

"Tuan muda, serahkan saja urusan itu kepada kami!" kata dua laki-laki itu hampir serentak.

Oey Sim Tit menggelengkan kepala lagi. "Kalian tidak bisa membereskan urusanku itu, lebih baik pergilah!"

Kedua lelaki itu tertegun, lalu barulah memandang Lu Leng yang kebetulan juga sedang memandang mereka. Lu Leng merasa kenal, mungkin pernah bertemu mereka di dalam istana Ci Cun Kiong. Setelah memandang Lu Leng, kedua lelaki itu terkejut.

"Kami sudah tahu!" kata mereka serentak, lalu pergi.

Akan tetapi Lu Leng segera bangkit berdiri seraya membentak, "Jangan pergi!"

Kedua lelaki itu tidak menghiraukannya dan terus melesat pergi. Lu Leng melesat ke arah mereka dan melancarkan serangan dengan jurus Siang Hong Cak Yun (Sepasang Puncak Menembus Awan). Namun Lu Leng terlambat turun tangan, karena kedua orang itu telah meloncat ke punggung kuda. Lu Leng segera mencelat dan langsung melancarkan serangan dengan jurus Si Siang Pit Seng (Empat Penjuru Pasti Tumbuh).

"Aaaakh...!" kedua lelaki itu menjerit. Mulut mereka menyembur darah segar, jelas mereka berdua telah terluka parah.

Namun di saat bersamaan, kuda tunggangan mereka meluncur bagaikan terbang meninggalkan tempat itu. Lu Leng tahu, kedua lelaki itu pasti pergi melapor sedangkan jejaknya sudah ketahuan, maka kalau tidak segera pergi pasti akan menemui kerepotan. Dia membalikkan badan, justru melihat Oey Sim Tit berdiri di belakangnya.

"Kau masih belum mau pergi?!" bentaknya,

"Saudara Lu, aku tidak menyuruh mereka melakukan apa pun, bukan?" sahut Oey Sim Tit.

Lu Leng menghela nafas panjang, kemudian melesat pergi. Namun Oey Sim Tit tetap mengikutinya! Setelah menempuh tujuh delapan mil, mendadak terdengar suara derap kaki kuda yang amat ramai. Ternyata dari depan dan belakang muncul puluhan ekor kuda. Terdengar pula suara siulan panjang, kemudian tampak dua puluh orang lebih meloncat turun dan langsung mengepungnya. Lu Leng terpaksa berhenti sambil memandang mereka, ternyata mereka para jago tangguh dari golongan hitam. Salah seorang berbadan pendek yang berdiri di paling depan segera menjura pada Lu Leng seraya berkata,

"Saudara Lu, kita berjumpa di sini!"

Lu Leng memperhatikan orang itu, ternyata Sien Put Pah. Seketika Lu Leng menoleh dengan wajah dingin ke arah Oey Sim Tit yang mendadak wajahnya kelihatan gugup. Lu Leng tahu, mereka semua rata-rata berkepandaian tinggi, maka tidak mungkin dapat dihadapinya seorang diri. Oleh karena itu mendadak dia bergerak, ternyata ingin mencengkeram Oey Sim Tit. Maksudnya ingin menangkap Oey Sim Tit agar yang lain tidak berani turun tangan apabila dia meninggalkan tempat itu. Akan tetapi, ketika Lu Leng baru bergerak, Oey Sim Tit mencelat ke belakang sehingga cengkeraman Lu Leng mengenai tempat kosong. Di saat bersamaan terdengar seruan Sien Put Pah.

"Hai Sim Si Lo (Empat Orang Tua Hai Sim), silakan maju selangkah!"

Terdengar suara sahutan lalu muncul empat orang tua berjubah abu-abu. Di leher masing-masing bergantung sebuah gelang emas yang bergemerlapan. Lu Leng memandang keempat orang tua itu, dan seketika tersentak hatinya. Sungguh di luar dugaannya, di antara mereka terdapat orang yang berkepandaian tinggi.

Ketika Lu Leng masih kecil, dia pernah mendengar penuturan dari beberapa piausu, bahwa di tengah-tengah laut Cing Hai terdapat sebuah pulau yang dihuni kaum rimba persilatan. Mereka rata-rata berkepandaian amat tinggi, namun jarang berkecimpung dalam rimba persilatan Tionggoan. Kini keempat orang tua berada di depan matanya, bahkan Sien Put Pah pun memanggil mereka berempat Hai Sim Si Lo. Apakah mereka berempat berasal dari Hai Sim Pai (Partai Hai Sim)? Berpikir sampai di situ, Lu Leng tidak berani bertindak gegabah. Dia menarik nafas dalam-dalam, siap menghadapi pertarungan.

Sien Put Pah tertawa gelak. "Hahaha! Lu-siauhiap, kau dapat meloloskan diri dari puncak Lian Hoa Hong, secara pribadi aku amat kagum kepadamu!"

Lu Leng hanya mendengus, namun dalam hati sedang mencari akal bagaimana cara meloloskan diri.

Sien Put Pah tertawa lagi. "Hahaha! Saudara Lu, kali ini kau tidak mungkin dapat meloloskan diri seperti di puncak Lian Hoa Hong!"

Lu Leng juga ikut tertawa. "Jangan banyak omong kosong! Aku dapat meloloskan diri atau tidak, sebentar lagi kau akan tahu! Tidak perlu banyak omong!"

Sien Put Pah tertawa panjang. "Hahahaa! Saudara Lu, kau memang gagah! Hai Sim Si Lo, jangan sampai rusak nama partai kalian!"

Keempat orang tua itu menyahut serentak. Dari tadi baru kali ini mereka mengeluarkan suara. Begitu nyaring dan tajam suara mereka, sehingga membuat hati semua orang yang mendengarnya menjadi tergetar keras. Saat ini lweekang Lu Leng telah tergolong tingkat tinggi, namun ketika mendengar suara mereka, hatinya pun berdebar-debar. Dia segera menatap keempat orang tua itu. Jarak antara mereka dengan Lu Leng hanya setengah depa. Wajah mereka tampak dingin. Kelihatannya mereka tidak akan turun tangan duluan. Apabila Lu Leng menerjang, barulah mereka menyerang. Lu Leng terus menatap mereka. Ketika dia baru mau menyerang, mendadak terdengar suara seruan.

“Tunggu!"

Tampak sosok bayangan berkelebat, tahu-tahu sudah berada di hadapan Sien Put Pah. Lu Leng memandang ke sana, ternyata orang itu Oey Sim Tit. Sien Put Pah segera memberi hormat.

"Ada petunjuk apa, tuan muda?" tanyanya.

Oey Sim Tit menoleh memandang Lu Leng, lalu tersenyum getir. "Tuan Sien, kau jangan menyulitkan saudara Lu. Biar dia pergi!" katanya kepada Sien Put Pah.

Apa yang dikatakan Oey Sim Tit membuat semua orang tertegun, termasuk Sien Put Pah. Hanya satu orang tidak merasa di luar dugaan, yaitu Lu Leng. Dia sudah menduga bahwa Oey Sim Tit tidak akan membiarkannya jatuh ke tangan orang-orang itu. Lu Leng pun yakin bahwa Sien Put Pah pasti tidak berani membangkang, maka dia tidak mulai menyerang.

Wajah Sien Put Pah tampak berubah. “Tuan muda, kami tidak bisa menurut," katanya sungguh-sungguh sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Oey Sim Tit tertegun mendengar ucapan itu, dia tidak tahu harus berbuat apa. “Tuan Sien, kau tidak mau mendengar perkataanku?" tanyanya kemudian.

Lu Leng yang terkepung di tengah-tengah juga tidak menduga Sien Put Pah akan berkata seperti itu. Seketika dia mengerahkan tenaga Kim Kong Sin Ci pada jari telunjuk kanannya.

"Sebetulnya aku tidak berani membangkang perintah tuan muda, tapi Ci Cun telah menurunkan perintah, harus menangkap orang itu dan mengambil Busur Api. Harap tuan muda maklum!” kata Sien Put Pah.

"Oh! Ternyata begitu!" kata Oey Sim Tit, kemudian dia membalikkan badannya ke arah Lu Leng. "Saudara Lu, lebih baik kau kembalikan saja Busur Api itu kepadaku! Sedemikian banyak orang mengepungmu, apakah kau dapat menerjang ke luar?" katanya pula.

"Sim Tit, kau tidak usah mempedulikanku!" sahut Lu Leng.

Oey Sim Tit menghela nafas panjang. "Kalian tiada yang mau mendengarkan perkataanku?"

"Perintah dari Ci Cun, siapa berani membangkang?" jawab Sien Put Pah.

Lu Leng langsung meludah. "Phui! Kecuali aku sudah jadi mayat, kalau tidak, kalian jangan harap akan memperoleh Busur Api!"

Hai Sim Si Lo menyahut serentak dengan dingin sekali. "Sungguh bermulut besar!" sahut Hai Sim Si Lo serentak dengan dingin. Keempat orang tua itu maju selangkah.

Lu Leng memang sudah siap dari tadi. Ketika melihat mereka berempat maju, dia langsung membentak sambil menyerang dengan jurus Si Siang Pit Seng (Empat Penjuru Pasti Tumbuh). Tampak bayangannya berkelebatan dan terdengar suara menderu-deru mengarah pada dada Hai Sim Si Lo. Lu Leng tahu bahwa Hai Sim Si Lo berkepandaian amat tinggi, maka begitu turun tangan, dia menggunakan tenaga sepenuhnya. Keempat orang tua itu tidak berkelit, maka tak lama terdengarlah suara benturan keras.

"Blam! Blam! Blam! Blam!"

Badan keempat orang tua itu bergoyang-goyang, lalu roboh. Kejadian itu di luar dugaan Lu Leng, karena Sien Put Pah menyuruh mereka berempat mengepung Lu Leng, tentunya keempat orang tua itu berkepandaian paling tinggi di antara mereka. Akan tetapi, hanya dalam satu jurus Lu Leng telah berhasil merobohkan mereka berempat. Karena itu Lu Leng menjadi tertegun.

Sejenak kemudian ketika Lu Leng hendak menerjang ke luar, mendadak terdengar suara tertawa dingin. Ternyata Hai Sim Si Lo yang roboh itu sudah bangkit berdiri sambil tertawa dingin. Dari tawa dingin itu dapat diketahui bahwa mereka berempat sama sekali tidak terluka. Itu membuat Lu Leng tertegun lagi, namun kemudian dia sadar bahwa Hai Sim Si Lo hanya pura-pura roboh. Lu Leng segera membalikkan badannya hendak menyerang. Namun Hai Sim Si Lo sudah lebih dulu menggerakkan tangan.

“Ser! Ser!” terdengar suara, tampak empat buah cambuk meliuk-liuk bagaikan ular aneh ke arah sepasang kaki Lu Leng.

Betapa terkejutnya Lu Leng. Dia langsung mencelat ke atas sehingga keempat cambuk itu melewati kakinya. Di saat badannya merosot ke bawah, Lu Leng menyerang dua orang di antara mereka dengan jurus Siang Hong Cak Yun (Sepasang Puncak Menembus Awan). Kedua orang itu segera menjatuhkan diri lalu berguling untuk menghindari serangan tersebut, sehingga tenaga kedua jari Lu Leng menghantam tanah dan membuat tanah itu berlobang. Sambil berguling kedua orang tua itu menggerakkan cambuk masing-masing ke atas. Yang lain pun menggerakkan cambuk masing-masing ke atas.

"Tar! Tar! Tar! Tar!" timbul suara empat kali!

Keempat cambuk itu membentuk huruf X, dan bagaikan sebuah jala menekan ke arah kepala Lu Leng. Begitu menyaksikan itu, hati Lu Leng tersentak. Sejak dia berkecimpung dalam rimba persilatan, entah sudah berapa banyak jago tangguh yang dijumpainya, namun tidak pernah menghadapi ilmu silat yang seaneh itu. Keempat cambuk itu menekan ke bawah dengan cepat sekali, maka tiada waktu bagi Lu Leng untuk berpikir. Dia langsung mengeluarkan golok pusakanya lalu diayunkan ke atas.

Ternyata Lu Leng mengeluarkan jurus Go Hou Phu Yo (Harimau Lapar Menerkam Domba). Betapa cepat dan dahsyatnya serangan tersebut. Namun Hai Sim Si Lo bergerak lebih cepat. Mendadak keempat cambuk itu berpencar, masing-masing mengarah jalan darah Tay Pai Hiat, Khi Hai Hiat, Sien Lung Hiat dan Leng Tay Hiat di tubuh Lu Leng. Golok pusaka Lu Leng ternyata menyerang tempat kosong. Di saat bersamaan terdengar suara menderu-deru mengarah dirinya. Bukan main terkejutnya Lu Leng. Kini dia baru tahu bahwa dirinya sedang menghadapi musuh yang amat tangguh. Kelihatannya Hai Sim Si Lo berkepandaian lebih tinggi dibandingkan dengan keempat orang buta yang di puncak Lian Hoa Hong.

Dalam keadaan terjepit Lu Leng terpaksa mengayunkan golok pusakanya dan menyentilkan jari telunjuk kirinya. Golok pusakanya berhasil menangkis dua cambuk, dan sentilan jari telunjuknya berhasil membuat cambuk lain terpental. Walau Lu Leng sudah lolos dari bahaya, namun sekujur badan masih mengucurkan keringat dingin. Dia segera melesat ke luar, akan tetapi Hai Sim Si Lo telah mendahuluinya menggerakkan cambuk masing-masing. Terdengar suara menderu-deru, ternyata keempat cambuk itu menyerang Lu Leng dari empat penjuru.

Lu Leng tahu, kalau tidak membunuh Hai Sim Si Lo, dirinya sudah pasti sukar meloloskan diri dari kepungan mereka. Oleh karena itu, mendadak dia berdiri tegak, lalu memutar-mutarkan golok pusakanya untuk melindungi diri. Sedangkan Hai Sim Si Lo terus menyerangnya dengan cambuk. Kian lama serangan mereka bertambah gencar dan tampak bayangan cambuk berkelebatan mengurung Lu Leng.

Tak terasa mereka bertarung sudah melewati dua puluh jurus. Hai Sim Si Lo terus mendesak Lu Leng dengan serangan-serangan gencar. Lu Leng sudah merasa, makin lama tenaga tekanan cambuk-cambuk itu makin dahsyat. Walau ilmu goloknya tidak terdapat kelemahan, tapi membuatnya amat memeras tenaga karena golok pusaka yang di tangannya terasa semakin berat. Lu Leng mulai gugup dan panik karena akan kehilangan Busur Api, bahkan kemungkinan besar nyawanya pun akan melayang.

Hai Sim Si Lo ketika baru maju jelas-jelas telah terkena serangan yang dilancarkan Lu Leng dengan jurus Si Siang Pit Seng (Empat Penjuru Pasti Tum-buh). Tetapi kenapa mereka sama sekali tidak terluka? Di saat Lu Leng sedang berpikir, tenaga tekanan keempat cambuk itu pun semakin dahsyat. Dia tahu, kalau terus begini pasti celaka. Dari pada hanya bertahan, bukankah lebih baik balas menyerang juga? Lu Leng segera mengambil suatu keputusan untuk tetap memutarkan golok pusaka Su Yang To guna melindungi diri.

Saat itulah tiba-tiba dia membentak keras sambil menggerakkan lengan kirinya, mengeluarkan jurus Hong Mong Coh Khai (Turun Hujan Gerimis) dan jurus Thian Te Kun Tun (Langit Bumi Kacau Balau). Keduanya merupakan jurus kesebelas dan jurus kedua belas dari ilmu Kim Kong Sin Ci. Selain itu keduanya adalah jurus yang paling hebat dan dahsyat. Tak tanggung-tanggung lagi, Lu Leng pun mengerahkan seluruh tenaga dalamnya ke dalam kedua jurus itu. Akibatnya keempat cambuk itu terpental.

Menyaksikan keberhasilan itu, Lu Leng langsung bersiul panjang. Diayunkan cepat sekali goloknya sambil melesat menerjang ke luar. Kecepatan gerakan yang dilakukannya membuat golok di tangannya seakan lenyap, tinggal kelebatan-kelebatan bayang keperakan. Meski pun sebenarnya Sien Put Pah berkepandaian sangat tinggi, melihat terjangan Lu Leng yang begitu cepat dan menggiriskan, membuatnya tak berani menangkis. Cepat-cepat dia menyingkir. Beberapa orang yang di belakangnya, yang melihatnya menyingkir, langsung saja berlompatan mundur.

Lu Leng hampir berhasil menerjang ke luar dari kepungan ketika mendadak salah seorang Hai Sim Si Lo mencelat ke atas. Begitu cepatnya orang itu mengayunkan cambuknya ke arah punggung Lu Leng. Meski pun orang itu tak mengeluarkan suara bentakan, Lu Leng yang sedang melesat itu sempat mendengar desir angin keras di belakangnya. Namun sayang, dia terlambat melihatnya sehingga....

“Taar!”

Lu Leng terpekik kesakitan ketika dirasakan punggungnya terhantam cambuk itu. Lecutan cambuk itu ternyata begitu dahsyat, bahkan seketika itu juga Lu Leng merasakan matanya jadi berkunang-kunang. Setelah terhuyung-huyung beberapa langkah akhirnya dia jatuh ke tanah. Lu Leng tahu dirinya telah terluka. Namun ketika roboh, tangan kirinya segera menekan tanah. Dengan meminjam tenaga ini Lu Leng berhasil melesat ke depan beberapa depa jauhnya.

Hal itu sungguh di luar dugaan Hai Sim Si Lo. Mereka heran melihat Lu Leng tidak binasa terhantam cambuknya, sebaliknya malah masih dapat melesat pergi. Tentu saja orang-orang heran melihat kejadian itu. Semua terbelalak menyaksikan kemampuan Lu Leng menahan hantaman cambuk itu. Kini Lu Leng sudah berada di luar kepungan lawan, namun karena baru saja mengerahkan tenaga dalam, maka lukanya bertambah parah.

"Uaaakh!" mulut Lu Leng menyemburkan darah segar, lalu terkulai tak dapat bangun lagi.

Betapa girangnya Hai Sim Si Lo melihat Lu Leng terkulai tak bangun lagi. Mereka serentak menghampirinya. Akan tetapi mendadak saja terdengar suara bentakan bagaikan geledek membelah bumi. Semua orang tersentak. Ada yang menjerit karena telinga mereka jadi pekak dan kesakitan, bahkan seakan menjadi tuli seketika. Bersamaan dengan bentakan keras dan menggetarkan itu, tampak sesosok bayangan berkelebat begitu cepat menuju tempat Lu Leng. Maka karena begitu gusamya, Sien Put Pah membentak.

"Kurang ajar kau...!"

Hampir bersamaan dengan bentakannya, orang bertubuh tinggi besar yang baru datang itu melancarkan sebuah pukulan. Bukan main dahsyatnya pukulan itu, menimbulkan angin yang menderu-deru. Menyaksikan itu, Hai Sim Si Lo segera menyadari adanya bahaya. Mereka berempat segera menggerakkan cambuk masing-masing ke arah orang itu. Namun secepat kilat tubuh orang itu berputar. Secepat itu pula tangan kirinya menyambar Lu Leng seraya mengibaskan ujung lengan jubah kanannya ke arah Hai Sim Si Lo. Tampak keempat orang tua itu saling terdorong mundur tiga langkah. Maka melihat keempat lawan terdorong mundur, orang berjubah itu tak membuang-buang waktu, langsung melesat pergi.

Kemunculan orang itu tanpa menimbulkan suara, hanya memperdengarkan suara bentakan yang menggelegar. Melancarkan pukulan dan lain sebagainya dengan cepat sekali. Bahkan hanya dengan kibasan ujung lengan jubah dia dapat memundurkan Hai Sim Si Lo dan Sien Put Pah, lalu menjinjing Lu Leng melesat pergi. Betapa hebatnya orang itu, membuat semua orang jadi tertegun dan terkesima.

Mendadak Oey Sim Tit mengeluarkan seruan dan langsung melesat pergi mengejar. Melihat Oey Sim Tit pergi mengejar, Hai Sim Si Lo berseru,

"Naik kuda! Kejar!"

Seketika semua orang meloncat ke punggung kuda. Terdengarlah derap kaki kuda yang amat ramai sekali berpacu memburu ke arah larinya Oey Sim Tit. Semua kejadian yang berlangsung begitu singkat itu tak diketahui dengan jelas oleh Lu Leng. Dia hanya sempat mendengar suara bentakan yang mengguntur, lalu merasa dirinya dibawa pergi. Ia tak dapat membayangkan seberapa tingginya kepandaian orang yang menolongnya.

Namun Lu Leng justru tidak tahu, siapa sebenarnya orang yang bertindak sebagai dewa penolong ini. Sebab ketika terkulai posisinya tengkurap. Sedangkan orang itu menyambar baju bagian punggungnya, maka muka Lu Leng tetap menghadap ke bawah, tidak dapat melihat wajah orang tersebut. Selain itu, entah sengaja atau tidak, jempol tangan orang itu terus menekan jalan darah Leng Tay Hiat di punggung Lu Leng. Hal itu membuatnya tidak dapat menghimpun hawa murni guna mengobati Iukanya, bahkan juga tidak dapat memalingkan kepala untuk melihat orang itu. Lu Leng hanya merasa ginkang orang itu amat tinggi.

“Apakah orang ini Yok Kun Sih ketua Hui Yan Bun?” tanya Lu Leng dalam hati.

Teringat akan Yok Kun Sih, Lu Leng merasa tidak mau diselamatkannya. Sebab jika Yok Kun Sih muncul, Toan Bok Ang pasti bersamanya. Dia tak tahu harus bagaimana jika bertemu gadis itu. Namun kemudian Lu Leng melepaskan dugaan tersebut, karena bentakan mengguntur tadi jelas bukan suara bentakan wanita.

Mendadak orang itu melesat ke samping. Lu Leng merasa orang itu membungkukkan badannya memungut seraup batu kecil, lalu dilempar ke depan hingga menimbulkan suara menderu-deru. Bukan main tingginya lweekang orang itu, batu-batu kerikil yang dilemparkan meluncur laksana kilat. Saat itu terlihat olehnya seperti ada orang berlari kencang ke arahnya. Orang tersebut cepat membungkukkan badan dan bersembunyi di dalam rerumputan. Lu Leng tahu apa sebabnya orang itu berbuat begitu, tidak lain untuk mengalihkan perhatian orang-orang yang mengejarnya.

Memang benar, tampak Oey Sim Tit terus mengejar orang itu. Ketika melihat Oey Sim Tit tertipu sehingga terus mengejar, Lu Leng jadi terperangah. Oey Sim Tit memiliki ginkang yang amat tinggi, hal itu tidak perlu diragukan lagi. Namun kenapa Oey Sim Tit tak mampu juga menyusulnya? Dari kenyataan inilah Lu Leng tahu kalau orang yang membawanya pergi ini memiliki ginkang yang tak alang kepalang tingginya.

Lu Leng menarik nafas dalam-dalam. Ketika berniat ingin bersuara, mendadak terdengar suara derap kaki kuda. Tak lama terlihat lebih dari dua puluh ekor kuda melewati mereka. Orang itu menjinjing Lu Leng lagi, kemudian melesat pergi. Dia tidak melalui jalan besar, melainkan melewati sisi jalan yang penuh batu. Setelah menempuh kira-kira sekitar delapan mil barulah berhenti.

Lu Leng segera mengungkapkan perasaan yang sejak tadi ditahannya dalam hati. "Terima-kasih atas pertolongan cianpwee!"

Orang itu tidak bersuara. Sia masih menjinjing Lu Leng, namun kemudian menaruh Lu Leng di bawah sebuah pohon. Karena ingin tahu siapa orang itu, maka begitu diturunkan ke tanah Lu Leng segera membalikkan badan. Orang itu berdiri di hadapannya. Kini Lu Leng yang tergeletak di tanah dapat melihat dengan jelas. Orang itu berbadan tinggi besar, mengenakan jubah abu-abu. wajahnya mengandung wibawa dengan sepasang mata menyorot tajam. Siapa orang itu? Dia tidak lain Liat Hwe Cousu, ketua Hwa San Pai. Seketika hati Lu Leng langsung berubah dingin. Dia terdiam.

“Seharusnya dari tadi aku sudah menduganya,” pikir Lu Leng yang seakan menyesali dirinya, sebab selain gurunya dan Cit Sat Sin Kun-Tam Sen, siapa lagi orangnya yang punya kepandaian setinggi itu.

Lu Leng mestinya merasa gembira karena dirinya telah diselamatkan. Tapi setelah tahu siapa yang menyelamatkannya, rasa girang itu pupus. Sebab bagaimana sifat Liat Hwe Cousu di rimba persilatan, Lu Leng sudah pernah menerima pelajarannya. Boleh dikatakan terlepas dari mulut harimau justru masuk ke mulut serigala. Liat Hwe Cousu menatapnya dengan dingin lama sekali.

"Bocah, sudah lama kita tidak berjumpa!" ujarnya kemudian dengan suara rendah.

Lu Leng memaksa diri untuk menghimpun hawa murni, lalu duduk. "Terima kasih atas pertolongan cianpwee."

Liat Hwe Cousu berkata dengan dingin. "ltu tidak terhitung apa-apa! Hanya karena kau tidak banyak mulut!"

Lu Leng tahu apa yang dimaksudkan Liat Hwe Cousu. Liat Hwe Cousu menolongnya sebab dia tidak menceritakan tentang kejadian di gunung Tang Ku Sat. Dia pun terpaksa menyunggingkan senyum.

"ltu juga tidak terhitung apa-apa," ujarnya pula.

Liat Hwe Cousu tertawa aneh. "Apa kau tahu sebenarnya tak hanya suatu kebetulan aku melewati tempat itu?"

Lu Leng menggeleng-geleng kepala.

Liat Hwe Cousu tertawa aneh lagi. "Terus terang, sudah tiga empat hari aku mencari mu. Jadi pertemuan ini bukan merupakan suatu kebetulan!"

Tersentak hati Lu Leng ketika mendengar itu, namun dia berusaha tenang. "Ada urusan apa cousu mencariku?" tanyanya kemudian.

Liat Hwe Cousu mendengus, "Hm! Kau pandai berpura-pura. Mana Busur Api itu, cepat berikan padaku!”

Lu Leng tersentak mendengar ucapan orang tua itu. "Busur Api itu tidak berada padaku, telah kusembunyikan di suatu tempat."

Liat Hwe Cousu tertawa gelak. "Hahaha! Bocah, kau ingin mempermainkan aku? Itu masih jauh!"

Sembari berkata, Liat Hwe Cousu pun kembali menjinjing Lu Leng dan diangkat tinggi-tinggi. Karena tengah terluka parah, Lu Leng sama sekali tidak bisa melawan. Setelah menjinjing Lu Leng ke atas, Liat Hwe Cousu merogoh ke dalam bajunya. Maka Busur Api itu berpindah ke tangannya. Liat Hwe Cousu tertawa dingin sambil menjatuhkan tubuh Lu Leng ke tanah.

Melihat Liat Hwe Cousu mengambil Busur Api itu, guguplah Lu Leng. Dia tahu Liat Hwe Cousu berhati culas. Walau menghendaki Busur Api untuk menghadapi Liok Ci Khim Mo, namun bisa jadi dia bertujuan lain, tidak seperti tujuan Lu Leng, Tong Hong Pek dan lainnya yang ingin menyelamatkan rimba persilatan. Liat Hwe Cousu biasa mementingkan diri sendiri, ini sudah banyak diketahui orang.

Lu Leng segera membentak, "Kalau kau tidak mengembalikan Busur Api itu, aku akan menyiarkan kebusukanmu kepada kaum persilatan!"

Wajah Liat Hwe Cousu langsung berubah, sepasang matanya menyorot aneh menatap Lu Leng. Lu Leng tahu Liat Hwe Cousu sedang mengerahkan ilmu Hian Sin Hoat, maka dia tidak berani beradu pandang dengan mata ketua Hwa San Pai itu.

"Bocah, kau yang mencari mati sendiri!" dengus Liat Hwe Cousu, lalu tertawa dingin.

Mendengar Liat Hwe Cousu berkata begitu, tergoncanglah hati Lu Leng. Liat Hwe Cousu terus tertawa dingin, lalu tiba-tiba mengangkat sebelah tangannya siap memukul ubun-ubun Lu Leng. Lu Leng tahu, saat ini Liat Hwe Cousu ber-sungguh-sungguh ingin membunuhnya. Sadar kalau tidak mungkin meloloskan diri, maka Lu Leng memejamkan mata, merasa tegang.

Belum sampai hal itu terjadi, mendadak dari atas sebuah pohon melayang turun seseorang tanpa mengeluarkan suara. Namun agaknya Liat Hwe Cousu sudah merasakan itu. Dia cepat membalikkan badan. Orang yang melayang turun dari pohon langsung saja melancarkan serangan sebelum sempat menjejakkan kakinya di tanah. Lu Leng sudah melihat jelas orang itu yang ternyata Giok Bi Sin Kun-Tong Hong Pek, gurunya.

Liat Hwe Cousu yang tak sempat melihat jelas orang itu cepat menggerakkan tangannya untuk menangkis, sebab dia dapat menduga orang itu pasti menyerangnya. Maka tak terelakkan terjadilah benturan hebat hingga memperdengarkan suara keras. Baik Liat Hwe Cousu mau pun Tong Hong Pek sama-sama terdorong mundur beberapa langkah. Walau Liat Hwe Cousu bergerak cepat, tapi kemunculan Giok Bi Sin Kun-Tong Hong Pek amat mendadak. Lagi-pula ketika melancarkan serangan Tong Hong Pek menggunakan sepasang tangannya, sebab maksudnya ingin merebut Busur Api dari tangan Liat Hwe Cousu.

Ketika Liat Hwe Cousu merasa ada yang tidak beres, Giok Bi Sin Kun-Tong Hong Pek sudah mencelat mundur, bahkan telah berhasil merebut Busur Api itu. Liat Hwe Cousu berkepandaian amat tinggi, tapi ternyata dengan mudah Tong Hong Pek merebut Busur Api dari tangannya. Mungkin hal itu karena keadaan Liat Hwe Cousu yang kurang siap. Mendapati Busur Api berpindah tangan, hati Liat Hwe Cousu amat terkejut dan gusar. Dia bersiul aneh sambil memutarkan badannya. Namun sejauh itu pun Liat Hwe Cousu belum dapat melihat jelas siapa yang merebut Busur Api itu, sebab begitu cepat orang itu melancarkan tiga kali pukulan dan tendangan.

"Hahaha! Liat Hwe tua, kenapa kau menyerang hingga begitu sengit?"

Begitu Tong Hong Pek berhasil menghindari serangan dan berhenti sejenak, barulah Liat Hwe Cousu tahu siapa yang merebut Busur Api itu. Pada dasarnya Liat Hwe Cousu memang agak segan terhadap Tong Hong Pek, namun saat ini justru bertemu orang itu.

"Kembalikan Busur Apiku!" bentak Liat Hwe Cousu dengan wajah kemerahan karena geram.

Tong Hong Pek menjura sambil tersenyum. "Maaf! Maaf! Temyata Busur Api ini milikmu!" ujarnya berseloroh.

Liat Hwe Cousu tahu, kalau pun terus menyerang Tong Hong Pek dia tetap tidak dapat memenangkannya. Maka mendengar Tong Hong Pek berkata begitu, mendadak dia membalikkan badannya dan langsung melesat ke arah Lu Leng yang tergeletak di tanah. Maksud Liat Hwe Cousu ingin menangkap Lu Leng, apabila Lu Leng sudah berada di tangannya tentu Tong Hong Pek akan menyerahkan Busur Api kepadanya.

Akan tetapi Tong Hong Pek sudah menduga itu. Ketika Liat Hwe Cousu melesat ke arah Lu Leng, dia pun melesat bagaikan kilat mengikuti Liat Hwe Cousu. Sekejap Liat Hwe Cousu sudah berada di sisi Lu Leng, namun sebelum menjulurkan tangannya mencengkeram Lu Leng, Tong Hong Pek sudah menyerang punggungnya. Liat Hwe Cousu mengurungkan niatnya menyambar tubuh Lu Leng, Dia bergerak cepat mengelak dari serangan Tong Hong Pek. Namun mendadak saja terdengar suara,

"Krek!" ternyata lengan Tong Hong Pek bertambah panjang, sehingga berhasil memukul pantat Liat Hwe Cousu.

“Plaak!” bukan main nyaringnya meski pun tidak mengandung tenaga.

Tong Hong Pek tertawa gelak. "Hahaha! Sebagai ketua suatu partai besar kau tidak tahu malu! Maka kau harus dipukul!"

Setelah berkelit beberapa depa jauh, barulah Liat Hwe Cousu membalikkan badannya. Berkecimpung dalam rimba persilatan sudah puluhan tahun, entah sudah berapa banyak jago tangguh yang dihadapinya. Sebelum Liok Ci Khim Mo muncul, Thian Ho Si Lo, Tong Hong Pek, dan Cit Sat Sin Kun-Tam Sen tak pernah ditemuinya. Kini Liat Hwe Cousu boleh dikatakan jago nomor wahid dalam rimba persilatan. Semua orang tahu sifatnya yang angkuh. Kaum rimba persilatan, kalau bertemu dia pasti memberi hormat. Kapan dia pernah menerima penghinaan seperti ini? Itu membuatnya nyaris pingsan seketika!

Tong Hong Pek melihat wajah Liat Hwe Cousu menghijau, sepasang matanya mendelik dan sekujur badan terus bergetar. Dalam hati dia tahu gurauannya tadi agak kelewat batas. Meski pun punya sifat angkuh, Liat Hwe Cousu merupakan pesilat tangguh yang amat berguna untuk menghadapi Liok Ci Khim Mo.

"Liat Hwe tua, kenapa kau menganggap ini sungguhan...?" ujar Tong Hong Pek sambil tersenyum.

Liat Hwe Cousu menggeram. Mendadak sepasang telapak tangannya didorong ke depan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Mengetahui adanya bahaya yang mengancam, Giok Bi Sin Kun-Tong Hong Pek cepat-cepat mundur selangkah. Dia segera mengibaskan lengan baju kirinya ke arah Lu Leng, membuat tubuh pemuda itu terpental beberapa depa. Sedangkan Liat Hwe Cousu segera maju selangkah. Tenaga di telapak tangannya terus menekan Giok Bi Sin Kun-Tong Hong Pek.

Sesungguhnya Tong Hong Pek ingin menghindar, tak ingin berniat mengadu tenaga dengan ketua Hwa San Pai itu. Sebab dalam keadaan demikian, apabila beradu tenaga tentunya akan sama-sama terluka. Namun Giok Bi Sin Kun-Tong Hong Pek telah terlambat selangkah. Karena tenaga tekanan itu semakin dahsyat, sehingga tak mungkin lagi baginya untuk menghindarkannya. Apa boleh buat! Tong Hong Pek bergerak cepat menyimpan Busur Api ke dalam bajunya, lalu menangkis dengan sepasang telapak tangannya.

Sungguh dahsyat tenaga telapak tangan mereka. Batu-batu di sekitar tempat itu tampak berpentalan jauh terkena sasaran kedua tenaga sakti itu. Ledakan-ledakan keras dan menggetarkan pun terdengar memekakkan telinga. Tak terelakkan lagi, benturan-benturan hebat terjadi ketika kedua tokoh tua ini sama-sama tak mampu menahan diri. Mereka saling mengadu tenaga masing-masing.

Begitu beradu mereka tidak bisa mundur lagi, karena pihak mana pun yang mundur tentu akan tertekan oleh tenaga lawan. Dan jelas pasti akan celaka bagi yang mundur. Karena itu mereka maju selangkah sehingga terdengar suara benturan lagi yang amat dahsyat. Pakaian kedua orang tua itu yang berupa jubah-jubah longgar seperti jadi melekat pada tubuh masing-masing. Begitu juga dengan rambut mereka yang jadi awut-awutan tidak karuan.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar