Harpa Iblis Jari Sakti Chapter 01

Angin menerpa bendera besar itu sehingga terdengar suara berdesah-desah. Warna dasarnya biru,di atasnya ada sulaman warna warni bergambar seekor harimau yang hidup sekali. Di bagian bawahnya ada sulaman tulisan empat huruf, ‘Thian Houw Piau Kiok’. Bendera itu memang tertancap di atas genteng gedung Thian Houw Piau Kiok (Ekspedisi Harimau Langit).

Thian Houw Piau Kiok boleh dibilang merupakan ekspedisi terbesar di antara lima propinsi sebelah selatan. Barang-barang yang dikawal perusahaan ini rata-rata bernilai laksaan tail uang perak, namun selama ini belum pernah terjadi kegagalan. Bukannya para golongan hitam tidak menginginkannya, tapi karena mereka tidak berani membentur majikan ekspedisi itu, Si Harimau Langit Lu Sin Kong juga istrinya, Sebun It Nio.

Si Harimau Langit Lu Sin Kong merupakan salah satu di antara para murid Go Bi Pai yang tidak menyucikan diri menjadi pendeta dan menonjol sekali kepandaiannya. Ilmu tenaga dalam (Iweekang) mau pun tenaga luar (gwakang)-nya sudah mencapai taraf yang tinggi sekali. Umumnya, bila seseorang sudah mencapai taraf ini, dia akan memilih hidup menyucikan diri di pegunungan yang tenang atau bersemedi sehingga menjadi orang sakti. Namun Thian Houw Lu Sin Kong masih membuka perusahaan pengawalan di wilayah Lam Cong.

Watak Lu Sin Kong cukup setia kawan, suka menolong yang lemah. Hanya ada sedikit penyakitnya, yakni agak serakah dan tamak terhadap kekayaan. Sebetulnya hal ini juga tidak dapat disebut penyakit. Manusia normal mana yang tidak ingin mencari harta sebanyak-banyaknya, apalagi yang telah berkeluarga?

Mengandalkan nama besar Lu Sin Kong, barang semahal apa pun yang dikawalnya, Lu Sin Kong tidak perlu turun tangan sendiri. Asal dia memerintahkan salah seorang piausu-nya, lalu menancapkan bendera Thian Houw Piau Kiok di kereta kawalannya pasti tidak ada yang berani mengganggu gugat. Walau pun misalnya ada orang yang berani membentur Thian Houw Lu Sin Kang, tapi sudah pasti mereka tidak berani mencari gara-gara dengan istrinya, Sebun It Nio.

Walau pun Sebun It Nio tinggal di wilayah selatan, namun pada dasarnya wanita ini adalah ketua atau Ciangbunjin Tiam Cong Pai di Hun Lam. Ia juga terhitung kakak seperguruan Enam Elang Leng Siau Ing. Kepandaiannya tinggi sekali. Nama besarnya di dunia Kang Ouw tidak kalah dengan nama suaminya.

Oleh karena itu, kecuali berlatih ilmu silat, pekerjaan Lu Sin Kong sehari-hari di rumah hanya mengajak anaknya bermain. Kadang-kadang ada beberapa sahabatnya yang datang untuk mengobrol masalah yang menyangkut dunia persilatan masa itu.

Pada usia lima puluh tahun, Lu Sin Kong baru memperoleh seorang putera yang diberi nama Lu Leng. Usia Lu Leng sekarang dua belas tahun. Sejak anak itu masih bayi, pasangan suami istri Lu Sin Kong sudah mencari berbagai obat-obatan yang bermanfaat bagi orang yang belajar silat agar tubuhnya menjadi kuat.

Sejak Lu Leng berusia delapan tahun, baik Lu Sin Kong mau pun Sebun It Nio sudah mulai mengajarkan kepandaian yang mereka miliki. Itulah sebabnya dalam usia yang masih kecil saja, ilmu silat Lu Leng sudah mempunyai dasar yang cukup kuat. Bahkan mereka juga mendatangkan beberapa jago dari Go Bi Pai dan Tiam Cong Pai untuk memberi petunjuk kepada putera mereka dengan harapan kelak akan menjadi manusia yang berguna.

Hari itu awal musim gugur. Cuacanya cerah dan udaranya hangat. Bendera yang terpancang di atas gedung Thian Houw Piau Kiok berkibar dengan gagah. Beberapa orang pegawainya sedang melepaskan lelah di samping serambi, tiba-tiba terdengar suara beberapa orang yang bertanya.

"Apakah Lu Cong Piau Tau ada di tempat?"

Para pegawai itu menolehkan kepalanya. Tampak beberapa pelayan yang mengenakan kopiah lebar berdiri tegak di hadapan mereka. Melihat penampilannya, dapat dipastikan bahwa mereka merupakan utusan dari keluarga kaya. Pemimpin para pegawai itu tidak berani membuang waktu lama-lama, cepat-cepat dia menyahut.

"Ada... ada! Entah para kuan-ke (kepala pelayan) sekalian ada perintah apa?"

Keempat orang itu tidak menjawab sepatah kata pun. Mereka langsung membalikkan tubuhnya lalu pergi begitu saja. Pegawai-pegawai Thian Houw Piau Kiok jadi heran melihatnya. Selang beberapa lama, seseorang yang berdandan seperti kuan-ke juga, namun dengan pakaian yang jauh lebih mewah datang. Tangannya membawa sebuah kotak yang indah sekali.

"Harap sampaikan kepada Lu Cong Piau Tau bahwa cayhe ingin menemuinya!" kata orang itu.

Sebetulnya, kalau ada langganan yang datang, para pegawai piau-kiok itu tidak berani bersikap lancang atau gegabah. Tapi di atas kepala orang yang baru muncul itu tertempel sebuah giok pada kopiahnya, persis seperti orang-orang sebelumnya. Sedangkan pegawai Houw Thian Piau Kiok masih merasa jengkel dengan sikap orang-orang tadi. Maka dilampiaskannya kekesalan hatinya kepada orang yang baru muncul ini.

"Apakah Anda mempunyai barang berharga yang akan dikawal oleh perusahaan kami? Serahkan saja padaku! Apa barangnya? Ke mana hendak diantarkan? Kenapa kalian diam saja, bicaralah!" tanyanya dengan nada membentak.

Selama dia berbicara, kuan-ke yang perlente itu hanya tersenyum-senyum saja. Setelah ucapannya selesai, dia baru berkata pula.

"Mengenai ini, hamba tidak berani mengambil keputusan. Soalnya majikan hamba sudah berpesan wanti-wanti, kotak ini harus diserahkan langsung ke tangan Lu Cong Piau Tau. Harap Anda sudi melaporkannya ke dalam. Sebelumnya hamba ucapkan banyak-banyak terima-kasih."

Sebetulnya pegawai piau-kiok itu masih ingin melampiaskan kejengkelannya. Namun karena pihak lawan menggunakan cara yang lunak, maka kemarahannya surut sebagian. Dia memperhatikan orang itu sekali lagi sampai agak lama, baru kemudian menyahut.

"Kalau kau ingin aku melaporkan kedatanganmu, setidaknya kau harus menyebutkan sebuah nama."

"Majikan kami dari marga Ki. Kau sampaikan saja bahwa ada utusan orang she Ki yang datang," kata kuan-ke tadi.

Pegawai itu merenung sebentar. Dia sudah lama bekerja di perusahaan itu, maka boleh dibilang hampir seluruh hartawan di wilayah sekitarnya diketahuinya. Namun setelah dipikir-pikir, rasanya tidak ada satu pun yang marga Ki. Kalau menilik penampilan orang-orang ini, dapat dipastikan majikan mereka bukan golongan orang biasa. Hatinya diliputi berbagai teka-teki, akhirnya dia melangkah masuk juga ke dalam rumah.

Orang yang berdandan seperti kuan-ke itu meletakkan kotak yang dibawanya di atas pelataran serambi. Kepalanya mendongak menatap tulisan Thian Houw Piau Kiok di atas kepalanya, kemudian tertawa dingin sekilas.

Tidak lama kemudian, Thian Houw Lu Sin Kong sudah melangkah keluar diiringi pegawai tadi. Tampak wajahnya yang segar dengan jenggot yang melambai-lambai di bawah dagunya. Tampangnya berwibawa dan langkah kakinya mantap. Baru saja dia melangkah keluar, orang yang berdandan seperti kuan-ke itu sudah menjura dalam-dalam sebagai penghormatannya.

"Lu Cong Piau Tau, hamba Ki Hok datang menghadap!"

Lu Sin Kong mengibaskan lengan bajunya. Serangkum kekuatan menahan gerakan orang itu. Si kuan-ke mencoba mengerahkan tenaga dalam untuk mengimbangi. Masih mending kalau dia diam saja. Sekali mengadu tenaga dalam, langkah kakinya langsung terhuyung-huyung. Hampir saja dia terjungkal ke belakang. Lu Sin Kong tersenyum simpul.

"Rupanya Tuan Kuan Ke ini memiliki sedikit kepandaian. Barang apakah yang hendak diserahkan ke tangan lohu (aku yang tua), silakan utarakan langsung!" katanya.

Wajah si Kuan Ke berubah merah padam.

"Hanya kotak ini, harap Cong Piau Tau antarkan sendiri ke tuan Han Sun yang bergelar Kim Pian (Si Pecut Emas) di Su Cou Hu sebagai hadiah."

Lu Sin Kong tertawa terkekeh-kekeh.

"Lohu sudah lama lepas tangan dari profesi ini, kali ini pun tidak ada perkecualiannya."

Wajah Ki Hok menunjukkan perasaan serba salah.

"Majikan kami sudah pesan wanti-wanti, bagaimanapun harus Lu Cong Piau Tau sendiri yang mengantarnya."

Lu Sin Kong mengelus jenggotnya sambil tersenyum simpul.

"Mengandalkan sebuah bendera dari perusahaan kami, barang apa pun pernah kami kawal sampai ke seluruh negeri ini. Kami jamin tidak akan terjadi apa-apa. Apalagi barang itu hendak diantarkan ke rumah Han Tayhiap, siapa pula yang begitu besar nyalinya berani merampas? Rasanya kekhawatiran majikan kalian terlalu berlebihan."

Ki Hok ikut tersenyum.

"Apa yang dikatakan Lu Cong Piau Tau memang benar," sahutnya sembari membalikkan tubuhnya.

Terdengar suara Plok! Plok! Plok! Sebanyak tiga kali. Rupanya Ki Hok menepuk tangannya dengan keras. Saat itu juga, keempat kepala pelayan yang muncul pertama-tama langsung berjalan mendatangi. Tangan masing-masing membawa sebuah nampan emas. Bagian atasnya di tutup dengan kelambu berwarna hijau. Ki Hok membuka kelambu-kelambu itu.

Saat itu juga, Lu Sin Kong dan beberapa pegawainya langsung terpukau. Rupanya, di atas nampan yang pertama terdapat lempengan-lempengan batu Giok berbentuk segi empat. Tebalnya kurang lebih setengah cun, warnanya hijau berkilauan. Ternyata Tou Cui Liok yang sangat langka di dunia.

Di atas nampan kedua terdapat sebutir Mutiara besar yang dapat bersinar terang di malam hari. Nampan ketiga berisi sebuah patung singa dari batu Manau. Batunya berwarna merah marong seperti bara api. Jenis ini sangat sulit ditemukan dan yang paling istimewa justru hasil ukirannya yang hidup sekali. Bahkan setiap helai surainya dapat dihitung dengan jelas.

Di atas nampan keempat terdapat seekor Go Jiau Kim Leng yang panjangnya kurang lebih delapan cun. Kalau dihitung emasnya saja, mungkin tidak lebih dari setengah kati.
Namun buatannya yang sehalus itu, justru sulit dicari duanya. Mungkin pembuatannya memakan waktu delapan sampai sepuluh tahun. Belum lagi batu yang terdapat di kedua matanya. Sorotnya tajam seakan menggetarkan hati siapa pun yang melihatnya.

Sejak perusahaannya berkembang maju, Lu Sin Kong sendiri sudah cukup kaya raya. Dia sering membeli pajangan-pajangan yang mahal. Sedangkan dirinya juga mengenali mutu barang yang bagus. Namun benda-benda seperti yang ada di hadapannya sekarang ini, boleh dibilang baru kali ini dia melihatnya. Bahkan harganya sulit dinilai. Untuk sesaat, dia sampai berdiri terpana sekian lamanya, akhirnya baru bertanya.

"Tuan kuan-ke, a... apa ini?"

"Majikan kami tahu Lu Cong Piau Tau sudah bosan melihat uang emas, maka sengaja mencari benda-benda langka di wilayah Lam Hai. Bila Lu Cong Piau Tau sudi turun tangan sendiri mengantarkan kotak itu, maka seluruh barang-barang ini akan diberikan kepada Lu Cong Piau Tau sebagai tanda hormat majikan kami," sahut Ki Hok.

Lu Sin Kong terkesiap. Dalam hati dia berpikir, “Benda-benda langka seperti ini saja diberikan kepadaku sebagai tanda penghormatan kepadaku. Kira-kira benda langka apa yang majikannya berikan kepada Han Tayhiap?”

Lu Sin Kong memandang keempat benda pusaka itu, lalu perlahan-lahan diambilnya dan diperhatikan sejenak, baru kemudian diletakkan kembali. Tampaknya dia merasa berat sekali melepaskan benda-benda pusaka itu. Akhirnya dia berkata.

"Baiklah, lohu mengabulkan permintaan majikan kalian. Sebetulnya benda apa yang terdapat dalam kotak itu?"

Ki Hok membungkukkan tubuhnya.

"Lu Cong Piau Tau, maafkan kelancangan hamba. Menurut majikan hamba, sebelum sampai di tempat kediaman Han Tayhiap, kotak itu tidak boleh dibuka sedikit pun juga, jadi hamba sendiri tidak tahu apa isinya."

Ucapan Ki Hok itu tidak sesuai sama sekali dengan peraturan dunia piau-kiok. Karena biasanya orang yang meminta pengawalnya pihak Thian Houw Piau Kiok harus menerangkan dengan jelas dulu barang apa yang akan dibawa. Tidak ada aturan bahwa pihak pengawalan tidak boleh tahu apa isi kotak yang akan mereka kawal.

Oleh karena itulah, Lu Sin Kong berkata, "Kalau begitu, terpaksa rejeki ini kami tolak."

"Lu Cong Piau Tau, menurut majikan kami, keempat benda pusaka ini sulit dicari keduanya lagi di seluruh dunia," sahut Ki Hok.

Kata-katanya itu tepat mengenai isi hati Lu Sin Kong. Untuk beberapa lama dia sampai terbungkam!

"Kotak itu juga sudah dipasang kertas segel. Asal Lu Cong Piau Tau berjanji tidak akan merobeknya, maka kami jamin tidak akan terjadi apa-apa sampai di tempat tujuan," kata Ki Hok pula.

"Memangnya kau kira aku ini siapa, masa sembarangan membuka barang milik orang lain?" sahut Lu Sin Kong dengan nada kurang senang.

"Betul, hamba memang lancang sekali," kata Ki Hok cepat.

Lu Sin Kong mendongakkan kepalanya.

"Tuan Kuan Ke, siapa sebetulnya majikan kalian?" tanyanya.

"Sebelum mendapat ijin dari majikan, kami tidak berani sembarangan menyebutnya," sahut Ki Hok.

Lu Sin Kong mendengus satu kali, dan dengan tiba-tiba tangannya mencengkeram. Terpancarlah serangkum kekuatan yang melanda ke pergelangan tangan Ki Hok. Ki Hok mencelat mundur, tubuhnya dimiringkan sedikit, tangannya diangkat ke atas, tahu-tahu dia sudah berhasil menghindar dari serangan Lu Sin Kong.

"Lu Cong Piau Tau...."

Hati Lu Sin Kong tercekat. Cara menghindarkan diri yang ditunjukkan Ki Hok barusan menunjukkan bahwa dia orang Hoa San Pai. Bahkan kalau tidak salah dia malah salah satu jagonya. Tapi mengapa dia justru rela menjadi pelayan yang jabatannya begitu rendah? Di antara semua partai di dunia persilatan, anggota murid Hoa San Pai lah yang paling banyak, bahkan Go Bi Pai saja tidak sanggup menandinginya.

Namun karena muridnya terlalu banyak, maka tidak seluruhnya dapat dikontrol dengan baik. Itu pula yang menyebabkan belakangan ini nama Hoa San Pai di luaran kurang baik. Meski pun demikian, tokoh-tokoh di dunia kang-ouw masih menaruh rasa hormat yang besar kepada ketuanya, yakni Liat Hwe Cousu, juga dua belas tongcu perguruan itu.

Barusan Lu Sin Kong melancarkan sebuah serangan yang mana dapat dielakkan dengan mudah oleh Ki Hok, bahkan gerakan yang dikerahkan tadi bukan lain dari pada Sut Kut Kang (Ilmu Menyusutkan Tulang) dari Hoa San Pai. Sedangkan ilmu yang satu ini hanya dipelajari oleh murid tingkat tinggi dari perguruan itu. Dengan demikian Lu Sin Kong bisa menduga bahwa Ki Hok merupakan salah satu dari dua belas tongcu Hoa San Pai.

Maka Lu Sin Kong segera tersenyum, "Rupanya Liat Hwe Cousu yang memerintahkan anda datang ke mari..." katanya.

Dia tahu, kedua belas Tongcu Hoa San Pai mempunyai kedudukan yang tinggi di dunia bu-lim. Tidak mungkin mereka sudi merendahkan diri menjadi pelayan orang. Itulah sebabnya Lu Sin Kong langsung menduga bahwa semua ini merupakan sandiwara yang diatur oleh Liat Hwe Cousu.

Begitu kedoknya terbuka, mimik wajah Ki Hok agak berubah, namun dalam sekejap saja sudah pulih kembali seperti biasa.

"Ternyata pandangan mata Lu Cong Piau Tau tajam sekali. Sekali melihat saja langsung mengetahui bahwa hamba pernah belajar silat beberapa hari di Hoa San Pai. Tapi hamba bukan anak murid perguruan itu. Majikan hamba she Ki, bukan Liat Hwe Cousu," sahutnya.

Lu Sin Kong tertegun. Dalam hati dia sadar bahwa ilmu Sut Kut Kang merupakan ilmu rahasia Hoa San Pai. Kalau bukan murid tingkat tinggi, pasti tidak boleh mempelajari ilmu ini. Sedangkan Ki Hok tidak mengakui dirinya sebagai jago Hoa San Pai. Maka urusan ini benar-benar mencurigakan. Kemungkinan dibalik semua ini terdapat apa-apa yang akan membawa ketidak beruntungan bagi dirinya, maka dia berkata dengan nada dingin, "Tuan kuan-ke...."

Baru saja dia menyebut panggilan itu, Ki Hok seperti sengaja atau mungkin juga tidak, menggeser kakinya sedikit. Keempat pelayan yang lainnya juga ikut bergerak. Seketika empat macam benda pusaka di atas nampan bertambah berkilauan cahayanya tersorot oleh matahari, sehingga pandangan mata Lu Sin Kong semakin berkunang-kunang melihatnya.

Lu Sin Kong semakin tidak sanggup menahan pesona yang ditimbulkan benda-benda pusaka itu. Maka, setelah merenung sejenak, dia berkata, "Dari sini ke Su Cou hanya membutuhkan perjalanan selama tujuh delapan hari. Kepandaian tuan sudah begitu tinggi, apalagi majikannya. Tapi mengapa tidak mengantarkan sendiri barang-barang itu
malah menyerahkannya kepada kami? Apakah kalian sudah punya bayangan bahwa dalam perjalanan akan ada orang yang memberikan kesulitan?"

Ki Hok menarik nafas panjang.

"Lu Cong Piau Tau memang pandai menerka. Dari sini ke Su Cou, kemungkinan memang ada sedikit masalah. Majikan kami bukannya takut, tapi di antara orang-orang yang akan mendatangkan kesulitan itu, ada seorang di antaranya yang tidak ingin ditemui oleh majikan kami. Itulah sebabnya kami terpaksa merepotkan Lu Cong Piau Tau agar kotak ini dapat lancar sampai di tujuannya."

Lu Sin Kong merenung sebentar. Mengandalkan nama besarnya di dunia kang-ouw, siapa yang berani merampas barang yang dikawalnya sendiri? Seandainya ada orang yang mempunyai niat itu, apakah golok Ce Hun To nya mudah dilawan begitu saja? Setelah berpikir panjang lebar, dia yakin tidak akan gagal, maka dia berkata, "Baiklah. Kau serahkan saja kotak itu kepadaku, besok juga aku langsung berangkat."

Ki Hok menjatuhkan dirinya berlutut.

"Hamba sungguh beruntung, kali ini terpaksa mengandalkan Lu Cong Piau Tau!"

Dia mengibaskan tangannya. Keempat pelayan yang menyertainya segera meletakkan empat nampan emas itu di atas lantai serambi dengan hati-hati, setelah itu mereka langsung mengundurkan diri.

Setelah orang-orang itu keluar dari pintu gerbangnya, Lu Sin Kong menurunkan perintah kepada salah seorang pegawainya, "Cin Piautau, kau ikuti kelima orang itu. Hati-hati, jangan sampai mereka tahu! Kita harus selidiki sampai jelas, siapa sebetulnya orang-orang itu!"

Cin Piautau merupakan salah seorang pegawainya yang paling banyak akal. Maka, Lu Sin Kong berani mempercayakan urusan sepenting ini ke tangannya. Orang itu segera mengiakan, dan tanpa banyak tanya dia langsung berjalan ke luar.

Sementara itu, Lu Sin Kong mengangkat keempat benda pusaka itu, kemudian dia meletakkannya kembali. Perbuatannya itu diulangi sampai berkali-kali, seakan-akan dia merasa berat sekali melepaskannya. Setelah puas memainkannya, dikumpulkannya keempat benda itu dalam sebuah nampan, lalu dibawanya masuk ke dalam.

Baru sampai di depan koridor panjang, tampak sesosok bayangan panjang menyelinap keluar. Tubuh wanita itu kurus sekali. Dialah istri Lu Sin Kong yang bernama Sebun It Nio. Raut wajahnya mirip kuda, alisnya tebal, tampangnya menakutkan. Sekali lihat saja dapat dipastikan bahwa watak orang ini beringas sekali.

Ketika melihat Sebun It Nio, Lu Sin Kong segera berkata, "Hujin, aku justru ingin menemuimu. Mana Leng Ji?"

Begitu melirik saja Sebun lt Nio sudah melihat empat macam benda pusaka yang dibawa Lu Sin Kong. Tanpa dapat ditahan lagi dia terkejut. Sebun It Nio terlahir di salah satu keluarga kaya di Hun Lam. Kakeknya merupakan bendahara kerajaan Tayli. Ketika kerajaan itu musnah, kemana perginya semua harta kekayaan kerajaan itu, boleh dibilang tidak ada seorang pun yang tahu. Sebetulnya semua sudah ditelan oleh kakeknya sendiri. Bayangkan saja berapa banyaknya harta kekayaan yang dimiliki seorang Raja!

Itulah sebabnya pandangan Sebun It Nio juga lebih tinggi dari orang biasa. Emas permata yang sering dibeli suaminya, kenyataannya tidak ada satu pun yang dipandang sebelah mata olehnya. Sekarang dia melihat keempat benda pusaka itu, hatinya terkejut setengah mati. Kemudian tanpa sadar dia bertanya, "Sin Kong, dari mana kau memperoleh keempat macam benda ini?"

Melihat istrinya juga terpesona melihat empat macam benda itu, Lu Sin Kong sadar bahwa benda-benda ini memang bukan pusaka biasa. Hatinya semakin bangga. Dia langsung menceritakan kedatangan Ki Hok barusan serta amanat yang dibawanya.

"Dari sini ke Su Cou, paling-paling hanya tujuh delapan hari. Sedangkan orang yang harus diserahi kotak itu justru si Pecut Emas-Han Sun. Aku rasa, walau pun mungkin ada yang jahil di perjalanan, tapi tentunya bukan masalah yang perlu dikhawatirkan," katanya kemudian.

Mimik wajah Sebun It Nio menunjukkan perasaan ragu-ragu. Maka, setelah merenung agak lama, barulah dia menyahut, "Aku rasa urusannya tidak sesederhana itu. Seandainya dapat sampai di tujuan dengan mudah, mengapa orang she Ki itu harus mengeluarkan imbalan sebesar ini? Aku khawatir empat macam benda pusaka ini bisa mendatangkan bencana besar bagimu."

Lu Sin Kong tertawa terbahak-bahak.

"Hujin, rasanya kecurigaanmu ini agak berlebihan. Kalau bukan orang itu yang menginginkan agar aku turun tangan sendiri, belum tentu dia sudi memberikan imbalan sehebat ini. Asal aku tancapkan sebuah bendera Thian Houw Piau Kiok, jangan kata baru Su Cou, seluruh dunia pun dapat kujelajahi tanpa rintangan."

Sebun It Nio menjulurkan tangannya.

"Sini, biar kulihat sebentar kotak itu!" katanya.

Lu Sin Kong melemparkan kotak yang harus diantarnya. Sebun It Nio menyambutnya dengan tenang, lalu menimbang-nimbangnya dan memperhatikannya sejenak. Kotak itu tidak berat, dan bentuknya biasa-biasa saja, sama sekali tak ada keistimewaannya. Hanya saja di bagian atas kotak itu sudah disegel dengan selembar kertas. Kecuali tercantum tanggal dan bulan, di atas kertas itu tidak ada tulisan apa-apa lagi.

Sebun It Nio membolak-balikkan kotak itu dan diperiksanya dengan teliti. Mengandalkan pengetahuan dan pengalamannya yang luas di dunia kang-ouw, ternyata dia juga tidak menemukan apa pun yang janggal. Sembari berbicara, kaki mereka terus melangkah. Saat itu mereka sudah sampai di taman kecil dalam rumah.

Sebun lt Nio meletakkan kotak itu di atas meja lalu berkata dengan mimik serius. "Sin Kong, aku yakin di balik semua ini pasti ada intrik yang mencurigakan. Kalau menurut pendapatku, sebaiknya kita buka saja kotak ini untuk melihat apa isi di dalamnya."

Lu Sin Kong tertegun. "Hujin, mungkin... usulmu itu kurang baik."

Sebun It Nio tertawa dingin. "Di dunia ini mana ada aturan seperti ini. Minta barangnya dikawal tapi tidak boleh tahu isinya."

"Kalau menurut aturan memang tidak sesuai. Tapi mungkin saja isi kotak itu merupakan rahasia dunia bu-lim atau sejenis rumput obat yang langka. Bila urusan ini sampai tersebar luas, pasti akan menjadi bahan rebutan serta menimbulkan pertikaian. Maka dari itu orang she Ki itu memilih merahasiakannya," kata Lu Sin Kong.

Sebun It Nio merenung sejenak. "Apa yang kau katakan memang ada benarnya juga. Kalau kau sudah mengambil keputusan untuk tidak membuka kotak ini, bagaimana kalau aku mengiringi kepergianmu ke Su Cou kali ini?"

Lu Sin Kong gembira sekali mendengar ucapan itu. "Bila Hujin bersedia menemaniku, aku berani menjamin tugas ini pasti berhasil dengan baik." Setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan pula, "tapi, kalau kita pergi berdua-duaan, Leng Ji ditinggal sendirian di rumah, siapa yang akan mengurusnya nanti?"

Sebun It Nio tertawa. "Memangnya kita tidak bisa mengajaknya ikut serta? Lagi-pula, sudah waktunya anak kita ke luar melihat-lihat."

"Apa yang dikatakan Hujin tepat sekali." Dia langsung berteriak, "Leng Ji, Leng Ji!"

Belum lagi suara panggilannya sirap, terdengarlah langkah kaki mendatangi. Dari arah pintu menghambur seorang bocah berusia kurang lebih tiga belas tahun. Alisnya tebal, bentuk matanya indah, wajahnya bersih. Dia berhenti tepat di depan pintu sambil bertanya, "Ayah, Ibu, ada apa kalian memanggilku?"

Bocah itu memang Lu Leng, anak tunggal mereka. Lu Sin Kong memang suka harta, tapi putranya ini justru buah hati yang lebih disayangi melebihi nyawanya sendiri. Dia langsung membungkukkan tubuhnya untuk merangkul anak itu.

"Leng Ji, besok aku dan ibumu akan pergi ke Su Cou. Kami ingin mengajakmu, bagaimana menurut pendapatmu?"

Lu Leng bertepuk tangan sambil bersorak gembira. "Bagus! Aku senang keluar jalan-jalan!"

Sebun It Nio tertawa, "Leng Ji, kau anggap kita berjalan-jalan? Kemungkinan ada lawan yang tangguh menanti kita di sana," katanya.

Sepasang mata Lu Leng yang bening mengerling ke sana ke mari. "Aku tidak takut! Kalau ketemu lawan, pukul saja!"

Lu Sin Kong dan Sebun It Nio tertawa. Usia anaknya masih kecil tapi sudah bisa menunjukkan kegagahannya. Tentu saja hati mereka senang sekali mempunyai anak seperti dia.

Tiba-tiba, dari luar terdengar suara ramai, rasanya ada beberapa orang yang berseru dengan suara lantang. "Cepat panggil Cong Piau Tau!"

Ada pula orang lain yang berteriak, "Yang penting menolong orang dulu!"

Terdengar seorang lainnya berteriak, "Apa kau tidak punya mata? Memangnya orang ini masih bisa tertolong?"

Untuk sesaat, suasana menjadi bising sekali. Lagi-pula sayup-sayup terdengar langkah kaki mereka semakin lama semakin dekat dengan taman bunga itu. Hati Lu Sin Kong tertegun. Entah apa yang telah terjadi. Tangannya menumpu pada tiang pilar, dan dia langsung berdiri. Wajah Sebun It Nio juga mulai berubah. Digenggamnya tangan Lu Leng erat-erat, jangan sampai bocah itu sembarangan keluyuran.

Tepat pada saat itu, dari luar pintu terdengar seseorang bertanya, "Apakah Lu Cong Piau Tau ada di tempat?"

"Ada apa?" tanya Lu Sin Kong cepat.

“Brakk!!” Pintu taman itu terbuka seketika. Dari luar menyeruduk masuk tujuh delapan belasan orang yang terdiri dari para pegawai perusahaan ekspedisi itu. Dua di antaranya merupakan piau-tau tua. Mereka melangkah masuk. Tubuh keduanya penuh dengan bercak darah, sebab mereka sedang membimbing seseorang yang tubuhnya penuh luka. Kalau mengatakan orang yang mereka papah itu seorang ‘manusia darah’, rasanya kiasan itu memang tepat sekali. Dari atas kepala sampai ke ujung kaki orang itu memang bergelimang darah segar.

Melihat keadaan itu, Lu Sin Kong juga terkejut setengah mati.

"Jangan ribut!" bentaknya.

Dalam sekejap mata, suasana dalam taman itu menjadi hening. Lu Sin Kong memperhatikan ‘manusia darah’ itu, dan lagi-lagi hatinya terkesiap, "Ah! Bukankah ini Cin Piau Tau?"

Memang benar, orang yang bergelimangan darah itu memang Cin Piau Tau yang ditugaskan Lu Sin Kong untuk mengikuti jejak kelima orang Kepala Pelayan keluarga Ki.

Terdengar seseorang menyahut, "Memang Cin Piau Tau."

Lu Sin Kong segera menghampiri lalu perlahan-lahan mendongakkan wajah Cin Piau Tau. Tampak dari atas kepala sampai ujung kaki orang itu penuh dengan lobang luka. Tampaknya luka yang diderita orang itu parah sekali. Sudah barang tentu, dengan luka sehebat itu, Cin Piau Tau tidak bisa berjalan sendiri.

Dalam waktu bersamaan, Sebun It Nio juga melihat kejadian ini. "Siapa yang mengantarnya pulang?" tanya wanita itu.

Salah seorang pegawainya menyahut, "Sebuah kereta yang mewah sekali. Begitu sampai di depan pintu, tubuh Cin Piau Tau terlempar ke luar. Kami segera berhamburan ke luar untuk melihatnya, tapi kereta itu sudah tidak tampak lagi."

Sebun It Nio melirik sekilas kepada Lu Sin Kong, lalu bergerak maju selangkah. Kedua jari telunjuk dan tengahnya menjulur ke depan lalu perlahan-lahan menotok jalan darah Pek Ciok Hiat-nya Cin Piau Tau. Jalan darah Pek Ciok Hiat merupakan salah satu di antara delapan urat darah terpenting di tubuh manusia. Luka yang dialami Cin Piau Tau sudah terlampau parah. Tapi bila jalan darah Pek CiokHiat-nya ditotok, getarannya dapat membuat orang sadar kembali.

Sebun It Nio langsung membentak, "Cin Piau Tau, siapa yang mencelakaimu? Cepat katakan agar kami bisa membalaskan dendammu!"

Cin Piau Tau mendongakkan kepalanya, kemudian dengan suara lemah dia berkata, "Lu... Cong Piau... Tau... A... ku sungguh... ti... dak berun... tung, kau... ti... dak... bo... leh...," baru berkata sampai di situ, kepalanya sudah terkulai.

"Tidak boleh apa?" tanya Lu Sin Kong cepat.

Namun Cin Piau Tau untuk selamanya tidak bisa bersuara lagi. Orang-orang yang melihatnya, tanpa sadar mengeluarkan seruan terkejut, sebab di dalam Thian Houw Piau Kiok, masalah seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya.

Lu Sin Kong berusaha menenangkan hatinya, "Kalian keluar!"

Para pegawainya segera berjalan ke luar. Begitu sampai di luar, mereka berkasak-kusuk membicarakan urusan itu. Ada pula beberapa di antaranya yang menduga-duga hal ini merupakan hal yang wajar.

Setelah semua orang keluar, Lu Sin Kong baru meletakkan jenasah Cin Piau Tau lurus ke atas tanah.

“Brett!” Dikoyaknya sebagian baju jenasah itu lalu digunakannya untuk membersihkan noda darah di wajah jenasah Cin Piau Tau. Setelah itu dia baru memperhatikan wajah pegawainya itu, dan kembali dia diguncang rasa terkejut. Rupanya mimik wajah Cin Piau Tau menunjukkan rasa gentar yang begitu hebatnya sehingga untuk selamanya tidak pernah terlihat oleh Lu Sin Kong. Mimik seperti itu juga tidak pernah terlihat pada manusia umumnya.

Melihat keadaan ini, Lu Sin Kong tahu bahwa sebelum ajal atau sebelum jatuh pingsan, Cin Piau Tau pasti menghadapi suatu situasi yang membuatnya ketakutan sampai titik puncaknya. ltulah sebabnya dia mati dengan membawa mimik wajah seperti itu. Bisa jadi juga, rasa takut yang hebat itulah yang membuatnya pingsan. Dalam keadaan tidak sadar, barulah pihak lawan membuat sekian banyak luka di tubuhnya.

Lu Sin Kong tersadar seketika bahwa urusan yang dihadapinya kali ini bukanlah urusan sepele lagi seperti dugaan sebelumnya. Sampai cukup lama dia memperhatikan mimik wajah Cin Piau Tau, akhirnya dia berdiri kembali sambil berkata, "Hujin, kira-kira apa yang terjadi? Apakah kau mempunyai sedikit dugaan?"

Pada saat itu mimik wajah Sebun It Nio sendiri juga sungguh tidak sedap dipandang. "Sebelum mati dia mengatakan bahwa dirinya sungguh tidak beruntung, apakah kau menugaskannya melakukan sesuatu?" tanya wanita itu.

Lu Sin Kong menganggukkan kepalanya. "Setelah orang bernama Ki Hok pergi bersama keempat kepala pelayan lainnya, aku menugaskan Cin Piau Tau mengikuti kelima orang itu. Aku ingin tahu asal-usul mereka," sahutnya.

"Kemungkinan dia sudah berhasil mengetahui asal-usul mereka. Sayangnya dia tidak sempat mengatakannya, malah mati terbunuh," kata Sebun lt Nio.

Sejak tadi Lu Leng berdiri di samping ibunya. Semua kejadian itu dilihatnya dengan jelas, namun mimik wajahnya tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun. Malah tiba-tiba dia bertanya, "Ma, kalian menyebut orang-orang itu, siapa sebetulnya mereka? Dan bagaimana kita membalaskan kematian Cin Piau Tau?"

Sebun It Nio tertawa getir, dielusnya kepala Lu Leng. "Nak, kau masih terlalu kecil, jangan ikut campur urusan orangtua!"

Sepasang mata Lu Leng mengerling ke sana ke mari, seakan-akan ada sesuatu yang ingin dikatakannya namun tidak jadi. Diam-diam dia menganggukkan kepalanya.

"Ma, aku takut melihat orang mati, aku ingin keluar saja," katanya kemudian.

Sebun lt Nio tidak melarang. "Jangan sembarangan keluyuran!" pesannya.

Lu Leng menganggukkan kepalanya, dan langsung berjalan ke luar. Sejak Lu Leng lahir, kedua suami istri Lu Sin Kong dan Sebun It Nio memang sangat sayang terhadap anak mereka yang semata wayang itu. Orangtua yang terlalu menyayangi anaknya, maka untuk selamanya anak itu akan dianggap sebagai balita saja.

Walau pun usia Lu Leng belum tiga belas tahun, namun sejak kecil dia sudah belajar silat, tenaga dalamnya juga sudah mempunyai dasar yang cukup kuat. Sudah barang tentu nyalinya juga lebih besar dari pada anak-anak biasa. Dapat dipastikan bukan ‘bocah kecil’ seperti anggapan orangtuanya. Dia juga tidak mungkin takut melihat mayat Cin Piau Tau, hanya alasannya saja agar diijinkan ke luar.

Begitu ke luar dari taman bunga, dia segera kembali ke kamarnya sendiri. Dia meloncat ke atas untuk mengambil sebilah golok pemberian ayahnya sendiri. Golok itu serupa dengan golok Ce Hun To yang digunakan oleh ayahnya, hanya miliknya lebih pendek beberapa ciok. Setelah berhasil mengambil golok itu, Lu Leng berjalan ke luar kembali.

"Tidak boleh...," kira-kira apa maksud perkataannya itu?

Perlahan-lahan Sebun It Nio menarik nafas panjang. "Kata-katanya memang sulit dijelaskan. Bisa jadi dia menyuruhmu agar jangan menerima langganan kali ini, atau kau tidak boleh berangkat ke Su Cou."

Lu Sin Kong tertegun. "Kenapa?"

"Kalau kau tanya kenapa, mungkin hanya Cin Piau Tau yang tahu apa alasannya. Sayangnya dia sudah mati. Sin Kong, urusannya sudah sedalam ini, bagaimana pun aku harus membuka kotak itu," sahut Sebun It Nio.

Lu Sin Kong memperlihatkan kebimbangan. "Karena mengikuti orang bernama Ki Hok itulah maka Cin Piau Tau menemui kematiannya dengan cara yang begitu mengenaskan. Hal ini membuktikan bahwa Ki Hok pasti bukan manusia baik-baik...."

Baru berkata sampai di sini, tiba-tiba Sebun It Nio bertanya, "Kau mengatakan bahwa Ki Hok bisa mengerahkan ilmu Sut Kut Kang dari Hoa San Pai, bagaimana rupa orang itu?"

"Kalau tahu rupanya saja apa gunanya? Anak murid Hoa San Pai begitu banyak, ke mana kita harus mencari orang itu?"

Sebun lt Nio menyahut dengan nada dingin, "Bagaimana kau ini? Di dalam perguruan Hoa San Pai, kecuali Liat Hwe Cousu dan dua belas tongcu-nya, memangnya ada orang keempat belas yang bisa memainkan ilmu Sut Kut Kang? Dulu, Su Cou dari Tiam Cong Pai pernah mengajakku ke Hoa San Pai untuk mengunjungi Liat Hwe Cousu. Ketika itu kedua belas tongcu-nya juga ke luar menyambut kami. Bila kau menyebut rupa orang itu, mungkin aku bisa mengingatnya kembali!"

"Kapan kejadiannya?" tanya Lu Sin Kang.

"Kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu."

"Kalau begitu tidak cocok. Usia Ki Hok rasanya belum sampai empat puluh tahun," sahut Lu Sin Kong.

Mimik wajah Sebun It Nio menunjukkan perasaan bingung. Sampai lama dia tidak berkata-kata. Tiba-tiba dia menjulurkan tangannya untuk mengambil kotak itu.

"Hujin, kalau kita bisa menahan diri untuk tidak membuka kotak itu, lebih baik kita jangan membukanya. Aku pernah berjanji kepada Ki Hok bahwa aku tidak akan membuka segelnya sampai di Su Cou," kata Lu Sin Kong.

Sebun It Nio tertawa dingin. "Sin Kong, bila seseorang memasang perangkap, apakah kau akan menjebloskan diri begitu saja?"

Sembari berbicara dia mengambil cawan berisi air teh lalu disiramkan ke atas kertas segel itu. Tidak lama kemudian, kertas segel di atas kotak itu telah basah semuanya oleh air teh. Dengan hati-hati Sebun It Nio melepaskannya. Walau pun adat nyonya ini agak berangasan tapi dalam mengambil tindakan dia selalu waspada. Ternyata kertas itu tidak koyak sedikit pun juga. Setelah itu dia membuka besi kecil yang mengait di kotak kayu itu lalu membukanya.

Sepasang suami istri itu sama-sama melongokkan kepalanya ke dalam kotak. Namun hanya beberapa detik mereka serentak mengangkat kepalanya dan menunjukkan mimik keheranan. Ternyata kotak itu kosong melompong, tidak ada apa-apanya sama sekali. Orang itu sudah memberikan imbalan begitu besar, bahkan memutuskan harus Lu Sin Kong yang mengantar kotak itu sendiri, tapi ternyata barang yang harus diantar hanya berupa sebuah kotak kosong. Seandainya mengatakan urusan ini hanya lelucon yang disengaja oleh orang iseng, memang agak mirip. Namun Cin Piau Tau sudah mati dengan cara yang mengenaskan. Maka dapat dipastikan urusan ini bukan lelucon belaka.

Sebun It Nio cepat-cepat merapatkan kembali kotak itu lalu memasang kertas segelnya dengan rapi. Sepasang suami istri itu tertegun untuk sekian lama. Perasaan Lu Sin Kong sudah tidak terkatakan gundahnya.

"Hujin, apakah kita tetap berangkat ke Su Cou atau tidak?" tanyanya kepada sang istri.

"Tentu saja kita harus pergi, sebab kalau kita tidak jadi pergi, bukankah kita akan dipandang hina oleh orang?" sahut Sebun It Nio dengan nada dingin.

Lu Sin Kong tertawa getir. "Seandainya kita menempuh perjalanan sejauh ribuan li untuk mengantarkan sebuah kotak kosong kepada si Pecut Emas-Han Sun, lalu urusan ini tersebar di dunia kang-ouw, bukankah akan menjadi bahan tertawaan yang sebelumnya belum pernah ada?" katanya.

"Kotak kayunya memang kosong, tapi di dalamnya pasti mengandung rahasia yang tidak diketahui orang lain. Mungkin kalau si Pecut Emas-Han Sun melihatnya, dia akan mengerti seketika. Yang penting dalam perjalanan kita harus meningkatkan kewaspadaan."

Lu Sin Kong merenung sebentar, "Apa yang kau katakan ada benarnya juga. Walau pun perjalanan kita nanti tidak terlalu jauh, tapi mungkin saja kita akan berhadapan dengan lawan. Hal ini sudah bisa kita duga. Saat itu, kita berdua harus mengerahkan segenap kemampuan untuk menghadapi musuh. Usia Leng Ji masih kecil, sebaiknya kita jangan mengajak dia dalam perjalanan ini."

"Kalau kita tidak mengajaknya, kemungkinan kita akan mati ketika berhadapan dengan musuh tangguh. Bukankah kita tidak sempat meninggalkan pesan apa pun kepadanya?" sahut Sebun lt Nio.

Mendengar kata-kata istrinya, Lu Sin Kong tertegun. Dia tahu sekali bahwa selama ini istrinya selalu memandang tinggi diri sendiri. Lagi-pula selama ini, baik sendiri atau pun bergabung dengannya, entah sudah berapa banyak lawan yang mereka hadapi. Namun selama ini pula, dia belum pernah mendengar Sebun It Nio mengucapkan kata-kata yang demikian putus asa, padahal perang belum lagi dimulai. Oleh karena itu Lu Sin Kong terbungkam sampai sekian lama.

"Hujin, menurut perkiraanmu, kepergian kita kali ini akan menghadapi lawan seperti apa?" tanyanya kemudian.

Sebun It Nio berpikir cukup lama. "Sulit untuk menerkanya. Beberapa tahun belakangan ini, dunia bu-lim tenang tentram, bahkan gembong-gembong iblis yang dulunya banyak menimbulkan keonaran, akhir-akhir ini malah memilih menyepi di tempat terpencil. Mungkin ada sekelompok orang yang merencanakannya secara diam-diam. Atau dengan kata lain, mereka bergerak secara gelap. Lebih baik kita terka dulu, siapa kira-kira majikan orang yang bernama Ki Hok itu."

Lu Sin Kong berjalan mondar-mandir sembari menggendong kedua tangannya. Dia juga menundukkan kepalanya untuk melirik ke arah jenasah Cin Piau Tau. Melihat mimik wajah jenasah yang ketakutan, Lu Sin Kong sendiri berpikir-pikir dengan tidak habis mengerti, kira-kira apa yang dilihatnya sebelum ajal? Matanya mengedar, sekonyong-konyong dia melihat sepasang tangan Cin Piau Tau mengepal dengan erat. Di antara jari tangan kanannya seakan ada sesuatu yang tersembul ke luar.

"Hujin, coba kau lihat, benda apa yang tergenggam di tangan Cin Piau Tau?" katanya cepat.

Sebun It Nio juga merasa heran. "Cin Piau Tau paling banyak akalnya. Mungkin ketika terluka berat, dia sempat menggenggam sesuatu dalam tangannya sebagai tanda untuk kita."

Kedua orang itu segera mengerahkan tenaganya untuk membuka kepalan tangan Cin Piau Tau. Setelah berhasil, ternyata mereka melihat jari tangan orang itu mengepal secarik kain berwarna ungu. Keduanya langsung merentangkan lipatan kain itu. Dapat dipastikan secarik kain itu terkoyak dari pakaian seseorang.

Lu Sin Kong semakin heran, "Aih, orang bernama Ki Hok beserta keempat pelayan lainnya tidak ada yang mengenakan pakaian ungu!"

"Kalau melihat keadaan ini, urusannya semakin lama semakin rumit. Kita tinggal di wilayah Lam Cong, tapi tidak sadar bahwa di wilayah ini kedatangan orang-orang sakti. Sin Kong, masalahnya penuh dengan teka-teki, kita tidak perlu asal tebak. Malam ini juga kita berkemas, besok pagi-pagi kita berangkat," kata Sebun It Nio.

Dengan hati-hati Lu Sin Kong mengangkat kotak kayu itu lalu melangkah ke luar. Bersama-sama dengan Sebun It Nio, keduanya menuju sebuah gunung-gunungan yang terdapat di taman belakang rumah. Mereka sampai di sisi gunung-gunungan itu. Keduanya mengedarkan pandangan ke sekeliling, tapi tidak tampak bayangan seorang pun. Gunung-gunungan itu dibangun di sudut taman, dengan memunggungi dinding rumah, jadi tidak menarik perhatian sama sekali. Di bagian depannya juga dipenuhi tumbuhan yang lebat, maka siapa pun yang melihatnya, pasti menganggapnya sebagai dekorasi dalam taman itu. Hanya Lu Sin Kong dan Sebun It Nio yang tahu betapa pentingnya gunung-gunungan itu.

Secara berturut-turut keduanya menyusup ke dalam sebuah goa yang terdapat di balik tetumbuhan yang lebat. Baru masuk sedikit, mereka harus melalui tiga kelokan. Setelah itu tubuh mereka baru bisa ditegakkan. Keadaan di dalam goa itu gelap sekali. Walau pun di siang hari ada sedikit cahaya matahari yang menyorot masuk lewat celah-celah batu, namun keadaannya masih remang-remang. Sedangkan hawa di dalamnya lembab sekali sehingga terendus bau pengap.

Mereka sampai di ujung kelokan ketiga. Keduanya baru saja menegakkan tubuh, tiba-tiba terdengar Sebun It Nio mengeluarkan seruan, "Aih!”

“Sin Kong, apakah beberapa hari terakhir ini kau datang ke sini?" tanyanya kemudian.

"Tidak pernah. Kecuali empat hari yang lalu ketika kita bersama-sama masuk ke sini, aku tidak pernah datang lagi," sahut Lu Sin Kong.

Sebun It Nio mendengus dingin. "Ternyata keanehan ini terus berentet, tapi kita berdua justru seperti katak dalam tempurung yang tidak tahu apa-apa. Tempat ini sudah diketahui orang, bahkan ada yang pernah masuk ke sini."

Lu Sin Kong terkejut setengah mati. "Hujin, bagaimana kau bisa tahu?" tanyanya cepat.

Sebun It Nio menunjuk ke arah dinding goa. "Coba kau lihat, di sini ada sebuah cap telapak tangan. Beberapa hari yang lalu ketika kita masuk ke sini, tanda ini belum ada."

Lu Sin Kong mendongakkan kepalanya. Ternyata di hadapannya, yakni di dinding yang permukaannya rata namun banyak ditumbuhi lumut, dengan jelas tertera sebuah cap telapak tangan. Tempat yang ada cap tangannya sudah tidak berlumut lagi. Hal ini membuktikan bahwa cap tangan itu dibuat dengan tenaga yang kuat sekali.

Dengan penasaran Lu Sin Kong berkata, "Rupanya memang ada orang yang menyusup ke sini. Sebaiknya kita segera memeriksa, apakah ada sesuatu.yang berkurang?"

Ternyata di dalam gunung-gunungan ini, Lu Sin Kong menyuruh dua orang ahli untuk membangun gudang penyimpanan barang. Di dalam gudang itu tersimpan berbagai emas, permata, barang-barang antik yang dikoleksinya selama belasan tahun belakangan ini. Mereka berdua masuk ke tempat ini, tujuannya adalah menyimpan keempat benda pusaka yang dihadiahkan majikan Ki Hok. Gudang penyimpanan ini, kecuali suami istri Lu Sin Kong sendiri, boleh dibilang selain kedua arsitek dari Tibet yang membangunnya, maka tidak ada pihak lain yang mengetahuinya. Sekarang mereka melihat di dinding goanya ada tanda cap tangan, berarti sudah pernah ada orang yang masuk ke situ, bagaimana Lu Sin Kong tidak menjadi tercekat hatinya?

Sekali lagi Sebun It Nio mendengus dingin. "Kau hanya mementingkan benda-benda rongsokanmu itu, mana sempat melihat cap telapak tangan?”

Sebun It Nio memang terlahir di keluarga berada. Sejak dia kecil, intan permata atau pun batu-batuan berharga lainnya menjadi mainannya sehari-hari. Maka, terhadap watak Lu Sin Kong yang gila harta, sudah sejak lama dia merasa tidak senang. Namun karena kasih sayangnya terhadap suami, selama ini dia mendiamkan saja. Sekarang timbul masalah seperti ini, maka tanpa dapat menahan diri lagi, dia mencetuskan rasa tidak senangnya.

Mendengar sindiran istrinya, Lu Sin Kong segera memperhatikan tanda telapak tangan itu dengan seksama. Begitu melihat sebentar, dia langsung menemukan sesuatu yang janggal. Rupanya tanda telapak tangan itu berbeda dengan telapak tangan orang pada umumya. Pada sisi jari jempolnya terdapat sebuah jari kecil lainnya. Jadi orang yang membuat tanda ini pasti memiliki enam jari tangan.

Bagaimanapun pengalaman Lu Sin Kong di dunia bu-lim sudah banyak sekali. Maka, begitu melihatnya, dia langsung bertanya dengan suara tercekat. "Mungkinkah Liok Ci Siansing ?"

"Pasti memang dialah orangnya, tak salah lagi. Memangnya di dunia ini selain dia ada lagi orang yang mempunyai bentuk jari tangan seperti itu?" sahut Sebun It Nio.

Lu Sin Kong semakin heran. "Walau pun adat Liok Ci Siansing angin-anginan, tapi selama ini selalu menetap di puncak gunung Bu Yi San. Beliau jarang sekali terjun ke dunia persilatan. Beberapa tahun lalu, beliau pernah menyebarkan berita bahwa dirinya akan mencari seorang murid sebagai ahli warisnya, maka beliau muncul lagi di dunia persilatan. Kecuali hobby mengoleksi harpa-harpa antik, tidak ada benda lainnya yang bisa menarik perhatiannya. Mana mungkin dia mengincar hartaku ini?"

Mendengar suaminya berulang kali menyebut hartanya, hawa amarah dalam dada Sebun It Nio menjadi meluap. "Sin Kong, kau anggap orang lain selalu sama denganmu, yaitu melihat harta benda melebihi nyawamu sendiri? Bila Liok Ci Siansing benar pernah ke mari, pasti dia sudah membuka gudang penyimpanan ini. Kenapa tidak segera kau buka agar kita bisa memeriksa keadaan di dalamnya?"

Mendengar omelan istrinya, Lu Sin Kong membayangkan dirinya sendiri yang agak gila harta, dan hatinya menjadi rada malu. Tapi dia memaksakan diri untuk tertawa. "Hujin, seandainya Liok Ci Siansing pernah datang ke mari, belum tentu dia bisa membuka gudang penyimpananku ini," katanya.

Apa yang dikatakan Lu Sin Kong memang tidak berlebihan. Gudang penyimpanan harta bendanya itu memang dirancang khusus oleh kedua arsitek dari Tibet. Jadi untuk membukanya memang sulit sekali. Mereka menciptakan sebuah gudang yang belum pernah ada sebelumnya. Alat rahasianya terletak di bawah sebuah batu besar, berupa tujuh butir kancing yang terbuat dari batu. Di atasnya penuh dengan lumut pula. Bila tidak mencarinya dengan teliti, pasti tidak berhasil menemukannya. Seandainya ketemu pun, tidak akan tahu cara membukanya, berarti sia-sia juga.

Ketujuh kancing batu itu, mula-mula harus ditekan kancing pertama dan yang ketujuh dalam waktu yang bersamaan, lalu menekan pula kancing kedua dan keenam, setelah itu menekan kancing ketiga dan lima, terakhir baru menekan kancing keempat. Dengan demikian pintu batu itu baru bisa terbuka. Dalam melakukannya, tidak boleh ada kesalahan sedikit pun juga. Bukan saja pintunya tidak akan terbuka, malah dari bagian atasnya akan meluncur keluar puluhan senjata rahasia yang mematikan.

Semua ini masih belum terhitung sulit. Yang paling istimewa adalah kancing batunya itu yang beratnya mencapai ribuan kati. Bila orang yang tenaga dalamnya tidak kuat, jangan harap sanggup menekan kenop batu itu. Itulah sebabnya, setiap kali hendak memasuki gudang penyimpanannya ini, Lu Sin Kong harus mengajak istrinya. Mengandalkan tenaganya sendiri, dia tidak akan sanggup menekan dua kenop sekaligus. Bagaimana pun tingginya ilmu seseorang, tekanan jari tangannya mempunyai batas-batas tertentu. Jari tangan Lu Sin Kong mungkin mengandung tenaga sebanyak delapan ratusan kati, namun tetap aja tidak sanggup menekan dua kenop sekaligus. Oleh karena itu, ucapan Lu Sin Kong mengenai Liok Ci Siansing yang kemungkinan telah datang ke tempat itu dan belum tentu bisa membuka gudang penyimpanan hartanya memang beralasan.

Kedua orang itu segera membungkukkan tubuhnya. Lu Sin Kong menekan kenop ketujuh, maka Sebun It Nio menekan kenop pertama dalam waktu yang bersamaan. Tiga kali berturut-turut mereka menekan, akhirnya Lu Sin Kong sendiri menekan kenop keempat. Terdengar suara berderak-derak, batu besar yang ada di hadapan mereka perlahan-lahan terkuak.

Lu Sin Kong mengambil mutiara yang dapat bersinar dari atas nampan, lalu melangkah masuk. Ruangan dalam goa batu itu sebetulnya gelap gulita, tapi begitu terkena sinar mutiara itu menjadi agak terang. Tampak ruangan batu itu luasnya kurang lebih satu depa persegi. Di dalamnya terdapat banyak rak-rak yang di atasnya tersusun berbagai benda-benda bernilai tinggi. Dalam waktu senggang, Lu Sin Kong sering berdiam di dalam ruangan itu sampai berjam-jam lamanya untuk menikmati keindahan hasil koleksinya. Sedangkan Sebun It Nio selalu menunggu di luar goa untuk berjaga-jaga. Kadang-kadang wanita itu harus masuk ke dalam sampai beberapa kali, barulah suaminya bersedia meninggalkan tempat itu. Oleh karena itu, berapa banyak jumlah benda-benda pusaka atau harta benda yang tersimpan di dalam gudang itu, Lu Sin Kong sudah hapal luar kepala. Bahkan di mana setiap benda diletakkan, dia bisa mengambilnya, meski pun dalam kegelapan.

Begitu masuk kedalam matanya mengedar, dan sekali melihat dia tahu hartanya tidak ada yang berkurang. Hatinya merasa bangga sekali, dan dia langsung menoleh kepada istrinya dan berkata, "Hujin, sejak tadi aku sudah bilang, walau pun Liok Ci Siansing bisa masuk ke tempat ini, belum tentu bisa membuka pintu batunya."

Dari luar pintu Sebun It Nio membentak dengan nada dalam, "Cepat simpan keempat benda itu, jangan menunda waktu lagi!"

Setiap kali melihat harta benda yang dikumpulkannya dengan susah payah, hati Lu Sin Kong pasti gembira sekali. Meski pun sepanjang hari itu banyak kejadian yang tidak terduga, namun Lu Sin Kong bukan tipe manusia yang mudah dibuat takut oleh segala hal. Karena itu, dengan bibir tersenyum dan mengelus-elus jenggotnya, dia melangkah masuk. Disentuhnya beberapa benda tertentu yang selama ini menjadi kesayangannya, kemudian ditariknya dua buah rak untuk menempatkan keempat macam benda pusaka yang dibawanya. Setelah itu dia menyurut mundur lagi beberapa langkah, untuk menaksir tepat tidak penataan benda-benda itu.

Lagaknya seperti orang yang baru menyelesaikan sebuah hasil karya besar, dia melangkah mundur beberapa tindak untuk menikmati keindahannya. Tapi kali ini keadaannya berbeda, begitu mundur dua langkah, dia memang melihat benda-benda itu berkilauan dengan indah. Namun justru kilauan benda-benda itu pula yang membuat dia melihat di bagian bawah rak tersebut ada seseorang yang sedang berdiri tegak.

Tinggi rak itu kurang Iebih sampai di bawah dagu Lu Sin Kong, tapi orang yang dilihatnya berdiri tegak di bawahnya menunjukan postur tubuh orang yang dilihatnya itu lebih pendek darinya. Rasa terkejut dalam hati laki-laki itu jangan ditanyakan lagi. Maka, setelah tertegun sejenak, dia segera berseru, "Hujin, cepat kau lihat!"

Sebun It Nio berdiri di luar pintu. Sejak tadi pikirannya memang terus melayang-layang memikirkan berbagai kejadian aneh yang mereka hadapi hari ini. Tiba-tiba dia mendengar suara panggilan suaminya yang mengandung rasa terkejut yang besar. Maka tubuhnya segera melesat, tahu-tahu dia sudah masuk ke dalam gudang.

"Ada apa?" tanyanya.

Lu Sin Kong menunjuk ke bagian bawah rak itu. "Lihatlah!"

Sebun It Nio mengalihkan pandangannya ke arah yang ditunjuk Lu Sin Kong, hatinya terkesiap. "Leng Ji!" teriaknya.

Tangannya mencengkeram lengan Lu Sin Kong. Tenaga dalam laki-laki ini tinggi sekali, namun cengkeraman istrinya menimbulkan rasa sakit. Begitu mendengar teriakan Sebun It Nio, rasa sakitnya sirna entah ke mana.

"Leng Ji?" tanyanya dengan nada tercekat.

Tepat pada saat itulah, dia baru ingat, ketika Lu Leng masuk ke taman bunga menemui mereka, pakaian yang dikenakannya memang berwarna hijau. Sedangkan sosok orang yang berdiri tegak di bawah rak itu juga mengenakan pakaian hijau. Membayangkan anaknya bisa muncul di dalam gudang penyimpanan hartanya, perasaan Lu Sin Kong menjadi tidak karuan. Cepat-cepat dia maju dua langkah. Tapi baru saja mau melangkah, tiba-tiba sebuah ingatan melintas dalam benaknya, dan hatinya bergidik seketika. Seluruh tubuhnya bagai terserap dalam ruangan es sehingga dia tidak sanggup bergerak sedikit pun.

Ketika pertama kali melihat orang yang berdiri tegak tadi, dia sama sekali tidak terpikir ke anaknya, Lu Leng. Hal ini disebabkan tinggi Lu Leng sudah lebih tinggi dari bawah dagunya, orang yang dilihatnya justru berdiri tegak di bawah rak, berarti dia lebih pendek kurang lebih satu kepala dari Lu Leng. Sekarang dia maju ke depan sedikit. Tiba-tiba sebuah ingatan melintas dalam benaknya, di mana kepala orang itu?

Karena melihatnya dari kejauhan, ditambah suasana dalam gudang yang remang-remang, maka yang tampak hanya bagian tubuhnya saja, dari tadi dia tidak melihat bagian kepala orang itu. Seandainya kepala orang itu masih ada, pasti akan menyembul ke luar dari ketinggian raknya. Sedangkan ketika mutiara di tangannya menyinari ruangan, yang tampak hanya bagian atasnya yang datar. Dari sini saja dapat diketahui, orang itu bisa berdiri tegak dan rapat bersandar pada rak, justru karena kepala sampai batas lehernya telah tiada.

Begitu berpikir sampai di sini, apalagi setelah mengetahui tubuh yang terlihat adalah anaknya sendiri, bagaimana hati Lu Sin Kong tidak menjadi kaku karena ketakutan? Tepat pada saat dirinya masih berdiri terpaku, Sebun It Nio sudah menjerit histeris, tangannya menghantam ke arah rak barang itu, orangnya juga melesat melewati samping Lu Sin Kong dan langsung menghambur ke depan. Sekali tangannya menghantam, pukulannya menimbulkan suara keras.

“Brakk!!!” Rak tempat memajang barang itu hancur total dan benda-benda berharga yang terpajang di atasnya juga pecah berantakan.

Tiba-tiba dia meraih tubuh orang yang berdiri tegak itu lalu dipandangnya sekilas. Ternyata sosok tubuh tanpa kepala, tangan dan kakinya kecil. Maka dapat dipastikan tubuh itu milik seorang bocah cilik. Mayat tersebut mengenakan pakaian Lu Leng. Di tangannya juga melingkar sebuah gelang giok seperti yang biasa dikenakan Lu Leng. Gelang giok itu dihadiahkan oleh Lu Sin Kong ketika Lu Leng berusia tiga tahun dan selama ini tidak pernah dilepasnya. Karena usianya yang bertambah, sudah barang tentu gelang itu menjadi ketat, akhirnya tidak bisa dilepas lagi.

Dalam sesaat, hati Sebun lt Nio bagai tersayat ratusan pisau kecil, bahkan seperti di atas lukanya ditaburi garam sehingga perihnya tidak terkatakan. Kesedihan hatinya terlalu dalam. Setelah berdiri termangu-mangu cukup lama, tiba-tiba, “Hoakkk!!!”

Segumpal darah segar muncrat dari mulutnya! Dia meraung keras-keras lalu dilemparkannya tubuh tanpa kepala yang sudah kaku itu ke arah Lu Sin Kong sambil tertawa terbahak-bahak.

"Bagus! Orang tahu kau suka menyimpan barang-barang antik! Tidak perlu kau susah payah, ada orang yang menolongmu membersihkan anakmu ini dan mengantarnya sendiri ke dalam gudangmu!"

Tubuh mayat itu melayang bagaikan terdorong angin dahsyat. Meski pun perasaan Lu Sin Kong saat itu juga pilu sekali, namun bagaimana pun juga perasaan laki-laki memang lebih kuat dari perempuan. Tangannya menjulur ke depan, sosok mayat itu disambutnya dan matanya menatap ke arah luka di leher mayat itu. Ternyata tidak ada jejak darahnya lagi, seakan sudah dicuci sampai bersih.

Dalam keadaan putus asa, dia berkata, "Hujin jangan kelewat bersedih. Mayat ini tidak ada kepalanya, kita tidak dapat memastikan bahwa ini anak kita."

Kembali Seburi It Nio memperdengarkan suara tawa yang menyeramkan. "Kalau bukan Leng Ji, lalu siapa? Lihatlah gelang giok di tangannya!"

Lu Sin Kong melirik ke arah gelang di tangan mayat itu. Harapannya yang terakhir pupus sudah. Tapi pada saat itu juga suatu ingatan melintas dalam benaknya, dan dia segera berkata, "Hujin, di depan dada Leng Ji ada tanda merah, kenapa kita tidak lihat sekali lagi?"

Sembari berbicara, dia mengoyak bagian depan pakaian mayat itu. Tampak di dadanya, di mana semestinya ada tanda merah yang dibawa Lu Leng sejak lahir, sekarang telah di sayat kulitnya. Walau pun Lu Sin Kong seorang gagah perkasa, namun karena kejadian yang ada di hadapannya saat ini terlalu sadis, maka tangannya jadi lemas.

“Buk!!!” Tubuh itu terhempas di atas tanah, menimpa harta bendanya yang tidak ternilai.

Tapi saat ini, benda-benda yang disayanginya setengah mati itu pada hari biasanya, sekarang dilihatnya seperti onggokan debu yang mengotorkan saja. Sebab Lu Leng sudah mati! Anak mereka yang semata wayang sudah mati! Lu Sin Kong ingin sekali berteriak sekeras-kerasnya untuk melegakan dadanya, namun tidak ada sedikit pun suara yang ke luar. Rasanya dia ingin menangis menggerung-gerung, tapi air matanya tidak turun setetes pun juga. Beberapa saat kemudian, dia malah tertawa terbahak-bahak! Suara tawanya begitu memilukan!

Suara tawa itu terus bergema di dalam gudang batu. Laki-laki yang namanya telah menggetarkan dunia persilatan ini, dalam sekejap mata berubah menjadi seorang tua biasa... seorang kakek yang begitu sedih karena kehilangan anaknya. Setelah tertawa kurang lebih selama sepeminum teh, suara tawanya baru tertahan oleh batuknya yang keras. Saat itu pula, dia merasa ada seseorang yang berjalan di sampingnya dan menepuk pundaknya dengan lembut.

Terdengar orang itu berkata, "Sin Kong, jangan bersedih lagi. Seandainya Leng Ji benar-benar dicelakai orang, berarti musuh yang kita hadapi bukan orang sembarangan. Kita harus mengumpulkan kekuatan untuk membalas dendam anak kita."

Lu Sin Kong menolehkan kepalanya. Tampak di wajah istrinya yang pilu terselip ketabahan yang luar biasa. Dalam hati dia mengulangi kembali ucapan istrinya barusan, kemudian dengan suara lemah dia bertanya, "Seandainya Leng Ji dicelakai orang? Apakah kau bermaksud mengatakan bahwa Leng Ji masih hidup? Ini bukan Leng Ji?"

Sebun It Nio menganggukkan kepalanya. "Sebetulnya, begitu melihat tubuh tanpa kepala ini, aku juga menduga dia memang Leng Ji. Tapi setelah kurenungkan kembali, rasanya ada bagian yang perlu kita curigai."

"Apanya yang perlu dicurigai?" tanya Lu Sin Kong cepat.

Sebun It Nio menunjuk ke arah dada mayat itu. "Lihat, di dada Leng Ji ada tanda merah, sekarang kulit dada mayat itu sudah disayat, bisa jadi musuh memang sengaja membuat kita percaya bahwa Leng Ji memang sudah mati. Itulah sebabnya aku mengatakan bahwa kemungkinan Leng Ji masih hidup, ini mayat orang lain!"

Lu Sin Kong malah menggelengkan kepalanya. "Cara yang diambil lawan sungguh keji. Dia pasti ingin membuat kita merasa bahwa Leng Ji masih ada kemungkinan hidup. Kau tahu, bila seseorang putus asa, kepiluan hatinya hanya sesaat. Tapi bila dalam hati masih terselip harapan, sedangkan harapan itu tidak pernah menjadi kenyataan, inilah penderitaan yang bisa kita tanggung seumur hidup."

Ucapan Lu Sin Kong itu merupakan ungkapan hatinya yang terlalu sakit. Selesai bicara, dia menghantam dua kali ke rak tempat pajangan harta bendanya sehingga dinding di sekitarnya ikut bergetar.

Sebun It Nio terbungkam sesaat. Kemudian dia menggunakan lengan bajunya untuk menyeka darah yang ada di ujung bibirnya, dan dengan suara tenang dia berkata, "Biar bagaimana, kita sudah dihadapi kemelut ini. Urusan ini untuk sementara jangan sampai tersebar ke luar. Biarlah mayat ini kita sembunyikan dalam gudang dulu. Kita harus bersikap wajar, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Hanya dengan cara ini, kita bisa menemukan siapa musuh besar yang sebenarnya."

"Kecuali Liok Ci Siansing, siapa lagi musuh besar kita? Apakah kita berdua harus tetap ke Su Cou?"

"Tentu saja."

Lu Sin Kong berteriak kalap. "Aku tidak mau! Aku harus berangkat ke gunung Bu Yi San, akan kuratakan tanah di bukit itu!"

"Kalau hanya Liok Ci Siansing seorang, kau pikir aku sendiri tidak ingin berangkat ke Bu Yi San?" sahut Sebun lt Nio dengan nada dingin.

"Memangnya ada siapa lagi?!" teriak Lu Sin Kong.

"Biasanya Liok Ci Siansing selalu bersama Pik Giok Sen, Tiat Cit Siong Jin, Bu Lim Jit Sian. Jumlah mereka bisa mencapai belasan orang. Kepandaian mereka tinggi sekali, makanya bisa mendapat julukan ‘Dewa’. Kalau kau memperlihatkan gerakan sedikit saja, belasan orang itu pasti bergabung untuk menghadapi kita. Apakah kita mempunyai kemampuan untuk melawan mereka?" tanya Sebun lt Nio.

Lu Sin Kong tertegun sesaat. Kemudian tiba-tiba dia menghantamkan sebuah pukulan lagi. "Pik Giok Sen, apakah dia orangnya yang pernah membuat keonaran di Ngo Tay San belasan tahun yang lalu, yang belakangan terjebak dalam barisan ilmu golok sehingga hampir mati, Namun akhirnya berhasil meloloskan diri?"

"Tidak salah. Mengapa kau seperti sengaja mengungkit persoalan yang satu ini? Kepandaian yang dimilikinya memang hebat, namun rasanya tidak ada seorang pun yang tahu asal-usulnya. Bila melihat kekalahan yang dialaminya di Ngo Tay San, kemungkinan dia tidak terlalu sulit dihadapinya. Bisa jadi ilmunya lebih rendah dibandingkan Tiat Cit Siong lin dan yang lainnya," sahut Sebun It Nio.

"Aku tidak peduli tinggi rendahnya kepandaian orang-orang itu. Tapi barusan kau mengungkit orang itu, aku jadi teringat kepada Ki Hok dan keempat kepala pelayan itu. Di atas kopiah mereka juga tertempel sebuah batu giok," kata Lu Sin Kong.

Sebun It Nio tertegun. "Pik Giok Sen paling menyukai batu giok, karena itu pula dia membuang nama aslinya sendiri serta menggunakan nama yang artinya ‘Diri Sendiri Ibarat Kumala’. Dia juga disebut ‘si Gila Giok’, mungkinkah aslinya dia bermarga Ki?"

"Untuk sementara kita tidak perlu urus masalah itu. Coba kau katakan, bagaimana seharusnya kita membalas dendam atas kematian Leng ji?" tanya Lu Sin Kong.

Sebun It Nio menjungkitkan sepasang alisnya dan terdengar dia tertawa dingin dua kali.
"Biarpun orang-orang ini mempunyai kepandaian yang tinggi, memangnya perguruan Go Bi Pai dan Tiam Cong Pai kita tidak ada yang jago? Apakah semuanya terdiri dari gentong-gentong nasi belaka?"

Perasaan Lu Sin Kong agak terperanjat mendengar jawaban istrinya. "Hujin, maksudmu... kau ingin mengumpulkan jago-jago dari kedua perguruan itu untuk membalas sakit hatinya Leng ji?"

"Tepat! Tapi untuk sementara kita tidak boleh memperlihatkan gerakan apa-apa. Setelah kotak ini sampai di tangan si Pecut Emas-Han Sun, kau berangkat ke Go Bi Pai dan aku akan pergi ke perguruan Tiam Cong. Kita rundingkan dulu kapan waktunya. Jago-jago dari Go Bi Pai jumlahnya banyak sekali, tidak perlu kau undang semuanya. Asal ada belasan orang yang sudi tampil saja, sudah lebih dari cukup. Ketua kedua perguruan juga jangan diusik, sebab urusannya malah bisa menjadi gawat!" sahut Sebun It Nio.

Dalam hati Lu Sin Kong yakin, tidak mungkin pihak lawan tidak mendengar berita apa-apa. Walau pun Liok Ci Siansing maupun Pik Giok Sen biasanya selalu malang melintang sendirian di dunia bu-lim, tapi Tiat Cit Siong Jin justru mempunyai hubungan yang erat dengan perguruan Ceng Ci Pai. Sedangkan Bu Lim Jit Sian itu, mereka terdiri dari manusia-manusia yang wataknya berbagai ragam, ada satu dua di antaranya juga mempunyai hubungan istimewa dengan perguruan Hoa San Pai dan Partai Cik Sia Pai.

Kemungkinan buntut urusan ini bisa menimbulkan pergolakan yang hebat dalam dunia persilatan. Sedangkan pergolakan yang demikian hebat, sedikit banyaknya akibat yang akan timbul sudah dapat dibayangkan, paling-paling kedua pihak sama-sama menanggung kerugian besar. Meski pun pikiran Lu Sin Kong membayangkan sampai sejauh ini, namun mengingat kembali nasib anaknya yang kemungkinan besar memang sudah mati, dia sudah tidak peduli akibatnya lagi.

Maka dia segera menganggukkan kepalanya sambil berkata, "Baik!"

Kedua orang itu segera ke luar dari goa penyimpanan harta itu. Pintu batunya dirapatkan kembali. Lu Sin Kong meraba-raba sakunya, kotak kosong itu masih ada. Tanpa memperlihatkan gerak-gerik yang mencurigakan, mereka ke luar dari gunung-gunungan itu.

Gunung-gunungan itu terletak di taman belakang rumah. Pada hari-hari biasanya, kalau tidak mendapat panggilan, para pegawai ekspedisi itu tidak ada yang berani masuk ke dalam rumah. Oleh karena itu, meski pun Lu Sin Kong dan Sebun It Nio cukup lama berada di balik gunung-gunungan, tidak ada seorang pun yang mengetahuinya.

Hati Lu Sin Kong diliputi berbagai teka-teki. Pertama dia merasa sedih sekali, kedua, dia tidak mengerti bagaimana mungkin ada orang yang masuk ke dalam gudang hartanya itu. Satu-satunya kemungkinan hanya kedua orang arsitek dari Tibet itu yang membocorkan rahasanya. Tapi kedua orang itu berada di tempat yang jauh sekali. Sedangkan tahun yang lalu, ketika dia mengundang kedua orang itu, dia juga melakukannya dengan sangat hati-hati sehingga tidak ada seorang pun yang tahu rencana perjalanannya itu. Entah bagaimana Liok Ci Siansing itu bisa tahu rahasianya? Seorang diri dia menuju ruang perpustakaannya. Hatinya penuh dengan kemarahan dan kepedihan. Kemudian dia duduk termenung dengan pikiran melayang-layang.

Sebun It Nio juga berusaha menahan duka dalam hatinya. Dengan mempertahankan sikap wajar dia berjalan ke ruangan depan. Dia berharap dapat menemukan sedikit keterangan tentang musuh dari mulut para pegawainya. Melihat dia berjalan ke luar, beberapa pegawai langsung mengerumuninya untuk melontarkan berbagai pertanyaan. Dia menjawab secara samar-samar.

Salah seorang pegawainya tiba-tiba bertanya, "Sebun Lihiap, apakah kau yang mengijinkan tuan muda bermain ke luar?"

Pikiran Sebun It Nio langsung tergerak. Dia mendongakkan kepalanya. Yang mengajukan pertanyaan itu adalah seorang laki-laki setengah baya yang biasanya menjadi kuli kasar dalam perusahaan itu.

"Kapan kau melihatnya?" tanyanya cepat.

Laki-laki itu berpikir sejenak. "Kurang lebih setengah kentungan yang lalu," sahutnya kemudian.

Hati Sebun It Nio tercekat. Ketika melihat mayat bocah tadi, pakaian yang dikenakannya memang pakaian Lu Leng. Gelang giok-nya juga sama, namun bagian dada di mana ada tanda merah justru kulitnya telah disayat. Dia yakin di balik semua ini pasti ada apa-apanya, Karena itu, begitu mendengar pertanyaan pegawainya tadi, dia segera menanyakan waktunya yang tepat. Sebab, bila orang itu melihat Lu Leng tepat pada saat dia dan suaminya masuk ke dalam gudang itu, berarti anaknya masih hidup. Namun jawaban pegawainya membuat hatinya kecewa. Setengah kentungan yang lalu, berarti sesaat sesudah Lu Leng meninggalkan mereka.

Namun dia tidak putus asa begitu saja, maka dia bertanya pula, "Di mana kau melihatnya?"

"Di pintu barat gedung kita. Di jalan kecil itu aku melihatnya berjalan dengan tergesa-gesa. Di pinggangnya terselip sebatang golok. Aku sempat menariknya, lalu menanyakannya ingin ke mana, tapi dia malah menyengkat kakiku sehingga aku hampir saja...."

Sebun It Nio tidak peduli apa yang terjadi pada orang itu. "Apakah dia sempat mengatakan ke mana tujuannya?" potongnya cepat.

"Tidak. Saat aku terjatuh di atas tanah, aku sempat melihat dia berjalan ke sebelah barat."

Sebun It Nio mendengus satu kali. Dalam hati dia memperhitungkan waktunya. Setengah kentungan yang lalu, berarti Lu Leng langsung ke luar dari rumah mereka setelah meninggalkan taman bunga. Masih sempat ada yang bertemu dengannya dan melihatnya menuju barat. Sedangkan dia dan suaminya tidak menunda waktu terlalu lama kemudian masuk ke dalam gudang. Antara saat itulah musuh mencelakai Lu Leng lalu memasukkan mayatnya ke dalam gudang. Bila dihitung-hitung, waktunya hanya dua peminum teh.

Dari sini saja dapat dibuktikan bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini, kekuatan Liok Ci Siansing atau rombongannya tentu sudah jauh lebih hebat dibandingkan sebelumnya.
Atau setidaknya lebih lihai dari pada yang pernah didengar olehnya. Perasaan Sebun It Nio saat itu, ingin sekali membawa sepasang pedangnya untuk mengejar ke arah barat. Namun dia sadar, dengan seorang diri, tak mungkin ia sanggup menghadapi musuh-musuh setangguh mereka.

Maka, terpaksa dia menahan kepedihan hatinya lalu berkata, "Memang aku yang menyuruhnya menunggu di depan sana. Besok kami akan berangkat bersama-sama ke Su Cou. Urusan dalam Piau Kiok ini harus kalian tangani dengan hati-hati, jangan sembrono!"

Para pegawai perusahaan pengawalan itu merasa heran, mengapa seorang bocah cilik disuruh berangkat terlebih dahulu untuk menunggu di sebelah depan, dan bukannya berangkat bersama-sama dengan orangtuanya? Tapi ucapan ini tercetus dari mulut ibunya sendiri, masa bohong? Karena itu mereka hanya berjanji untuk menuruti kata-kata nyonya majikannya itu.

Sebun lt Nio kembali ke dalam rumah. Dia merundingkan masalah ini dengan suaminya. Sampai mentari hampir muncul di ufuk timur, ternyata keduanya tidak ada yang tidur sepanjang malam. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sebun It Nio sudah menyiapkan perbekalan mereka. Tidak lupa ia menyelipkan sepasang pedang di pinggangnya. Lu Sin Kong juga membawa golok andalannya. Tanpa menunda waktu lagi mereka segera meninggalkan rumahnya.

Dalam hati mereka sudah ada keyakinan bahwa musuh besar mereka pasti Liok Ci Siansing beserta komplotan, orang-orang yang akrab sekali dengan si Tuan Enam Jari itu. Namun, keduanya mengambil keputusan untuk tidak memperlihatkan gerak-gerik apa-apa agar sakit hati ini dapat terbalas dengan lancar.

Sepanjang malam Lu Leng tidak pulang. Sebetulnya kepiluan dalam hati kedua suami istri semakin bertambah dengan kenyataan ini. Sepanjang malam juga mereka tidak tidur, namun seakan keduanya sudah bersepakat untuk tidak mengungkit nama anaknya itu. Sekarang mereka mulai percaya bahwa mayat dalam gudang harta itu memang mayat Lu Leng, putera mereka.

Meski pun demikian, masih ada satu hal yang membuat mereka tidak habis mengerti. Baik Liok Ci Siansing, Tiat Cit Siong Jin, Pik Giok Sen atau pun tokoh-tokoh lainnya yang mendapat sebutan Tujuh Dewa, antara mereka tidak pernah ada perselisihan atau dendam apa pun, tapi mengapa mereka menggunakan cara yang demikian keji terhadapnya. Di samping itu, dari hasil perundingan mereka tadi malam, kemunculan Ki Hok beserta keempat rekannya yang memberikan imbalan begitu besar hanya untuk mengantarkan sebuah kotak ke Su Cou, rasanya tidak ada kaitannya dengan kematian Lu Leng.

Mereka segera melakukan perjalanan. Pintu kota Lam Cong baru dibuka, keduanya segera memacu kuda tunggangan masing-masing menuju tenggara. Siang harinya, mereka sudah menempuh perjalanan sejauh seratus li lebih. Keduanya menerawangkan pandangan di kejauhan. Sekeliling terasa hening sekali, bahkan suasananya terasa agak mencekam. Dalam hati keduanya telah mengadakan persiapan. Mereka melanjutkan perjalanan sampai belasan li pula. Keduanya bersepakat untuk beristirahat sejenak sambil mengisi perut dengan ransum kering yang
dibawa. Mendadak, dari samping hutan terdengar suara.

“Ting... Ting... Tang... Tang...!” kumandang nada dari petikan harpa yang merdu.

Begitu mendengar suara petikan harpa, baik wajah Lu Sin Kong mau pun Sebun It Nio langsung menunjukkan mimik marah. Mereka memegang tali kendali kuda tanpa bergerak sedikit pun.

Terdengar Sebun It Nio berkata dengan nada rendah, "Sin Kong, rasanya suara harpa itu dipetik oleh Liok Ci Siansing. Kalau dia muncul, kita jangan memperlihatkan reaksi apa-apa dulu. Kita dengar apa yang akan dikatakannya, baru ambil keputusan."

Baru saja ucapannya selesai, suara harpa itu sudah semakin dekat. Lalu terdengar pula suara seruling, dan tidak lama kemudian, dari sisi hutan muncullah seekor keledai yang warnanya hitam pekat seperti disiram dengan tinta. Di atas keledai itu duduk bertengger seorang tua berjubah kuning. Sebuah harpa antik tersandar di depan dadanya, tangannya terus memetik alat musik itu, seakan dia tidak menaruh perhatian sedikit pun terhadap Lu Sin Kong maupun Sebun It Nio.

Melihat kemunculan musuh besar mereka, hampir saja Lu Sin Kong tidak sanggup menahan diri. Wajahnya berubah merah padam, dan sepasang tangannya mengepal dengan erat. Sementara itu, si orang tua berjubah kuning masih terus memainkan harpanya dengan kepala tertunduk. Bila diperhatikan kedua tangannya, maka dapat terlihat di samping masing-masing jempolnya terdapat pula sebuah jari kecil lainnya. Ternyata cocok sekali dengan julukannya yakni Liok Ci Siansing atau si Tuan Enam Jari!

Sebun It Nio dapat merasakan kemarahan hati suaminya, sedangkan pihak lawan tetap adem ayem. Dia sendiri merasa tidak baik mengejutkan musuh pada saat seperti ini, sebab rencananya untuk membalas dendam bisa menjadi berantakan. Karena itu, perlahan-lahan dia menjawil lengan baju Lu Sin Kong sambil berkata, "Lebih baik kita pergi saja!"

Begitu dia berbicara, Liok Ci Siansing yang nangkring di atas keledai langsung mendongakkan kepalanya. Dia memperhatikan Lu Sin Kong dan Sebun It Nio sejenak, kemudian menyapa, "Aih, apakah kalian berdua suami istri keluarga Lu yang membuka perusahaan pengawalan Thian Houw Piau Kiok? Cayhe justru bermaksud menuju Lam Cong untuk mengunjungi kalian berdua, tidak disangka-sangka kita malah bertemu di sini, sungguh kebetulan sekali!"

Sebun It Nio tertawa dingin. "Memang sungguh kebetulan!" sahutnya seakan menyindir.

Liok Ci Siansing tertegun sejenak, sepertinya dia tidak mengerti mengapa Sebun It Nio bersikap demikian. Tampak dia menolehkan kepalanya sambil berseru, "Tiat Cit Siong Jin, kebetulan sekali suami istri keluarga Lu ada di sini, kita tidak usah buang-buang waktu lagi!"

Dalam hati Lu Sin Kong dan Sebun It Nio langsung mengeluh, “Sungguh bagus! Rupanya komplotan mereka sudah berkumpul di sini!”

Dari dalam hutan terdengar suara seseorang yang nyaringnya seperti bunyi keliningan, "Liok Ci Siansing, suara harpa burukmu itu membuatku tidak bisa tenang sedikit pun juga. Baru merasa enak sedikit, kau malah berteriak-teriak seperti orang kesurupan!"

Liok Ci Siansing tertawa terbahak-bahak. "Apa gunanya memperdengarkan alunan musik di depan kerbau? Pantas saja kau mencela suara harpaku yang katamu berisik itu!"

Tepat pada saat itu pula, dari dalam hutan tampak seseorang berjalan ke luar. Bentuk tubuh orang itu luar biasa tinggi besarnya. Pakaiannya serba hitam. Dia berdiri di depan hutan seperti sebuah pagoda yang kokoh. Kepalanya bulat dengan mata lebar, wajahnya penuh berewok sehingga berkesan angker. Di bagian punuknya ada sesuatu yang menyembul ke atas, tapi tidak mirip dengan seonggok daging, malah seperti sedang menggembol sesuatu benda.

Begitu keluar dari hutan dia segera menghentikan langkah kakinya sembari berkata, "Ini rupanya pasangan suami istri dari Thian Houw Piau Kiok. Namanya sih sudah Iama kudengar, tapi baru kali ini ada jodoh untuk bertemu muka!"

Begitu melihat orang itu, Lu Sin Kong dan Sebun It Nio segera tahu bahwa dialah yang disebut Tiat Cit Siong Jin, ahli gwakang. Yang dipanggul di punuknya justru senjata andalannya yang berbentuk seperti bola besi. Beratnya mencapai enam ratusan kati, tapi orang ini dapat menggunakannya sebagai senjata, bahkan gerakannya tetap cepat seperti kilat.

Melihat lagak Tiat Cit Siangjin dan Liok Ci Siansiang yang seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa, hati Sebun It Nio semakin marah. Namun dia bisa menahan diri sehingga dari luar kelihatannya biasa-biasa saja.

"Tentunya tuan yang berjuluk Tiat Cit Siong Jin. Entah kalian mencari kami untuk keperluan apa?"

Tiat Cit Siong Jin maju beberapa langkah, setiap langkah kakinya mencapai setengah depaan. "Justru karena putera kalian." sahutnya.

Jawaban ini benar-benar di luar dugaan Sebun It Nio. Barusan keduanya masih pura-pura bodoh, tidak disangka-sangka sekarang mereka berani menuju ke persoalannya langsung. Baru saja dia ingin menjawab, Lu Sin Kong sudah tidak dapat menahan kemarahan dalam hatinya. Dengan suara keras dia berteriak, "Ada apa dengan anak kami? Usianya masih kecil, kalian...."

Baru berkata sampai di sini, Sebun It Nio sudah menjawil lengan bajunya sebagai isyarat agar dia menghentikan kata-katanya. Sementara itu, mimik wajah Liok Ci Siansing dan Tiat Cit Siong Jin sama-sama menunjukkan perasaan bingung.

"Entah ada apa sampai Lu Cong Piau Tau marah sedemikian rupa?" tanya Liok Ci Siansing.

Lu Sin Kong mendengus satu kali, namun Sebun It Nio segera menukas terlebih dahulu,
"Ada masalah apa dengan putera kami?"

Liok Ci Siansing tersenyum. "Selama ini aku tinggal di bukit Sian Jin Hong yang terletak di gunung Bu Yi San. Walau pun kepandaianku masih belum bisa menandingi ilmu-ilmu dari perguruan Go Bi Pai mau pun Tiam Cong Pai, setidaknya memiliki kelebihan tersendiri. Setengah tahun yang lalu, aku pernah turun gunung sekali, maksudnya untuk mencari seorang ahli waris. Siapa sangka ternyata orang yang berbakat baik di dunia ini sedikit sekali, sehingga aku tidak berhasil menemukan seorang pun yang cocok. Bulan lalu, aku pernah mendengar Tiat Cit Siong Jin mengatakan, bahkan bukan dia saja, masih ada beberapa sahabat lainnya juga ikut mendukung, bahwa putera Anda yang bernama Lu Leng kini berusia kurang lebih dua belas tahun, tenaga dalamnya sudah mempunyai dasar yang cukup, bakatnya bagus pula. Karena itulah aku memberanikan diri untuk meminta puteramu itu untuk menjadi muridku. Dia hanya perlu menetap di gunung Bu Yi San selama lima tahun saja, maka seluruh kepandaianku akan diwariskan kepadanya."
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar