Harpa Iblis Jari Sakti Chapter 20

Padahal setelah berada di atas perahu besar itu, mereka tak mendapatkan seorang pun.
Tentunya mereka berdua akan bercuriga, maka seharusnya mereka berdua menyelidiki perahu besar itu. Akan tetapi mereka berdua masih muda dan bersifat amat keras. Begitu bertatap muka, mata mereka pun langsung memerah.

Setelah memperoleh golok itu, Lu Leng ingin menjajal bagaimana hebatnya. Dia maju selangkah dan langsung mengeluarkan jurus Lang Thau Siung Yung (Ombak Menderu-deru). Tampak golok pendek itu berkelebatan memancarkan cahaya kebiru-biruan.

Ketika Han Giok Shia berkelebat ke dalam ruangan ini, dia pun melihat Lu Leng meraih golok pendek. Kini dilihatnya golok pendek itu memancarkan cahaya kebiru-biruan, maka hatinya menjadi tergerak. Ternyata terhadap golok pendek itu terdapat kesannya yang amat dalam. Hanya saja, dalam keadaan ini dia sama sekali tidak ingat.

Han Giok Shia tidak berani langsung menangkis golok pendek itu, melainkan terlebih dahulu mundur selangkah. Kemudian dia mendadak mengayunkan Pecut Emasnya ke sebuah kursi. Setelah ujungnya melilit kursi itu baru disentakkan ke arah Lu Leng, sehingga kursi itu melayang ke arah golok pendek.

Jurus yang dikeluarkan Lu Leng amat cepat, maka begitu kursi itu melayang ke arah golok pendek, seketika juga terbelah dua. Kelihatannya Lu Leng tidak mengerahkan tenaga, namun kursi yang dibikin dari kayu harum itu langsung terbelah dua. Hal itu membuat Han Giok Shia tertegun, begitu pula Lu Leng sendiri. Anak muda itu terbelalak seakan tidak percaya akan penglihatannya sendiri.

Ketika mengambil golok pendek itu, Lu Leng sudah tahu bahwa golok itu agak luar biasa, namun tidak mengira kalau begitu tajam. Betapa girang hatinya. Badannya maju dan segera melancarkan serangan lagi terhadap Han Giok Shia. Badan gadis itu berputar menghindar sekaligus mengayunkan Pecut Emasnya untuk balas menyerang, mengarah jalan darah Tay Pai Hiat di pinggang Lu Leng. Lu Leng cepat-cepat berkelit, kemudian berturut-turut menyerang dengan tiga jurus.

Lu Sin Kong memang ahli ilmu golok, setiap jurusnya amat aneh dan lihay. Sejak kecil Lu Leng sudah belajar ilmu golok, hanya saja lweekang-nya masih dangkal. Namun ilmu goloknya justru merupakan ilmu golok tingkat tinggi. Ketiga jurus itu adalah Thian Hou Sam Sek (Tiga jurus Harimau Langit), yaitu Wa Hou Seh Seng (Harimau Mendekam), Go Hou Phu Yo (Harimau Lapar Menerkam Domba), dan jurus Nuh Hou Eng Cit (Harimau Marah Meloncat). Semuanya mengandung tenaga lunak dan keras, boleh dikatakan merupakan ilmu golok yang paling hebat. Lu Leng sekaligus mengeluarkan ketiga jurus itu, maka tampak golok pendek itu berkelebatan memancarkan cahaya kebiru-biruan.

Yang merugikan diri Han Giok Shia, yakni bahu kirinya masih belum begitu sembuh, sehingga membuat gerakannya tidak begitu gesit. Lagi-pula golok pendek itu amat tajam, maka dia tidak tahu Pecut Emasnya dapat menahan bacokan golok pendek itu atau tidak. Karena ragu akan Pecut Emasnya, maka dia hanya berkelit saja. Dia berhasil berkelit dari dua jurus serangan Lu Leng, namun jurus ketiga begitu cepat dan aneh, mengarah lehernya. Han Giok Shia cepat-cepat menundukkan kepala, namun golok pendek itu justru berhasil memangkas sedikit rambut gadis tersebut.

"Hahaha! Gadis busuk, kau boleh jadi biarawati!"

Tadi Han Giok Shia berada di atas angin, namun kini berbalik malah Lu Leng yang berada di atas angin. Bahkan golok pendek itu berhasil memangkas sedikit rambutnya, sehingga membuat kegusarannya semakin memuncak. Gadis itu membentak keras, menyusul terdengar suara lecutan.

"Taar!" Pecut Emas itu langsung mengarah jalan darah Hwa Kay Hiat di dada Lu Leng.

Lu Leng segera menurunkan tangannya, lalu mendadak mengayunkan golok pendeknya untuk menyabet Pecut Emas yang mengarah bagian dadanya. Han Giok Shia ingin menarik kembali Pecut Emasnya, tapi terlambat. Saat ini perasaan mereka berdua amat tegang. Apabila Pecut Emas itu putus tersabet golok pendek, siapa yang akan menang pasti ketahuan. Namun kalau Pecut Emas itu tidak putus, mereka berdua pasti bertarung seimbang saja.

Tampak golok pendek itu telah menyabet Pecut Emas. Han Giok Shia segera menyentak Pecut Emas itu untuk dilihat, ternyata tidak cacat sedikit pun. Seketika Han Giok Shia mulai bersemangat lagi. Kalau dia tahu Pecut Emas itu tidak akan putus membentur golok pendek tersebut, rambutnya pun tidak akan terpangkas sedikit, dan Lu Leng tidak akan berada di atas angin. Han Giok Shia langsung menyerang Lu Leng bertubi-tubi.

Lu Leng cepat-cepat menangkis dengan golok pendek, maka terjadilah pertarungan yang amat sengit. Mereka terus bertarung, padahal sudah sehari semalam kedua-duanya belum mengisi perut, juga belum beristirahat. Maka saat ini keadaan mereka sudah lelah sekali. Akan tetapi tiada seorang pun di antara mereka yang mau berhenti, walau gerakan mereka sudah semakin lamban.

Sementara perahu besar itu terus meluncur. Siapa pun tidak akan menyangka bahwa dalam perahu sebesar itu hanya terdapat dua orang, justru merupakan musuh besar pula. Perahu besar itu terus meluncur mengikuti arus, sehingga perahu lain yang berukuran kecil langsung menyingkir. Lu Leng dan Han Giok Shia terus bertarung hingga siang hari, sampai akhirnya mereka berhenti karena masing-masing sudah tidak punya tenaga untuk melanjutkan pertarungan. Mereka berdua duduk dengan nafas memburu.

Berselang beberapa saat, Lu Leng mulai membuka mulut. "Gadis busuk, lihatlah apakah ada makanan di perahu ini? Kalau sudah kenyang, kita bertarung lagi!"

Han Giok Shia menyahut. "Bocah busuk, kau tidak bisa melihat sendiri?"

Lu Leng tertawa. "Hahaha! Aku orang gagah yang berhati terbuka, kau jangan khawatir aku akan membokongmu!"

"Kentut! Apakah aku orang rendah?"

Lu Leng menatapnya. "Kau tahu sendiri itu!"

Han Giok Shia langsung naik darah. Ketika dia baru mau menerjang ke arah Lu Leng, mendadak dia berdiri mematung di tempat sambil memandang meja yang ada di sisinya. Lu Leng juga memandang ke meja, lalu tertegun! Ternyata di pinggir meja itu terdapat sebuah bekas telapak tangan. Sesungguhnya tidak aneh, sebab Lu Leng memperoleh golok pendek itu di situ, pertanda orang-orang yang di perahu itu kaum rimba persilatan.
Akan tetapi, bekas telapak tangan itu, di jari jempol bercabang sebuah jari, jadi berjumlah enam jari.

Lu Leng mendengar dari Tong Hong Pek, sedangkan Han Giok Shia mendengar dari Tam Ek Hui. Mereka berdua sudah tahu tentang Pat Liong Thian Im, juga tahu kini Pat Liong Thian Im berada di tangan siapa, yang walau tidak begitu jelas, tapi orang itu memiliki enam jari. Oleh karena itu mereka berdua tertegun dan lama sekali tidak bersuara. Berselang sesaat, mereka saling memandang. Sebetulnya dalam hati masing-masing ingin bersahabat. Akan tetapi begitu saling memandang, api kebencian dalam hati mereka mulai menyala lagi.

Lu Leng tertawa dingin seraya berkata. "Gadis busuk, kau takut kan?"

Han Giok Shia melotot. "Kau yang takut!"

Lu Leng bangkit berdiri sambil menatap gadis itu dengan sinis, "Kau tidak lapar, tapi aku sudah lapar. Kalau kau memang kuat, mari kita bersama menahan lapar!"

Han Giok Shia langsung meludah, "Phui! Berdasarkan apa aku harus menahan lapar?"

Lu Leng manggut-manggut. "ltu bagus, sebelum makan tentunya kita tidak bisa bertarung! Setelah makan, barulah kita melanjutkan!"

Han Giok Shia berpikir, kalau terus lapar begini, itu memang tidak baik. Perahu ini sedemikian besar, sudah pasti terdapat makanan. Usai makan baru bertarung, itu masuk akal. Gadis itu tertawa dingin.

"Omong kosong, siapa takut padamu?"

Mereka berdua lalu pergi mencari makanan. Dugaan mereka memang tidak meleset, di dalam perahu besar itu terdapat makanan kering, maka mereka berdua segera makan dengan lahapnya.

Seusai makan, Lu Leng berseru. "Gadis busuk, tuan muda mau tidur sebentar, malam nanti baru bertarung denganmu!"

Han Giok Shia cuma mendengus dingin, kemudian mereka masing-masing memasuki sebuah ruangan. Walau mereka berdua saling membenci dan mendendam, namun sama sekali tidak melakukan serangan gelap. Mereka berdua memang sudah lelah dan mengantuk sekali, maka begitu pulas langsung hingga malam barulah mendusin. Mereka makan kenyang dan tidur nyenyak, maka begitu mendusin rasanya bersemangat sekali.

Lu Leng yang pergi ke geladak duluan. Perahu itu masih terus meluncur. Lu Leng segera berteriak memanggil Han Giok Shia. Gadis itu segera ke geladak. Mereka berdua saling mencaci, kemudian mulai bertarung lagi. Mereka berdua bertarung di malam hari, maka amat berhati-hati sekali dan masing-masing mengeluarkan jurus-jurus andalan. Pertarungan itu berlangsung hingga pagi, namun tetap tiada yang kalah dan menang. Mereka berhenti, lalu masing-masing pergi mencari makanan. Usai makan mereka pun beristirahat sejenak, setelah itu mulai bertarung lagi. Begitulah mereka berdua terus bertarung di geladak hingga lima hari lima malam. Dalam waktu lima hari mereka berdua hanya makan, beristirahat, lalu kembali bertarung. Namun ada satu keuntungan yakni kepandaian mereka menjadi bertambah maju.

Pada hari ke enam, mereka berdua bertarung lagi hingga pagi. Mereka berdua merasa ada sedikit keganjilan, karena sungai itu semakin luas seakan tiada batasnya. Mereka berdua tidak begitu memperhatikan, hanya pergi mencari makanan. Seusai makan dan ketika Lu Leng baru mau beristirahat, mendadak dia memandang ke luar. Air sungai yang kekuning-kuningan itu tampak sudah berubah menjadi kebiru-biruan. Di permukaan air, tampak burung-burung beterbangan dan itu membuat Lu Leng terkejut bukan main. Walau dia jarang bepergian jauh namun cukup berpengetahuan, maka begitu melihat keadaan itu, dia segera tahu bahwa perahu besar itu terus meluncur akhirnya sampai di laut.

Lu Leng berdiri tertegun dengan hati berdebar-debar, kemudian dia berpaling, Dilihatnya Han Giok Shia berdiri di buritan tak bergerak sama sekali. Lu Leng yang amat membencinya langsung tertawa gelak. Han Giok Shia menoleh, keningnya tampak berkerut-kerut.

"Bocah busuk, masih tertawa?"

Lu Leng langsung balas mencaci, "Gadis busuk, kita tetap bertarung seimbang! Kini sudah berada di tengah-tengah laut, tentunya aku tertawa!"

Dalam waktu beberapa hari ini bahu kiri Han Giok Shia sudah sembuh. Setiap kali bertarung dia memang selalu berada di atas angin. Akan tetapi kini sudah berada di tengah-tengah laut, sedangkan perahu besar itu akan terus terombang-ambing, maka tidak mungkin akan dapat kembali ke daratan lagi. Teringat akan Tam Ek Hui yang berada di Holam menunggunya, hatinya bertambah kacau, maka tanpa sadar air matanya meleleh.

Lu Leng mendekatinya. Ketika melihat air mata gadis itu meleleh, dia menjadi gembira sekali dan langsung tertawa, "Hahaha! Gadis busuk, kau menangis ya?"

Han Giok Shia mendongakkan kepala. "Siapa yang menangis?"

Lu Leng tertawa terbahak-bahak. "Hahaha! Betul! Siapa yang menangis? Siapa yang menangis akan jatuh ke laut menjadi kura-kura!"

Saat ini Lu Leng melihat dirinya sendiri tanpa sengaja berada di tengah-tengah laut. Teringat akan dendam kedua orang-tuanya yang belum terbalas, teringat akan cinta kasih Tam Goat Hua dan gurunya, dia menjadi ingin menangis. Namun dia anak lelaki, tidak gampang menangis, sebaliknya malah mentertawakan Han Giok Shia sekaligus menyindirnya.

Air mata Han Giok Shia masih meleleh, namun gadis itu mendadak mengayunkan Pecut Emasnya ke arah Lu Leng. Mereka berdua telah bertarung berhari-hari, boleh dikatakan sudah menghafal gerakan masing-masing. Maka begitu melihat Han Giok Shia menyerangnya, Lu Leng pun langsung berkelit dengan cepat sekali.

Lu Leng tertawa dingin. "Masih juga jurus-jurus itu? Jangan memperlihatkan keburukan sendiri!"

Han Giok Shia segera menarik kembali Pecut Emasnya. Tanpa menghapus air matanya, dia menatap Lu Leng sambil bertolak pinggang. "Sungguh tak tahu malu! Kalau bukannya kau menggunakan siasat mengambil senjataku, kau pasti sudah jadi mayat!"

Lu Leng menepuk pinggangnya seraya menyahut. "Kalau punya kepandaian silakan ambil kembali.”

Han Giok Shia tahu, kalau cuma mengandalkan Pecut Emas dia memang sulit mengalahkan Lu Leng. Sedangkan senjata andalannya, Liat Hwe Soh Sim Lun justru berada di pinggang Lu Leng. Ketika mendengar Lu Leng berkata begitu, dalam hatinya bertambah gusar.

"Kalau kau memang gagah, kenapa masih menyimpan senjata orang lain? Baik, anggaplah kuberikan kau Liat Hwe Soh Sim Lun itu. Aku ingin lihat apakah kau dapat menjagoi rimba persilatan dengan senjata itu?"

Lu Leng beradat keras. Maka begitu mendengar ucapan Han Giok Shia dia tertawa dingin dan langsung mengeluarkan Liat Hwe Soh Sim-Lun itu, lalu berkata dengan sungguh-sungguh, "Kalau kau merasa penasaran, silakan rebut kembali senjata ini!"

Begitu mendengar ucapan itu, Han Giok Shia girang sekali. Gadis itu tahu, apabila berhasil merebut kembali senjata itu dia pasti dapat merobohkan Lu Leng. Walau dia akan berhasil membunuh Lu Leng, kemungkinan besar dia pun akan mati di tengah-tengah laut ini. Tapi biar bagaimana pun harus melampiaskan kegusaran dalam hatinya. Karena khawatir Lu Leng menyesal, maka cepat-cepat bertanya, "Kau berani?"

Liat Hwe Soh Sim Lun memang merupakan senjata istimewa yang amat luar biasa. Namun berada di tangan Lu Leng, senjata itu berubah seperti barang rongsokan yang tak berguna. Kalau pun Han Giok Shia tidak memanasi hatinya, dia juga tidak akan menyesal.

Lu Leng tertawa nyaring. "Aku akan menggunakan cara yang paling adil. Senjata ini akan digantung di dinding, lihat siapa yang berkepandaian untuk mengambilnya!"

Han Giok Shia manggut-manggut, "Baik!"

Lu Leng mengayunkan Liat Hwe Soh Sim Lun ke arah dinding perahu.

"Plak!", senjata tersebut menancap di dinding itu dengan ketinggian hampir tiga depa.

Setelah itu Lu Leng berkata dengan dingin, "Tadi kau sudah mengucurkan kencing kuda, maka biar kau turun tangan duluan!"

Tadi Han Giok Shia mengucurkan air mata, namun Lu Leng justru mengatainya mengucurkan kencing kuda, itu membuat wajahnya merah padam saking gusar. Maka gadis itu mengambil keputusan. Apabila berhasil merebut senjata tersebut, dia pasti akan menyiksanya hingga mati, lalu dia pun akan menangis sepuas-puasnya. Setelah mengambil keputusan itu, Han Giok Shia mengayunkan senjatanya untuk menyerang Lu Leng dengan jurus Yah Hwe Sioh Thian (Api Liar Membakar Langit).

Ketika Lu Leng baru mau menangkis serangan itu dengan golok pendek, mendadak Han Giok Shia menarik kembali Pecut Emasnya. Ternyata itu cuma serangan tipuan. Lu Leng tertegun, sedangkan badan Han Giok Shia sudah mencelat ke atas. Hwe Hong Sian Kouw, guru gadis itu punya hubungan dengan Hui Yan Bun, maka memiliki ginkang tinggi. Begitu pula Han Giok Shia, begitu mencelat ke atas dia sudah hampir mencapai tiga depa.

Lu Leng gugup melihatnya. Sesungguhnya dia tidak mempedulikan senjata itu, hanya saja saat ini mereka menggunakan kepandaian untuk merebut senjata tersebut! Apabila gadis itu berhasil merebut senjata itu, sudah pasti akan mentertawakannya, itu membuatnya tidak tahan. Oleh karena itu Lu Leng menghimpun hawa murni, lalu mencelat ke atas pula. Akan tetapi dia tidak mencapai setinggi Han Giok Shia. Lu Leng memang tahu ginkang-nya tidak bisa menyamai ginkang Han Giok Shia. Maka ketika mencelat ke atas, dia pun menyerang gadis itu dengan jurus Li Kiau Pou Thian (Gadis Cerdik Menambal Langit), yaitu jurus serangan dari bawah ke atas mengarah pada kedua kaki Han Giok Shia.

Di saat Han Giok Shia mencelat ke atas, dia pun mengayunkan Pecut Emasnya melilit sebuah tiang yang melintang di atas. Maksudnya ingin bergantung di situ agar dapat mengambil Liat Hwe Soh Sim Lun. Akan tetapi Lu Leng sudah menyerangnya dari bawah, maka betapa terkejutnya gadis itu. Sebab saat ini Pecut Emas itu sudah melilit tiang, otomatis dia tidak bisa menangkis. Sedangkan serangan Lu Leng begitu cepat, membuatnya tidak punya kesempatan untuk menghimpun hawa murni agar badannya bisa melambung ke atas.

Di saat yang amat bahaya itu, mendadak Han Giok Shia menyentakkan Pecut Emasnya sehingga membuat badannya naik sedikit, kemudian barulah melayang turun. Untung dia menyentakkan Pecut Emasnya, kalau tidak, sepasang kakinya pasti sudah tersambar golok Lu Leng. Akan tetapi, dikarenakan itu dia pun tidak berhasil mengambil Liat Hwe Soh Sim Lun tersebut.

Betapa girangnya Lu Leng ketika melihat Han Giok Shia menghindar cukup jauh. Dia segera mencelat ke atas, lalu menancapkan golok pendek di dinding, dan tampak badannya berayun ke atas lagi. Namun mendadak dia mendengar suara tawa nyaring. Ternyata Han Giok Shia bagaikan seekor burung elang menerjang ke arah Liat Hwe Soh Sim Lun dari atas, itu membuat Lu Leng terheran heran.

Ternyata ketika Lu Leng mencelat ke atas, Han Giok Shia pun ikut mencelat ke atas pula, lalu mengayunkan Pecut Emasnya untuk melilit tiang yang melintang di atas. Dia menyentak sehingga badannya melambung ke atas, setelah itu mendadak dia melesat ke arah senjata tersebut. Padahal Lu Leng sudah bergirang dalam hati, karena dia akan berhasil mengambil senjata itu. Akan tetapi mendadak Han Giok Shia melesat ke arah senjata tersebut sehingga membuatnya kehilangan kesempatan, sedangkan Han Giok Shia sudah berhasil meraih senjata itu.

Menyaksikan itu, guguplah Lu Leng dan langsung menyerangnya bertubi-tubi. Badan Han Giok Shia masih berada di udara, tentunya sulit untuk berkelit. Tapi gadis itu tidak kehabisan akal. Secepat kilat ujung kakinya menendang dinding perahu, otomatis membuat badannya mencelat ke belakang. Namun bahunya tidak terluput dari sabetan golok pendek Lu Leng, untung cuma terluka sedikit. Badannya melayang turun, setelah berada di geladak dia segera menyelipkan Pecut Emas itu di pinggangnya, sementara Lu Leng pun sudah turun di geladak.

Begitu melihat Han Giok Shia berhasil mengambil Liat Hwe Soh Sim Lun, dia amat menyesal. Di saat itulah Han Giok Shia mengayunkan senjata tersebut ke arah Lu Leng. Anak muda itu menangkis dengan golok pendeknya, kemudian balas menyerang dengan jurus Thian Hou Sam Sek. Han Giok Shia mundur beberapa langkah. Ketika Lu Leng mengeluarkan jurus Nuh Hou Eng Cit (Harimau Marah Meloncat), gadis itu pun mengayunkan Liat Hwe Soh Sim Lun untuk menangkisnya dengan jurus Hwe Ouh Siang Hui (Sepasang Burung Gagak Api Beterbangan).

“Traang!”

Kedua senjata itu beradu, dan bunga api pun langsung berpijar-pijar. Golok pendek itu telah terkunci oleh gelang di ujung senjata Liat Hwe Soh Sim Lun tersebut.

Han Giok Shia berkata sengit, "Bocah busuk, kali ini kau masih berpikir bisa hidup?"

Usai berkata begitu, Han Giok Shia pun menyentakkan senjata itu untuk mematahkan golok pendek Lu Leng. Akan tetapi golok pendek itu bukan golok biasa. Ketika Han Giok Shia menyesakkan senjatanya, Lu Leng pun berusaha untuk menarik kembali golok pendek itu. Bukan main terkejutnya Han Giok Shia, karena Liu Hwe Soh Sim Lun tidak dapat mematahkan golok pendek itu, sebaliknya golok pendek itu malah hampir ditarik kembali oleh Lu Leng. Oleh karena itu tangan kiri Han Giok Shia langsung meraih pinggangnya mengambil Pecut Emas.

“Taaar!” Han Giok Shia mengayunkan Pecut Emas itu menyerang Lu Leng.

Satu-satunya jalan menyelamatkan diri bagi Lu Leng adalah harus melompat jauh dari jangkauan senjata lawan. Namun pemuda itu tidak melakukannya, sebab dengan begitu mau tak mau dia harus melepaskan goloknya. Lu Leng mengertakkan gigi dan mengerahkan tenaganya, lalu menjulurkan tangan kirinya mencengkeram Pecut Emas yang melesat ke arahnya. Dia berhasil, namun yang dicengkeramnya bagian tengah Pecut Emas tersebut, sedangkan ujung Pecut Emas itu tetap menyambar pinggangnya. Anak muda itu menjerit merasa kesakitan, sementara Han Giok Shia kembali menyentak Pecut Emas sehingga senjata itu terlepas dari cengkeraman Lu Leng.

“Taaar!”

Pecut Emas menyabet bahu Lu Leng. Rasa sakit dan perih yang mendera akibat lecutan cambuk emas tersebut membuat Lu Leng teringat akan kejadian di menara Hou Yok. Dia nyaris mati oleh Pecut Emas itu! Kemarahan di hatinya memuncak. Tanpa mempedulikan apa pun, dia langsung menubruk Han Giok Shia dengan kepalanya. Lu Leng betul-betul ingin mengadu nyawa dengan Han Giok Shia. Tentu saja gadis itu tidak mengira kalau lawan akan melakukan serangan dengan menumbukkan kepalanya. Akibatnya Han Giok Shia tak mampu mengelakkan serangan itu.

“Duuuk!”

Han Giok Shia terdorong mundur beberapa langkah. Dadanya dirasakan sakit sekali. Darah di jantungnya seakan terhenti seketika, matanya gelap berkunang-kunang. Ternyata Lu Leng telah menumbukkan kepalanya dengan sekuat tenaga. Akibatnya luka dalam mendera gadis itu. Han Giok Shia cepat-cepat menyentak Liat Hwe Soh Sim Lun sekuat tenaga, membuat golok pendek itu terlepas dari tangan Lu Leng.

Golok itu melayang hingga beberapa depa, lalu menancap di dinding perahu. Sedangkan Liat Hwe Soh Sim Lun juga menancap di sebuah tiang. Dalam keadaan mata berkunang-kunang Han Giok Shia berusaha menarik kembali, namun senjata itu tak bergeming sama sekali. Dia terpaksa melepaskan senjata itu, kemudian mendadak menyerang Lu Leng dengan sebuah pukulan mengarah ke keningnya. Namun tak hanya sampai di situ. Han Giok Shia kembali memukul bahu Lu Leng, membuat anak muda itu terpental.

Ketika Han Giok Shia menyentak Liat Hwe Soh Sim Lun, Lu Leng pun ikut maju, kemudian jatuh menindih gadis itu. Dengan cepat Han Giok Shia menggunakan kesempatan itu untuk memukulnya. Tubuh Lu Leng terpental ke belakang. Buru-buru Han Giok Shia menghimpun hawa murni, namun rupanya kurang menyadari kalau ia sebenarnya mengalami luka dalam cukup parah, seperti juga lawannya. Maka saat dia mengerahkan tenaganya mendadak mulutnya menyemburkan darah segar.

"Uaaaakh...!"

Lu Leng yang juga menderita luka parah jatuh duduk di geladak dengan mata terpejam. Ketika membuka matanya, segala yang dilihatnya bergoyang-goyang. Mereka berdua tergeletak di geladak dengan nafas memburu. Tak lama kemudian Lu Leng membentak sambil melesat ke arah golok pendeknya. Namun bersamaan dengan itu pula, dengan menahan sakit di dadanya, Han Giok Shia melesat menubruk Lu Leng.

“Duuuk!” mereka berdua bertumbukan.

Dengan cepat keduanya saling melancarkan pukulan pula, tepat mengenai jalan darah Thian Ling Hiat. Thian Ling Hiat merupakan jalan darah yang amat penting, jika terkena pukulan bisa mengakibatkan kematian. Namun muda-mudi itu sama-sama sudah terluka parah sehingga pukulan yang dilancarkan tidak begitu mengandung tenaga, hanya mampu membuat luka mereka bertambah parah. Keduanya terhuyung-huyung beberapa langkah, kemudian roboh di atas geladak dan tak bergerak lagi, pingsan....

Ketika matahari mulai condong ke barat, kedua muda-mudi itu siuman. Setiap kali bertarung, dendam mereka pun bertambah dalam. Kali ini sama-sama terluka parah. Tentu saja dendam kesumat mereka semakin bergolak pula di hati masing-masing. Namun mereka berdua sudah tak bertenaga sama sekali, hanya saling menatap sambil menghimpun hawa murni agar cepat bertenaga untuk membunuh pihak lawan.

Sementara hari pun sudah mulai gelap, di langit mulai muncul bintang yang tak terhitung banyaknya. Keadaan laut tenang sekali, memancarkan cahaya keperak-perakan. Hingga larut malam tampak keduanya mulai bergerak, merangkak-rangkak saling mendekati. Namun baru bergerak beberapa langkah mereka sudah berhenti, tidak kuat merangkak maju lagi. Ketika hari mulai terang, mereka sudah saling berhadapan tapi tiada tenaga untuk bergebrak.

Han Giok Shia semakin dendam pada Lu Leng. Tampak air matanya meleleh, seakan tak mampu lagi menahankan perasaan dendam kesumatnya. Dibuang wajahnya, tak ingin berhadapan dengan Lu Leng.

Sementara Lu Leng terus berusaha agar cepat bertenaga. Hal itu membuat Lu Leng semakin parah, penglihatannya kabur. Rasa cemas menghantuinya. Tak terpikirkan olehnya yang masih semuda itu tentang kematian. Saat ini dia benar-benar merasakan seakan dirinya hampir mati. Berada di tengah-tengah laut, seandainya tiada badai dan mereka berdua mau bekerja sama, itu pun belum tentu dapat kembali ke daratan. Apalagi kini mereka berdua sudah terluka parah. Diam-diam Lu Leng menghela nafas panjang. Mendadak terpikir olehnya, apa hasilnya bertarung mati-matian dengan Han Giok Shia? Akan tetapi rasa sesalnya itu kembali terhapus oleh dendam dan kebenciannya sehingga membuatnya berkertak gigi.

Mereka akhirnya tertidur dengan kelelahan masing-masing. Pagi harinya mereka terjaga oleh guncangan-guncangan perahu besar itu. Lu Leng berusaha bangun dan berhasil duduk. Hatinya merasa gembira, namun dia pun melihat Han Giok Shia sudah bangun duduk. Walau hari sudah pagi, suasana tampak gelap. Mendung menyelimuti pagi itu. Ombak terdengar menderu-deru, ditingkah pula suara petir menggelegar, sementara perahu terus bergoyang-goyang. Kilat menyambar-nyambar menerangi wajah mereka berdua yang masih pucat pias.

Mereka berdua tahu, tak lama lagi akan terjadi badai. Perahu itu memang besar, betapa jadi kecilnya berada di tengah lautan sangat luas seperti itu. Keduanya sama-sama memejamkan mata. Tak berani mereka berpikir, bagaimana kalau sampai perahu itu terbalik oleh ombak dan badai yang ganas. Tak seberapa lama, terjadilah hujan badai. Ombak bergulung-gulung setinggi gunung. Angin badai berhembus kencang sekali, menegangkan kedua layar perahu besar itu, melayang-layang ke laut lalu ditelan ombak.

Han Giok Shia dan Lu Leng terus berpegang erat-erat pada tiang perahu, sebab perahu besar itu bergoyang-goyang tak henti-hentinya. Kalau mereka berdua tidak berpegang kuat pada tiang perahu, tentu akan terhempas ke laut. Di saat itulah Lu Leng melihat dua buah puncak kehitam-hitaman di permukaan laut. Dan perahu besar itu terus bergerak mendekati puncak hitam yang ternyata batu karang sangat tinggi. Di tengah kedua puncaknya terdapat batu panjang menyerupai balok.

Karena ombak dan angin badai terus menghempaskan, akhirnya perahu besar itu terhempas, bergerak mendekat batu karang. Lu Leng tidak berani melihat lagi, dia segera memejamkan matanya. Di saat bersamaan terdengar suara tawa Han Giok Shia yang amat menyedihkan. Lu Leng cepat-cepat membuka mata, dia melihat gadis itu berusaha bangkit berdiri, sementara perahu besar itu bergoyang hebat. Kalau Han Giok Shia bangkit berdiri, sudah pasti akan terhempas ke laut.

Lu Leng tahu, sesaat lagi perahu besar itu akan menabrak batu karang dan mereka akan mati. Namun dia tetap berseru. "Gadis busuk, kau tidak sayang nyawa lagi?!"

Suara seruan itu membuat Han Giok Shia tertegun. Dia langsung memandangnya sambil memegang tiang perahu, kemudian tertawa memilukan. Pada waktu bersamaan, terdengar pula suara keras mengejutkan. Perahu itu terguncang keras, ombak yang setinggi gunung menerjang ke dalam. Lu Leng merasa di depan matanya jadi gelap, kemudian merasa sekujur badannya sakit sekali dan lalu tak sadarkan diri. Pingsan!

Entah berapa lama, anak muda itu tidak sadarkan diri. Ketika siuman kembali yang pertama-tama dirasakan, sekujur tubuhnya sakit semua. Seperti telah remuk tulang belulangnya. Dia merintih-rintih sejenak sambil berusaha membuka matanya. Dia terkejut mendapati dirinya berada di atas sebuah batu karang. Sedangkan perahu besar itu sebagian tenggelam, yang sebagian lagi menyangkut di batu karang. Lu Leng segera berpikir kembali. Ketika belum pingsan, dia yakin dirinya diterjang ombak hingga terhempas ke batu karang. Dia memandang ke atas, tampak kedua puncak gunung itu bagaikan sepasang pedang menusuk ke dalam lawan.

Waktu sudah malam, permukaan laut sudah tenang kembali dan berkilau tertimpa sinar bulan. Lu Leng masih tergeletak tak bergerak, namun dia terus mengamati keadaan di sekitarnya. Sunyi sepi tak terdengar suara apa pun, juga tidak terlihat apa-apa, hanya balok batu yang melintang di tengah-tengah kedua puncak gunung itu.

Lu Leng memejamkan matanya untuk beristirahat sejenak. Walau lukanya bertambah parah, namun sudah terhindar dari tekanan Han Giok Shia. Maka hatinya jadi tenang. Dan malam itu dia tidur dengan nyenyak sekali. Hari berikutnya dia sudah tampak agak sehat. Pelan-pelan dia berusaha bangkit berdiri, walau badannya masih agak sempoyongan. Terlihat beberapa ekor ikan berloncat-loncatan di tepi batu karang. Tanpa banyak pikir lagi, dia langsung menangkap ikan-ikan itu sekaligus dilahapnya hidup-hidup! Setelah melalap beberapa ekor ikan hidup, perutnya kenyang, maka beristirahat satu hari satu malam.

Keesokan harinya, dia sudah bisa berjalan. Dia mulai berputar ke sana ke mari. Ternyata tumpukan batu karang ini menyambung ke tumpukan batu karang lain yang berjarak dua puluh depa lebih. Di pinggir kedua tumpukan batu karang itu berdiri kedua buah gunung tersebut. Tampak pula sebuah balok batu melintang di tengah-tengah kedua puncak gunung itu. Di bawah tumpukan batu karang tumbuh beberapa pohon, bahkan banyak buahnya. Lu Leng merasa gembira. Dia segera menuruni batu karang, tak lama sampailah dia di bawah. Dipetiknya buah-buahan segar yang tumbuh di pohon itu, ternyata enak dan manis dirasakannya. Dengan lahap dia memakan buah-buahan itu.

Tempat itu terhindar dari hembusan angin laut, namun hawa udaranya amat segar menyejukkan. Selama tujuh delapan hari luka yang diderita Lu Leng mulai sembuh. Dengan rasa gembira dia melangkah ke luar sambil memperhatikan tempat itu. Dia melihat sebuah goa yang amal besar di hilir. Lu Leng tercengang dan tertarik, maka dia memasuki goa tersebut. Ketika baru melangkah ke dalam goa yang gelap itu, Lu Leng terbeliak kaget. Ada cahaya terang bersinar dari dalam. Dinding goa itu hitam semua, namun terdapat banyak mutiara menempel di dinding goa sehingga menerangi ruang batu itu.

Betapa herannya Lu Leng, sebab tidak menyangka pulau di tengah-tengah laut ini ternyata bukan dia orang pertama yang mencapainya. Dilihat dari keadaan di situ, orang lain pernah menghuni tempat ini. Lu Leng menengok ke sana ke mari, mendadak dia melihat ada sebaris tulisan terukir di dinding batu, yakni Hek Ciok Sian Hu (Ruang Batu Hitam). Di bawahnya masih terdapat beberapa baris tulisan yang agak kecil dan berbunyi, ‘Berlatih dengan susah payah, akhirnya berhasil menguasai ilmu Kim Kong Ci (llmu Jari Arhat), dapat mengukir di batu dengan jari telunjuk’. Di bawah terdapat pula tulisan ‘Thian Sun Sianjin’.

Begitu membaca ‘Thian Sun Sianjin’, seketika juga hati Lu Leng tersentak hebat. Dia teringat akan cerita ayahnya tentang tokoh-tokoh tua masa silam. Terdapat empat tokoh yang berkepandaian sangat tinggi di rimba persilatan. Mereka berempat pernah bertanding di pinggir Thian Ho (Sungai Langit) di puncak gunung Thian San. Ke empat tokoh rimba persilatan itu bertanding seimbang, maka dijuluki Thian Ho Si Lo (Empat Tokoh Tua Sungai Langit).

Ke empat tokoh itu adalah Beng Tu Lojin, ketua Go Bi Pai dahulu, juga adalah guru Lu Sin Kong, Ang Eng Leng Long, Tong Hong Pek dan lainnya. Yang kedua berasal dari daerah Miau, tokoh tersebut adalah seorang wanita, julukannya Pian Liong Sian Po. Satu lagi adalah Thian Sun Sianjin dari gunung Tiang Pek San dan terakhir Lam Hai Tiat Ya Tocu Tiat Sin Ong.

Setelah bertanding seimbang di Thian Ho, mereka berempat kembali ke tempat masing-masing. Akhirnya Beng Tu Lojin yang mati duluan. Ketiga tokoh lain masih melawat ke Go Bi San, namun setelah meninggalkan gunung Go Bi San, ketiga tokoh itu pun entah menghilang ke mana.

Kini Lu Leng menemukan tulisan Thian Sun Sianjin di ruang batu ini. Hatinya sungguh merasa heran, karena nada beberapa baris tulisan itu sepertinya menyatakan bahwa Thian Sun Sianjin bersusah payah melatih Kim Kong Sin Ci (llmu Sakti Jari Arhat), lalu ingin pergi bertanding. Lu Leng pernah mendengar dari ayahnya tentang ilmu Kim Kong Sin Ci, semacam ilmu yang amat tinggi aliran Taosme, mengandung lweekang aliran Buddha pula. Konon beberapa ratus tahun silam, hanya ada seorang yang berhasil melatih ilmu jari tersebut. Hingga kini tiada orang kedua yang berhasil berlatih ilmu tersebut, karena cara latihannya telah hilang.

Menghilangnya tiga tokoh sakti sepulangnya dari gunung Go Bi San merupakan suatu teka teki dalam rimba persilatan. Hingga kini sudah dua puluh tahun lebih, tentunya tidak mungkin Thian Sun Sianjin masih hidup. Apakah Hek Ciok Sim Hu ini adalah tempat makamnya?

Lu Leng berdiri termenung di hadapan dinding ruang itu. Kemudian dia mulai memperhatikan dengan seksama dan penuh perhatian sekitar tempat itu. Di dalam ruang batu itu hanya terdapat sebuah batu karang sebagai meja, dan beberapa buah batu karang kecil sebagai tempat duduk. Lu Leng mencari ke sana ke mari, tidak menemukan suatu barang peninggalan Thian Sun Sim-jin. Setelah mencari sekian lama dia mengambil keputusan tinggal di situ untuk sementara.

Kebetulan dia melihat sebuah batu berbentuk empat persegi panjang, mungkin itu tempat tidur. Lu Leng tersenyum, lalu berbaring di batu itu untuk beristirahat. Namun baru saja dia berbaring mendadak dirasakan batu itu mengeluarkan hawa yang amat dingin sekali sehingga membuat sekujur badannya menggigil. Lu Leng tercengang dan cepat-cepat duduk bersila, sekaligus menghimpun hawa murni untuk melawan hawa dingin. Tak seberapa lama, sesudah tidak merasa dingin lagi, dia segera meloncat turun, lalu memeriksa batu itu.

Ternyata di sisi batu itu terdapat beberapa baris tulisan yang amat kecil sekali, pantas dia tadi tidak melihatnya. Mulailah Lu Leng membaca tulisan yang berbunyi ‘Hek Ciok Sam Po (Tiga Pusaka Batu Hitam) masing-masing mempunyai kelebihan, salah satu adalah batu dingin ini’.

Setelah membaca hati Lu Leng berdebar-debar, girang bukan main. Ternyata di pulau Hek Ciok ini terdapat tiga macam pusaka. Dia segera mendongakkan kepala, ingin menemukan kedua pusaka lain. Setelah mendongakkan kepala, dia tertawa sendiri karena merasa serakah. Maka dia segera menundukkan kepala dan membaca lagi, ‘Batu ini hanya terdapat di pulau Thao Khong To di laut utara dan pulau Hek Ciok To di laut timur. Siapa yang berlatih lweekang di atas batu dingin ini, dalam kurun waktu dua tahun, lweekang-nya akan bertambah tinggi seperti berlatih sepuluh tahun! Batu hitam ini merupakan barang pusaka dalam rimba persilatan’.

Betapa girangnya Lu Leng setelah membaca itu. Dia langsung meloncat ke atas batu dingin itu untuk melatih lwekang-nya. Tak seberapa lama kemudian, dia merasa hawa dingin itu mulai menerjang jalan darah Hwee Yang Hiat di bagian Jin dan jalan darah Tiang Ciang Hiat di bagian Tok, kemudian hawa menerjang ke jalan darah lain.

Lu Leng tetap duduk bersila dengan mata di pejamkan, sambil menghimpun hawa murni. Hawa dingin itu terus berputar di bagian Jin Tok, kemudian mengalir ke jalan darah Pek Hwe Hiat. Pek Hwe Hiat merupakan jalan darah pusat, yang apabila terkena totokan takkan ampun, orang bisa mati. Lu Leng tahu, kalau kali ini gagal, selanjutnya sudah sulit berlatih lagi. Oleh karena itu dia memusatkan konsentrasinya. Beberapa saat kemudian dia sudah berhasil mengerahkan hawa dingin itu ke seluruh jalan darahnya.

Seketika dirasakan sekujur badannya jadi nyaman dan segar. Hal itu membuatnya girang sekali! Setelah menghimpun hawa murni beberapa kali, segera turun dari batu dingin dan melangkah ke luar. Ketika sampai di luar ternyata sudah tengah malam. Lu Leng merasa dalam waktu satu hari lweekang-nya sudah mengalami perkembangan. Kalau terus berlatih, dua tahun kemudian lweekang-nya pasti sudah tinggi sekali. Dia masih ingat akan tulisan kecil yang terukir di batu dingin, bahwa berlatih dua tahun akan sama dengan berlatih selama sepuluh tahun latihan. Karena itu dia mengambil keputusan untuk tinggal dua tahun di pulau tersebut.

Tentunya Lu Leng tidak tahu, walau Thian Sun Sianjin berkepandaian amat tinggi tapi berpikiran sempit. Dia tidak menghendaki generasi yang akan datang berhasil mencapai lweekang yang amat tinggi, maka dia sembarangan mengukir beberapa baris tulisan di batu dingin itu. Lu Leng percaya, sehingga dia ingin berlatih selama dua tahun di atas batu dingin tersebut. Setiap hari dia berlatih. Hari-harinya dilewati dengan kesibukan berlatih di dalam goa, istirahatnya digunakan untuk memetik buah-buahan di sekitar tempat itu, lalu kembali berlatih lagi.

Tak terasa sudah lewat tiga bulan. Selama itu lweekang yang dimiliki Lu Leng bertambah pesat. Sudah pasti Lu Leng belum merasa puas. Dia yakin lweekang-nya belum seberapa, dan kalau dia kembali ke Tionggoan, kepandaiannya paling baru setingkat dengan Tam Goat Hua. Lagi pula yang dimaksudkan ‘Hek Ciok Sam Po’ (Tiga Pusaka Batu Hitam), hanya muncul satu.

Dalam waktu tiga bulan, Lu Leng terus mencari pusaka yang lain. Lu Leng yakin, kedua pusaka tersebut masih berada di pulau Hek Ciok ini, maka dia harus terus mencari. Malam itu Lu Leng terus berpikir, dalam waktu tiga bulan dia cuma mencari di situ-situ saja. Kenapa tidak naik ke puncak untuk coba mencari kedua pusaka tersebut? Lu Leng memang tidak sabaran, begitu terpikir hal itu langsung saja dilaksanakannya. Namun malam itu suasana diliputi mendung. Gelap dan mencekam.

Lu Leng berdiri termangu-mangu di luar goa, namun tiba-tiba dia tersenyum. Terpikir sesuatu dalam benaknya. Di dalam ruangan goa batu itu banyak terdapat mutiara yang memancarkan cahaya, kenapa tidak mengambil dua butir untuk menerangi? Berpikir begitu dia langsung kembali ke ruang batu, mengambil dua butir mutiara yang paling besar di dinding. Akan tetapi, ketika dia menjulurkan tangannya berusaha mencabut yang paling besar, mutiara itu sama sekali tidak tercabut. Dengan kesal dia malah menekan mutiara tersebut.

Mutiara itu melesak ke dalam. Saat itulah tiba-tiba terjadi hal yang mengejutkan sekali. Bersamaan dengan terdengarnya suara gemeletak keras, mutiara itu terpental ke luar lagi dan jatuh ke lantai goa. Lu Leng terbeliak memandang lobang bekas mutiara, sepertinya ada sebuah lobang di dalam. Dan setelah melihat dengan jelas, hatinya pun tergerak. Dia memasukkan jari telunjuknya ke dalam, lalu menyentak. Sebuah batu terlepas ke luar, maka tampaklah sebuah lobang yang di dalamnya terdapat sebuah kotak kecil. Begitu melihat kotak kecil itu, hati Lu Leng kaget bercampur girang.

Perlahan-lahan dia menjulurkan tangannya mengambil kotak kecil. Dengan penuh perhatian ditatapnya kotak kecil itu. Terdapat di atas kotak itu ukiran beberapa huruf berbunyi ‘Kim Kong Sin Ci’ (llmu Sakti Jari Arhat), dan di bawah huruf-huruf itu terdapat pula sebaris tulisan kecil berbunyi demikian, ‘Ini adalah salah satu Hek Ciok Sam Po’.

Betapa girangnya hati Lu Leng. Tanpa sengaja dirinya telah memperoleh ilmu sakti tersebut. Dia membuka kotak kecil itu, di dalamnya ternyata ada belasan lembar daun, entah daun apa. Namun di setiap daun itu terdapat tulisan yang ditata dengan jarum. Daun-daun itu berjumlah dua belas lembar, memberi petunjuk cara bagaimana melatih Kim Kong Sin Ci.

Setelah memperoleh itu, Lu Leng mulai menekan semua mutiara yang ada di dinding, maksudnya mencari satu pusaka lagi. Akan tetapi tidak terulang kejadian serupa. Pada dasarnya Lu Leng tidak berhati serakah. Dia sudah merasa cukup berlatih lweekang di atas batu dingin, bahkan akan mulai belajar Kim Kong Sin Ci pula. Oleh karena itu, dalam kurun waktu dua tahun Lu Leng menyibukkan diri dalam melatih ilmu tersebut. Seandainya dia memperoleh lagi pusaka yang terakhir, mungkin tidak begitu bermanfaat bagi dirinya.

Dalam kurun waktu dua tahun, banyak perubahan pada diri Lu Leng. Kini dia sudah menjadi seorang pemuda, usianya sudah tujuh belas. Tubuhnya bertambah tinggi dan kekar. Ketampanannya pun semakin tampak di wajahnya, menambah kesan kejantanan dirinya. Baju yang dipakai sudah tidak pas dengan ukuran badannya, maka segera dia mencari semacam rumput, membuat pakaian untuk dikenakannya. Memakai baju buatannya sendiri dari rerumputan itu, penampilannya sekarang tampak aneh.

Kini Lu Leng sudah berkepandaian tinggi, bahkan dia telah menguasai kedua belas jurus Kim Kong Sin Ci. Sekarang jari telunjuknya sudah mampu menggores batu hitam di goa. Hatinya merasa bangga dan puas. Sekaranglah, setelah dua tahun menggembleng diri di dalam goa, barulah terpikir semua yang selama ini sengaja dilupakannya.

Dia memikirkan Tam Goat Hua, juga saat dia berguru kepada Giok Bin Sin Kun-Tong Hong Pek. Belum satu hari dia sudah meninggalkan gurunya. Dia pun tak bisa melupakan begitu saja dendam kedua orang-tuanya yang belum dibalas, bahkan juga memikirkan keadaan rimba persilatan di Tionggoan yang entah berubah jadi apa kini. Apakah sekarang sudah dikuasai si Iblis Harpa? Berpikir sampai di situ, rasanya ingin secepatnya kembali ke Tionggoan. Namun mungkinkah sekarang niat itu dilaksanakannya?

Hari itu dia sama sekali tidak berlatih. Dia menyimpan kedua belas daun yang berisi ilmu Kim Kong Sin Ci. Ditinggalkannya ruang batu, lalu berdiri di atas batu karang sambil memandang laut nan biru di hadapannya. Permukaan laut tampak tenang sekali, tidak ada ombak dan kelihatan bagaikan hamparan batu pualam yang kebiru-biruan.

“Bagaimana aku bisa menyeberangi samudra luas ini?” pikirnya bimbang.

Perahu besar yang tenggelam separuh itu masih bersandar pada batu karang. Lu Leng berpikir, perahu besar itu bisa dijadikan alat, lagi-pula golok pendek yang amat tajam itu masih berada di dalam perahu besar. Dengan golok itu dia bisa membuat sebuah rakit. Kalau berhasil membuat sebuah rakit, tentunya bisa kembali ke Tionggoan. Begitu pikir bisa kembali ke Tionggoan, mendadak dia mengeluarkan siulan panjang.

Kini lweekang Lu Leng sudah tinggi. Ketika mengeluarkan suara siulan, terdengar bergema ke mana-mana. Dia sendiri terkejut mendapati suara siulannya yang mengagumkan. Namun mendadak saja Lu Leng tersentak kaget dengan mata membelalak. Dari kejauhan terdengar suara aneh, seakan memberi sambutan atas suara siulannya. Dia tertegun, suara aneh itu didengarkannya dengan penuh perhatian. Suara itu seperti suara dari mulut wanita. Sedap dan mengalun indah.

Merasa penasaran sekali, Lu Leng langsung saja menghentakkan kedua kakinya dan melenting ke atas sebuah puncak batu karang yang paling tinggi. Dia berdiri di situ sambil coba mendengar. Ternyata suara itu berasal dari tumpukan batu karang di seberang. Sebelum memperoleh ilmu Kim Kong Sin Ci, dulu dia memang pernah berniat melihat-lihat ke seberang. Namun setelah memperoleh ilmu sakti tingkat tinggi dari kotak kecil itu, dirinya tidak sempat, atau tidak berniat pergi ke seberang sana. Maka suara wanita itu benar-benar membuatnya heran dan terkejut.

Belum sempat mengetahui apa dan siapa gerangan yang berada di balik batu karang di seberang sana, mendadak Lu Leng kembali tersentak kaget bukan main. Matanya yang sejak tadi dipasang tajam-tajam, menangkap adanya sesosok bayangan berkelebat. Begitu cepat dan ringannya gerakan yang dilakukan oleh sosok bayangan tak jelas itu, hingga dalam sekejapan mata saja ia telah berada di atas puncak batu karang sangat tinggi.

Mata Lu Leng semakin membelalak. Tidak menyangka ternyata ada orang lain di pulau Hek Ciok To ini. Karena merasa heran, dia terus memandang ke sana. Karena terpisah begitu jauh, Lu Leng tidak dapat melihat jelas wajah orang itu. Yang terlihat orang itu berambut panjang, dan tampaknya seorang wanita, pakaiannya berkembang-kembang dengan warna menyolok.

Lu Leng tahu orang itu sedang memperhatikannya. Maka dia segera mengerahkan lweekang, lalu berseru, "Siapa kau?!"

Dua tahun lamanya, baru kali ini dia berbicara dengan orang. Dia juga merasakan suaranya telah mengalami perubahan, seiring dengan perubahan dirinya menjadi seorang pemuda.

Wanita yang di seberang sana kelihatan gembira sekali. Sesaat kemudian terdengar pula suara sahutannya yang amat merdu. "Kapan kau berada di pulau ini? Aku berada di sini sudah dua tahun lebih!"

Begitu mendengar suara sahutan itu, seketika Lu Leng tertegun. Ternyata suara itu amat dikenalnya. Berpikir sejenak, dia sudah dapat menduga siapa yang berada di seberang sana. Rasa kegusaran di dalam hatinya langsung memuncak membuat wajahnya merah padam. Dua tahun ini musuh bebuyutannya tinggal di seberang, dia tidak tahu sama sekali.

Karena Lu Leng diam saja, maka wanita seberang itu bertanya. "Dan kau sendiri sebenarnya siapa...?"

"Hahaha! Siapa aku, masa kau tidak tahu?" sahut Lu Leng tertawa gelak.

Wanita itu tampak tertegun, kemudian bertanya dengan nada agak gusar. "Siapa kenal kau?!"

Lu Leng tertawa lagi. "Hahaha! Nona Han, kenapa kau begitu cepat jadi pikun?"

Ternyata wanita yang di seberang sudah dikenali oleh Lu Leng. Wanita itu tidak lain Han Giok Shia, musuh besarnya! Selama dua tahun ini Lu Leng mengira gadis itu telah mati di dasar laut. Ternyata kini, dua tahun kemudian dia justru muncul di seberang sana. Lu Leng amat gusar tapi juga girang. Girang karena kepandaiannya sudah tinggi, sudah pasti dapat merobohkan gadis itu. Namun mendengar suara aneh yang tadi dikeluarkan oleh gadis itu, Lu Leng yakin lweekang gadis itu tentu sudah bertambah tinggi. Kini dia telah memiliki ilmu Kim Kong Sin Ci yang amat dahsyat, dia yakin akan dapat mengalahkan gadis itu.

Sementara Han Giok Shia yang berada di seberang kelihatan masih tertegun. Ternyata ia tidak mengenali Lu Leng. Maklum, sekarang Lu Leng sudah bertambah tinggi, dan suaranya pun sudah berubah. Wajar kalau gadis itu tidak mengenalinya dari jauh. Namun kendati demikian, Han Giok Shia tetap dapat menduga siapa yang di seberang itu, tidak lain adalah musuh besarnya. Gadis itu langsung emosi, badannya bergerak.

Dalam sekejap sudah mendekati Lu Leng. Pemuda itu pun melesat maju, kini mereka sudah agak dekat.

"Bocah busuk, ternyata kau!"

Lu Leng tertawa gelak. "Hahaha! Memang aku, kenapa? Dasar gadis busuk! Pokoknya hari ini kau tidak bisa lepas dari tanganku!"

Usai berkata begitu, Lu Leng mengerahkan lweekang-nya, lalu menggerakkan jari telunjuk kanannya. Ternyata dia lelah menggunakan ilmu Kim Kong Sin Ci, mengeluarkan jurus It Ci Keng Thian (Satu Kali Tunjuk Mengejutkan Langit). Saat itu keduanya berdiri di atas batu karang, berjarak belasan depa. Lu Leng tahu jelas, walau Kim Kong Sin Ci amat dahsyat, namun tidak mungkin dapat menyerang Han Giok Shia dari jarak jauh. Maka telunjuknya diarahkan pada permukaan laut yang di sisinya. Terdengarlah suara menderu, dahsyat dan menggetarkan. Permukaan laut yang tenang mendadak bergolak hebat kemudian menyembur dahsyat ke atas, sungguh menakjubkan!

Lu Leng tertawa gelak, bangga. "Hahaha! Gadis busuk, kau sudah menyaksikan itu?"

Han Giok Shia tampak tertegun, namun kemudian salah satu telapak tangannya mengarah ke permukaan laut, menekan-nekan sebentar, setelah itu mendadak diangkat ke atas. Tampak air laut itu ikut tersedot ke atas bagaikan seekor naga, lalu begitu jatuh kembali ke permukaan laut terdengar gelegar suara menggetarkan.

Lu Leng melihat dengan jelas sekali kejadian yang membuatnya terkejut. Terbukti lweekang gadis itu sudah mencapai tingkat tinggi.

"Bocah busuk, kau sudah melihat jelas?!" bentak Han Giok Shia sengit.

Lu Leng gusar sekali. Dia tidak menduga lweekang gadis itu sudah begitu tinggi. Padahal tadi dia mengeluarkan jurus It Ci Keng Thian dengan menggunakan empat bagian tenaga dalamnya. Agaknya dia masih kalah. Karena itu dia segera tertawa dingin. "Gadis busuk, biar matamu terbuka!"

Tiba-tiba Lu Leng mengambil sebuah batu karang dan dilemparkan ke atas, secepat itu dia menjulurkan dua buah jari tangan kanan ke atas dalam jurus Siang Hong Cak Yun (Dua Puncak Menembus Awan). Terdengar suara ledakan memekakkan telinga. Batu karang itu terbelah dua, dan secepat kilat Lu Leng menyentil dengan jari telunjuknya ke arah kedua batu karang yang terbelah itu.

“Plaak! Plaak!”

Kedua batu karang yang terbelah meluncur cepat ke arah Han Giok Shia dan jatuh tepat di hadapan gadis itu. Walau tidak mengenai badan Han Giok Shia, namun itu sudah cukup membuktikan betapa dahsyatnya tenaga jari telunjuk Lu Leng. Kalau musuh berada dalam jarak lima enam depa, pasti akan tertembus oleh batu karang kecil.

Lu Leng tertawa terbahak-bahak. "Gadis busuk, ilmu silat di kolong langit tiada batasnya. Hari ini kau harus tahu itu!"

Ucapan itu terasa meremehkan kepandaian yang diperlihatkan Han Giok Shia tadi, Tentu saja gusar bukan main perasaan gadis itu mendengar ejekan Lu Leng. "Yang kau perlihatkan barusan hanyalah kepandaian pinggir jalan, untuk apa diperlihatkan di sini? Huh!"

Wajah Lu Leng memerah mendengar kata-kata tajam Han Giok Shia, "Gadis busuk, kau punya kepandaian apa?"

Han Giok Shia tertawa dingin. "Orang seperti kau ini, bagaimana bisa tahu kepandaianku? Percuma kuberitahukan!"

Mendadak Lu Leng bersiul aneh. "Gadis busuk, beranikah kau bertarung melawanku?"

"Kenapa tidak?"

Seusai menyahut begitu, mereka berdua sama mendongakkan kepala memandang ke atas. Di atas tempat mereka berada ternyata terdapat batu karang yang bentuknya menyerupai balok dan menjadi palang antara dua buah batu karang tinggi. Setelah memandang ke atas, muncul pula pendapat yang sama di antara mereka berdua, ingin bertarung di atas balok itu untuk mengeluarkan ilmu yang mereka pelajari selama dua tahun ini.

"Bocah busuk, mari kita bertarung di atas balok batu itu! Kau berani naik ke atas?"

Lu Leng membatin, kepandaian Han Giok Shia bertambah tinggi. Mungkin gadis itu memperoleh pusaka ketiga dari Thian Sun Sianjin. Tentunya ilmu itu tidak setinggi ilmu Kim Kong Sin Ci. Bertarung di atas balok batu, gadis itu harus dirobohkan ke dalam laut agar rasa dendamnya terlampias. Demikian pikir Lu Leng. Dia tidak memikirkan pakaian Han Giok Shia yang aneh berkembang-kembang itu. Tentunya itu bukan pakaian peninggalan Thian Sun Siangjin, melainkan pakaian peninggalan orang lain.

Seketika Lu Leng bersiul panjang, kemudian menyahut. "Baik! Gadis busuk, hari ini ajalmu telah tiba!"

Lu Leng menghimpun hawa murni, lalu badannya bergerak mencelat ke atas. Sementara Han Giok Shia juga sudah mencelat ke atas. Gerakannya juga amat cepat dan ringan sekali.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar