Harpa Iblis Jari Sakti Chapter 06

"Terima-kasih atas pertolongan para cianpwee," ucap Lu Leng.

Si Gendut kemudian mendadak menjulurkan tangannya untuk mengambil sebuah topeng tembaga. Dipakainya topeng itu tapi kemudian dilepaskan lagi.

"Tidak mengejutkanmu?" tanyanya.

Topeng tembaga itu memang aneh, justru adalah salah satu patung dewa yang dilihatnya di dalam menara Hou Yok. Saat ini walau sekujur badan masih terasa sakit, namun kelakuan si Gendut yang lucu itu membuat Lu Leng tertawa geli.

"Tidak terkejut, hanya saja kenapa para cianpwee menyamar sebagai patung dewa di menara Hou Yok itu?"

Si Gendut menghela nafas panjang. "Panjang sekali kalau diceritakan. Setelah lukamu sembuh, barulah kuceritakan. Ingat, saat ini kau tidak boleh gusar, sebab akan menambah parah lukamu!"

Lu Leng mengangguk, lalu memandang ke luar. Tampak sedikit kabut di luar sana. Ternyata perahu tersebut berada di pinggir sebuah telaga. Bukan main indahnya panorama di tempat itu. Setelah memandang ke luar sejenak, dia bertanya kepada si Gendut.

"Bolehkah aku tahu, siapa cianpwee sekalian?"

Si Gendut tertawa gelak.

"Hahaha! Kami berjumlah tujuh orang, maka untuk mengingat nama kami, mungkin sulit bagimu."

Begitu mendengar mereka berjumlah tujuh orang, hati Lu Leng tergerak. "Apakah cianpwee sekalian adalah Tujuh Dewa dalam rimba persilatan?"

Walau Lu Leng tidak pernah berkecimpung dalam rimba persilatan, namun kedua orang-tuanya sudah berpengalaman, maka pernah mendengar dari kedua orang-tuanya mengenai orang-orang aneh berkepandaian tinggi dalam rimba persilatan. Dia masih ingat akan penuturan ayahnya, selain para ketua partai besar, masih terdapat tujuh orang aneh yang berkepandaian amat tinggi sekali. Karena merasa cocok satu sama lain, maka ketujuh orang aneh itu selalu bersama dan dijuluki Tujuh Dewa dalam rimba persilatan.

Jejak ketujuh orang aneh itu tidak menentu, kadang-kadang berada di dalam perahu, di pegunungan dan di pinggir laut. Bertindak sesuatu pun berdasarkan kemauan hati, sama sekali tidak terikat oleh peraturan rimba persilatan. Kalau berjodoh bertemu mereka dan mau menyebut sebagai ‘teecu’ (Murid), pasti akan memperoleh keuntungan besar. Teringat akan ini, barulah Lu Leng dapat menduga identitas mereka.

Si Gendut tertawa lagi. "Bocah, pengetahuanmu cukup luas, kami memang Tujuh Dewa."

Lu Leng justru tidak tahu, sejak hari itu dia melihat seorang piausu yang berlumuran darah, begitu masuk ke dalam ruangan langsung mati. Karena itu dia membawa golok pendek meninggalkan rumah. Sejak itu pula dia terus menghadapi berbagai macam bahaya, bahkan juga mengalami hal-hal yang aneh.

Begitu pula apa yang dialami kedua orang-tuanya. Sebab menemukan mayat anak tanpa kepala di dalam gudang batu, maka mengira dia telah binasa. Lantaran bekas telapak tangan berjari enam, sehingga menganggap itu adalah perbuatan Bu Yi San Liok Ci Siansing, Tiat Cit Songjin dan Tujuh Dewa sebagai pembunuh.

Lu Leng sama sekali tidak tahu akan urusan itu. Begitu pula Tujuh Dewa tersebut, sama sekali tidak tahu bahwa Lu Sin Kong pergi mengundang para jago tangguh Tiam Cong Pai dan Go Bi Pai untuk ke gunung Bu Yi guna membuat perhitungan terhadap Liok Ci Siansing. Ketika Lu Leng tahu bahwa Tujuh Dewa yang menyelamatkan dirinya, maka hatinya menjadi lega. Di saat itulah justru dia teringat akan kedua orang-tuanya. Sudah sekian lama dia tidak berjumpa, bahkan kini ibunya telah binasa. Tak disangka hari itu meninggalkan rumah, malah berpisah selamanya dengan ibunya.

Lu Leng merupakan anak yang berperasaan, begitu teringat hal itu, air matanya meleleh. Sedangkan si Gendut sudah kembali ke geladak. Lu Leng memandang ke luar, tampak permukaan telaga sedikit bergelombang, dan itu membuat pikirannya menjadi menerawang. Setelah meninggalkan rumah, Lu Leng mengalami berbagai macam kejadian. Ternyata dia pergi mengejar kereta mewah itu. Apa yang dialaminya, akan dituturkan di sini.

Hari itu setelah meninggalkan rumah, Lu Leng terus mengejar kereta mewah itu. Dia terus mengejar sampai di luar kota, tapi sama sekali tidak menemukan jejak kereta mewah tersebut. Lu Leng berpikir, apakah dirinya terlambat selangkah, sehingga kereta mewah itu telah pergi jauh?

Ketika dia baru ingin kembali ke rumah untuk berunding dengan kedua orangtuanya, mendadak terdengar suara kereta. Lu Leng segera meloncat ke semak-semak dan bersembunyi di situ, lalu mengintip. Tampak sebuah kereta mewah yang dihiasi dengan bermacam-macam permata, terus melaju ke arah luar kota. Setelah kereta mewah itu melewati tempat persembunyiannya, dia segera melesat ke luar, ke arah belakang kereta mewah itu. Sekali meraih pinggirnya, maka dia bergantungan di situ.

Walau Lu Leng bernyali besar, tapi saat itu hatinya merasa tegang juga. Sebelah tangannya memegang erat-erat pinggiran atap kereta, tangan yang sebelah lagi bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Sementara kereta mewah itu terus melaju dengan mengeluarkan suara ‘Tik Tak Tik Tak’. Tak beberapa lama kemudian, sudah tiba di pinggir sebuah sungai. Begitu tiba di pinggir sungai itu, kereta mewah tersebut berhenti.

Hati Lu Leng bertambah tegang, sebab kereta mewah itu berhenti di pinggir sungai, sudah barang tentu mau menyeberang, itu berarti orang yang ada di dalamnya akan ke luar. Hati Lu Leng terus berkebat-kebit. Akan tetapi, sudah lewat sekian lama, tiada suara gerakan apa pun. Lu Leng merasa heran. Kebetulan di belakang kereta mewah itu terdapat sebuah jendela kecil, yang ditutup dengan sehelai gordyn warna keemasan. Karena tidak mendengar suara gerakan apa pun, maka dia mengeluarkan golok pendek yang dibawanya untuk merobek sedikit gordyn itu, sekaligus mengintip ke dalam.

Begitu melihat ke dalam, hatinya tersentak, karena ternyata kereta itu kosong melompong. Betapa heran hati Lu Leng, sebab kereta mewah itu kosong. Keberaniannya pun menjadi bertambah.Dia segera menghimpun hawa murninya lalu menerobos ke dalam. Ketika sepasang kakinya menginjak, terasa menginjak sesuatu yang amat lunak. Ternyata kereta mewah itu beralas semacam kulit bulu binatang. Suasana di dalam kereta itu agak gelap, tercium pula semacam bau harum yang amat aneh.

Lu Leng menyingkap sehelai gordyn, seketika di dalam kereta mewah itu pun menjadi terang. Sungguh indah dekorasi di dalam kereta mewah itu. Terdapat sebuah meja kecil, tampak sebuah teko dan sebuah pedupaan yang mengepulkan asap harum. Di sisi pedupaan terdapat sebuah harpa kuno berwarna agak kehitam-hitaman. Lu Leng memang sering melihat berbagai macam harpa, maka tahu ada berapa banyak tali senar harpa. Namun harpa kuno yang satu itu, justru punya dua puluh satu tali senar yang sehalus rambut.

Menyaksikan harpa kuno itu, dia merasa tercengang, karena itu dia menjulurkan tangannya untuk memetik tali senar harpa itu. Akan tetapi, jari tangannya sama sekali tidak mampu menggerakkan tali senar itu, sehingga sedikit suara pun tak terdengar. Mulut Lu Leng ternganga lebar. Padahal tadi dia telah menggunakan tenaga yang cukup besar untuk memetik tali senar harpa itu, namun tak berbunyi sama sekali. Kalau begitu, si pemiliknya harus menggunakan tenaga besar untuk memetik tali senar harpa tersebut?

Maklum! Lu Leng masih bersifat anak-anak, maka ingin sekali membunyikan harpa kuno tersebut. Dia menghimpun hawa murni, kemudian disalurkan ke jari tangannya untuk memetik tali senar itu. Tali senar harpa kuno itu bergerak dan mendadak mengeluarkan suara bagaikan halilintar.Lu Leng sama sekali tidak menyangka harpa kuno itu akan mengeluarkan suara yang begitu keras memekakkan telinga, membuat jantungnya tergetar dan badannya terpental jatuh.

Di saat bersamaan, terdengar pula suara ringkikan kuda, kemudian kereta mewah itu tergoncang-goncang lalu meluncur laksana kilat. Saat itu, Lu Leng mengerti bahwa dirinya telah menimbulkan suatu bencana. Dia segera menuju tempat duduk kusir, lalu dengan sekuat tenaga ditariknya tali les kuda itu, agar kuda itu berhenti. Akan tetapi, kuda itu terus meringkik dan mengamuk berjingkrak-jingkrak seperti gila, dan mulutnya mengeluarkan busa. Bagaimana mungkin tali les itu dapat menahan amukan kuda tersebut?

Tiba-tiba terdengar suara, "Plaak", tali les itu telah putus.

Begitu tali les itu putus, kuda tersebut berlari kencang ke depan. Lu Leng ingin meloncat turun, tapi ketika melihat ke bawah, kepalanya langsung terasa pusing dan pandangannya kabur. Itu dikarenakan saking kencangnya kuda itu berlari. Kalau dia meloncat, pasti akan terluka berat.

Kini sekujur badannya mengeluarkan keringat dingin. Sedangkan kuda itu terus berlari kencang. Lu Leng berteriak-teriak, namun kuda itu tidak mau berhenti. Kuda itu terus berlari, hingga tak terasa hari mulai gelap. Lu Leng memandang ke depan, dilihatnya sebuah telaga besar. Permukaan telaga itu menyatu dengan langit dan kemerah-merahan pula. Itu sungguh indah sekali!

Lu Leng dibesarkan di kota Lam Cong, tentunya tahu bahwa dirinya telah tiba di telaga Hoan Yang Ouw. Sampai di pinggir telaga itu, kuda tersebut berhenti lalu terkulai dengan mulut mengeluarkan busa. Kalau bukan terhalang oleh telaga itu, kuda tersebut entah akan berlari sampai ke mana? Begitu sampai di telaga Hoan Yang Ouw, Lu Leng tertegun, karena dari Lam Cong ke tempat itu paling sedikit harus menempuh jarak seratus mil lebih. Maka dapat diketahui, bahwa kuda itu sangat jempolan.

Lu Leng meloncat turun dari kereta. Ketika itu hari sudah agak gelap. Dalam hati Lu Leng merasa, kereta mewah itu amat aneh dan misterius pula. Maka, dia tidak berani lama-lama berada di tempat itu. Dia membalikkan badannya, kemudian berlari kencang ke arah kota Lam Cong. Dia ingin pulang untuk memberitahukan kepada kedua orang-tuanya tentang apa yang dialaminya, juga mengenai harpa kuno itu.

Namun ketika dia baru berlari tujuh delapan mil, mendadak terdengar suara kereta di belakangnya, seakan mengejarnya. Tersentak hati Lu Leng, tapi kemudian berpikir mungkin kereta lain sedang melakukan perjalanan malam, maka dia tidak begitu cemas lagi, juga tidak berpaling ke belakang. Setelah berlari beberapa mil, suara kereta itu tetap terdengar di belakangnya, dan itu membuat Lu Leng berpaling ke belakang. Begitu berpaling, sekujur badannya langsung mengeluarkan keringat dingin.

Ternyata kereta yang berada di belakangnya, justru kereta mewah itu. Saat ini, kereta mewah tersebut telah bertambah seorang kusir yang berpakaian serba hitam, tangannya memegang pecut kuda. Di malam nan gelap itu, kereta mewah tersebut kelihatan mirip arwah gentayangan menerjang ke arahnya. Lu Leng cepat-cepat meloncat ke samping, tapi kereta mewah itu pun bergeser ke samping seakan menindihnya.

Betapa terkejutnya hati Lu Leng. Ia langsung membentak sambil mengeluarkan golok pendek. "Hei! Kau buta ya? Kau tidak melihat di depan ada orang?"

Kereta mewah itu berhenti, dan si kusir mendengus dingin. "Hmmm!" Dengusan itu membuat orang merinding mendengarnya.

Saat ini, jarak kereta mewah tersebut dan Lu Leng begitu dekat, sehingga Lu Leng dapat melihat dengan jelas kusir itu berpakaian serba hitam. Wajahnya kehijau-hijauan, sama sekali tidak terdapat warna darah. Sepasang bola matanya tak bergerak, namun menyorot dingin. Terkejut Lu Leng menyaksikannya, sehingga tanpa sadar ia menyurut ke belakang.

"Kau... kau siapa?" tanyanya.

Si kusir itu mendengus dingin lagi, kemudian mengangkat pecut kuda yang di tangannya. Kemudian pecut itu meliuk-liuk ke arah Lu Leng. Lu Leng ingin berkelit, namun terlambat, tahu-tahu pecut itu sudah mendarat di bahunya.

“Tar! Taaar!”

Bahu Lu Leng terpecut dua kali. Itu membuat Lu Leng gusar sekali. Dia langsung mengayunkan golok pendek yang di tangannya untuk menyerang si kusir dengan jurus It Coh Keng Thian (Sekali Menyerang Mengejutkan Langit). Si kusir tetap duduk tak bergeming, tapi mendadak menggerakkan pecut kuda itu untuk menangkis golok pendek yang mengarahnya. Golok pendek itu tertangkis sehingga arahnya menjadi miring ke kiri. Di saat bersamaan pecut kuda itu menghantam lengan Lu Leng yang menggenggam golok pendek. Lengan Lu Leng terasa sakit sekali, sehingga golok pendek yang digenggamnya terlepas, jatuh ke tanah.

Lu Leng terkejut bukan kepalang, karena hanya dua jurus bergebrak dengan kusir itu, dia sudah kehilangan golok pendeknya. Mendadak dia menjatuhkan diri, sekaligus menyambar golok pendek yang tergeletak di tanah. Dia berhasil menyambar golok pendek itu, namun punggungnya terasa sakit sekali. Ternyata pecut kuda itu telah menyambar punggungnya. Dia terguling-guling beberapa depa, namun tiba-tiba ada tenaga lunak menahan dirinya, sehingga dia tidak berguling lagi. Lu Leng tertegun, lalu mendongakkan kepalanya. Tampak tiga orang berbadan tinggi besar berdiri di hadapannya.

Dandanan ketiga orang itu sungguh aneh. Mereka mengenakan pakaian kuno dan topi tinggi. Di pinggang masing-masing bergantung sebilah pedang panjang. Salah seorang dari mereka mengangkat Lu Leng bangun dengan sebelah kakinya, kemudian melemparkannya beberapa depa, membuat Lu Leng berdiri. Terhadap apa yang telah terjadi dan siapa pula yang dijumpainya, Lu Leng sama sekali tidak paham, hanya merasa tercengang.

Kemudian orang itu menjura ke arah kereta kuda mewah seraya berkata, "Jago tangguh dari partai mana yang berada di dalam kereta, harap memberitahukan!"

Kusir itu perlahan-lahan menoleh. Sepasang bola matanya tetap tak bergerak memandang ketiga orang itu. Kemudian ia mengeluarkan suara dengusan dingin namun sama sekali tidak berbicara.

Ketiga orang itu maju selangkah, lalu berkata serentak. "Kalau kau masih tidak berbicara, kami akan membuka pintu kereta melihat dalamnya!"

Lu Leng tidak kenal dengan ketiga orang itu. Namun dia amat berterima-kasih kepada mereka karena mereka telah menyelamatkannya. Dia ingin memberitahukan bahwa kereta itu kosong, tidak ada orangnya. Namun ketika dia baru mau membuka mulut, mendadak tampak sosok bayangan meloncat ke luar dari kereta mewah itu. Lu Leng terkejut sekali, sebab ketika dia meninggalkan kereta mewah itu, di dalamnya tidak terdapat seorang pun.

Dia sudah merasa heran karena kereta mewah itu mengejarnya, bertambah seorang kusir, kini bahkan tampak seseorang meloncat ke luar dari dalamnya, membuatnya bertambah heran. Entah kapan kedua orang itu berada di kereta mewah tersebut. Orang yang meloncat ke luar berdandan sebagai pengurus rumah. Wajahnya lumayan, tidak seperti wajah si kusir yang menyeramkan itu.

Setelah meloncat ke luar, orang itu memberi hormat kepada ketiga orang tersebut seraya berkata, "Aku bernama Ki Hok, entah ada urusan apa kalian bertiga ingin menemui majikanku?"

Salah seorang dari mereka menyahut. "Tahukah kau siapa kami bertiga?"

Ki Hok tertawa. "Harap beritahukan!"

Wajah ketiga orang itu berubah gusar, kemudian salah seorang dari mereka membentak. "Kau berani menggunakan kereta ini ke mana-mana menimbulkan urusan, tentunya majikanmu punya asal-usul yang luar biasa, tapi kenapa tidak kenal kami bertiga?"

Semula Lu Leng tidak tahu kenapa ketiga orang itu marah-marah. Setelah mendengar ucapan itu, barulah ia tahu bahwa mereka bertiga pasti amat terkenal dalam rimba persilatan. Namun Ki Hok justru tidak kenal mereka, maka mereka bertiga menjadi gusar sekali. Oleh karena itu, Lu Leng memperhatikan ketiga orang itu, hatinya tergerak dan membatin. Apakah mereka bertiga adalah Bu Tong Sam Kiam (Tiga Pedang Dari Bu Tong) yang amat tersohor itu?

Bu Tong Pai memang mempunyai jago-jago tangguh, maka nama Bu Tong Pai amat cemerlang dalam rimba persilatan. Ketiga orang itu memang Bu Tong Sam Kiam, karena apabila mereka turun pasti bersama pula. Mereka bertiga telah menguasai ilmu pedang Sam Cay Kiam Hoat, yakni ilmu pedang Langit, Bumi dan Manusia. Ketiga macam ilmu pedang itu merupakan ilmu pedang tingkat tinggi, yang amat lihay dan dahsyat.

Ki Hok tertawa. "Aku cuma keluyuran mengikuti majikanku ke empat penjuru. Mengenai kaum rimba persilatan yang terkenal, aku memang tidak mengetahuinya, harap kalian bertiga memaafkanku!"

Wajah ketiga orang itu penuh kegusaran, sedangkan wajah Ki Hok tampak berseri-seri.

"Hmm!" Ketiga orang itu mendengus dingin, kemudian salah seorang dari mereka berkata, "Dengar-dengar ada sebuah kotak kayu yang punya hubungan dengan kereta ini. Kami ingin melihatnya!"

Ucapan tersebut agak bernada angkuh, namun Ki Hok sama sekali tidak tersinggung maupun marah. "Sungguh tidak kebetulan kedatangan kalian bertiga, sebab majikanku telah menitipkan kotak kayu itu kepada Thian Hou Piau Kiok yang di kota Lam Cong untuk diantar ke Su Cou, kini sudah tidak berada di dalam kereta."

Apa yang dikatakan Ki Hok membuat Lu Leng menyadari satu hal, maka dia berseru dalam hati. "Hah! Ternyata yang datang mencari ayahku di siang hari, adalah Ki Hok ini!" Karena berkaitan dengan ayahnya, maka Lu Leng pun mendengarkan dengan penuh perhatian.

Ketiga orang itu tertawa. "Hahaha! Kalian dapat mengelabui orang lain, namun tidak dapat mengelabui kami bertiga!"

Ki Hok tampak tertegun. "Apa maksud ucapan kalian bertiga itu?" tanyanya kemudian.

Salah seorang dari Bu Tong Sam Kiam itu tertawa panjang, lalu menyahut. "Kalian menyiarkan berita ke mana-mana, bahwa kotak kayu itu telah dititipkan kepada Lu Sin Kong, tentunya akan membuat para jago terkenal pergi mencarinya! Tapi sesungguhnya, kotak kayu itu justru masih berada di tangan kalian! Ya, kan?"

Ki Hok tertawa. "Kalian bertiga salah! Kotak kayu itu memang benar sudah berada di tangan Lu Sin Kong, siapa pun tahu itu!"

Ketiga orang itu maju selangkah. Mendadak terdengar suara ‘Tring! Tring! Tring’, ternyata mereka telah menghunus pedang masing-masing dan langsung mengurung Ki Hok.

Usia Lu Leng masih muda. Tapi ibunya adalah ahli ilmu pedang, dan mengajarnya ilmu pedang Tiam Cong Pai, bahkan juga menjelaskan ilmu pedang partai lain. Maka ketika menyaksikan cara ketiga orang itu menghunus pedang, Lu Leng sudah tahu bahwa mereka bertiga memiliki ilmu pedang tingkat tinggi.

Setelah terkurung oleh ketiga bilah pedang itu, wajah Ki Hok mulai berubah, namun tetap tersenyum. "Kalian bertiga mengurungku, sebetulnya bermaksud apa?"

Ketiga orang itu tertawa dingin. "Sesungguhnya kau bukan bermarga Ki, melainkan adalah Sun San, Hian Hiang Tongcu dari Hoa San Pai. Kami tidak salah bicara bukan?"

Air muka Ki Hok langsung berubah, tapi hanya sekejap sudah normal kembali seperti semula. "Itu hanya merupakan jabatanku sehari di Hoa San Pai, lalu aku meninggalkan Hoa San. Kalian bertiga dapat mengenaliku, itu membuatku salut sekali!"

Ketiga orang itu tertawa gelak. "Dua belas tongcu dari Hoa San Pai, berkedudukan tinggi dalam rimba persilatan. Sejak kapan kau rela meninggalkan Hoa San, menjadi seorang pengurus rumah?"

Ki Hok menyahut hambar. "Setiap orang punya kemauan sendiri, kalian bertiga tidak perlu banyak bertanya!"

Ketiga orang itu tertawa lagi. "Jangan macam-macam! Yang kau maksudkan majikan itu adalah si Tua Liat Hwe, bukan? Bicaralah!"

Mendengar sampai di sini, Lu Leng semakin yakin bahwa ketiga orang itu adalah Bu Tong Sam Kiam. Sedangkan ketua Hoa San Pai adalah Liat Hwe Cousu, kedudukannya sangat tinggi dalam rimba persilatan. Namun dalam dua puluh tahun ini, beliau tidak begitu gampang menginjakkan kakinya di rimba persilatan. Akan tetapi, nada ucapan ketiga orang itu kedengarannya tidak memandang sebelah mata kepada Liat Hwe Cousu.

Ki Hok menggeleng-gelengkan kepala seraya menyahut. "Kalian bertiga keliru, majikanku bukan Liat Hwe Cousu!"

Salah seorang Bu Tong Sam Kiam bernama Mok Pek Yun. Dia adalah saudara tertua. Ketika dia baru mau bertanya lagi, yang di sampingnya yaitu Mok Cong Hong, saudara kedua sudah tidak sabar lagi. "Kakak, untuk apa banyak bicara dengan dia? Hoa San Pai memang tidak karuan, lebih baik dia kita habiskan dulu!"

Mok Kui Ih, yang bungsu itu menyelak. "Betul. Dia tidak punya majikan, cuma berlagak dan macam-macam saja! Kotak kayu itu pasti menyimpan sesuatu yang amat penting, bagaimana mungkin akan dititipkan kepada orang lain?"

Mok Pek Yun memberi isyarat kepada kedua adik seperguruannya, kemudian berkata kepada Ki Hok. "Kau mendengar itu?"

Ki Hok tertawa hambar. "Kalau kalian bertiga mau turun tangan, aku pun tidak bisa apa-apa. Namun kalau kalian bertiga menjadi pecundang, jangan mempersalahkanku!"

Usai Ki Hok berkata, si kusir mengeluarkan tawa dingin. Di saat itulah Bu Tong Sam Kiam sudah mulai bergerak. Tampak sinar pedang berkelebatan ke arah Ki Hok. Sungguh cepat sekali gerakan ketiga pedang itu! Kemudian ketiga orang itu mundur serentak. Sekujur badan Ki Hok telah terluka oleh ketiga pedang itu, dan darah segarnya pun mengucur. Ki Hok sama sekali tidak berkelit maupun menangkis. Kalau pun dia berkelit atau menangkis, juga percuma karena gerakan ketiga pedang itu amat cepat, lihay dan dahsyat sekali.

Menyaksikan kejadian itu, Lu Leng merasa tidak senang akan tindakan Bu Tong Sam Kiam. Walau dia pernah bergebrak dengan si kusir sehingga badannya tercambuk, namun Ki Hok adalah orang yang sedang dicarinya karena membunuh salah seorang piausu Thian Hou Piau Kiok. Meski pun Bu Tong Sam Kiam telah menyelamatkannya, tapi Lu Leng berjiwa gagah, maka merasa tidak adil mereka bertiga mengeroyok satu orang.

"Tiga lawan satu, itu tidak adil sama sekali. Kalau mau bertarung, satu lawan satu!" serunya lantang.

Bu Tong Sam Kiam berpaling. Mereka menatap Lu Leng dengan penuh kegusaran, sedangkan Ki Hok justru tertawa sambil memandangnya.

"Saudara kecil, terima-kasih atas ucapanmu yang gagah itu! Dengarlah perkataanku, cepat tinggalkan tempat ini!"

Lu Leng sungguh salut terhadap sikap Ki Hok yang begitu tenang, pertanda orang gagah. Lu Leng masih kecil, maka dia tidak tahu sama sekali, bahwa Ki Hok begitu tenang karena tahu akan perkembangan selanjutnya.

Lu Leng menggeleng-gelengkan kepala. "Aku tidak mau pergi."

Ki Hok berpaling ke arah si kusir, lalu memberi isyarat. Si kusir berwajah seram itu langsung tertawa dingin. Mendadak ia mencelat ke atas dari tempat duduknya, berputar di udara kemudian melayang turun.

“Sert! Sert! Sert!” Di saat bersamaan pecut di tangannya telah mengarah Lu Leng.

Sungguh cepat dan indah sekali gerakannya pecut itu. Lu Leng terkejut sekali. Tanpa ayal lagi dia segera meloncat ke belakang. Akan tetapi, ujung pecut kuda itu masih tetap mengarah padanya, sehingga membuat Lu Leng harus meloncat lebih jauh lagi. Tak terasa dia sudah meloncat mundur sekitar dua tiga puluh depa. Di saat bersamaan, sekonyong-konyong si kusir itu melesat pergi, kembali ke tempat duduknya.

Lu Leng menarik nafas lega. Dia bersandar dipohon sambil memandang ke depan. Dilihatnya Bu Tong Sam Kiam masih berdiri di situ mengurung Ki Hok, sedangkan Ki Hok masih berdiri tak bergeming di tempat itu. Dalam hati Lu Leng tahu, si kusir aneh sama sekali tidak bermaksud mencelakai dirinya, melainkan menuruti perintah Ki Hok untuk mendesaknya ke luar dari tempat itu. Seandainya si kusir aneh itu ingin mencelakai dirinya, tidak mungkin pecut kuda itu tidak mengenai badannya.

Kini melihat Ki Hok terkurung di situ, dia bermaksud maju. Di saat bersamaan, mendadak telinganya menangkap suara harpa yang amat halus. Tergerak hati Lu Leng dan teringat dirinya ketika berada di dalam kereta mewah itu, melihat sebuah harpa kuno dan memetik tali senarnya, justru menimbulkan suara yang amat menggetarkan jantung. Kini terdengar suara harpa kuno itu, kedengarannya seperti berasal dari langit, namun Lu Leng tahu suara itu pasti berasal dari dalam kereta mewah. Akan tetapi. Ki Hok telah keluar dari dalam kereta itu, bagaimana mungkin masih ada orang lain di sana?

Lu Leng berpikir sambil memandang. Begitu suara harpa mengalun, Bu Tong Sam Kiam mulai menyerang. Lu Leng amat mengkhawatirkan Ki Hok. Namun setelah diperhatikan dengan seksama, dia justru terheran-heran hingga tak percaya akan pandangannya. Ternyata mereka mengayunkan pedang masing-masing ke arah orang lain, yang ternyata Mok Kui Ih.

"Aaaakh!" Dia menjerit menyayat hati dan nyawanya melayang seketika.

Setelah Mok Kui lh binasa, kedua orang itu mulai bertarung lagi. Berselang sesaat, gerakan pedang mereka mulai melemah. Suara harpa berhenti, kereta mewah itu pun mendadak meluncur pergi. Kedua orang itu masih saling menyerang. Setelah kereta mewah itu hilang ditelan kegelapan, perkelahian mereka barulah berhenti. Walau Lu Leng berada di tempat yang agak jauh, namun dapat melihat kedua bilah pedang itu terlepas dari tangan mereka, kemudian mereka berdua terkulai. Lu Leng tahu bahwa apa yang dilihatnya itu merupakan kejadian yang amat aneh dan besar dalam rimba persilatan.

Ketika melihat kedua orang itu terkulai, dia segera berlari menghampiri mereka. Ternyata mereka berdua telah terluka parah. Dada masing-masing berlobang dan darah segar tak henti-hentinya mengucur dari luka itu.

Di saat bersamaan, tampak kedua orang itu membalikkan badan, lalu memandang Lu Leng seraya berkata, "Sa... sahabat kecil... beritahukan kepada Bu Tong Pai... kami bertiga...." Berkata sampai di situ, mata kedua orang itu mendelik, dan nafasnya pun putus seketika.

Lu Leng termangu-mangu, Bu Tong Sam Kiam amat terkenal dalam rimba persilatan, namun kini malah mati secara mengenaskan di tempat ini. Kalau tidak menyaksikannya dengan mata kepala sendiri, tentu tidak akan percaya apabila orang lain menceritakannya. Sebelum menghembuskan nafas penghabisan, mereka berpesan. Walau pesan itu tidak lengkap, namun Lu Leng tahu, mereka berdua menghendakinya ke Bu Tong Pai mengabarkan tentang kejadian ini.

Lu Leng berdiri termangu-mangu dekat ketiga sosok mayat itu, kemudian membatin. Karena pesan itu mau tidak mau dia harus pergi ke Bu Tong Pai. Namun tidak bisa membiarkan mayat-mayat itu tergeletak di situ, harus dikubur. Oleh karena itu, dengan sebilah pedang mulailah dia menggali sebuah lobang besar. Di saat bersamaan, justru terdengar suara derap kaki kuda menuju ke tempat itu, lalu berhenti.

Lu Leng berpaling. Dilihatnya seorang lelaki meloncat turun dari kuda, lalu menghambur mendekati mayat-mayat itu. Setelah melihat sejenak ketiga sosok mayat itu, dia mendadak menerjang ke arah Lu Leng seraya membentak.

"Bangsat! Cara bagaimana kau melukai ketiga paman guruku?" usai membentak, lelaki itu mengayunkan goloknya menyerang Lu Leng.

Lu Leng gusar tapi juga ingin tertawa. Bu Tong Pai tergolong salah satu partai besar dalam rimba persilatan, namun punya murid yang begitu tak becus berpikir. Dia menangkis dengan golok pendeknya, mengeluarkan jurus Siang Hong Cak Yun (Sepasang Puncak Menembus Awan).

"Trang!" Suara kedua senjata itu beradu.

Golok pendek milik Lu Leng dibuat dari baja murni. Walau tidak tergolong golok pusaka, namun golok itu amat tajam. Tangkisan Lu Leng membuat lelaki tersebut terhuyung-huyung ke belakang bahkan goloknya telah somplak.

Setelah dapat berdiri, lelaki itu langsung membentak. "Bangsat kecil, siapa kau?"

"Namaku Lu Leng!"

“Lu Leng?” Laki-laki tertegun, sebab sama sekali tidak pernah mendengar nama tersebut. "Siapa orangtuamu?" tanyanya lagi.

"Thian Hou Lu Sin Kong!" Lu Leng memberitahukan.

"Hah?" Lelaki itu tampak terkejut dan mendadak meloncat ke punggung kudanya seraya berseru, "Ternyata Lu Sin Kong bangsat tua itu yang membunuh ketiga paman guruku!"

Usai berseru, dia memacu kudanya. Hati Lu Leng tersentak. Kalau tidak menjelaskan padanya, Bu Tong Pai pasti akan salah paham terhadap ayahnya. Oleh karena itu, dia melesat pergi mengejar lelaki itu, dan berhasil meraih ekor kudanya.

Lu Leng berteriak-teriak. "Bu Tong Sam Kiam saling membunuh! Mereka bertiga saling membunuh!"

Lelaki itu mengayunkan goloknya. Terdengar suara ‘Sert’, ekor itu telah putus.

Lu Leng terjatuh, tapi masih sempat berteriak-teriak. "Bu Tong Sam Kiam...!"

"Omong kosong!" sahut lelaki itu lantang. "Suruh bangsat tua itu tunggu, Bu Tong Pai pasti mencarinya!"

Lu Leng meloncat bangun, tapi kuda itu sudah jauh sekali, tidak mungkin dapat mengejarnya. Lelaki itu memanggil Bu Tong Sam Kiam sebagai ‘Paman Guru’, tentunya dia murid tingkat rendah. Tapi dia begitu pulang ke Bu Tong Pai, sudah pasti akan menceritakan yang bukan-bukan.

Lu Leng menyesal sekali, karena telah membocorkan identitas dirinya. Setelah termangu-mangu sejenak, barulah dia mengubur mayat Bu Tong Sam Kiam. Setelah itu Lu Leng berpikir, akhirnya dia memutuskan untuk pulang ke rumah dulu. Saat itu sudah tengah malam, Lu Leng terus melesat ke arah kota Lam Cong. Tak seberapa lama kemudian mendadak di hadapannya tampak beberapa orang, ada yang tinggi dan pendek. Mereka berdiri di tengah-tengah jalan, tak bergerak sama sekali.

Malam ini, Lu Leng telah mengalami begitu banyak kejadian aneh yang menegangkan. Ketika melihat ada orang, hatinya pun tersentak. Ketika dia baru mau memperhatikan orang-orang itu, tiba-tiba ada suatu benda meluncur ke arahnya. Lu Leng tahu adanya gelagat tidak baik. Dia langsung mengayunkan golok pendeknya untuk menangkis. Namun benda itu amat lembut sekali, tidak mempan dibacok dan Lu Leng pun merasa matanya gelap, ternyata benda itu telah menutupi dirinya.

Betapa gusarnya Lu Leng, dia langsung membentak-bentak. "Sobat dari mana, kenapa melakukan serangan gelap?!"

Terdengar suara tawa dingin dan terkekeh-kekeh. Suara tawa itu bernada seperti menangis dan sungguh tak sedap didengar.

"Sampai waktunya, kau akan tahu sendiri, sabarlah sedikit!"

Lu Leng bertambah gusar. Dia merasa dirinya terjaring oleh jala, maka dia meronta-ronta. Tapi kemudian, dia merasa kesemutan, ternyata salah satu jalan darahnya telah tertotok.

"Kini bocah ini sudah jatuh di tangan kita. Ayahnya pasti akan menyerahkan kotak kayu itu kepada kita!" kata salah seorang dari mereka.

"Tentu! Namun berdasarkan maksud Kauwcu, alangkah baiknya terlebih dahulu kita mengantar bocah ini ke Istana Setan Pak Bong San, barulah membuat rencana." sahut yang lain.

Beberapa orang segera mengangguk. "Tidak salah!"

Lu Leng merasa badannya terangkat ke atas, lalu dibawa pergi. Gelap gulita di dalam jala itu, sama sekali tidak dapat membedakan Timur, Barat, Utara maupun Selatan, juga tidak tahu siapa mereka. Dia hanya mendengar Pak Bong San, dan itu membuatnya tertegun, sebab di Pak Bong San terdapat golongan sesat, Istana Setan merupakan tempat tinggal si Datuk Setan-Seng Ling.

Beberapa saat kemudian, Lu Leng merasa agak terang di luar. Dia tahu bahwa saat itu hari sudah terang. Dia mulai menghimpun hawa murni, namun tiada gunanya sama sekali, maka dia pasrah. Hingga malam, dia mendapatkan bahwa dirinya masih dalam perjalanan.

Tiba-tiba terdengar salah seorang diri mereka berkata, "Jangan sampai bocah ini mati kelaparan, buka saja totokan itu!"

"Tapi...," sahut salah seorang lainnya ragu-ragu.

"Jangan khawatir, dia berada di dalam jala pusakaku, tidak mungkin bisa melarikan diri. Buka saja totokan itu!" kata salah seorang yang lainnya lagi sambil tertawa.

Lu Leng bergirang dalam hati. Di saat bersamaan, dia pun merasa punggungnya ditepuk orang. Seketika itu juga sekujur badannya menjadi ringan dan dapat bergerak, sehingga membuatnya meronta-ronta ingin ke luar dari jala tersebut.

Terdengar orang berkata. "Bocah, jangan terus meronta, sebab sama juga mencari penyakit!"

Lu Leng berpikir, percuma dia meronta-ronta, karena tak dapat lolos dari jala pusaka itu, lebih baik pasrah dan terserah mereka mau membawanya ke mana. Tak beberapa lama, justru ada makanan kering masuk ke dalam jala pusaka itu, entah dimasukkan dari mana. Lu Leng memang sudah lapar, maka langsung menyantap makanan kering itu dengan lahap sekali. Setelah kenyang, dia memejamkan mata untuk tidur.

Hari berikutnya ketika Lu Leng merasa haus, jala itu dicemplungkan ke sungai. Sesudah dia puas minum, jala itu diangkat. Kini dia sama sekali tidak tahu dirinya berada di mana, hanya tampak agak terang di luar, pertanda hari sudah siang. Kalau gelap berarti hari sudah malam, tak terasa sudah melakukan perjalanan empat hari lamanya. Dalam waktu empat hari itu, Lu Leng sama sekali tidak tahu dirinya jatuh ke tangan siapa, juga tidak tahu dirinya akan dibawa ke mana. Empat hari lalu dia dijaring ke dalam jala itu, dan sejak itu pula dirinya seperti dipisahkan dengan dunia. Dia hanya tahu, bahwa yang membawanya tidak hanya satu orang, melainkan beberapa orang. Akan tetapi, dalam perjalanan mereka sama sekali tidak pernah berbicara, maka Lu Leng tidak tahu identitas mereka.

Dia pun merasa, kadang-kadang berada di dalam kereta, di punggung kuda, melalui rimba, lembah dan jalan yang berliku-liku. Suatu kali dia pun merasa bergoyang-goyang, ternyata berada di dalam perahu. Lu Leng yang berada di dalam jala hanya bisa pasrah, tidak dapat berbuat apa-apa.

Pada sore di hari keempat, mendadak Lu Leng merasa berhenti. Di saat bersamaan, terdengar suara menderu-deru, yaitu suara angin yang amat menusuk telinga. Lu Leng tahu, mungkin akan terjadi suatu perubahan. Maka, dia terus pasang kuping untuk mendengar penuh perhatian. Mendadak di depan mata, muncul sedikit cahaya, sepertinya cahaya obor, bukan cahaya mentari. Walau ada sedikit cahaya di depan matanya, namun Lu Leng sama sekali tidak bisa melihat apa pun. Tak seberapa lama kemudian, terdengar suara lonceng yang amat nyaring memekakkan telinga.

"Tang! Tang! Tang!"

Lu Leng tidak tahu apa yang terjadi. Berselang sesaat, terdengar suara ‘Ser, Ser’, dia diangkat orang lagi menuju depan. Di depan mata menjadi gelap kembali, terasa angin dingin menerpa-nerpa, dan kemudian terdengar suara batuk. Merasakan suasana yang meremangkan bulu roma di sekitar tempat itu, Lu Leng dapat menerka bahwa dirinya berada di dalam sebuah goa. Di dalam goa itu terdengar suara batuk. Kedengarannya memang aneh dan menyeramkan, bahkan membuat Lu Leng merinding, juga merasa tegang.

Tak lama kemudian Lu Leng merasa dirinya ditaruh ke bawah, lalu mendengar suara langkah meninggalkannya. Lu Leng tahu, bahwa kini dirinya mereka tinggalkan seorang diri. Itu membuatnya merasa takut, cemas dan gelisah. Maklum! Usia Lu Leng masih kecil, tentunya punya perasaan takut. Oleh karena itu, dia berusaha bangkit berdiri. Mendadak jala itu terbuka sendiri. Dapat dibayangkan, betapa gembiranya hati Lu Leng.

Namun dia merasa heran, kenapa orang-orang itu membawanya ke tempat itu, lalu meninggalkannya begitu saja? Kini Lu Leng telah bebas, tentunya dapat melihat, sebetulnya tempat apa ini. Dia berusaha menenangkan hatinya. Kemudian digenggamnya golok pendek yang diselipkan di pinggangnya. Dia mulai menengok ke sana ke mari, tapi tidak dapat melihat apa pun, karena tempat itu gelap gulita. Dia hanya dapat merasakan adanya angin dingin yang menerpa-nerpa wajahnya.

Lu Leng berteriak beberapa kali, namun tiada sahutan sama sekali, hanya terdengar suaranya sendiri yang berkumandang. Dapat diketahui bahwa dirinya berada di dalam sebuah goa. Beberapa saat kemudian matanya perlahan-lahan dapat melihat dalam kegelapan itu. Dia telah melihat sesuatu, dan itu membuat keringat dinginnya langsung mengucur. Bahkan dia lalu berdiri mematung, tak berani bergerak sama sekali.

Ternyata entah berapa banyak orang tinggi dan pendek berdiri di sekitarnya. Padahal sebelumnya, Lu Leng mengira bahwa dirinya berada di dalam goa itu seorang diri, maka dia merasa takut. Kini dia melihat begitu banyak orang berdiri di sisinya, bukannya menjadi berani, tapi sebaliknya malah bertambah takut. Seketika itu juga hatinya terasa dingin, dan sekujur badannya menjadi lemas, sehingga membuatnya nyaris tak kuat menggenggam golok pendeknya. Tak berapa lama, barulah hatinya merasa agak tenang. Kemudian mendadak dia memekik keras sambil mengayunkan golok pendeknya.

“Serrr!” Dikeluarkannya jurus Heng Hong Sin Ih (Angin Melintang Hujan Miring) untuk menyerang orang-orang itu.

Lu Sin Kong ahli ilmu golok, sudah barang tentu, Lu Leng pun mahir ilmu golok. Maka, serangannya itu amat lihay dan dahsyat. Akan tetapi, dia tidak melihat orang-orang itu bergerak, juga tidak berkelit sama sekali. Golok pendeknya berhasil membacok orang itu.

“Traang!”

Bersamaan dengan terdengarnya suara itu, terpercik juga bunga-bunga api sehingga membuat tempat itu agak terang. Lu Leng pun segera melihat.

"Hah?" Dia menjerit kaget dan golok pendeknya terlepas dari tangannya. Kemudian dia menutup mukanya sambil menjerit-jerit. "Ayah! Ibu!"

Badannya termundur beberapa langkah, menubruk sosok yang berdiri di belakangnya. Cepat-cepat Lu Leng membungkukkan badannya untuk menyambar golok pendek itu, tetapi dia justru sudah tiada keberanian untuk bangun lagi.

Ternyata ketika golok pendeknya membacok mengeluarkan suara dan mengeluarkan percikan bunga api, itu membuat Lu Leng terkejut bukan main. Karena dia tahu, kalau golok pendeknya tidak membacok batu, tentunya tidak akan begitu kejadiannya. Berarti yang berdiri di sekitarnya itu semuanya patung batu, maka tidak perlu ditakuti. Namun ketika terjadi percikan bunga api, dia melihat wajah-wajah yang menyeramkan. Wajah-wajah itu bukan wajah patung batu, melainkan wajah manusia. Bagaimana menakutkan wajah-wajah itu, sesaat itu sulit diuraikan dengan kata-kata, sehingga membuatnya merinding dan tanpa sadar dia pun menjerit ketakutan memanggil kedua orangtuanya.

Lu Leng telah menggenggam golok pendeknya, tapi posisinya tetap jongkok di tempat itu, sama sekali tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Di saat itulah, terdengar suara tawa dingin berasal dari empat penjuru, bahkan kedengaran amat jauh, juga seakan ke luar dari mulut orang yang berwajah menyeramkan tadi.

Lama sekali barulah Lu Leng berdiri tegak, kemudian bertanya. "Si... siapa kau?"

Tiada sahutan, namun suara tawa dingin itu masih terdengar. Sesaat kemudian suara tawa itu berhenti, dan dalam waktu yang bersamaan tiba-tiba di depan matanya muncul seberkas sinar terang. Perlahan-lahan dia mendongakkan kepala, memandang ke depan. Dia tertegun, ternyata di hadapannya, sejauh lima depaan terdapat cahaya lampu berbentuk bulat bergoyang-goyang di tengah udara. Cahaya Iampu itu kehijau-hijauan, mirip api setan, sehingga membuat Lu Leng menjadi merinding. Katakanlah itu api setan, namun telah menerangi tempat itu, maka Lu Leng dapat melihat jelas keadaan di sekitarnya dan di mana dia berada.

Memang tidak salah, ternyata dia berada di dalam sebuah goa, tersorot oleh cahaya lampu itu, sehingga dinding-dinding goa memantulkan sinar remang-remang. Akan tetapi, goa itu telah kosong. Orang-orang berwajah menyeramkan yang berdiri di tempat itu tadi, kini telah menghilang entah ke mana. Lu Leng mengerutkan kening, apa yang dilihatnya tadi mungkinkah hanya merupakan halusinasinya?

Tapi dia segera tahu bahwa itu bukan halusinasi, sebab apa yang terjadi tadi masih terasa dalam benaknya. Apabila itu hanya merupakan suatu halusinasi, tentunya tidak akan merasa begitu. Lu Leng berusaha menenangkan hatinya, kemudian berpikir. Sebelumnya terdengar suara batuk, kemudian suara tawa dingin, itu pertanda ada orang di tempat itu. Kalau dia terus ketakutan, bukankah akan ditertawakan orang?

Berpikir sampai di situ rasa takutnya berkurang, kemudian dia berteriak sekeras-kerasnya. "Tempat apa ini? Kenapa kalian membawaku ke mari? Ayo! Cepat lepaskan aku!"

Setelah Lu Leng berteriak berulang kali, barulah terdengar suara tawa dingin yang amat
menyeramkan. Bersamaan itu, cahaya lampu yang bergantung di tengah udara pun mulai menari. Sesungguhnya Lu Leng sudah merasa heran, bagaimana mungkin cahaya lampu itu bisa bergantung di tengah udara. Kini dia bertambah heran dan terkejut, karena cahaya lampu itu menari-nari.

Tak seberapa lama, suara tawa dingin itu berhenti, namun kemudian disusul oleh suara orang bernada parau. "Kaukah Lu Leng?"

Suara itu mengalun, cahaya lampu itu pun menari lebih cepat. Cahaya lampu itu menerangi goa itu, tapi Lu Leng tidak melihat apa pun. Suara itu kedengarannya seperti berasal dari cahaya lampu tersebut. Cahaya lampu bisa berbicara, itu memang tak masuk akal dan amat aneh. Lu Leng telah mengalami berbagai macam kejadian aneh, maka tidak merasa aneh lagi tentang itu.

"Tidak salah!" sahut Lu Leng. "Aku Lu Leng, siapa kau?"

Terdengar suara tawa dingin lagi, lalu menyusul suara sahutan. "Siapa aku, bukankah kau sudah melihatnya? Kenapa masih bertanya?"

Lu Leng mendengarkan dengan penuh perhatian, namun tetap tidak dapat memastikan, suara itu berasal dari mana. Tapi nadanya kedengaran bahwa yang berbicara itu adalah cahaya lampu tersebut. Lu Leng tidak merasa takut, sebaliknya malah merasa amat gusar.

"Apa maksudmu menyamar sebagai setan?"

Terdengar suara tawa gelak. "Ha ha! Lu Leng, tahukah kau, nyawamu telah berada di telapak tanganku?"

Lu Leng langsung membentak. "Kentut! Kenapa kau tidak berani memunculkan diri bertarung denganku?"

Terdengar suara sahutan. "Kepandaianku sudah mencapai tingkat tertinggi, kau tidak dapat melihat diriku, bahkan kau pun tidak tahu jejakku! Cobalah kau pikir, apakah kau lawanku? Lagi-pula tadi aku telah berubah seribu macam, kau sama sekali tidak tahu!"

Walau usia Lu Leng masih kecil, tapi tidak mudah dibohongi seperti anak sebayanya. Dia tahu, bahwa orang yang bersuara itu memang berkepandaian amat tinggi. Namun orang itu bisa berubah seribu macam? Itu omong kosong belaka, Lu Leng tidak mempercayainya.

Dia tertawa dingin, kemudian berkata, "Kau tidak perlu omong yang bukan-bukan, aku tidak akan percaya!"

Hening sejenak suasana tempat itu. Kemudian terdengar suara tawa dingin lagi. "Aku mau bertanya, inginkah kau meninggalkan goa ini berkumpul kembali dengan kedua orang-tuamu?"

Lu Leng segera menyahut. "Tentu, cepatlah lepaskan aku!"

"Itu tidak sedemikian gampang!" Suara itu mengalun lagi. "Kau harus mengabulkan satu hal, barulah kulepaskan!"

Ketika bercakap-cakap dengan orang yang tak kelihatan itu, Lu Leng memperhatikan keadaan di sekitarnya. Selain apa yang dilihatnya tadi, di dalam goa itu tidak tampak apa pun, juga tidak terlihat tempat aneh. Namun itu malah amat menyeramkan, mungkin dikarenakan ada angin dingin berhembus-hembus di tempat itu. Yang lebih aneh lagi adalah cahaya lampu itu, masih tak henti-hentinya menari-nari di tengah udara.

Kini nyali Lu Leng sudah bertambah besar, maka dia segera bertanya. "Hal apa? Katakanlah!"

Terdengar suara sahutan. "Kedua orang-tuamu...."

Lu Leng tidak menunggu suara itu berlanjut. Mendadak dia melesat ke arah cahaya lampu. Diayunkannya golok pendeknya mengeluarkan jurus ‘Meteor Mengejar Bulan’ untuk menyerang cahaya lampu itu. Ternyata dalam hatinya telah mengambil suatu keputusan, harus tahu jelas kenapa cahaya lampu itu terus menari-nari.

Suara itu berhenti dan di saat golok pendek itu hampir menyentuh cahaya lampu tersebut, tiba-tiba cahaya lampu itu meluncur ke atas, lalu berhenti di langit-langit goa. Setelah itu, suara tadi terdengar lagi.

"Bocah busuk, kau ingin melawanku, bukankah berarti kau bermimpi di siang hari bolong?"

Lu Leng segera berhenti lalu mendongakkan kepalanya. Tinggi goa itu hampir tiga empat depa, karena merasa ginkangnya tidak bisa mencapai langit-langit goa, maka dia berteriak. "Aku benci cahaya lampu itu! Kau boleh melanjutkan!" Sembari berkata, otaknya terus berputar untuk mencari ide yang bagus.

Terdengar suara itu melanjutkan. "Belum lama ini, kedua orang-tuamu menerima suatu titipan yang harus diantar ke Su Cou! Tentang itu, kau sudah tahu, bukan?"

Mendengar itu, hati Lu Leng tergerak. "Kalau aku tahu lalu kenapa?"

"Ada baiknya kau tahu!" sahut orang yang tak kelihatan itu. "Aku punya sepucuk surat, kau harus sampaikan kepada kedua orang-tuamu! Setelah meninggalkan tempat ini, kau harus segera pergi mencari kedua orang-tuamu! Sebelum mereka tiba di Su Cou, surat ini sudah harus disampaikan kepada mereka! Kalau tidak, kau pasti mati!"

Lu Leng menyahut. "Itu bagaimana mungkin? Kini diriku berada di mana aku sama sekali tidak tahu. Kedua orang-tuaku berangkat dari rumah, tentunya lebih cepat tiba di Su Cou, tidak mungkin aku dapat menyusul mereka!"

Terdengar suara tawa gelak. "Hahaha! Kau tidak perlu cemas! Dalam beberapa hari ini, kau terus melakukan perjalanan, dan kini sudah berada di sekitar Su Cou! Asal kau ke luar dari goa ini, sudah berada di luar kota Su Cou, kau boleh menunggu kedua orang-tuamu!"

Lu Leng tertegun, hanya terdengar suara tidak kelihatan orangnya. Di dalam goa ini hanya terdapat cahaya Lampu dan dirinya sendiri, entah bersembunyi di mana orang itu. Suaranya agak bergema, pertanda dia berada di dalam goa ini. Kenapa tidak mau mengabulkan syaratnya itu? Setelah menerima surat tersebut, Bukankah dia akan melihat orang itu? Lagi-pula asal bisa meninggalkan goa ini, setelah bertemu kedua orang-tuanya, biar kedua orang-tuanya yang mengambil keputusan.

Berpikir sampai di sini, Lu Leng manggut-manggut seraya berkata, "Baik, aku setuju! Di mana surat itu, cepat serahkan kepadaku!"

Terdengar suara itu lagi. "Bocah, ketika kau memasuki goa ini, tubuhmu telah terkena racun! Kalau kau berani macam-macam, pasti akan tersiksa!"

Lu Leng tidak sabaran. "Di mana surat itu?"

"Kenapa kau tidak sabaran?" terdengar suara sahutan.

Lu Leng menganggap, orang itu akan menyerahkan surat kepadanya, tentunya harus memunculkan diri. Akan tetapi, mendadak melayang sebuah amplop merah, kemudian jatuh di hadapannya. Lu Leng tertegun. Di saat bersamaan suara itu mengalun.

"Cepat ambil surat itu, dan ikuti cahaya lampu!"

Dari awal hingga kini, Lu Leng tetap tidak tahu siapa yang membawanya ke mari, juga tidak tahu siapa orang yang berbicara dengannya. Apa boleh buat, dia harus menuruti perkataan orang itu, segera memungut surat tersebut. Tampak cahaya lampu itu merosot ke bawah, kemudian bergerak ke depan. Lu Leng cepat-cepat mengikuti cahaya lampu itu. Tampak cahaya lampu itu menikung ke sana ke mari, tak seberapa lama kemudian sudah tampak sebuah pintu besi. Lu Leng tidak perlu membukanya, karena pintu besi itu sudah terbuka sendiri. Di saat bersamaan, cahaya lampu itu padam seketika.

Di dalam goa itu, Lu Leng mengalami beberapa keanehan. Walau dirinya tidak mengalami kecelakaan, namun suara itu mengatakan bahwa dirinya telah terkena racun ketika memasuki goa itu. Benar atau tidak, Lu Leng tidak mengetahuinya. Yang jelas kini sudah ada jalan ke luar, itu membuatnya girang sekali. Dia langsung melesat ke luar melalui pintu besi itu. Tak seberapa lama setelah Lu Leng ke luar dari pintu besi tersebut, mendadak terdengar suara keras.

"Blaaam!" ternyata pintu besi itu telah tertutup kembali.

Lu Leng tertegun, lalu dia berpaling ke belakang. Seketika dia terbelalak sebab yang dianggapnya sebagai pintu besi itu, ternyata sebuah batu yang menonjol, dan di situ tampak juga pepohonan. Dia mendongakkan kepala, ternyata dirinya berada di tengah-tengah gunung. Puncak gunung itu tidak begitu tinggi, dan di sana terdapat sebuah jalanan kecil.

Menyaksikan semua itu, Lu Leng bergumam. "Apakah aku berada dalam mimpi?"

Dia bergumam di tempat yang amat sepi, justru tak tersangka sama sekali, mendadak terdengar suara sahutan. "Kau tidak berada dalam mimpi!"

Tanpa menoleh, Lu Leng langsung mengayunkan golok pendeknya ke belakang.

“Serrr!”

Kemudian tak bersuara lagi, sepertinya golok pendeknya telah ditangkap orang. Lu Leng tersentak kaget dan segera menoleh. Dugaannya tidak meleset. Tampak seorang berbadan tinggi besar, mukanya ditutupi kain hitam, terlihat pula jarinya menjepit golok pendek itu. Bukan main terkejutnya Lu Leng.

Orang itu pun berkata. "Jangan takut, aku tidak akan mencelakaimu! Berdasarkan ilmu silatmu itu, bagaimana mungkin kau dapat melawanku?"

Suaranya agak lembut, membuat Lu Leng berlega hati. Tapi dia juga merasa heran, karena baru ke luar dari goa itu justru berjumpa orang tersebut di tempat ini.

"Kau... kau adalah orang tadi yang berbicara denganku di dalam goa?"

Orang itu tertawa. "Tentu bukan. Aku bermarga Tam, kau boleh memanggilku paman Tam."

"Paman Tam kenal kedua orang-tuaku?" tanya Lu Leng.

Orang yang memakai kain penutup muka itu menggeleng-gelengkan kepala. "Aku tidak kenal kedua orang-tuamu." sahutnya.

"Oh ya! Apakah paman Tam pernah memasuki goa itu? Kalau aku tidak berada dalam mimpi, bagaimana mungkin pintu besi itu bisa hilang setelah aku ke luar?"

"Kalau diberitahukan, itu tidak akan aneh lagi. Di luar pintu besi itu terdapat sebuah batu. Setelah pintu besi itu tertutup kembali, otomatis tidak kelihatan lagi." sahut orang itu.

Lu Leng manggut-manggut. "Oooh! Ternyata begitu! Paman Tam, ketika aku berada di dalam goa, mula-mula aku melihat begitu banyak orang berdiri di situ, tapi kemudian kenapa tidak tampak satu pun?"

Orang itu menghela nafas. "Aku tidak begitu jelas tentang itu, namun yang pasti apa yang kau lihat di dalam goa itu, bukanlah setan iblis." sahutnya.

Lu Leng tertawa. "Aku tentu tidak percaya kalau itu setan iblis. Kalau benar itu setan iblis, bagaimana mungkin akan menitipkan sepucuk surat untuk ayahku?"

Orang itu menatap Lu Leng dalam-dalam, lama sekali barulah bersuara. "Kau memang berani dan bernyali. Apa yang kau lihat di dalam goa itu, sama sekali tidak membuatmu takut. Aku kagum kepadamu."

Pujian itu membuat wajah Lu Leng kemerah-merahan, karena ketika berada di dalam goa itu, dia justru merasa takut setengah mati.

Orang itu berkata lagi. "Aku memang kenal dia. Tapi aku justru tidak bisa memberitahukan siapa orang itu. Bolehkah kau berikan padaku surat itu?"

Lu Leng mengerutkan kening. "Paman Tam...."

Orang itu tertawa. "Legakanlah hatimu, aku sudah bilang tadi, tidak akan mencelakai dirimu. Kalau aku mau mencelakaimu, bukankah aku bisa merebut surat itu? Asal kau berikan surat itu kepadaku, tentunya bermanfaat bagi kedua orang-tuamu."

Hati Lu Leng tergerak. "Bagaimana kedua orang-tuaku sekarang?"

Orang itu menyahut. "Mereka berdua sudah meninggalkan Lam Cong, namun sepanjang jalan banyak orang mencari mereka, maka perjalanan mereka menjadi terhambat. Aku harus pergi memberitahu mereka, bahwa bencana sudah menjelang datang."

Lu Leng tertegun mendengar ucapan orang itu. "Kedua orang-tuaku akan menghadapi bencana?" Kemudian Lu Leng menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak mungkin, sebab kepandaian kedua orang-tuaku amat tinggi, bagaimana mungkin akan menghadapi bencana?"

Orang itu menghela nafas panjang, lalu menepuk bahu Lu Leng seraya berkata. "Usiamu masih kecil, maka tidak tahu. Kali ini yang terseret ke dalam urusan itu, rata-rata merupakan kaum rimba persilatan yang berkepandaian tinggi sekali. Kalau kedua orang-tuamu tidak mundur sekarang, pasti mereka akan celaka."

Lu Leng amat cerdas. Setelah bercakap-cakap dengan orang itu, dia tahu bahwa orang itu berhati bajik, bukan orang jahat. "Paman Tam, urusan itu apakah mengenai barang titipan orang, yang harus diantar ke Su Cou?"

Orang itu manggut-manggut. "Tidak salah, memang urusan itu. Aaaah! Kedua orang-tuamu demi menjaga reputasi. Kalau tidak, bagaimana mungkin akan diperalat orang menempuh bahaya?"

Lu Leng sudah mulai tahu akan awal dari urusan itu, namun justru merasa heran. "Paman Tam, sebetulnya urusan apa itu? Bolehkah aku tahu?"

"Saat ini, aku pun tidak begitu jelas. Tapi aku percaya urusan itu pasti akan jernih." sahut orang itu.

Setelah mendengar ucapan itu Lu Leng tidak banyak bertanya lagi.

"Lu Leng, serahkan dulu surat itu kepadaku!" kata orang itu lagi.

Lu Leng berpikir sejenak, kemudian menyerahkan surat itu kepada orang tersebut. Setelah menerima surat itu, orang tersebut melambaikan tangannya.

"Mari kita baca bersama!" katanya sambil mengeluarkan surat itu dari amplopnya.

Lu Leng mendekatinya, lalu ikut membaca. Surat itu berbunyi demikian:

'Lu Cong Piau Tau :
Kali ini kau mendapat titipan dari orang. Berdasarkan reputasimu, tentunya aku tidak berani bertindak sembarangan. Tapi kini, putramu telah terkena racun. Di kolong langit ini, hanya aku seorang yang dapat memunahkan racun itu. Kalau kau tidak menyerahkan barang itu kepada putramu, agar dibawa kemari, nyawa putramu pasti melayang. Harap pikirkan baik-baik!'

Di dalam surat itu tidak tertera nama penulisnya. Seusai membaca surat itu, Lu Leng termangu-mangu, lama sekali barulah membuka mulut. "Paman Tam, sungguhkah aku telah terkena racun?"

Orang itu menggelengkan kepala. "Tentu tidak, sebab aku tahu hatinya tidak jahat, tidak akan mencelakai orang," jawabnya.

Usai berkata, orang itu menghela nafas panjang seraya bergumam. "Kukira dia tidak berambisi sama sekali. Tidak tahunya dia justru ingin ke luar melakukan sesuatu."

Lu Leng tertegun memandangnya. "Paman Tam, siapa dia?"

Orang itu menghela nafas panjang. "Aaaah! Surat ini tidak perlu kau berikan kepada kedua orang-tuamu."

Lu Leng segera bertanya. "Kalau begitu, aku sungguh tidak akan mengalami sesuatu yang diluar dugaan?"

Orang itu tertawa. "Legakanlah hatimu. Bagaimana mungkin aku akan membohongimu? Kau ikut aku! Aku akan mengajakmu menemui kedua orang-tuamu."

Betapa girangnya Lu Leng. "Oh? Kedua orang-tuaku berada di sekitar sini?" tanyanya.

"Tidak salah. Mari ikut aku!"

Orang itu menjulurkan tangannya untuk menarik Lu Leng, lalu meninggalkan tempat itu. Begitu orang itu menariknya, seketika juga Lu Leng mendengar suara yang menderu-deru melewati telinganya. Ternyata orang itu menggunakan ginkang. Berselang beberapa saat kemudian, orang itu mendadak berhenti, dan mengeluarkan suara bernada heran.

"Eh?" Kemudian berkata. "Kau tunggu di sini, jangan sekali-kali mengeluarkan suara, juga tidak boleh bergerak sembarangan!"

Lu Leng tahu orang yang memakai kain penutup muka itu, merupakan orang tingkatan tua dalam rimba persilatan, maka dia amat mempercayainya. Karena itu dia segera bersandar di sebuah pohon. Tampak orang itu melesat ke depan, ternyata di depan sana berdiri dua orang berpakaian aneh, memakan topi tinggi lancip. Kedua orang itu ternyata si Setan Hitam dan si Setan Putih, anak buah si Setan-Seng Ling.

Berarti saat itu, Lu Leng dan kedua orang-tuanya cuma terpaut setengah mil. Sayang sekali, Lu Leng tidak tahu tentang itu. Begitu pula kedua orang-tuanya, juga tidak tahu akan hal tersebut. Sementara Lu Leng tetap berdiri diam di bawah pohon, tidak berani bergerak sama sekali. Tak seberapa lama kemudian, mendadak terdengar suara siulan dari goa itu, tiga kali siulan panjang dan dua kali siulan pendek. Sebelum suara siulan itu lenyap, Lu Leng sudah melihat sosok bayangan berkelebat begitu cepat ke arahnya.

Begitu sampai di hadapan Lu Leng, bayangan itu pun berhenti seraya berkata. "Cepat! Kau cepat pergi! Cepat! Cepat!"

Nada suara itu begitu gugup, membuat Lu Leng terheran-heran. "Paman Tam tidak mau pergi menemui kedua orang-tuaku?"

Orang itu menyahut. "Sementara ini tidak perlu, cepatlah kau pergi ke Su Cou seorang diri, dan sampai di Su Cou kau tidak usah ke mana-mana! Malam harinya, kau ke Hou Yok dan bersembunyilah di balik sebuah batu! Kalau melihat seorang gadis muncul di sana, dia adalah putriku bernama Tam Goat Hua. Beritahukan kepadanya, bahwa aku yang menyuruhmu ke sana menunggunya! Dia pasti akan mengatur segalanya untukmu. Jangan membuang waktu di tengah jalan, cepatlah pergi!"

Usai berpesan demikian, orang itu melesat pergi tanpa menghiraukan Lu Leng lagi. Namun Lu Leng tahu, itu amat penting, sebab nada suara orang itu kedengaran tak begitu tenang. Maka Lu Leng tidak membuang waktu lagi langsung melesat pergi menuju Selatan. Tak seberapa lama kemudian, Lu Leng mendadak berhenti. Ternyata dia teringat apa yang dikatakan orang itu, bahwa kedua orang-tuanya berada di sekitar tempat itu. Mungkin mereka juga sedang menuju Su Cou. Itu berarti sejalan. Kenapa tidak meninggalkan surat, agar kedua orang-tuanya tahu dirinya sedang menuju Su Cou?

Dengan adanya pikiran itu, maka Lu Leng mengeluarkan selembar kertas, lalu membakar sebatang ranting. Setelah itu, dia menulis dengan ranting yang hangus itu berbunyi demikian.

'Ayah, ibu!
Aku ke Su Cou, harap tidak mencemaskan ananda.
Sembah sujud Lu Leng'

Usai menulis, dia memanjat sebuah pohon, kemudian mengambil golok pendeknya untuk menancapkan surat itu di pohon tersebut. Begitulah terus dia melanjutkan perjalanannya perlahan-lahan dan memasuki bukit Hou Yok. Tak berapa lama kemudian Lu Leng sudah sampai di sekitar Telaga Pedang dan seperti saran paman Tam ia kemudian menunggu seorang gadis yang bermarga Tam dan kemudian telah salah mengenali ialah Han Giok Shia yang ia temui disisi sebuah batu itu. Cerita selanjutnya telah diuraikan didepan. Kini kita kembali dimana Lu Leng diselamatkan oleh ketujuh orang aneh itu.

Sesaat terdengar suara beberapa orang dari arah luar kapal. Si Gendut mendengar ini, kemudian ke luar kapal, dan tampaknya dia tengah bercakap-cakap dengan beberapa orang di luar kapal yang tak lain ialah enam orang rekannya yang lain. Ketujuh orang itu mulai bersenandung sambil tertawa gembira. Tak seberapa lama kemudian, si Gendut masuk ke perahu dengan membawa semangkok obat untuk Lu Leng.

Setelah minum obat itu, Lu Leng segera duduk bersila untuk menghimpun hawa murninya. Entah berapa lama, ketika dia membuka matanya, tampak permukaan telaga itu memerah, ternyata hari telah senja. Lu Leng memandang ke luar. Tampak mereka bertujuh duduk di darat, kelihatannya seperti ada suatu urusan penting. Maka Lu Leng tidak berani mengganggu mereka.

Berselang beberapa saat, si Gendut menghela nafas panjang. "Sudah hampir sampai waktunya," katanya. Ucapan itu bernada resah. Tak lama kemudian, si Gendut berkata lagi. "Saudara sekalian, kita bertujuh selama dua tiga puluh tahun ini, entah sudah berjumpa berapa banyak musuh tangguh. Tapi kali ini, kita justru tidak tahu nama musuh itu dan bagaimana rupanya. Sungguh aneh sekali! Mungkinkah beberapa iblis yang dahulu pernah roboh di tangan kita?"

Seorang yang berpakaian Sastrawan menyahut. "Keempat iblis itu telah mengalami kekalahan di tangan kita. Satu di antaranya telah mati, yang dua jauh di Pak Hai (Laut Utara), sedangkan yang satu lagi, ditangkap oleh seorang pendekar dari golongan lurus, kemudian dibelenggu di lembah See Coan, tidak mungkin dia dapat meloloskan diri. Namun kalau memang mereka bertiga, tentunya kepandaian mereka sudah bertambah tinggi, tapi tidak perlu kita takuti."

Si Kurus berkata. "Mengenai urusan ini, aku tetap tenang, tapi bukan masalah itu yang kumaksudkan...."

Si Gendut bertanya. "Maksudmu orang yang mengundang kita bertemu di menara Hou Yok tidak mengandung niat jahat?"

Si Kurus menyahut. "Tidak salah. Cobalah pikir! Kalau dia berniat jahat, ketika menaruh kartu undangan itu, bukankah kita semua tidak mengetahuinya? Nah, itu merupakan kesempatan baginya untuk mencelakai kita, tapi toh dia tidak turun tangan terhadap kita, pertanda dia tidak berniat jahat."

Kini Lu Leng baru paham, ketujuh orang itu berada di menara Hou Yok ternyata ada janji dengan orang, tapi mereka bertujuh tidak tahu siapa orang itu, maka menyamar sebagai patung dewa dan secara tidak sengaja menyelamatkan Lu Leng.

Tiba-tiba seorang berkepala gundul berkata. "Berniat jahat atau tidak, kita akan tahu setelah dia muncul, yang penting kini kita harus bersiap-siap!"

Tentunya orang itu berjanji lagi dengan mereka bertujuh untuk bertemu di pinggir telaga. Mungkin tak lama orang itu akan muncul.

Lu Leng berpikir, “Tujuh Dewa itu amat terkenal dalam rimba persilatan. Masing-masing memiliki kepandaian istimewa. Tapi saat ini mereka bertujuh tampak begitu tegang. Maka, dapat diketahui orang yang mengundang mereka untuk bertemu di situ pasti orang luar biasa.”

Sementara hari sudah mulai gelap. Tampak bulan sabit bergantung di langit. Berselang beberapa saat kemudian, tampak sosok bayangan berkelebat di kejauhan yang makin lama makin mendekat. Ketika Lu Leng melihat bayangan itu, hatinya tertegun, karena mengenali bentuk tubuhnya. Setelah bayangan itu dekat, Lu Leng nyaris berteriak kaget.
Ternyata bayangan itu adalah orang yang pernah memberitahukannya bermarga Tam, dan kini tetap memakai kain penutup muka.

Orang itu berdiri sejauh dua depa dari Tujuh Dewa, kemudian tertawa seraya berkata. "Kalian bertujuh sungguh dapat dipercaya. Aku tidak menepati janji di menara Hou Yok, itu saking terpaksa, maka aku mohon maaf!"

Ketujuh orang itu tertawa, kemudian si Gendut berkata. "Kalau pun kau ke sana, kami sudah tidak berada di sana. Entah ada petunjuk apa kau ingin berjumpa kami?"

Orang yang memakai kain penutup muka menyahut. "Tidak berani, tidak berani. Aku justru mohon petunjuk kalian bertujuh."

Wajah mereka bertujuh langsung berubah, karena istilah ‘petunjuk’ dalam rimba persilatan adalah menantang bertarung.

Si Sastrawan berkata lantang. "Kami tujuh orang dalam rimba persilatan terhitung cukup terkenal. Siapa kau, bolehkah kami tahu nama besarmu?"

"Namaku Tam Sen," sahut orang itu.

Setelah mendengar nama tersebut, ketujuh orang itu melongo. Mereka sudah begitu lama berkecimpung dalam rimba persilatan, maka kaum rimba persilatan yang berkepandaian tinggi pasti mereka kenal! Akan tetapi, mereka bertujuh justru tidak kenal orang bernama Tam Sen itu. Berdasarkan gerakannya tadi, dapat diketahui bahwa kepandaiannya amat tinggi sekali.

Si Sastrawan mendengus dingin. "Hmm! Kau tidak mau memperkenalkan nama asli, ya sudahlah!"

Tam Sen justru tertawa. "Sobat salah, Tam Sen memang nama asliku. Di hadapan kalian, kenapa aku harus menggunakan !ama palsu? Dulu aku punya julukan, maka nama asliku tidak ada seorang pun tahu. Akan tetapi, kini aku sudah tidak mau memakai nama julukan itu lagi, harap kalian tidak banyak bertanya!"

Tujuh Dewa itu tercengang, orang itu dulunya pasti mempunyai julukan yang cemerlang, namun kini dia memakai kain penutup muka, maka mereka bertujuh tidak dapat menerka siapa orang itu.

Si Gendut bertanya. "Sobat Tam ke mari cuma seorang diri?"

Tam Sen tertawa sambil menyahut. "Aku ke mari bukan untuk bertarung, kenapa harus banyak orang?"

Si Gendut berkata. "Kau ingin berjumpa kami, apakah hanya untuk mengobrol yang tak berarti?"

Tiba-tiba Tam Sen menyahut serius. "Tahukah kalian bertujuh, tidak lama lagi dalam rimba persilatan akan timbul suatu badai besar?"

Si Gendut tertawa terbahak-bahak. "Hahaha! Kami bertujuh sudah mengundurkan diri dari rimba persilatan, tentunya kau sudah tahu, bukan?"

Tam Sen menghela nafas panjang. "Urusan sudah sampai di depan mata, kalian mau menghindar pun sudah tidak bisa. Kini Lam Cong Thian Houw Lu Sin Kong sudah menuju Go Bi dan Tiam Cong, mengundang para jago dari kedua partai itu mencari Liok Ci Siansing dan Tiat Ciat Songjin membuat perhitungan, apakah kalian akan tinggal diam?"

Tujuh Dewa mempunyai hubungan baik dengan Liok Ci Siansing dan Tiat Ciat Songjin. Maka ketika mendengar kabar itu, air muka mereka langsung berubah. Namun mereka bertujuh, masih tidak percaya. akan apa yang Tam Sen katakan.

"Apakah kau punya bukti tentang itu?" tanya si Gendut.

Tam Sen tersenyum dingin. "Masih ada, Bu Tong Sam Kiam telah binasa. Bu Tong Pai menganggap Thian Hou Lu Sin Kong yang mencelakai mereka. Maka para jago dari Bu Tong Pai sudah berangkat ke Bu Yi San untuk menuntut balas pada Lu Sin Kong."

Lu Leng yang berada di dalam perahu, tertegun ketika mendengar kata-kata Tam Sen. Ketika Bu Tong Sam Kiam mati, Lu Leng menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Urusan itu memang sulit dijernihkan, karena ketika itu tiba-tiba muncul seorang murid Bu Tong Pai. Murid Bu Tong Pai itu menanyakan identitas Lu Leng, dan Lu Leng memberitahukannya. Namun Lu Leng tiada kesempatan menjelaskan mengenai kejadian itu, sehingga ayahnya menjadi tertuduh.

"Hah!" Tujuh Dewa itu terperanjat.

Karena apabila partai-partai besar itu bertikai, tentunya akan menimbulkan bencana dalam rimba persilatan, dan itu membuat mereka bertujuh jadi cemas sekali.

Tam Sam berkata kembali dengan dingin. "Urusan itu tidak hanya di situ. Isteri Lu Sin Kong sebelumnya terkena racun pukulan Im Si Ciang, kemudian terkena pukulan Hwe Hong Sian Kouw hingga binasa. Go Bi dan Tiam Cong Pai takkan tinggal diam. Peristiwa itu terjadi di rumah si Pecut Emas-Han Sun. Tapi Han Sun telah mati, maka sudah pasti kedua partai itu akan mencari Hwe Hong Sian Kouw untuk menuntut balas. Karena itu, Hui Yan Bun dan Tai Chi Bun juga akan terseret ke dalam masalah itu.

Si Gendut berkata. "Menurutmu, golongan sesat telah turut campur?"

Tam Sen mengangguk. "Tidak salah. Tidak hanya si Setan-Seng Ling yang telah meninggalkan Istana Setan Pak Bong San, bahkan Liat Hwe Cousu dari Hwa San pun telah meninggalkan Hwa San pula. Itu dikarenakan kedua tongcu-nya telah binasa.”

Tujuh Dewa diam saja, lama sekali barulah si Gendut membuka mulut. "Bagaimana kau bisa tahu begitu jelas?"

Tam Sen menghela nafas panjang. "Kalian tidak begitu seksama mencari informasi, tentunya tidak tahu akan hal itu. Aku tidak bisa menepati janji ke Hou Yok, itu disebabkan aku bertemu Hwe Hong Sian Kouw. Dia telah terluka parah, namun masih banyak bercakap denganku, maka aku tahu persoalan itu."

Si Sastrawan berkata. "Kau memberitahu kami tentang masalah itu, apakah mengira kami dapat mengatasi masalah itu?"

Tam Sen menghela nafas panjang. "Urusan ini, bukan aku memandang rendah kalian bertujuh. Mungkin kalian bertujuh pun tidak dapat berbuat apa-apa. Hanya satu orang yang dapat mengatasi bencana itu hingga hilang lenyap."

Ketujuh orang itu bertanya serentak. "Siapa orang itu?"

"Dia adalah kawan baik kalian, yakni Liok Ci Siansing dari Bu Yi Sian Jin Hong," sahut Tam Sen.

Si Gendut bertanya gusar. "Apa hubungannya urusan itu dengan Liok Ci Siansing?"

Tam Sen menyahut dingin. "Apakah kalian tidak tahu bahwa belum lama ini Thian Houw Lu Sin Kong menerima suatu titipan barang?"

Si Gendut mengangguk. "Kami tahu. Beberapa hari yang lalu ada orang mengantar surat kepada kami, yang isinya memberitahukan bahwa barang yang dikawal Lu Sin Kong itu ada kaitannya dengan setiap kaum rimba persilatan. Siapa yang memperoleh barang itu akan dapat menyatukan semua kaum rimba persilatan. Maka, kami tertarik, tapi tidak akan turun tangan merebut barang itu."
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar