Harpa Iblis Jari Sakti Chapter 07

Tam Sen manggut-manggut. "Itulah! Surat yang sama pun dikirimkan kepada golongan lurus dan sesat, termasuk Hwa San, Hui Yan, Tai Chi, si Setan Seng Ling, Tay San Hek Sin Kun dan Sai Thian Bok Kim Kut Lau. Karena itu, mereka turun tangan merebut barang tersebut. Dikarenakan itu, Tiam Cong dan Go Bi Pai menjadi bermusuhan dengan golongan-golongan tersebut."

Air muka si Sastrawan berubah. "Apakah urusan itu ditimbulkan Liok Ci Siansing?"

Seketika Tam Sen balik bertanya. "Surat yang kalian terima itu, tiada tanda enam jari?"

Tujuh Dewa menyahut serentak. "Tidak."

"Tapi surat yang diterima orang lain, justru terdapat tanda enam jari. Aku pun mempunyai surat itu, yang dikirimkan kepada salah seorang iblis. Silakan kalian membacanya!" kata Tam Sen.

Dia mengeluarkan sepucuk surat dari dalam bajunya, Tujuh Dewa segera berseru serentak. "Eh! Amplop itu persis seperti amplop yang kami terima!"

Si Gendut menjulurkan tangannya untuk menerima surat itu, namun ditariknya kembali. "Surat ini ditujukan kepada seorang iblis, tapi kenapa bisa jatuh ke tanganmu?" tanyanya dengan kedua matanya menyorotkan sinar aneh.

Tam Sen menghela nafas panjang. "Dalam hati setiap orang, pasti menyimpan sesuatu yang tak dapat dikatakan, untuk apa kau bertanya soal itu?"

Wajah si Gendut berubah serius. "Meski pun kami bertujuh jarang mencampuri urusan dunia persilatan, tapi tidak akan melepaskan penjahat yang mana pun!"

Tam Sen tersenyum. "Kau terlampau curiga, padahal aku bukan orang yang kau maksudkan itu!"

Si Gendut menjulurkan tangannya untuk mengambil surat itu. Kemudian isinya dikeluarkan dan dibacanya. Apa yang tertulis di dalam surat itu sama bunyinya dengan surat yang mereka terima beberapa hari yang lalu, hanya bedanya di dalam surat itu tertera cap telapak tangan. Tanda telapak tangan itu, di jari jempol bercabang sebuah jari lain, jadi berjumlah enam jari.

Setelah membaca surat itu, si Gendut lalu menyerahkan kepada yang lain untuk dibaca. Setelah membaca surat itu, semuanya diam lama sekali barulah si Sastrawan membuka mulut.

"Liok Ci Siansing tidak mungkin berani begitu iseng. Aku lihat ini pasti ada sesuatu lain."

Tam Sen manggut-manggut. "Apa yang saudara katakan memang tidak salah. Orang yang mengirim surat ini, tentunya mempunyai suatu maksud tertentu, yakni ingin menimbulkan kekacauan. Tapi ada satu urusan aneh, apakah kalian mengetahuinya?"

Mereka bertujuh bertanya serentak. "Urusan apa itu?"

Tam Sen menyahut. "Urusan aneh itu, justru terjadi di rumah Thian Houw Lu Sin Kong."

Sementara Lu Leng yang berada di dalam perahu, terus mendengarkan percakapan mereka dengan penuh perhatian. Ketika mendengar Tam Sen mengatakan, Sebun It Nio mati di tangan Hwe Hong Sian Kouw di rumah si Pecut Emas-Han Sun, maka dia menganggapnya bahwa Hwe Hong Sian Kouw dan si Setan Seng Ling sebagai musuh besarnya. Maka saking dendamnya nyaris membuatnya berteriak.

Akan tetapi dia masih dapat mengendalikan diri. Sebab dia tahu, apabila dia bersuara tentu Tam Sen dan Tujuh Dewa akan berhenti bercakap-cakap, sehingga tidak bisa tahu sejelas-jelasnya. Dia berkertak gigi, dan air matanya meleleh. Tapi ketika Tam Sen mengatakan telah terjadi urusan aneh di rumahnya, itu membuatnya terheran-heran.

Tam Sen melanjutkan. "Aku tahu begitu Sebun It Nio binasa, Thian Hou Lu Sin Kong tidak akan diam. Dia pasti berangkat ke Tiam Cong dan Go Bi untuk mengumpulkan para jago dari kedua partai itu guna menuntut balas kematian isterinya. Aku segera mengejarnya dan berhasil. Kemudian kami pun bercakap-cakap. Dia telah mengambil keputusan untuk membalas dendam anak isterinya, walau nyawa tuanya harus melayang."

Si Gendut tertegun. "Membalas dendam anak isterinya? Apakah Lu Sin Kong punya dua anak?"

Pertanyaan itu membuat sepasang mata Tam Sen menyorot tajam, kemudian bertanya. "Apa maksud Saudara Lim berkata begitu?"

Si Gendut tersenyum licik seraya menyahut. "Silakan lanjutkan! Aku cuma sekedar bertanya."

Tam Sen segera melanjutkan paparannya. "Urusan aneh itu, justru Lu Sin Kong yang memberitahukan kepadaku. Katanya sebelum meninggalkan rumah, dia menemukan sosok mayat seorang anak tanpa kepala. Pakaian dan lainnya membuktikan bahwa itu mayat putranya yang bernama Lu Leng. Aku memberitahukannya, bahwa Lu Leng masih hidup, namun dia sama sekali tidak percaya."

Mendengar sampai di situ, Lu Leng tertegun lagi. Padahal dia masih hidup, lalu siapa yang mati itu? Kenapa ayahnya tidak percaya kalau dia masih hidup? Sedangkan Tujuh Dewa juga tahu bahwa Lu Leng segar bugar di dalam perahu. Maka mereka bertujuh saling memandang sambil tersenyum. Air muka mereka menyiratkan ketidak-percayaannya akan perkataan Tam Sen, padahal Tam Sen berkata sesungguhnya.

Tam Sen berhenti berbicara sejenak, kemudian melanjutkan. "Di dalam gudang batu itu, terdapat bekas sebuah telapak tangan."

"Telapak tangan berjari enam?" tanya si Gendut cepat.

Tam Sen mengangguk. "Tidak salah. Itu memang telapak tangan berjari enam. Maka, tidak diketahui bahwa Liok Ci Siansing pasti punya hubungan dengan urusan itu. Pertikaian partai-partai besar juga ditimbulkannya. Namun kalau dia bersedia bertanggung jawab, pasti dapat mengatasi bencana banjir darah itu."

Mendengar itu, Tujuh Dewa tertawa gelak, kemudian si Gendut berkata. "Tentunya kau tahu bahwa kami punya hubungan yang amat dalam dengan Liok Ci Siansing. Apakah kau menghendaki kami pergi menasihatinya agar dia bertanggung jawab dengan cara membunuh diri?"

Tam Sen mengangguk. "Ini adalah salah satu tujuanku ke mari."

Si Sastrawan berkata. "Aku tahu, bahwa kau juga ingin memperingatkan kami. Kalau Liok Ci Siansing tidak mau mengaku dosa, maka kau akan turun tangan terhadapnya, dan menghendaki kami tak turut campur tentang itu?"

Tam Sen segera menyahut. "Mana berani! Mana berani!"

Walau dia mengatakan ‘Mana berani’ namun si Sastrawan telah menebak jitu maksudnya. Tujuh Dewa bersifat angkuh, air muka mereka langsung berubah begitu mendengar ucapan itu. Bahkan si Gendut segera membentak tanpa sungkan-sungkan.

"Sobat Tam, kau sedang omong kosong, tidak usah banyak bicara lagi!"

"Aku tidak omong kosong," sahut Tam Sen.

Si Sastrawan mendengus dingin. "Hmm! Kau sudah omong kosong tapi tidak mau mengaku! Perlukah aku menghajarmu?"

Tam Sen tertawa gelak. "Ha ha! Aku dengar kau berkepandaian tinggi, maka aku memang ingin mohon petunjuk!"

Si Sastrawan mengangguk. "Baik! Kalau begitu berhati-hatilah!"

Si Sastrawan mengeluarkan sebatang pit, yaitu senjata andalannya, lalu menyerang Tam Sen. Kedua belah pihak berdiri begitu dekat. Si Sastrawan menyerang cepat laksana kilat. Ketika ujung pit hampir menotok jalan darah Tiong Hu Hiat di bahu Tam Sen, mendadak Tam Sen mencelat ke belakang.

“Serrt!” Ujung pit itu menotok tempat kosong.

Si Sastrawan tertawa gelak. "Hahaha! Kau memang berkepandaian tinggi!"

Ia lalu melesat ke depan, sekaligus mencoret-coret ke depan. Itu adalah ilmu Ciak Hau Soh Hoat (Ilmu Menotok Jalan Darah). Seketika juga dia menotok tujuh delapan jalan darah di tubuh Tam Sen. Di saat bersamaan Tam Sen bergerak cepat memungut sebatang ranting, kemudian digunakannya untuk menangkis serangan itu.

Barusan si Sastrawan menyerang dengan jurus ‘Tujuh Bintang Mendampingi Bulan’. Jurus tersebut dapat menotok tubuh jalan darah pihak lawan. Akan tetapi, tangkisan Tam Sen justru dapat mematahkan jurus tersebut. Diam-diam si Sastrawan terkejut sekali. Secepat kilat dia menarik senjatanya, namun tetap terlambat selangkah, karena ranting yang di tangan Tam Sen, mendadak bergerak cepat.

“Plakkk!”

Ranting itu memukul batang pit, bahkan menekannya ke bawah. Ujung pit itu bergerak, tapi tidak bisa lepas dari tekanan ranting itu, sehingga meninggalkan coretan di tanah. Mereka berdua bergerak cuma satu jurus. Si Sastrawan menggunakan pit, sedangkan Tam Sen menggunakan sebatang ranting sebagai senjatanya. Dalam pandangan orang ahli, jurus Cit Sing Pan Goat begitu dahsyat dan lihay, tapi dapat dipatahkan oleh tangkisan Tam Sen. Maka dapat diketahui betapa tingginya kepandaian Tam Sen. Wajah si Sastrawan tampak kemerah-merahan.

"Kepandaianmu sungguh tinggi, aku amat kagum dan merasa tunduk!" katanya.

Perlu diketahui, si Sastrawan amat terkenal dalam rimba persilatan. Julukannya adalah Sin Pit (Si Pensil Sakti) Se Chi. Senjatanya berupa sebatang pit biasa, tapi karena menggunakan tenaga lunak, maka pit itu menjadi luar biasa. Lagi-pula dalam kurun waktu beberapa tahun, dia terus mempelajari huruf-huruf kuno untuk memperdalam ilmu Ciak Hau Soh Hoat. Maka ilmunya itu bertambah hebat dan lihay.

Si Sastrawan pun bersifat angkuh, apa yang diucapkannya tadi, sesungguhnya amat sulit baginya mencetuskannya. Akan tetapi, begitu bergerak satu jurus dengan Tam Sen, dia sudah jatuh di bawah angin. Dapat diketahui betapa tingginya kepandaian Tam Sen! Kalau tidak bagaimana mungkin hanya dalam satu jurus, dia sudah di bawah angin?

"Hm!" Tam Sen mendengus. "Tadi kalian bilang aku berbicara omong kosong. Apa maksudnya?"

Si Gendut dan enam orang lainnya saling memandang, kemudian menjawab. "Kau bilang putra Lu Sin Kong telah mati?"

"Aku tidak mengatakan begitu!" sahut Tam Sen.

Si Gendut tampak gusar sekali. "Tapi tadi kau...."

"Tadi aku bilang, Lu Sin Kong menemukan sosok mayat seorang anak tanpa kepala di gudang batu, maka Lu Sin Kong dan isterinya menganggap putranya telah mati, namun Lu Leng, putra kesayangan mereka justru belum mati. Berdasarkan berbagai bukti, anak yang mati itu adalah putra si Pecut Emas-Han Sun!"

Apa yang dikatakan Tam Sen, Lu Leng makin bingung mendengarnya. Urusan tersebut memang misterius sekali, maka tidak mengherankan kalau orang lain kebingungan mendengarnya.

"Oh?" Si Gendut mengerutkan kening. "Kalau begitu, kami telah keliru mempersalahkanmu?"

Tam Sen menghela nafas perlahan. "Tidak perlu berkata begitu. Aku menduga sesama kaum rimba persilatan akan saling membunuh. Maka aku berlari ke sana ke mari, namun kalian tidak mau mendengar. Aku tidak bisa apa-apa, hanya mau berpamit saja!"

Ketika Tam Sen baru mau melesat pergi, mendadak salah seorang berseru. "Tunggu, aku mau mengatakan sesuatu!"

Tam Sen berpaling, dilihatnya seorang bertubuh kurus pendek. Seketika dia sudah tahu, bahwa orang itu si Buku Besi Ciau Thong.

"Sobat Ciau ada petunjuk apa?" tanya Tam Sen.

Si Buku Besi Ciau Thong menyahut dingin. "Demi kedamaian rimba persilatan, kau bersedia berlari ke sana ke mari. Sungguh perbuatan terpuji! Tapi wajahmu kenapa ditutup dengan kain?"

Sembari bertanya, Ciau Thong mendekatinya. Setelah berada di hadapan Tam Sen, mendadak dia bergerak cepat menyambar kain penutup muka itu. Di saat tangan Ciau Thong bergerak, tiba-tiba terdengar suara seruan.

"Jangan bertarung, aku ingin bicara!"

Tujuh Dewa dan Tam Sen segera menoleh, yang berseru adalah seorang anak remaja, yang tidak lain adalah Lu Leng. Begitu melihat Lu Leng, tercenganglah Tam Sen.

"Eh? Bagaimana kau berada di sini? Pantas aku tidak dapat menemukanmu!"

Ketika melihat mereka bertarung, Lu Leng merasa mereka bukan orang jahat. Kalau mereka terus bertarung, tentunya akan ada yang terluka. Maka dia berseru mencegah mereka bertarung. Ketika berseru, dia menuju ke geladak, maka Tam Sen dapat melihatnya, sehingga berseru pula, lalu mendadak melesat ke perahu.

Tujuh Dewa tertegun. Mereka saling memandang, kemudian serentak melesat ke perahu. Karena belum tahu identitas Tam Sen, maka mereka bertujuh amat bercuriga. Di saat kaki mereka baru menyentuh geladak, mereka bertujuh langsung menyerang Tam Sen.

Sudah tiga puluh tahun mereka bertujuh berkumpul, sedangkan kepandaian mereka amat tinggi, keras lunak dan lain sebagainya. Setelah mereka bergabung menjadi Tujuh Dewa, mereka pun sering memperdalam ilmu silat yang mereka miliki, sehingga ilmu mereka bertambah maju.

Betapa dahsyatnya serangan gabungan mereka, maka tidak heran kalau serangan itu membuat Tam Sen terkejut sekali. Seandainya dia memberitahukan julukannya di masa lalu, Tujuh Dewa pasti kenal, bahkan akan berhenti menyerang. Tapi justru dikarenakan suatu urusan, maka dia tidak mau menyebut julukannya.

"Bagus!" serunya lantang.

Mendadak badannya melambung ke atas setinggi lima depaan. Tujuh Dewa tertegun ketika menyaksikannya, sebab mereka tidak menyangka kalau Tam Sen memiliki ilmu ginkang yang begitu tinggi.

Mereka bertujuh tahu, bahwa itu adalah ilmu ‘Setingkat Demi Setingkat Naik Ke Langit’. Kalau tidak memiliki lweekang yang amat tinggi, orang tidak mungkin dapat menguasai ilmu ginkang tersebut. Berdasarkan itu dapat diketahui, betapa tingginya lweekang Tam Sen, dan itu sungguh di luar dugaan Tujuh Dewa.

"Ginkang yang bagus!" seru mereka serentak.

Usai berseru, mereka menyerang lagi. Tam Sen berhasil mengelak serangan pertama. Ketika dia menggunakan gerakan ‘Merosot Perlahan-lahan Di Pasir Datar’ tubuhnya hampir mencapai geladak perahu. Akan tetapi, mereka bertujuh telah melancarkan serangan kedua. Saat dirinya berada di udara Tam Sen dapat merasakan adanya tenaga yang amat dahsyat mengarah kepadanya. Apa boleh buat! Dia terpaksa meminjam tenaga untuk mencelat ke atas lagi beberapa depa. Di bawah sinar rembulan, tampak bayangan Tam Sen turun naik di udara, bagaikan arwah gentayangan.

Lu Leng yang berada di perahu, menyaksikannya dengan mulut ternganga lebar. Dulu dia mengira, bahwa kedua orang-tuanya berkepandaian paling tinggi, tapi kini setelah menyaksikan kepandaian Tam Sen, terbukalah matanya dan mengerti pula apa sebab kedua orang-tuanya sering berkata ‘Di atas gunung masih ada gunung, di luar langit masih ada langit’.

"Bagus!" seru Tam Sen yang berada di udara.

Tampak sepasang tangannya menekan ke bawah. Seketika terdengarlah suara yang amat memekakkan telinga.

“Blaaam!”

Ternyata dia menangkis serangan-serangan itu dengan lweekang, membuat Tujuh Dewa itu terpental ke belakang satu depaan. Di saat bersamaan, Tam Sen berjungkir balik ke darat, dan tampak mulai gusar.

"Padahal anak itu berhubungan erat dengan urusan yang akan terjadi di Bu Yi San, tapi kenapa kalian tidak menghendaki aku menemuinya?" bentak Tam Sen.

Si Buku Besi Ciau Thong tertawa dingin. "Anak itu terluka parah. Kami yang menyelamatkannya dan bermaksud menerimanya sebagai murid! Kalau usulmu tidak jelas, kami tentu menghalangimu mendekatinya!"

Tam Sen tertegun mendengar ucapan itu. "Kalian masing-masing memiliki kepandaian istimewa, bersedia menerimanya sebagai murid, itu adalah kemujurannya! Tapi biar bagaimana pun, dia harus ikut aku ke Bu Yi San! Asal dia muncul di sana, pertikaian antara Go Bi, Tiam Cong, Liok Ci Siansing, Pit Giok dan Tiat Ciat Song Jin pasti dapat dijernihkan!"

Si Buku Besi Ciau Thong menyahut. "Omong kosong. Berdasarkan apa murid kami harus ikut kau ke Bu Yi San?"

Setelah si Buku Besi Ciau Thong berkata begitu mendadak Tam Sen bersiul panjang, menggetarkan sukma siapa pun yang mendengarnya. Sebelum suara siulan itu lenyap, sekujur tubuhnya mengeluarkan suara ‘Krek Krek Krek Krek’.

"Kalian bertujuh, apakah benar kalian tidak mau menerima arak penghormatan, sebaliknya malah ingin menerima arak hukuman?"

Si Sastrawan Se Chi mengerutkan kening seraya berkata. "Saudara sekalian, kita bertujuh memang suka minum arak! Tapi kapan kita pernah minum arak hukuman bukan?"

Si Gendut tertawa. "Lo Sam! Kau jangan gembira dulu, saat ini sobat Tam tidak akan mengundangmu minum arak hukuman!"

Mereka bercakap-cakap sejenak, seakan tidak menggubris keberadaan Tam Sen.

Tam Sen tertawa dingin. "Tadi aku telah menjajal dua jurus serangan gabungan kalian bertujuh! Walau kalian bertujuh tak ingin memberi petunjuk kepadaku, aku justru ingin tahu bagaimana kepandaian kalian bertujuh hingga bisa disebut Tujuh Dewa!"

Mereka saling menyindir, membuat Lu Leng semakin cemas. Dia tahu bahwa usianya masih muda, maka tidak bisa mencampuri urusan mereka. Akan tetapi, mereka ribut dan bertarung adalah demi dirinya, bagaimana mungkin dia akan tinggal diam? Setelah berpikir sejenak, barulah dia membuka mulut.

"Para paman Tujuh Dewa! Paman Tam bukan orang jahat!"

Si Gendut menolehkan kepalanya seraya membentak. "Bocah, kau jangan banyak mulut! Cukup menyaksikan kami bertarung saja!"

Tam Sen juga ikut berkata. "Nak, Tujuh Dewa masing-masing berkepandaian tinggi. Di saat mereka bertarung, kau harus memperhatikan dengan seksama!"

Seusai Tam Sen berkata, Tujuh Dewa mengepungnya. Mendadak tangan mereka bergerak. Padahal gerakan tangan mereka lamban, namun Tam Sen merasakan adanya tenaga yang amat dahsyat menghantam ke arahnya. Lu Leng pun terheran-heran karena gerakan Tujuh Dewa begitu lamban, kelihatannya mereka bertujuh seakan sedang mempertunjukkan semacam ilmu silat. Ternyata mereka menyerang Tam Sen dengan lweekang. Betapa dahsyatnya lweekang gabungan mereka bertujuh. Beberapa pohon kecil yang ada di sekitar Tam Sen langsung roboh dan patah.

Namun Tam Sen justru berdiri tak bergeming. Sepasang matanya menyorot tajam dan pakaiannya berkibar-kibar bagaikan terhembus angin topan. Tujuh Dewa tertegun bukan main. Sebab Tam Sen dapat menahan serangan lweekang mereka tanpa bergerak sedikit pun.

Mendadak mereka membentak keras dan masing-masing melancarkan dua pukulan. Di saat bersamaan, Tam Sen bersiul panjang dan badannya berputar-putar. Sepasang telapak tangannya bergerak, seketika juga dia telah melancarkan tujuh pukulan. Ketujuh pukulan itu tidak hanya cepat dan aneh, bahkan amat kuat. Saking cepatnya bergerak, sehingga tampak tujuh bayangan berkelebatan, sepertinya dia berubah menjadi tujuh orang menangkis serangan-serangan Tujuh Dewa itu. Menyaksikan gerakan Tam Sen, Tujuh Dewa cepat-cepat menyurut mundur dan tertegun.

Kemudian si Gendut berkata. "Saudara-saudara, jangan menyerang dulu! Biar aku bertanya sebentar padanya!"

"Baik!" sahut enam dewa lainnya, kemudian semuanya diam di tempat.

Tam Sen juga berhenti menyerang lalu berdiri tak bergeming di tempat, bagaikan sebuah gunung.

Si Gendut berkata sambil menatapnya tajam. "Gerakanmu tadi, apakah yang telah menggemparkan kolong langit di masa silam? Kuat sampai tidak bisa kuat lagi, yaitu ‘Ilmu Pukulan Sakti Tujuh Gerakan’?"

Lu Leng terheran-heran mendengar itu, karena si Gendut mengatakan ‘Kuat sampai tidak bisa kuat lagi’, itu amat membingungkannya. Dia tidak bisa bertanya, hanya menunggu jawaban Tam Sen. Terdengar Tam Sen menghela nafas panjang. Di saat dia baru mau menjawab, mendadak terdengar derap kaki kuda, yang kian lama kian mendekat, kemudian terdengar suara seruan seorang anak gadis.

"Tujuh Dewa, kalian tujuh paman berada di situ?"

Tujuh Dewa tertegun mendengar seruan itu. Kemudian salah seorang dari mereka berkata. "Eh? Si gadis liar dari Hui Yan Bun, mau apa dia ke mari mencari kita?"

Si Gendut segera menyahut. "Tidak salah, kami bertujuh berada di sini!"

Sementara kuda itu sudah berada di dekat mereka. Tampak seorang gadis duduk di punggung kuda itu.

"Begitu sampai di luar kota, aku melihat tanda yang ditinggalkan Paman, maka aku segera ke mari, sungguh kebetulan sekali!" Usai berkata begitu, gadis tersebut melesat ke hadapan Tujuh Dewa dengan gerakan ringan dan amat indah.

Si Gendut langsung menegur sambil tertawa. "Gadis busuk! Di kolong langit ini siapa yang tidak tahu Hui Yan Bun memiliki ilmu ginkang yang amat tinggi? Kau ingin memamerkan ilmu ginkang-mu di hadapan kami? Hati-hati aku akan menghajarmu!"

Gadis itu tertawa geli. "Paman-paman lain, paman Gendut ini begitu membuka mulut langsung mencaciku. Kalau dia sebal kepadaku, lebih baik aku pergi."

Si Sastrawan Se Chi segera berkata. "Ah Ang, jangan berkelakar lagi! Kau begitu tergesa-gesa ke mari mencari kami, sebetulnya ada urusan apa?"

Gadis itu bukan orang lain, ternyata adalah Toan Bok Ang, murid kasayangan ketua Hui Yan Bun. Dia menengok ke sana ke mari, akhirnya beradu pandang dengan Tam Sen dan Lu Leng. Lu Leng melihat gadis itu masih muda, tampak sebaya dengan dirinya. Wajahnya cantik sekali, ketika berbicara, wajahnya berseri-seri. Walau usia Lu Leng masih kecil, namun begitu melihat gadis itu, dia langsung terkesan baik.

Toan Bok Ang menyahut. "Tujuh Paman, aku menerima perintah. Liok Ci Siansing mengundang kalian segera ke Bu Yi San. Guruku telah meninggalkan Hui Yan San menuju Bu Yin San!"

Bukan main terkejutnya Tujuh Dewa, karena ketua Hui Yan Bun merupakan pendekar wanita tingkatan tua, si Walet Hijau-Yok Kun Sih. Kalau dihitung tingkatan, si Walet Hijau-Yok Kun Sih lebih tinggi setingkat dari Tujuh Dewa. Sesungguhnya, Yok Kun Sih sudah tidak menjabat sebagai ketua Hui Yan Bun. Tapi delapan tahun lampau, Hui Yan Bun justru mengalami suatu kejadian. Para murid generasi kedua dan ketua Hui Yan Bun masa itu binasa semua, maka si Walet Hijau-Yok Kun Sih kembali menjabat sebagai ketua. Kejadian itu telah membuat dia mulai menerima murid baru, Toan Bok Ang terpilih sebagai murid penutup.

Walau usia Toan Bok Ang masih kecil, tapi mempunyai dua tiga puluh kakak seperguruan mendampinginya, yang rata-rata berusia dua kali lipat dari usianya. Sedangkan Yok Kun Sih sama sekali tidak mau mengungkit tentang kejadian lampau itu. Oleh karena itu para kawan rimba persilatan jarang sekali yang tahu tentang kejadian itu. Usia Yok Kun Sih sudah delapan puluhan. Dia memiliki lweekang dan ginkang yang teramat tinggi.

Biasanya ada urusan apa pun, hanya murid generasi ketiga yang pergi membereskannya. Kalau agak penting barulah mengutus Toan Bok Ang, dia sendiri tidak pernah meninggalkan Thay Ling Hui Yan San. Tapi kini Yok Kun Sih justru berangkat ke Bu Yi San, maka dapat diketahui betapa seriusnya urusan itu.

Mereka bertujuh terkejut bukan kepalang. Kemudian mereka membatin, apakah benar apa yang dikatakan Tam Sen tadi? Padahal asal-usul Tam Sen amat mencurigakan, namun tadi justru mengeluarkan ilmu Cit Sat Sin Ciang. Ilmu Cit Sat Sin Ciang, di kolong langit ini tiada orang yang bisa menggunakannya. Ilmu pukulan tersebut diciptakan oleh seorang aneh di masa lalu, berkekuatan lurus dan sesat. Tam Sen bisa menggunakan ilmu pukulan itu, tentunya mempunyai hubungan dengan orang aneh tersebut, yang telah sekian tahun tidak muncul dalam rimba persilatan.

Tujuh orang itu diam, lama sekali barulah si Gendut bertanya kepada Toan Bok Ang. "Ang, mau apa gurumu ke Bu Yi San?"

Toan Bok Ang masih berusia muda, maka dia tidak tahu urusan begitu serius, sebaliknya malah merasa gembira karena ada keramaian. "Wah! Kalian tujuh paman masih tidak tahu, guruku ke sana mau bertarung."

"Ohh...?" Si Sastrawan Se Chi mengerutkan kening. "Gadis liar, kenapa kau semakin tidak tahu urusan? Akan timbul banjir darah dalam rimba persilatan, kau malah merasa gembira sekali!"

Toan Bok Ang meleletkan Iidahnya kemudian menyahut. "Paman ketiga, jangan membuat aku terkejut! Kalau punya kepandaian, boleh ke Bu Yin San bertarung dengan para jago Go Bi dan Tiam Cong Pai!"

Usai berkata, Toan Bok Ang tertawa cekikikan dan cepat-cepat mundur, seakan tahu si Sastrawan Se Chi pasti tidak akan melepaskannya. Tidak salah Si Sastrawan Se Chi langsung membentak keras sambil menggerakkan pitnya. Tapi Toan Bok Ang sudah bersiap-siap maka ia cepat-cepat berkelit dan meloncat ke punggung kudanya.

Toan Bok Ang tertawa sambil memandang Si Sastrawan Se Chi seraya berkata. "Paman-paman, aku telah menyampaikan, sampai jumpa kembali di Bu Yi San. Aku masih mau pergi cari Hwe Hong Sian Kouw!"

Suaranya belum lenyap tapi kudanya telah meluncur laksana kilat. Di saat bersamaan, Tam Sen membuka mulut.

"Hwe Hong Sian Kouw sedang merawat lukanya di kota Bok Bay. Ke sanalah kalau kau mau mencari dia!"

Suara Tam Sen tidak begitu keras, sedangkan kuda itu berpacu laksana kilat dan sudah berlari sejauh satu mil! Namun ucapan Tam Sen, gadis itu justru mendengarnya dengan jelas, seakan mendengar ucapan orang dalam jarak dekat. Toan Bok Ang adalah murid handal si Walet Hijau-Yok Kun Sih, tentunya amat berpengetahuan. Begitu mendengar suara itu, terkejutlah hatinya karena suara itu kedengaran asing sekali, bukan berasal dari mulut Tujuh Dewa. Sudah pasti bukan anak remaja yang di perahu yang mengucapkannya, melainkan adalah orang yang memakai kain penutup muka. Tadi ketika saling beradu pandang, sepasang mata orang itu bersinar biasa, tak disangka dia berkepandaian begitu tinggi. Toan Bok Ang terus berpikir, tapi tidak berhenti sama sekali, terus menuju ke kota Bok Bay untuk mencari Hwee Hong Sian Kouw.

Setelah Toan Bok Ang pergi, Tam Sen berjalan mondar-mandir sejenak lalu berkata. "Kalau kalian bertujuh ke Bu Yi San, jangan lupa apa yang kukatakan tadi!"

Si Gendut berkata. "Seandainya kami tidak ke sana?"

Tam Sen tertawa. "Liok Ci Siansing dan lainnya akan diserang, tentunya kalian bertujuh tidak akan tinggal diam. Sudah pasti kalian akan ke sana, maka tidak perlu mengatakan begitu!"

Si Buku Besi menyahut dengan lantang. "Perkataan yang tepat!"

Usai si Buku Besi berkata, badan Tam Sen bergerak lalu tahu-tahu sudah berada, di kejauhan enam depaan, Tujuh Dewa segera berseru. "Sobat Tam jangan pergi dulu, kami masih ingin menanyakan sesuatu!"

Badan Tam Sen terus bergerak sehingga bertambah jauh, namun suara sahutannya terdengar jelas sekali. "Kalian bertujuh tidak perlu bertanya lagi! Kalian berangkatlah ke sana, dan ajaklah Lu Leng! Asal Lu Leng muncul di sana, situasi di sana tentu berubah damai! Kita akan berjumpa di Bu Yi San!"

Suaranya sirna, orangnya pun sudah tidak kelihatan lagi. Tujuh Dewa saling memandang, lama sekali barulah mereka bertujuh melesat ke perahu. Berselang beberapa saat, barulah si Gendut membuka mulut.

"Dengar-dengar tidak ada orang lain yang bisa menggunakan ilmu Cit Sat Sin Ciang kecuali dia, sedangkan dia tidak punya murid. Orang itu pakai kain penutup muka, bisa menggunakan ilmu Cit Sat Sin Ciang, apakah...."

Yang lain sudah tahu apa yang akan dikatakannya, yakni apakah Tam Sen adalah orang aneh yang dua puluh tahun lalu menciptakan ilmu Cit Sat Sin Ciang itu? Kalau benar orang yang memakai penutup muka, adalah orang aneh itu, memang sungguh mengejutkan.

Si Buku Besi segera berkata. "Kini kita tidak perlu menduga siapa orang itu, sebaiknya kita berunding dulu arah tujuan kita."

Si Sastrawan Se Chi menyahut. "Tentunya kita harus ke Bu Yi San. Kawan baik punya kesusahan, bagaimana mungkin kita tinggal diam di telaga ini?"

Si Gendut pemimpin Tujuh Dewa itu, tampak termenung, lama sekali barulah membuka mulut. "Tentu harus ke sana. Begitu kita sampai, pertikaian kedua pihak itu akan menjadi jernih." Berkata sampai di situ, si Gendut berpaling untuk memandang Lu Leng. "Bocah, bersediakah kau ikut kami ke Bu Yi San?" tanyanya.

Lu Leng segera menjawab. "Tentu bersedia. Ibuku telah binasa, sedangkan musuh berada di Bu Yi San. Bagaimana aku tidak ke sana?"

Ketika dia mengatakan ‘Ibuku telah binasa’ sepasang matanya langsung berapi-api. Itu tidak terlepas dari mata Tujuh Dewa. Diam-diam mereka bertujuh menghela nafas panjang. Mereka tahu bahwa urusan itu sudah membengkak besar, tentunya sulit sekali diperkecil lagi. Hanya saja ada seseorang yang khawatir tidak akan terjadi kekacauan. Sebetulnya siapa dia? Apakah benar dia adalah Liok Ci Siansing, kawan akrab mereka itu?

Akan tetapi, mereka bertujuh tahu jelas bagaimana sifat dan karakter Liok Ci Siansing, hambar terhadap urusan apa pun dan sama sekali tidak berambisi. Sudah jelas tidak akan melakukan semua itu. Perasaan mereka bertujuh tercekam.

Berselang sesaat, si Buku Besi berkata dengan suara rendah. "Saudara sekalian, tadi kita sudah menyatakan ingin menerima bocah ini sebagai murid, maka kita tidak boleh menelan ucapan itu...!"

Si Gendut manggut-manggut, kemudian berkata kepada Lu Leng. "Bocah, kau setuju?"

Mendengar pertanyaan itu Lu Leng malah tertegun. Dalam hati dia memang setuju, karena Tujuh Dewa itu masing-masing berkepandaian amat tinggi. Mengangkat mereka bertujuh sebagai guru tentunya akan memiliki berbagai macam ilmu silat tingkat tinggi, itu merupakan kemujuran bagi dirinya. Akan tetapi, ayahnya justru bermusuhan dengan Liok Ci Siansing, sedangkan Tujuh Dewa adalah kawan akrabnya. Sebelum urusan itu jernih, bagaimana mungkin mengangkat mereka bertujuh sebagai guru?

Ketika Lu Leng sedang berpikir, si Buku Besi malah menjadi tidak sabaran dan segera bertanya. "Bocah! Apakah kau tidak setuju?"

"Bagaimana mungkin aku tidak setuju?" sahut Lu Leng cepat. "Tapi sebelum mendapat persetujuan dari ayahku, aku tidak berani mengatakan setuju."

Si Buku Besi tertawa. "Aku tahu dan mengerti maksudmu. Berhubung ayahmu pergi mencari Liok Ci Siansing untuk membuat perhitungan, lagi-pula kami bertujuh punya hubungan baik dengan Liok Ci Siansing, maka kau tidak setuju. Ya, kan?"

Lu Leng menghela nafas panjang, karena merasa bahwa dalam rimba persilatan sering terjadi peristiwa bunuh-membunuh serta budi dan dendam, itu sungguh menakutkan. "Benar apa yang cianpwee katakan. Aku memang sedang memikirkan masalah itu."

Si Buku Besi tertawa gelak. "Hahaha! Kenapa kau justru takut? Kesalah-pahaman antara ayahmu dengan Liok Ci Siansing justru timbul karena dirimu. Begitu ayahmu melihatmu, kesalah-pahaman itu pasti akan sirna. Tidak akan ada urusan apa pun lagi, kau tidak perlu takut!"

Begitu Lu Leng mendengar perkataan itu, giranglah hatinya dan segera berkata. "Tujuh guru semua, murid memberi hormat!"

Lu Leng berlutut di hadapan mereka semua. Betapa gembiranya Tujuh Dewa! Mereka bertujuh punya pandangan tajam, bahwa Lu Leng merupakan sebuah batu mustika yang belum diasah. Apabila Lu Leng menjadi murid mereka, tentunya akan mengharumkan sekaligus mengangkat nama mereka.

"Bagus, bagus!" Si Gendut tertawa. "Ha ha! Kita harus segera berangkat ke Bu Yi San, harus melakukan perjalanan siang malam, agar cepat tiba di sana!"

Lu Leng memang ingin sekali bertemu ayahnya, maka langsung mengangguk. Kemudian mereka berdelapan berangkat menuju arah Tenggara. Hanya satu malam, mereka telah melakukan perjalanan tujuh delapan puluh mil. Ketika berada di jalan besar, hari pun sudah mulai terang.

Di pinggir jalan itu terdapat sebuah kedai teh. Tampak seorang berbadan gemuk memikul sebuah pikulan batu yang beratnya tiga empat ratus kati, berjalan tergesa-gesa. Sedangkan mereka berdelapan ke kedai teh itu. Ketika melihat orang itu, Tujuh Dewa tertawa. Si Gemuk segera berpaling dan begitu melihat mereka bertujuh, dia tampak gembira sekali.

"Kalian bertujuh, kok berada di sini?" tanyanya bernada heran.

Si Buku Besi menyahut. "Saudara Yu, kau jangan pergi! Malam ini kami bertujuh pasti tidak akan melepaskanmu!"

Si Gemuk itu adalah ketua Tay Chi Bun, si Dewa Gemuk Yu Lao Pun. Dia tertawa-tawa sambil menghampiri mereka.

"Kenapa kalian tidak akan melepaskanku?"

Si Buku Besi segera menyahut. "Setiap orang tahu, Lo toa (Saudara Tertua) kami adalah si Gendut, tapi kau justru lebih gemuk, itu sebabnya kau harus mampus!"

Yu Lao Pun tertawa gelak, sehingga daging di sekujur badannya bergerak-gerak. Ketika dia baru mau membuka mulut, mendadak melihat Lu Leng membuat sepasang matanya berbinar-binar. Badannya yang gemuk itu bergerak, tahu-tahu sudah menjulurkan tangannya untuk mencengkeram lengan Lu Leng. Jangan melihat badannya begitu gemuk, tapi ketika bergerak justru gesit sekali. Lu Leng tidak sempat berkelit, maka lengannya tercengkeram oleh Yu Lao Pun. Lu Leng meronta-ronta, tapi tak dapat melepaskan cengkeraman itu.

Si Buku Besi segera membentak. Dia kelihatan tidak gusar tapi gusar. "Saudara Gemuk, cepat lepaskan anak itu!"

Yu Lao Pun melototi si Buku Besi Ciau Thong, lalu menjulurkan tangan yang lain untuk menarik kursi yang diduduki Lu Leng. Di saat bersamaan, tangan yang sebelah justru telah berada di atas kepala Lu Leng.

Tujuh Dewa menganggapnya bergurau, sebab kedua belah pihak punya hubungan yang baik. Mereka juga dari golongan lurus, yang selama itu tidak pernah terjadi bentrokan. Kini menyaksikannya begitu turun tangan, langsung sebelah tangannya menekan ubun-ubun Lu Leng, membuat mereka bertujuh menjadi tertegun. Mereka tahu bahwa ilmu yang dilatih Yu Lao Pun adalah hawa murni Tay Chi yang amat lihay. Jangankan Lu Leng, salah satu dari Tujuh Dewa pun kalau bagian berbahaya dikuasai Yu Lao Pun, pasti akan celaka.

Si Buku Besi langsung membentak. "Yu Gemuk, kau mau apa?"

Yu Lao Pun tidak menyahut, melainkan bertanya kepada Lu Leng. "Bocah, kau bermarga Lu?"

Ubun-ubun Lu Leng tertekan, itu membuatnya tak bertenaga sama sekali, bahkan nyaris tak mampu bersuara. Sikap Yu Lao Pun begitu kasar, menyebabkannya menjadi gusar sekali. "Tidak salah, aku bermarga Lu. Cepat lepaskan tanganmu!" sahutnya sambil melotot.

Yu Lao Pun tertawa gelak, sehingga daging di badannya ikut bergerak. "Hahaha! Sungguh kebetulan sekali, tidak sia-sia aku ke sana ke mari!"

Si Sastrawan Se Chi tertawa dingin. "Yu Gemuk, apa maksud perkataanmu?"

Yu Lao Pun tetap tertawa. "Kalian bertujuh, tidak usah berpura-pura lagi! Walau kita bukan dari golongan hitam, namun siapa yang melihat pasti ada bagiannya!"

Betapa gusarnya Tujuh Dewa. Tadi dikarenakan kurang berhati-hati, sehingga Lu Leng jatuh ke tangannya, itu membuat mereka tidak berani bertindak sembarangan.

"Saudara Gemuk!" tanya si Buku Besi gusar. "Kau sedang kentut apa?"

Yu Lao Pun menggeleng-gelengkan kepala seraya menyahut, "Kentutku sungguh bau! Sungguh bau sekali!"

Sahutannya seakan bergurau, namun sikapnya tampak bersungguh-sungguh, itu membuat Tujuh Dewa terheran-heran. Seandainya dia dari golongan hitam, justru gampang menghadapinya, tapi dia dari golongan putih, lagi-pula adalah ketua Tay Chi Bun.

Si Sastrawan Se Chi memandang keenam saudaranya, kemudian berkata kepada Yu Lao Pun. "Yu Gemuk, kami tidak punya waktu untuk omong kosong, sebetulnya kau mau apa, katakan saja!"

"Aku melihat anak ini, kelihatannya amat cerdas. Lagi-pula dia adalah putra Lu Sin Kong. Wajahnya mirip ayahnya, maka aku ingin membawanya pergi jalan-jalan ke mana-mana, guna menambah pengalamannya," sahut Yu Lao Pun sungguh-sungguh.

Si Sastrawan menahan kegusaran seraya berkata. "Itu tidak bisa. Dia telah mengangkat kami sebagai guru, bagaimana mungkin ikut kau pergi jalan-jalan?"

Air muka Yu Lao Pun tampak berubah, kemudian berseri-seri. "Reputasi kalian bertujuh dalam rimba persilatan cukup baik dan harum, namun apakah itu cuma kosong belaka?"

Si Sastrawan Se Chi membentak. "Yu Gemuk, kenapa kau omong sembarangan?"

Yu Lao Pun tertawa ha ha hi hi, lalu menyahut. "Tak heran kalian bertujuh semuanya menaruh perhatian kepada bocah ini!"

Kini Tujuh Dewa sudah sedikit paham, urusan apa yang dimaksudkan Yu Lao Pun. Mereka bertujuh diam, tapi justru mendekatinya. Sebelah kaki Yu Lao Pun menginjak pikulan batu, kemudian dia tertawa dingin seraya berkata.

"Kalian bertujuh jangan bergerak sembarangan!" Kemudian melanjutkan. "Menurut aku, kalian bertiga bukan melihat bakat bocah ini, melainkan melihat dirinya yang akan menguntungkan kalian dari Lu Sin Kong!"

Mendengar sindiran itu, wajah Tujuh Dewa langsung berubah. Mereka bertujuh berpikir, seandainya satu lawan satu, belum tentu mereka akan kalah, apalagi kini mereka bertujuh, kenapa harus khawatir dia membawa pergi Lu Leng?

Karena itu, si Sastrawan Se Chi tertawa dingin. "Yu Gemuk, kau adalah ketua sebuah partai! Kenapa mencetuskan ucapan yang begitu tak tahu malu?"

Yu Lao Pun tertawa gelak. "Hahaha! Sama-sama!"

“Plaaak!”

Mendadak si Sastrawan memukul meja, kemudian menegaskan. "Yu Gemuk! Cepatlah kau lepaskan anak itu, kami tidak punya waktu untuk mengobrol dengan orang yang tak tahu malu!"

Yu Lao Pun seakan tidak mendengar apa yang dikatakan si Sastrawan Se Chi. Kelihatannya dia sedang mendengarkan suatu suara dengan penuh perhatian. Di saat itulah terdengar derap kaki kuda di tempat jauh, kian lama kian bertambah dekat. Seketika juga Yu Lao Pun tertawa dingin. Yang lain juga sudah mendengar suara derap kaki kuda itu, namun itu adalah jalan besar. Tentunya ada kereta kuda mau pun orang yang menunggang kuda melewati jalan besar itu, maka tidak perlu merasa heran.

Berselang sesaat, Yu Lao Pun bertanya sepatah demi sepatah. "Kalau aku tidak mau melepaskannya?"

Usai bertanya, mendadak dia mengeluarkan siulan panjang. Apa yang dilatihnya selama itu adalah hawa murni Tay Chi, merupakan ilmu lweekang yang amat tinggi. Suara siulannya bergema jauh sekali. Belum juga suara siulannya lenyap, sudah tampak empat lima ekor kuda berlari ke sana.

Di saat bersamaan, si Buku Besi Ciau Thong bangkit berdiri, sambil menuding Yu Lao Pun seraya membentak. "Kau tidak memberi muka kepada kami, aku lihat kau pun percuma hidup di dunia!"

Yu Lao Pun tertawa. "Oh ya?"

Di saat itu pula mendadak dia mendorong pikulan batunya, yang beratnya hampir empat ratus kati. Terdengar suara menderu-deru mengarah Tujuh Dewa. Bersamaan itu, dia pun berseru. "Sambut, jangan berhenti!"

Tangannya bergerak, tahu-tahu Lu Leng telah terlempar ke luar. Kebetulan beberapa ekor kuda sudah berada di situ, dan lemparan itu justru ke arah sana.

"Guru...!" Salah seorang penunggang kuda itu berteriak.

Yang lain segera membentak. "Teriak apa?! Guru menyuruh kita menyambut dan pergi. Kau tidak dengar?"

Kini Tujuh Dewa tersadar, bahwa Yu Lao Pun sudah tahu bahwa beberapa muridnya akan melewati jalan besar itu, maka dia terus mengulur waktu hingga murid-muridnya itu muncul.

Sementara pikulan batu itu menderu-deru ke arah Tujuh Dewa, membuat mereka bertujuh terpaksa mundur. Di saat mereka mundur, Yu Lao Pun cepat-cepat menyambut pikulan batu itu, lalu mengeluarkan jurus ‘Langit Penuh Bintang’. Begitu jurus tersebut dikeluarkan, terdengarlah suara yang menderu-deru. Sedangkan Tujuh Dewa yang melangkah mundur itu, di saat bersamaan, mereka pun melancarkan sebuah pukulan ke arah Yu Lao Pun.

“Blaaam!” Terdengar suara benturan.

Yu Lao Pun termundur-mundur tiga langkah. Dia tahu jelas, dia seorang diri tidak akan mampu melawan Tujuh Dewa, tujuannya hanya merebut Lu Leng. Ternyata dia pun menerima sepucuk surat yang sama, sehingga membuatnya percaya, bahwa barang kawalan Thian Hou Lu Sin Kong merupakan barang mustika yang diimpikan setiap kaum rimba persilatan. Oleh karena itu, dia pun menghendaki barang tersebut.

Ketika melihat Lu Leng, timbul pula suatu ide dalam hatinya, dia harus menggunakan Lu Leng untuk memaksa Lu Sin Kong agar menyerahkan barang kawalannya itu. Sesungguhnya Yu Lao Pun, bukanlah orang yang tak tahu malu. Hanya saja dia amat berambisi, sehingga bertindak begitu. Lagi-pula Tay Chi Bun terus merosot, bahkan Thian Bok San, tempat markas Tay Chi Bun, sebagian besar telah dikuasai Kim Kut Lau. Oleh karena itu, dia amat berambisi mengorbitkan nama partainya. Kini ada kesempatan tersebut, tentunya dia tidak akan melepaskannya begitu saja.

Ketika melihat beberapa muridnya telah melarikan Lu Leng, maka dia pun melesat pergi. Begitu melihat Yu Lao Pun mau kabur, bagaimana mungkin mereka bertujuh membiarkannya? Mereka langsung melesat pergi mengejarnya. Justru di saat bersamaan, mendadak terjadi perubahan besar. Ketika Yu Lao Pun melempar Lu Leng, sekaligus pula menotok jalan darah Hu Keng Hiatnya, maka Lu Leng tak dapat bergerak sama sekali. Dua murid Yu Lao Pun menyambutnya, lalu melarikannya.

Ketika Yu Lao Pun dan Tujuh Dewa berada di jalan besar itu, beberapa murid Tay Chi Bun itu telah memacu kudanya empat lima puluh depa jauhnya. Namun di saat bersamaan, di jalan besar tampak seorang tua mengejar kuda-kuda itu. Dia berkelebat bagaikan segulung asap, tak lama sudah berhasil mengejar mereka. Menyusul terdengar dua kali jeritan yang menyayat hati, kemudian terlihat dua orang roboh dari punggung kuda.

Betapa terkejut Yu Lao Pun menyaksikan kejadian itu, dan dia langsung melesat ke depan. Dia melesat sambil berteriak-teriak, kelihatannya amat terperanjat dan penasaran. "Siapa kau?! Jangan pergi, bertemu si Gemuk dulu!"

Menyaksikan itu, Tujuh Dewa saling memandang, kemudian mereka bertujuh pun melesat ke depan. Yu Lao Pun dan Tujuh Dewa tergolong orang kelas satu dalam rimba persilatan. Maka begitu mereka melesat, cepatnya laksana kilat. Akan tetapi, walau mereka bergerak cepat, orang yang di depan jauh lebih cepat, sehingga yang tampak hanya segulung bayangan hitam berkelebat.

Seketika terdengar lagi suara jeritan yang menyayat hati. Murid-murid Tay Chi Bun, sudah roboh dari kuda masing-masing. Sedangkan bayangan hitam itu, segera menyambar Lu Leng sekaligus meloncat ke atas punggung kuda. Seketika juga kuda itu berlari pergi secepat kilat. Setelah kedelapan orang itu sampai di tempat kejadian, kuda itu sudah jauh sekali, sehingga yang tampak hanya sebuah titik hitam di kejauhan. Mereka tahu bahwa diri mereka tidak mungkin bisa menyusul, maka si Buku Besi Ciau Thong gusar sekali dan langsung mencaci.

"Kau sungguh tak tahu malu! Lihatlah apa yang kau peroleh sekarang?"

Yu Lao Pun tidak menyahut, hanya memandang kelima muridnya, yang semuanya telah binasa dengan tulang remuk.Yu Lao Pun tahu jelas, bahwa kelima muridnya itu walau tidak tergolong kelas satu, namun kepandaian mereka cukup lumayan. Kini dalam waktu sekejap semuanya sudah binasa, itu membuatnya termangu-mangu. Tujuh Dewa pun sudah melihat kejadian itu.

Si Sastrawan Se Chi, menjinjing salah satu mayat itu, lalu dilihatnya dengan penuh perhatian. Setelah melepaskan mayat itu Se Chi berkata. "Saudara sekalian, kita harus segera pergi mengejarnya!"

Si Buku Besi bertanya. "Mungkinkah kita dapat menyusulnya?"

"Punya nama dan marga, bagaimana mungkin tak dapat menyusulnya?" sahut si Sastrawan Se Chi.

Begitu mendengar ucapan itu, si Gemuk Yu Lao Pun cepat-cepat bertanya. "Se Lo Sam, siapa orang itu? Kau sudah mengenalinya?"

Si Sastrawan mengeluarkan suara hidung, lalu menyahut. "Hm! Tentu aku mengenalinya. Kau juga ingin pergi mengejarnya?"

Saat ini, Yu Lao Pun amat gusar dan penasaran. Dia sama sekali tidak menduga bahwa akan terjadi perubahan seperti itu. Daging yang sudah berada di mulutnya, masih dapat direbut orang, bahkan kelima murid handalnya pun menjadi korban, sekaligus dia pun meninggalkan nama busuk pula.

Setelah berpikir sejenak, barulah dia menyahut. "Tentunya aku mau pergi mengejarnya."

Si Sastrawan memberitahukan. "Kelima orang itu, semuanya binasa terpukul Im Si Ciang."

Yu Lao Pun tertegun dan bertanya. "Apakah yang turun tangan tadi si Setan Seng Ling?"

"Mungkin bukan dia," sahut si Sastrawan Se Chi. "Tapi salah satu anaknya."

Yu Lao Pun tampak tidak percaya. "Omong kosong! Kita semua bukan gentong nasi! Tentu orang itu si Setan-Seng Ling!" katanya dengan gusar.

Tujuh Dewa merasa geli tapi juga heran, karena urusan telah menjadi begini, tapi Yu Lao Pun masih berdebat.

"Kalau kau mau, kejarlah sampai di Pak Bong San! Kami sudah mau pamit lho...!" kata si Buku Besi Ciau Thong dengan nada dingin.

Sesungguhnya Yu Lao Pun merasa malu sekali, karena dia tahu jelas, kalau saat ini bertemu si Setan-Seng Ling, belum tentu dia mampu melawannya, maka bagaimana mungkin dia ke Pak Bong San merebut Lu Leng? Setelah berpikir sejenak, dia pun tertawa dingin. "Apakah kalian merasa ikhlas, murid sendiri jatuh ke tangan si Iblis itu?"

Si Sastrawan menyahut dengan dingin. "Tidak salah. Kami bertujuh memang tak bernyali dan tak tahu malu. Kau boleh menyiarkannya dalam rimba persilatan."

Yu Lao Pun tahu bahwa si Sastrawan Se Chi sedang menyindirnya, sehingga membuatnya merasa malu sekali. "Baik. Mari kita lihat!"

Badannya bergerak, ternyata dia telah melesat pergi. Dalam hati Tujuh Dewa, amat membenci Yu Lao Pun. Lu Leng bisa jatuh ke tangan si Datuk Sesat Seng Ling, itu gara-gara si Gemuk.

Kedai teh itu telah rusak berat. Pemiliknya terus menerus berkeluh kesah karena itu. Sementara hari pun sudah siang. Tampak beberapa orang mendekati pemilik kedai dan bertanya ini itu. Tujuh Dewa tidak mau dijadikan bahan pembicaraan, maka segera merogoh ke dalam bajunya mengambil beberapa tael perak, lalu dilemparkannya ke atas meja, dan mereka langsung pergi. Mereka terus berjalan sambil berunding.

"Lu Leng telah berada di tangan si Datuk Sesat Seng Ling, namun pasti akan selamat. Si Datuk Sesat itu turun tangan, tujuannya sama seperti Yu Lao Pun, dia pasti tahu Lu Sin Kong berangkat ke Bu Yi San. Lebih baik kita sampai duluan, bisa melihat situasi di sana." kata Sastrawan Se Chi. Yang lain mengangguk tanda setuju, kemudian mereka bertujuh berangkat ke Bu Yi San.

Kini kita mengikuti perjalanan Toan Bok Ang, murid handal Hui Yan Bun. Hari itu dia menerima perintah dari si Walet Hijau-Yok Kun Sih, gurunya. Sebetulnya dia ingin mencegat Lu Sin Kong suami istri untuk merebut kotak kayu itu. Tapi orang yang ingin merebut kotak kayu itu terdiri dari golongan hitam dan putih, dan rata-rata berkepandaian amat tinggi pula, maka membuatnya tidak berani sembarangan turun tangan. Lagi-pula Lu Sin Kong suami istri, juga berkepandaian amat tinggi, maka Toan Bok Ang merasa dirinya bukan lawan mereka berdua.

Hari itu di rumah penginapan, Toan Bok Ang bertemu dengan Yu Lao Pun. Kebetulan jalan darah Toan Bok Ang ditotok oleh Sebun It Nio. Setelah Lu Sin Kong suami istri pergi, Yu Lao Pun segera membebaskan jalan darah Toan Bok Ang yang tertotok itu, karena Tay Chi Bun dan Hui Yan Bun punya hubungan baik.

Betapa gusarnya Toan Bok Ang. Tapi dia tahu jelas dirinya bukan lawan Lu Sin Kong suami istri, lagi-pula masih harus melaksanakan perintah gurunya, maka ia melanjutkan perjalanan ke Su Cou untuk melihat-lihat situasi di sana. Ketika hampir tiba di Su Cou, mendadak Toan Bok Ang melihat dua murid keponakannya yang berusia empat puluhan, namun tingkatan Toan Bok Ang lebih tinggi.

Kedua wanita itu justru sedang mencarinya, maka begitu bertemu Toan Bok Ang mereka langsung memberitahukan bahwa akan ada urusan besar di Bu Yi San. Ketua Hui Yan Bun, Yok Kun Sih sudah turun gunung menuju Bu Yi San. Toan Bok Ang disuruh mencari Tujuh Dewa dan Hwe Hong Sian Kouw dan undang mereka agar segera datang di Bu Yi San. Oleh karena itu, Toan Bok Ang segera pergi mencari mereka, padahal jejak Tujuh Dewa tidak menentu. Tapi sampai di mana pun mereka bertujuh pasti meninggalkan suatu tanda.

Ketika Toan Bok Ang berada di luar kota Su Cou, ia melihat tanda tersebut, sehingga berhasil mencari jejak mereka. Di saat mendengar Hwe Hong Sian Kouw berada di kota Bok Bay merawat lukanya, Toan Bok Ang tertegun. Karena Hwe Hong Sian Kouw berkepandaian amat tinggi, terutama senjatanya, Liat Hwe Soh Sim Lun yang sungguh luar biasa. Lalu bagaimana Hwe Hong Sian Kouw bisa terluka?

Dia memacu kudanya sambil berpikir. Kota Bok Bay berada di kaki gunung. Berselang beberapa saat, dia sudah tiba di kota tersebut. Meski pun Toan Bok Ang merupakan gadis yang suka menimbulkan urusan, namun peraturan Hui Yan Bun amat ketat, maka membuatnya tidak berani sembarangan berbuat sebab akan mendapat hukuman berat. Maka, ketika berada di pintu kota Bok Bay, dia menarik tali les agar kudanya berjalan perlahan.

Justru di saat itulah, tiba-tiba terdengar suara kereta kuda, yang berjalan ke luar dari dalam kota. Begitu melihat kereta kuda itu, terbelalaklah mata Toan Bok Ang karena kereta kuda itu amat indah dan mewah, dihiasi dengan berbagai macam permata sehingga tampak gemerlapan. Tampak si kusir terngantuk-ngantuk di tempat duduknya, membiarkan kuda itu berjalan perlahan.

Setelah melihat sejenak, Toan Bok Ang menganggap bahwa kereta kuda itu milik pembesar, namun terasa aneh pula. Setelah kereta mewah itu berlalu, barulah dia melanjutkan perjalanan memasuki kota tersebut. Akan tetapi, mendadak terdengar teriakan aneh yang berasal dari pintu kota itu.

Tampak sosok bayangan menerjang keluar dengan sempoyongan, tapi gerakannya cepat sekali. Ketika mendengar teriakan itu, dalam hati Toan Bok Ang tertegun, sebab suara itu membuatnya merinding. Yang membuatnya tertegun, yakni gerakan orang itu mempergunakan semacam ilmu ginkang seperti yang pernah dipelajarinya, pertanda orang itu dari Hui Yan Bun. Toan Bok Ang langsung menyapanya, dan orang itu tampak seperti gila menerjang ke arahnya namun terjatuh lagi beberapa kali. Terakhir kalinya orang itu mencelat ke atas setinggi beberapa depa, lalu terjatuh.

Gerakannya yang terakhir itu justru gerakan ‘Gumpalan Awan Berputar Balik’. Jelas itu adalah ilmu peringan tubuh Hui Yan Bun. Ilmu itu tidak mungkin diwariskan kepada orang luar. Karena itu, orang tersebut pasti punya hubungan erat dengan Hui Yan Bun, maka Toan Bok Ang cepat-cepat menghampirinya. Toan Bok Ang menegasi orang itu, rambutnya awut-awutan, mukanya berlumuran darah. Dia tergeletak di tanah dengan nafas memburu.

"Kau...!"

Toan Bok Ang baru mencetuskan satu perkataan. Mendadak orang itu menolehkan kepalanya, sehingga membuat Toan Bok Ang berteriak tak tertahan. "Haaah?"

Walau muka orang itu berlumuran darah, namun sepasang matanya bersinar garang. Lagi-pula begitu menoleh, dia langsung menyerang Toan Bok Ang dengan lima jarinya yang menyerupai cakar, mengarah bagian dada Toan Bok Ang. Gadis itu tak menduga sama sekali. Padahal dia bermaksud baik mendekati orang itu, namun orang tersebut malah menyerangnya. Untung dia cepat berkelit, maka dapat lolos dari serangan orang itu.

"Ehh?!" Orang itu tampak terkejut ketika menyaksikan gerakan Toan Bok Ang. "Kau dari Hui Yan Bun, murid generasi ke berapa?"

"Aku murid Yok Kun Sih," sahut Toan Bok Ang memberitahukan, karena dia tahu orang itu pasti punya hubungan dengan perguruannya.

"Oh!" Orang itu bangun duduk seraya berkata, "Tujuh tahun yang lalu, Kun Sih menerima seorang murid penutup bernama Toan Bok Ang, apakah kau?"

"Ya." Toan Bok Ang mengangguk. "Bolehkah aku tahu siapa cianpwee?"

Orang itu tidak menyahut, melainkan mendongakkan kepala memandang ke depan. Toan Bok Ang juga ikut memandang ke depan. Tampak kereta mewah itu sudah jauh sekali, dan orang itu menghela nafas panjang.

"Baik-baikkah gurumu? Aku.... Hwe Hong Sian Kouw."

Betapa girangnya Toan Bok Ang ketika mendengar ucapan itu. "Sian Kouw, aku justru sedang mencarimu," katanya cepat.

"Ada urusan apa kau mencariku?" tanya Hwe Hong Sian Kouw.

Toan Bok Ang memberitahukan dan Hwe Hong Sian Kouw mendengarkan dengan penuh perhatian, kemudian menghela nafas panjang. "Kini aku terluka berat, bagaimana mungkin bisa pergi ke Bu Yi San?"

Toan Bok Ang segera bertanya. "Hwe Hong Sian Kouw, siapa yang melukaimu?"

Hwe Hong Sian Kouw mendengus. "Hm! Yang melukaiku adalah orang yang di kereta mewah itu! Tapi kini dia sudah pergi jauh, tak usah diungkit lagi!"

"Hah!" seru Toan Bok Ang tak tertahan. "Kalau aku tahu, pasti aku menghalangi kereta mewah itu!"

Hwe Hong Sian Kouw tertawa dingin. "Kalau pun gurumu yang ke mari, juga belum tentu dapat menghalangi kereta mewah itu."

Toan Bok Ang tertegun dan bertanya. "Sebetulnya siapa yang berada di dalam kereta mewah itu?"

Hwe Hong Sian Kouw menyahut dengan kening berkerut-kerut. "Mereka cukup banyak. Sebelumnya aku sudah terluka, maka tidak dapat melihat dengan jelas siapa mereka. Tapi aku tahu salah seorang dari mereka adalah Liok Ci Siansing."

Toan Bok Ang terkejut mendengar ucapan itu. "Itu... itu bagaimana mungkin? Liok Ci Siansing punya urusan besar di Bu Yi San, bagaimana mungkin dia menimbulkan urusan di sini?"

Hwe Hong Sian Kouw beradat keras dan emosional. Apa yang dikatakannya tidak boleh ada orang mendebatnya. Oleh karena itu, dia membentak gusar. "Aku melihat dengan jelas sekali. Salah seorang dari mereka menjulurkan tangannya ke luar, jarinya berjumlah enam. Lagi-pula di dalam kereta mewah itu terdengar suara harpa. Dia pasti Liok Ci Siansing, tidak mungkin orang lain."

Toan Bok Ang tahu, Hwe Hong Sian Kouw setingkat dengan gurunya, maka dia tidak berani bersuara lagi.

Sedangkan Hwe Hong Sian Kouw melanjutkan. "Kau datang dari Hui Yan San, apakah di tengah jalan bertemu muridku, putri si Pecut Emas-Han Sun?"

Toan Bok Ang menggelengkan kepala. "Tidak. Aku meninggalkan Hui Yan San sudah setengah bulan lebih!"

Hwe Hong Sian Kouw menghela napas panjang. "Aaah! Ternyata begitu! Sudah setengah bulan lebih...! Sudah setengah bulan lebih...!"

Ternyata Hwe Hong Sian Kouw teringat kembali. Setengah bulan yang telah lalu, setiap malam Han Giok Shia pasti datang di menara Hou Yok untuk belajar ilmu silat kepadanya. Tidak tahunya setengah bulan kemudian, justru terjadi berbagai macam perubahan.

Toan Bok Ang tidak tahu itu, maka dia diam saja. Berselang beberapa saat kemudian barulah ia berkata. "Sian Kouw, guruku telah berangkat ke Bu Yi San, urusan ini justru Liok Ci Siansing yang melakukannya. Aku akan mengurusi Sian Kouw, mari kita berangkat ke Bu Yi San!"

Apa yang dikatakan Toan Bok Ang, memang sesuai dengan adat Hwe Hong Sian Kouw, maka dia tertawa seraya berkata. "Pantas Kun Sih begitu menyayangimu, ternyata kau begitu baik dan penuh pengertian! Oh ya, kau membawa obat luka perguruanmu, Pil Sayap Walet?"

"Ada." Toan Bok Ang mengangguk.

"Berilah aku empat butir!" kata Hwe Hong Sian Kouw.

Toan Bok Ang tersenyum. "Kebetulan sekali, aku membawa empat butir."

Hwe Hong Sian Kouw manggut-manggut. "Tentunya aku tahu jelas mengenai adat gurumu. Dia memperbolehkanmu membawa empat butir Pil Sayap Walet, karena kau murid kesayangannya. Kalau tidak, sebutir pun kau tidak mungkin bisa membawa."

Toan Bok Ang tertawa kecil. "Siau Kouw dan guruku merupakan kawan akrab, tentunya tahu akan adat guruku." Sembari berkata, Toan Bok Ang mengeluarkan sebuah kotak kecil, lalu diberikan kepada Hwe Hong Sian Kouw.

Hwe Hong Sian Kouw menerima kotak kecil itu seraya berkata, "Legakanlah hatimu. Kalau gurumu memarahimu, aku yang akan bertanggung jawab! Aku tidak akan secara cuma-cuma memakai obatmu itu, dan kelak aku pasti membalas kebaikanmu ini."

Obat Yan Pheng Tan merupakan obat rahasia Hui Yan Bun, dan tergolong obat mujarab yang tak ternilai harganya. Yang membuat obat tersebut adalah guru Yok Kun Sih, menggunakan berbagai macam ramuan termasuk Walet Berdarah yang hidup di laut selatan. Ketika menangkap Hiat Yan, salah seorang kakak seperguruan Yok Kun Sih terpeleset ke Lam Hai, sehingga mati tenggelam di laut itu. Oleh karena itu, betapa berharganya obat Yan Pheng Tan tersebut. Toan Bok Ang langsung memberikan obat itu kepada Hwe Hong Sian Kouw, itu pertanda dia berhati lapang.

Toan Bok Ang tertawa. "Hanya beberapa butir obat, Sian Kouw tidak perlu membalas kebaikan ini!"

Hwe Hong Sian Kouw juga tertawa. "Kau tidak usah berpura-pura berhati lapang, aku tahu betapa berharganya obat itu. Namun kini, aku tidak bisa tidak harus memakainya karena aku terluka parah. Legakanlah hatimu, aku tidak akan ingkar janji!"

Usai berkata begitu, Hwe Hong Sian Kouw membuka sebuah kotak kecil dan seketika terciumlah bau darah yang amat menusuk hidung. Hwe Hong Sian Kouw terus memandang obat itu, lama sekali barulah menelannya. Tak lama setelah menelan keempat butir obat itu, nafasnya mulai normal kembali, dan dia segera duduk bersila untuk menghimpun hawa murninya.

Toan Bok Ang menjaga di sampingnya, kemudian berselang beberapa saat sekujur badan Hwe Hong Sian Kouw mengeluarkan uap. Toan Bok Ang tahu, bahwa obat itu mulai bekerja di dalam tubuh Hwe Hong Sian Kouw. Dia amat girang dan yakin, tidak lama lagi luka Hwe Hong Sian Kouw pasti sembuh. Dia menunggu dengan sabar. Tak seberapa lama, Hwe Hong Sian Kouw membuka matanya, lalu bangkit berdiri seraya menarik lengan Toan Bok Ang.

"Mari kita pergi!"

Mereka lalu pergi. Beberapa mil kemudian mereka sampai di pinggir sebuah sungai. Hwe Hong Sian Kouw segera mencuci muka dan rambutnya. Setelah itu, dia berkata, "Ang, kini lukaku telah sembuh separuh. Dalam perjalanan ke Bu Yi San, kemungkinan besar lukaku telah pulih. Namun dalam perjalanan, tidak mungkin tidak akan terjadi sesuatu, maka kau harus berhati-hati!"

Toan Bok Ang mengangguk. "Ya!" sahutnya.

Hwe Hong Sian Kouw berkata lagi. "Gurumu beradat aneh. Dia telah menerimamu sebagai murid, sudah pasti melarang orang lain memberi petunjuk kepadamu. Tapi... aku akan mewariskan kepadamu seluruh ilmu silatku."

"Sian Kouw...." Toan Bok Ang menggeleng-gelengkan kepala. "Jangan dikarenakan keempat butir obat itu, maka Sian Kouw harus berbuat begitu!"

Hwe Hong Sian Kouw tertawa. "Kau lebih baik dari pada muridku itu. Dia seperti aku, bersifat keras dan berangasan. Sebaliknya kau penyabar dan banyak senyum. Kau harus ingat. Kelak kalau kau menghadapi suatu masalah, baik kau benar mau pun salah, asal kau mencariku aku pasti membelamu."

Toan Bok Ang bergirang dalam hati. Dia memang suka menimbulkan masalah, kini malah ada Hwe Hong Sian Kouw berdiri di belakangnya, tentunya membuatnya girang sekali. "Terima-kasih, Sian Kouw!" ucapnya.

Mereka bercakap-cakap lagi. Tiba-tiba Hwe Hong Sian Kouw teringat sesuatu dan segera berkata. "Oh ya! Kau ingin mencariku, kenapa begitu kebetulan kita bertemu di kota Bok Bay?"

Toan Bok Ang menyahut. "Seorang yang memakai kain penutup muka yang memberitahukan kepadaku."

"Orang itu berbadan tinggi dan sepasang matanya menyorot tajam?" tanya Hwe Hong Sian Kouw.

Toan Bok Ang mengangguk. "Tidak salah! Aku sudah berada beberapa mil, namun suara orang itu tetap mendengung ke dalam telingaku."

Hwe Hong Sian Kouw segera bertanya. "Kau tahu namanya?"

Toan Bok Ang menggelengkan kepala. "Aku tidak tanya." Kemudian dia menutur tentang Tujuh Dewa dan orang yang memakai kain penutup muka itu.

Mendengar penuturan itu, Hwe Hong Sian Kouw menghela nafas panjang. "Dalam hidupku, aku paling tidak mau menerima budi kebaikan orang. Namun beberapa hari ini, aku justru telah menerima dua kali kebaikan orang. Yakni pemberian obatmu dan orang itu menyelamatkan nyawaku."

Berkata sampai di situ, Hwe Hong Sian Kouw berhenti sejenak, kemudian menghela nafas panjang dan melanjutkan. "Kalau dia tidak menolongku, mungkin saat ini aku sudah seperti si Pecut Emas yang mati di rumahnya."

Toan Bok Ang tidak tahu dengan jelas tentang kejadian itu. Dia bertanya, namun Hwe Hong Sian Kouw tidak mau memberitahukan. Maka gadis itu terpaksa diam, tapi amat penasaran dalam hati. Berhubung luka Hwe Hong Sian Kouw masih belum pulih, maka di siang hari mereka beristirahat, malam harinya baru melanjutkan perjalanan. Dalam perjalanan, tidak pernah terjadi suatu apa pun, dan itu amat melegakan hati Toan Bok Ang.

Kita kembali dulu mengingat ketika Lu Sin Kong dan Sebun It Nio membawa kotak kayu
meninggalkan kota Lam Cong. Tak lama setelah ke luar dari pintu kota itu, di tengah jalan justru bertemu Liok Ci Siansing dan Tiat Cit Song Jin. Ketika itu, boleh dikatakan musuh besar saling berhadapan, maka mata Lu Sin Kong dan Sebun It Nio membara. Namun mereka berdua bermaksud menghabiskan semua musuh, lagi-pula kalau saat itu
bertarung, belum tentu akan menang. Oleh karena itu, mereka berdua pergi begitu saja.

Setelah mereka berdua pergi, Tiat Cit Song Jin bergerutu. "Liok Ci, kelihatannya mereka berdua marah pada kita."

Liok Ci Siansing menyahut hambar. "Mungkin mereka berdua merasa tidak senang karena kita berniat menerima anaknya sebagai murid, maka sikap mereka menjadi begitu."

Tiat Cit Song Jin menggelengkan kepala. "Mungkin bukan begitu. Bukankah mereka sudah bilang bahwa sebulan kemudian mereka akan mengantar bocah itu ke Bu Yi San?"

Di saat mereka sedang bercakap-cakap, mendadak terdengar suara harpa di dalam rimba. Tiat Cit Song Jin mengerutkan kening seraya berkata. "Liok Ci, aku sudah merasa bising akan suara harpamu, tapi kenapa kok kini malah muncul suara harpa lain? Aku akan pergi menghancurkan harpa itu!" Usai berkata begitu, Tiat Cit Song Jin melesat ke dalam rimba itu.

Ketika mendengar suara harpa itu, air muka Liok Ci Siansing sudah berubah. Dia mendengarkan dengan penuh perhatian, tiba-tiba memegang bahu Tiat Cit Song Jin seraya berkata dengan suara rendah. "Tiat Cit, jangan sembarangan!"

Dia mendengarkan lagi dengan seksama, kemudian tanpa sadar dia memuji. "Harpa yang bagus, jari yang luar biasa!"

Liok Ci Siansing memang ahli harpa. Setelah memuji dia pun mendengarkan lagi dengan penuh perhatian, lalu sekonyong-konyong wajahnya tampak terheran-heran. "Eh? Berdasarkan suara harpa itu, sobat itu pun punya enam jari!"

Tiat Cit Song Jin tertawa. "Kalau begitu, dia sehaluan denganmu."

Liok Ci Siansing segera memberi isyarat, agar Tiat Cit Song Jin jangan bersuara, kemudian memandang ke arah rimba seraya berseru. "Sobat jago dari mana? Sungguh sedap didengar suara harpamu!"

Suara harpa itu berhenti, lalu bersamaan terdengar suara sahutan. "Aku tidak begitu ahli memetik harpa! Bolehkah aku tahu siapa anda?"

Liok Ci Siansing segera menyahut dengan gembira. "Aku Liok Ci dari Bu Yi San!"

Terdengar orang itu berkata. "Oh! Ternyata Liok Ci Siansing! Nama anda sudah amat terkenal...!!" Berkata sampai di situ, orang itu seakan teringat sesuatu. "Oh ya! Kenapa anda masih berada di sini? Apakah anda tidak tahu kalau di Bu Yi San akan terjadi suatu bencana?"

Liok Ci Siansing dan Tiat Cit Song Jin tertegun mendengar pertanyaan orang itu. "Apa maksud anda berkata begitu?"

Mereka berdua segera memasuki rimba itu. Tampak di samping sebuah pohon Siong tua, seseorang sedang duduk dan memangku sebuah harpa kuno. Begitu melihat Liok Ci Siansing dan Tiat Cit Song Jin, orang itu bangkit dari tempat duduknya seraya menyahut. Liok Ci Siansing dan Tiat Cit Song Jin memperhatikannya. Orang itu kelihatannya masih muda dan wajahnya cerah. Liok Ci Siansing juga memperhatikan jari tangan orang itu, justru cuma ada lima.

Liok Ci Siansing tertegun. "Andakah yang tadi memetik harpa?"

"Benar... Entah anda mau memberi petunjuk apa?" sahut orang itu.

Liok Ci Siansing merasa heran. Sebab berdasarkan pengalamannya di bidang harpa, dia dapat mendengar bahwa si pemetik harpa itu pasti berjari enam, namun orang itu justru berjari lima.

"Cara anda memetik harpa sungguh luar biasa! Namun apa yang anda katakan tadi, bolehkah anda menjelaskannya?"

Liok Ci Siansing dan Tiat Cit Song Jin sama sekali tidak kenal orang itu, maka dapat dikelabuinya. Mereka menganggap si pemetik harpa tadi adalah orang itu. Kalau Lu Sin Kong berada di situ, pasti kenal orang itu, yang tidak lain adalah Ki Hok. Hanya saja saat ini, Ki Hok telah berganti dandanan, tidak berdandan sebagai pengurus rumah.

"Thian Hou Lu Sin Kong dan Sebun It Nio, mengatakan bahwa anda telah mencelakai putra mereka satu-satunya, karena itu mereka mengundang para jago dari Go Bi dan Tiam Cong Pai, ke Bu Yi San. Kalau kalian berdua takut urusan, lebih baik bersembunyi saja. Namun kalau mereka tidak menemukan anda, semua harpa yang ada di sana pasti dihancurkan."

Setiap orang pasti punya suatu hobi, maka ratusan harpa yang berada di Bu Yi San, boleh dikatakan merupakan nyawa bagi Liok Ci Siansing. Ki Hok berkata begitu, justru mendorongnya cepat-cepat pulang ke Bu Yi San.

"Tiat Cit, mari cepat pulang!"

Tidak menunggu sampai Tiat Cit Song Jin mengangguk, Liok Ci Siansing sudah melesat pergi meninggalkan rimba itu. Begitu melihat Liok Ci Sian sing melesat pergi, Tiat Cit Song Jin pun mengikutinya. Dalam waktu sekejap, mereka berdua sudah tidak kelihatan.

Ki Hok tertawa gelak seraya berkata. "Tuan majikan, aku telah meyakinkan mereka berdua."

Terdengar suara sahutan yang begitu halus dan nyaring dari dalam rimba. "Bagus, bagus! Tak lama lagi, kau akan menjadi orang nomor wahid dalam rimba persilatan!"

Ki Hok segera memberi hormat ke arah rimba itu. "Terima-kasih atas kebaikan tuan majikan. Apakah kita masih harus menambah minyak pada pihak Go Bi dan Tiam Cong?"

Orang yang ada di dalam rimba menyahut. "Tentu! Bahkan harus pula menyiarkan kabar tentang itu, agar semua kaum rimba persilatan mengetahuinya!"

Ketika Lu Sin Kong dan Sebun It Nio baru tiba di Su Cou, hampir semua kaum rimba persilatan tahu tentang urusan tersebut. Oleh karena itu, yang menuju ke Bu Yi San terdiri dari golongan lurus dan sesat, bahkan rata-rata merupakan jago yang berkepandaian tinggi. Di antaranya terdapat Tujuh Dewa, ketua Hui Yan Bun si Walet Hijau-Yok Kun Sih, ketua Hwa San Pai Liat Hwe Cousu, Yu Lao Pun dan lainnya. Pihak golongan sesat terdiri dari si Setan Seng Ling, Thay San Hek Sin Kun dan lainnya. Mereka semua sudah dalam perjalanan menuju Bu Yi San.

Orang yang amat mendendam kepada Lu Sin Kong, juga sudah berangkat ke sana. Mereka adalah Hwe Hong Sian Kouw dan Han Giok Shia. Di antara sekian banyak orang, hanya ada satu orang yang berusaha mengatasi bencana itu, yaitu Tam Sen. Selain itu, juga terdapat para pendekar muda, misalnya Tam Goat Hua dan kakaknya serta Toan Bok Ang, yang semuanya juga sedang menuju Bu Yi San.

Sian Jin Hong di Bu Yi San merupakan tempat tinggal Liok Ci Siansing yang amat tenang dan damai, namun kini justru merupakan tempat berkumpulnya para jago berkepandaian tinggi. Banjir darah dalam rimba persilatan akan dimulai dari sana. Sebulan kemudian, Liok Ci Siansing dan Tiat Cit Song Jin tiba di Bu Yi San. Mereka berdua tiba paling awal. Bu Yi San sangat terkenal akan keindahan panoramanya, namun juga terdapat batu curam yang berbahaya, jurang yang dalam dan tebing yang licin.

Tempat tinggal Liok Ci Siansing berada di puncak Bu Yi San, disebut Sian Jin Hong. Di puncak gunung itu terdapat sebidang tanah yang amat luas, rerumputannya menghijau dan bunga liar bermekaran menakjubkan. Tempat itu sedemikian sepi, tenang dan damai, namun di sana justru akan terjadi sesuatu yang menggegerkan.

Pagi itu, di bawah sebuah pohon Siong tua, di samping sebuah batu besar tampak dua orang sedang duduk berhadapan. Mereka berdua adalah Liok Ci Siansing dan Pit Giok Sen. Orang tersebut berkepandaian tinggi tapi bersifat aneh. Namun walau demikian, kaum rimba persilatan amat menghormatinya, Mereka berdua tampak sedang merenungkan sesuatu.

Tak jauh dari situ, terlihat seorang lelaki, kepalanya mirip macan dan rnukanya penuh brewok. Tangannya memegang sebuah Tiat Cit warna hitam, yang tingginya hampir empat kaki. Sesungguhnya Tiat Cit itu merupakan semacam alat musik kuno, namun di tangan Tiat Cit Song Jin, itu bukan merupakan alat musik lagi, melainkan semacam senjata yang amat lihay.

Ketika masih kecil, Tiat Cit Song Jin sudah memiliki tenaga yang amat besar. Siapa pun tak mampu melawannya. Namun setelah dia berhasil menguasai beberapa macam ilmu silat, justru malah tidak punya senjata. Beberapa tahun kemudian, ketika melewati sebuah desa nelayan, dia melihat para nelayan sedang menyembah sebuah Tiat Cit, tampak pula beberapa macam sesajian. Tiat Cit Song Jin tertawa dalam hati, karena para nelayan itu begitu percaya tahayul. Maka diusirnya mereka sehingga terjadi perkelahian. Bagaimana mungkin para nelayan itu melawannya? Akhirnya para nelayan itu lari tunggang langgang meninggalkan tempat itu.

Kemudian sambil tertawa Tiat Cit Song Jin mendekati Tiat Cit itu, dan mengangkatnya. Akan tetapi, Tiat Cit itu tak bergeming sedikit pun, padahal dia mampu mengangkat barang yang beratnya lima ratus kati. Namun justru tak mampu mengangkat Tiat Cit tersebut. Oleh karena itu, dia pergi berguru lagi. Lima tahun kemudian, dia kembali ke desa nelayan itu, dan barulah mampu mengangkat Tiat Cit tersebut.

Setelah berhasil mengangkat Tiat Cit itu, dia pun memperhatikannya, ternyata di belakang Tiat Cit itu terdapat beberapa baris tulisan. Berat Tiat Cit ini tujuh ratus kati, dibuat dari besi murni. Tertera dua puluh tujuh jurus Tiat Cit, siapa yang berjodoh memperoleh Tiat Cit ini boleh mempelajarinya. Bukan main girangnya Tiat Cit Song Jin, maka dia segera mempelajari dua puluh tujuh jurus Tiat Cit tersebut, dan akhirnya memperoleh julukan Tiat Cit Song Jin.

Saat ini, mendadak badannya bergerak. Tiat Cit itu pun ikut bergerak ke sana ke mari menimbulkan suara menderu-deru.

"Blaaam!", Tiat Cit itu menancap di tanah diiringi suara keras.

Dia memandang Liok Ci Siansing dan Pit Giok Sen, lalu berseru lantang. "Kalian berdua, apakah tidak tahu musuh tangguh akan menyerbu ke mari?"

Liok Ci Siansing tersenyum hambar. Ternyata dia sedang bermain catur dengan Pit Giok Sen. "Tahu lalu mau apa? Apakah boleh melarang mereka naik ke mari?"

Tiat Cit Song Jin mendengus. "Hm! Kalian berdua setiap hari kalau bukan bermain harpa, pasti bermain catur! Sama sekali tidak mau berpikir, memangnya kenapa?"

Tiat Cit Song Jin beradat keras, berangasan dan tak sabaran. Ketika teringat Go Bi dan Tiam Cong Pai akan menyerbu tempat itu, dia sudah bersiap untuk bertarung. Akan tetapi, dalam beberapa hari ini, di Sian Jin Hong tersebut justru sepi-sepi saja. Sedangkan Liok Ci Siansing terus bermain catur dengan Pit Giok Sen, sepertinya tiada urusan sama sekali, dan itu membuat Tiat Cit Song Jin menjadi tidak sabar.

Pit Giok Sen tertawa. "Liok Ci, set ini kau yang kalah. Apakah kau masih merasa penasaran?"

Liok Ci Siansing mengangguk. "Aku sudah kalah tujuh set, tak mampu membalas sama sekali."

Kedua orang itu tertawa, tidak menggubris Tiat Cit Song Jin. Wajah Tiat Cit Song Jin berubah merah padam. Dia melangkah lebar menghampiri mereka, kemudian mengayunkan tangannya.

“Ser! Ser!” Dia telah melancarkan dua pukulan ke arah papan catur itu.

“Braak!” Papan catur itu hancur berkeping-keping, sedangkan semua biji catur menancap di sebuah pohon.

Liok Ci Siansing dan Pit Giok Sen bangkit berdiri, lalu tertawa gelak. "Hahaha! Tiat Cit, kau sungguh keterlaluan! Merusak kesenangan orang lain!"

Ketika Tiat Cit Song Jin baru mau menyahut, mendadak terdengar suara siulan di pinggang gunung, enam tujuh kali. Suara siulan itu amat nyaring. Berdasarkan suara siulan itu, dapat diketahui para pendatang itu rata-rata berkepandaian amat tinggi. Air muka Tiat Cit Song Jin langsung berubah. Dia memandang Liok Ci Siansing dan Pit Giok Sen seraya berkata, "Kalian masih mau main catur? Bukankah musuh tangguh sudah datang?"

Tiat Cit Song Jin mencelat ke tempat Tiat Cit itu menancap, lalu mencabutnya. Liok Ci Siansing dan Pit Giok Sen saling memandang, kemudian mereka tertawa terpingkal-pingkal.

Tiat Cit Song Jin melotot dan membentak. "Musuh sudah datang, kenapa kalian masih tertawa?"

Liok Ci Siansing menyahut. "Tiat Cit, dalam beberapa hari ini, kau selalu mengejutkan diri sendiri, hingga suara siulan kawan baik pun tidak kau kenali! Bukankah itu menggelikan sekali?"

Tiat Cit Song Jin tertegun, kemudian tertawa gembira. "Hahaha! Ternyata ketujuh makhluk aneh itu yang datang!"

Di saat bersamaan, tampak tujuh sosok bayangan berkelebatan mendatangi tempat tersebut. Begitu sampai di tempat itu, ketujuh orang tersebut berbaris, yang paling depan adalah si Gendut. "Tiat Cit! Kau berani mencaci kami di belakang? Apakah kami bertujuh mirip makhluk aneh?"

Ketika melihat Tujuh Dewa, giranglah Tiat Cit Song Jin, kemudian tertawa terbahak-bahak seraya menyahut. "Kalau kalian bertujuh bukan makhluk aneh, lalu siapa makhluk aneh? Jangan omong yang bukan-bukan. Cepat berunding cara bagaimana menghadapi musuh, itu baru benar!"

"Kalian jangan mendengarkan omongan Tiat Cit!" kata Liok Ci Siansing. "Di tempatku bunga-bunga bermekaran sepanjang tahun. Mari kita minum dulu!"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar