Hijauhnya Lembah Hiajunya Lereng Pegunungan Jilid 011

Ki Sarpa Kuning tidak memburunya lagi. Ia tahu bahwa lawannya ternyata cukup cekatan meskipun dengan demikian bukan berarti bahwa Ki Waruju akan dapat mengimbangi kecepatan gerak Ki Sarpa Kuning.

Dalam pada itu, beberapa orang yang berada di pinggir arena itu menjadi tegang. Gajah Wareng dan seorang saudara seperguruannya menjadi tegang pula. Namun, tidak kalah tegangnya adalah murid Ki Sarpa Kuning yang telah dikecewakannya karena adiknya terbunuh itu dan kakak beradik Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Mereka meyakinkan pertempuran itu dengan jantung yang berdentangan. Meskipun murid-murid Ki Sarpa Kuning menganggap bahwa gurunya adalah orang yang tidak terkalahkan, namun, menghadapi orang yang tidak dikenal itu, mereka menjadi berdebar-debar juga.

Sementara itu, Ki Sendawa yang terengah-tengah berdiri di antara orang-orangnya. Betapapun terasa tubuhnya nyeri dan sendi-sendi tulangnya serasa terlepas satu dengan yang lain, namun keinginannya untuk menyaksikan pertempuran itu telah memaksanya untuk tetap berdiri di tempatnya.

Di sisi lain, Ki Sanggarana pun berada di antara orang-orangnya yang tegang pula. Mereka menyaksikan orang yang menyebut dirinya Waruju itu dengan mata yang hampir tidak berkedip. Namun bagaimanapun juga, terbersit juga kecemasan mereka, karena mereka menganggap bahwa orang yang telah berdiri dipihak Ki Sendawa itu tentu orang yang memiliki ilmu tidak ada duanya. Sementara itu mereka masih belum yakin, apakah orang yang menyebut dirinya Ki Waruju itu akan mampu mengimbangi ilmu Ki Surpa Kuning.

Dalam pada itu, pertempuran antara kedua orang di arena itupun semakin lama menjadi semakin cepat. Ki Sarpa Kuning yang masih menjajagi ilmu lawannya itu sedikit demi sedikit telah meningkatkan ilmunya, sementara Ki Waruju berusaha untuk menyesuaikan diri dengan tingkat kemampuan lawannya. Namun dalam pada itu, Ki Waruju pun yakin, bahwa Ki Sarpa Kuning masih dalam tingkat ancang-ancang.

Dengan demikian maka pertempuran itu pun menjadi cepat meningkat. Apalagi ketika pada suatu kali Ki Waruju telah mencoba untuk mengejutkan Ki Sarpa Kuning.

Selagi Ki Sarpa Kuning berusaha untuk mengetahui tingkat kemampuan lawannya, tiba-tiba saja Ki Waruju telah meningkatkan ilmunya melampaui tataran yang diambil oleh Ki Sarpa Kuning. Dengan kecepatan yang tidak diduga oleh lawannya, Ki Waruju telah menyerang dengan lontaran kaki menyamping.

Ki Sarpa Kuning benar-benar telah dikejutkan oleh serangan itu. Ternyata ia tidak sempat mengelak dan menangkis, karena yang terjadi adalah sangat tiba-tiba justru ketika Ki Sarpa Kuning berusaha mengetahui tingkat ilmu lawannya.

Karena itu, maka serangan kaki itu telah memasuki pertahanan Ki Sarpa Kuning yang masih belum terlalu ketat langsung mengenai lambung.

Ki Sarpa Kuning terdorong selangkah surut. Ternyata sentuhan itu cukup menyakitinya, seshingga karena itu, maka Ki Sarpa Kuning itu telah menggeram.

“Anak setan“ geramnya.

Ki Waruju sama sekali tidak menjawab. Dibiarkannya saja Ki Sarpa Kuning itu mengumpat-umpat.

Dalam pada itu maka Ki Sarpa Kuning pun meneruskan, “Kau kira kau benar-benar berhasil menyakitiku?“

“Aku tahu, bahwa kau sedang lengah” jawab Ki Waruju, “karena itu, maka aku mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya selagi kau masih tetap menganggap aku anak bawang di permainan ini”

“Gila“ geram Ki Sarpa Kuning, “Kau memaksa aku untuk mempercepat kematianmu”

“Biarlah segalanya kita selesaikan dengan cepat. Dengan demikian kita tidak akan berlarut-larut berada di arena ini tanpa ujung dan pangkal”

Ki Sarpa Kuning menggeram. Lawannya benar-benar seorang yang keras kepala. Bahkan agak terlalu sombong.

Karena itu, maka Ki Sarpa Kuning pun telah bersiap untuk segera meningkatkan ilmunya dan melumpuhkan lawannya yang telah menyakitinya itu.

Namun Ki Waruju telah memperhitungkannya sehingga karena itu ia pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi di arena.

Dengan demikian maka pertempuran antara keduanya pun menjadi semakin sengit. Keduanya telah meningkatkan ilmu mereka dengan cepat, karena mereka berusaha untuk mempercepat penyelesaian dari pertempuran itu. Apalagi setelah mereka saling menjajagi, maka mereka mendapat kesan, bahwa lawan-lawan mereka adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi.

Namun, ternyata keduanya memang orang-orang yang berilmu melampaui orang kebanyakan. Sehingga semakin tinggi mereka mengerahkan ilmu mereka, maka orang-orang yang berada di sekitar arena itu menjadi semakin berdebar-debar. Bahkan sebagian besar dari mereka sama sekali tidak tahu, apa yang telah terjadi.

Demikianlah, Ki Sarpa Kuning telah dengan sungguh-sungguh berusaha melumpuhkan perlawanan Ki Waruju. Ia tidak menyangka sama sekali, bahwa di padukuhan induk Kabuyutan Talang Amba itu, akan dijumpainya seseorang yang memiliki ilmu yang dapat mengimbanginya.

Namun Ki Sarpa Kuning tidak menjadi gentar. Ia memiliki pengalaman yang luas dalam dunia petualangan olah kanuragan. Karena itu, maka ia pun dengan penuh keyakinan berniat untuk dengan cepat melumpuhkan lawannya.

Tetapi, Ki Waruju tidak membiarkan dirinya menjadi korban kegarangan Ki Sarpa Kuning. Dengan mantap ia pun menempatkan diri sebagai lawan yang tangguh.

Benturan-benturan kekuatan semakin lama menjadi semakin sering terjadi. Ketika kecepatan serangan masing-masing menjadi semakin meningkat, maka mereka tidak lagi sempat untuk setiap kali menghindar. Tetapi mereka mulai menangkis setiap serangan, sehingga kekuatan mereka pun telah saling berbenturan.

Namun dalam pada itu, keduanya merasakan bahwa benturan-benturan kekuatan wajar mereka, sama sekali tidak akan menghasilkan satu penyelesaian. Agaknya mereka mempunyai kekuatan yang seimbang, sehingga yang satu tidak akan dapat mengalahkan yang lain.

Karena itu, maka mereka pun mulai menambah tenaga cadangan yang akan dapat melipatkan kekuatan dan kemampuan mereka.

Ki Sarpa Kuning benar-benar tidak lagi berusaha untuk mengekang diri. Dengan serta merta, maka ia pun telah memusatkan segenap kemampuannya dengan dorongan tenaga cadangan di dalam dirinya. Meskipun dengan tenaga wajar, lawannya mampu mengimbangi ilmunya, namun dalam puncak kemampuan dengan dilandasi tenaga cadangan yang dengan sepenuhnya telah dikuasainya, maka lawannya akan dihancur lumatkan.

Ki Waruju yang bergeser surut, melihat betapa Ki Sarpa Kuning telah memusatkan segenap daya di dalam dirinya lahir dan batin untuk melepaskan ilmu puncaknya. Sehingga karena itu, maka Ki Waruju pun telah melakukan hal yang sama. Ia tidak mau menjadi lumat oleh kekuatan yang akan terlontar dari puncak ilmu lawannya.

Dengan demikian, maka Ki Waruju pun telah menyalurkan kekuatan cadangan di dalam diri untuk memperkuat daya tahan tubuhnya serta lewat telapak tangannya. Sehingga dengan demikian, maka setiap sentuhan akan dapat berakibat gawat bagi lawannya.

Sejenak kemudian, maka yang terjadi di arena itu, benar-benar tidak dapat dimengerti oleh orang-orang yang mengikutinya. Bahkan Ki Sendawa dan Ki Sanggarana pun menjadi heran, melihat betapa keduanya bagaikan telah berubah menjadi bayangan yang saling berterbangan.

Ki Sarpa Kuning pun menjadi semakin heran. Ternyata Ki Waruju itu benar-benar seorang yang pilih tanding. Seorang yang memiliki ilmu yang dapat mengimbangi ilmunya. Bukan saja dalam batas-batas kewajiban. Namun Ki Waruju itu pun mampu mengimbangi ilmunya yang dilandasi dengan tenaga cadangannya.

Benturan-benturan yang terjadi pun telah menjadi semakin dahsyat. Meskipun yang saling berbenturan itu ada lah tubuh-tubuh yang kasat mata dari kedua orang yang sedang bertempur itu, namun sebenarnyalah yang berbenturan adalah kekuatan cadangan yang sulit untuk dimengerti.

Kecepatan gerak mereka pun menjadi semakin meningkat. Yang nampak di arena itu bagaikan beberapa orang yang saling memburu, menyerang dan berbenturan. Ki Sarpa Kuning dan Ki Waruju seakan-akan telah berubah, tidak lagi seorang melawan seorang. Tetapi arena itu seakan-akan telah menjadi penuh oleh kedua orang yang sedang bertempur itu, meskipun orang-orang yang menyaksikan itu akhirnya menyadari, bahwa yang ada diarena itu tetap seorang Ki Sarpa Kuning dan seorang Ki Waruju. Namun karena kecepatan gerak mereka, maka seolah-olah seluruh arena itu telah terisi oleh keduanya.

Dalam pada itu, Ki Sarpa Kuning semakin lama menjadi semakin gelisah. Ia menyadari bahwa lawannya memang memiliki ilmu yang tinggi, sehingga ia akan merlukan waktu dan puncak kemampuannya untuk pada suatu saat nanti mengalahkannya.

Sementara itu, Ki Sanggarana telah mengelus dadanya. Ketegangan yang sangat serasa telah mengguncang jantungnya.

“Seandainya orang-orang Talang Amba lah yang harus melawan Ki Sarpa Kuning dengan murid-muridnya, apakah yang akan terjadi” berkata Ki Sanggarana di dalam hatinya. Namun kecemasan yang lainpun telah tumbuh, “Bagamanakah akibatnya jika murid-murid Ki Sarpa Kuning itu turun pula ke arena tanpa menghargai sebuah perjanjian?“

Meskipun Ki Sanggarana mengenali seorang di antara murid Ki Sarpa Kuning itu sebagai orang yang pernah datang ke rumahnya, namun ia hanya seorang di antara murid-muridnya yang lain.

Dalam pada itu, Ki Sendawa pun menjadi tegang. Dalam kebingungannya, ia mulai kehilangan harapan. Ternyata Ki Sarpa Kuning bukan satu-satunya orang yang memiliki Ilmu yang luar biasa. Ternyata kemanakannya, menantu Ki Buyut itu pun mampu mendapatkan dukungan dari orang yang memiliki ilmu yang seimbang dengan ilmu Ki Sarpa Kuning. Bahkan belum ada tanda-tanda apapun bahwa Ki Sarpa Kuning akan dapat memenangkan pertempuran itu.

“Tetapi, Ki Sarpa Kuning membawa lima orang murid-murid” berkata Ki Sendawa di dalam hatinya., “menurut Ki Sarpa Kuning setiap orang muridnya akan dapat melawan anak-anak muda sepadukuhan”

Namun menilik apa yang dilakukan oleh Ki Sarpa Kuning, Ki Sendawa pun yakin, bahwa mereka akan dapat melakukannya.

Demikianlah, pertempuran antara Ki Sarpa Kuning melawan Ki Waruju itu berlangsung semakin lama menjadi semakin dahsyat. Bagi penglihatan orang-orang Talang Amba, maka pertempuran itu tidak lagi dapat disebutnya, karena mereka tidak dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi. Keduanya bagaikan berada di seluruh arena, berputaran, berloncatan dan bergeser dengan cepatnya. Tangan-tangan mereka pun seolah-olah telah berubah menjadi beberapa pasang yang bergerak bersama-sama.

Dalam pada itu, setiap saat keduanya bagaikan lebur menjadi satu. Namun tiba-tiba seorang di antara mereka telah melejit keluar dari putaran. Tetapi secepat ia terlempar keluar, ia pun telah melihat lagi ke dalam putaran yang semakin cepat.

Keduanya benar-benar bertempur dalam puncak ilmu mereka. Benturan demi benturan telah terjadi. Desak mendesak, serang-menyerang. Kadang-kadang keduanya dengan sengaja telah membenturkan ilmu mereka tanpa pengekangan diri.

Dalam pada itu, dalam puncak kekuatan masing-masing, maka ternyata mereka harus mempertaruhkan ketahanan tubuh mereka. Dalam keseimbangan ilmu, maka siapakah yang memiliki ketahanan lebih baik, maka ia akan dapat bertahan melampaui kemampuan bertahan lawannya.

Sebenarnyalah, bahwa ketahanan tubuh Ki Waruju telah diuji. Sebaliknya Ki Sarpa Kuning pun telah mengalami pendadaran yang sangat berat. Betapapun mereka memperhitungkan setiap kemungkinan dalam perang tanding itu, namun pada suatu saat, mereka telah mengerahkan puncak kekuatan mereka masing-masing. Tetapi puncak-puncak kekuatan itu tidak mampu menunjukkan tanda-tanda untuk dapat mengakhiri pertempuran.

Karena itu, maka mereka pun akhirnya harus memperhitungkan untuk tidak lebih dahulu kehilangan tenaga.

Dengan kesadaran itu, maka keduanya menjadi semakin berhati-hati. Keduanya mencoba untuk menguasai perasaannya sepenuhnya, sehingga mereka tidak akan terdorong kedalam satu tindakan yang tidak berarti namun hanya dapat menghabiskan tenaga saja.

Dengan demikian, pertempuran itu pun nampaknya menjadi semakin mengendor. Meskipun masih dalam batas-batas ketidak mampuan untuk dikenalinya oleh orang-orang Talang Amba.

Meskipun demikian, maka kedua orang yang sedang bertempur itu tidak dapat menyingkirkan diri dari keterbatasan mereka. Mereka bukan orang-orang yang dapat membebaskan diri dari kemungkinan badaniah. Karena itulah, meskipun mereka bertempur dengan landasan tenaga cadangan mereka, tetapi mereka tetap tidak mampu mempertahankan tataran kekuatan mereka.

Itulah sebabnya, maka kekuatan mereka pun mulai menjadi susut.

Tetapi kecepatan menyusut kekuatan kedua orang itu ternyata tidak sama. Ki Sarpa Kuning yang terlalu bernafsu untuk mengalahkan lawannya dengan cepat, telah mengerahkan segenap kemampuan dan kekuatannya tanpa kekangan. Ketika ia menyadari bahwa ia akan bertempur untuk waktu yang lama, serta memerlukan ketahanan yang besar, sebenarnyalah, ia telah memeras sebagian besar dari tenaganya.

Itulah sebabnya, maka yang nampak mulai susut, adalah justru tenaga Ki Sarpa Kuning.

Bukan berarti bahwa tenaga Ki Waruju tidak menyusut, tetapi susutnya tenaga Ki Sarpa Kuning agak lebih cepat dari susutnya tenaga Ki Waruju. Sehingga dengan demikian, maka akhirnya mulai nampak, bahwa keseimbangan diantara kedua orang itu mulai bergerak.

Perlahan-lahan tetapi pasti, Ki Waruju mempunyai kemungkinan yang lebih baik dari lawannya. Ketika kekuatan Ki Sarpa Kuning menjadi semakin susut, maka benturan-benturan kekuatan pun menjadi tidak lagi seimbang.

Karena itulah, maka kadang-kadang Ki Sarpa Kuning harus terdorong beberapa langkah surut jika Ki Waruju dengan sepenuh tenaganya membenturkan diri terhadap serangan Ki Sarpa Kuning.

Dalam pada itu, benturan-benturan yang terjadi, serta sentuhan serangan dari kedua belah pihak telah membuat tubuh mereka menjadi sakit. Terlebih-lebih lagi Ki Sarpa Kuning. Terasa kulit dagingnya bagaikan lumat serta tulang-tulangnya menjadi retak.

Demikianlah sejenak kemudian, keduanya telah terlibat lagi ke dalam pertempuran yang sengit. Namun betapa kemarahan membakar isi dadanya, namun ternyata bahwa Ki Sarpa Kuning menjadi semakin kehabisan kesempatan. Sementara itu, Ki Waruju yang menganggap bahwa orang seperti Ki Sarpa Kuning itu tidak akan dapat lagi berubah, maka tidak ada jalan lain kecuali menyingkirkannya untuk selamanya.

Karena itu, maka ketika pertempuran itu mulai lagi menyala maka Ki Waruju lelah mulai lagi dengan serangan-serangannya yang gawat.

Ki Sarpa Kuning benar-benar mengalami kesulitan. Dalam keadaan yang paling gawat ia masih melemparkan seekor ular ke arah lawannya. Tetapi ular itu tidak berarti apa-apa, sementara kemarahan Ki Waruju menjadi semakin membakar jantung.

Ki Waruju tidak mengira bahwa Ki Sarpa Kuning melespaskan senjata rahasianya yang merupakan ular hidup, ia tidak sempat menangkis, sehingga ular itu menggigit pundaknya.

Tetapi dengan tangannya Ki Waruju meraba ular yang masih menggigit pundaknya. Perlahan-lahan Ki Waruju memijat kepala ular itu, sehingga akhirnya ular itu pun menggeliat dan melilit-lilit. Tetapi tangan Ki Waruju terlalu kuat, sehingga akhirnya kepala ular itu pun pecah karenanya.

Karena ular itu kemudian mati. maka gigitannya pun telah terlepas. Dengan wajah geram, Ki Waruju melemparkan ular itu kearah Ki Sarpa Kuning.

“Inilah ularmu” berkata Ki Waruju.

Ki Sarpa Kuning terkejut bukan buatan. Ular itu telah menggigit. Tetapi sudah sekian lama Ki Waruju masih tetap berdiri. Bahkan dengan mudah ia melepaskan gigitan ularnya dan melemparkannya kepadanya. Ular itu sudah mati.

“Kau tentu masih menunggu Ki Sarpa Kuning” berkata Ki Waruju kemudian, “kau menunggu kapan aku jatuh terkulai oleh kekuatan bisa bandotan kerdilmu. Tetapi sayang sekali Ki Sarpa Kuning. Aku tidak akan mati karena bisa ularmu”

“Anak setan” geram Ki Sarpa Kuning, “Kau akan mati”

Tetapi tiba-tiba saja Ki Warjju itu melangkah maju sambil berkata, “Bisamu tidak dapat membunuhku. Ularmu memang sudah tidak berbisa”

Kemarahan yang membawa membayang di wajah Ki Sarpa Kuning Sekali lagi ia mengambil sesuatu dari kantong ikat pinggangnya. Sekali lagi ia meloncatkan ularnya ke arah Ki Waruju.

Ki Waruju pun bergeser. Tetapi dengan tangannya ia menangkap kedua ekor ular itu dan meremasnya. Katanya, “Apakah kau masih mempunyai ular yang lain.

Wajah itu semakin tegang. Ketika tangan Ki Waruju menangkap kedua ekor ular itu, maka ular itu telah mematuknya. Tetapi Ki Waruju sama sekali tidak menghiraukannya. Ia sama sekali tidak menjadi cemas karena gigitan ular itu.

Ketegangan memang telah memuncak di jantung Ki Sarpa Kuning. Ia tidak segera melihat Ki Waruju jatuh dengan lemahnya. Ia tidak melihat Ki Waruju menjadi kejang dan kulitnya bernoda biru kehitaman. Tetapi ternyata bahwa Ki Waruju itu masih tetap tegak dihadapannya.

Dengan demikian, maka Ki Sarpa Kuning itu menjadi semakin geram. Tetapi juga kegelisahan yang sangat telah mencengkamnya. Sebuah pertanyaan telah membakar dadanya, “Kenapa orang itu tidak mati”

Dalam pada itu, Ki Waruju telah melangkah mendekatinya. Agaknya Ki Waruju benar-benar telah sampai pada satu keputusan untuk mengakhiri pertempuran itu.

“Ki Sarpa Kuning” berkata Ki Waruju, “nampaknya kita memang harus saling membunuh. Jika bukan kau, akulah yang akan terbunuh. Dan kau benar-benar telah mencobanya dengan bisa ularmu. Tetapi sayang bahwa bisa ularmu itu tidak berarti apa-apa bagiku”

“Omong kosong. Kau memang akan mampu bertahan seandainya kau mempunyai ilmu kebal. Tetapi hanya untuk beberapa saat. Apalagi karena bisa ularku telah masuk kedalam urat darahmu”

“Aku akan tetap hidup. Kaulah yang terpaksa harus mati di arena ini” geram Ki Waruju.

Ki Sarpa Kuning yang sudah tidak dapat mengekang gejolak kemarahannya tiba-tiba telah meloncat menerkamnya. Agaknya orang itu tidak lagi menghiraukan ular-ularnya yang telah dibunuh oleh Ki Waruju serta yang masih ada di kantong ikat pinggangnya.


Tetapi Ki Waruju sudah memperhitungkannya. Ki Sarpa Kuning akan menjadi kehilangan pengekangan diri dan tidak lagi dapat mengendalikan nalarnya. Dengan kemarahan yang meluap ia telah menyerang beruntun dengan sepenuh kemampuannya.

Ki Waruju yang masih tetap menguasai perasaannya, dengan cermat telah menghindari serangan-serangan itu. Dengan loncatan pendek ia memiringkan tubuhnya, sehingga serangan lawannya menyambar sejengkal dihadapannya.

Ki Waruju tidak melepaskan kesempatan itu. Dengan cepat ia telah membalas serangan itu justru dengan menyerang tangan Ki Sarpa Kuning yang terjulur.

Demikian cepatnya, sehingga meskipun Ki Sarpa Kuning berusaha menarik tangannya, tetapi serangan lawannya masih tetap mengenainya.

Ki Sarpa Kuning mengeluh. Tangannya terasa nyeri. Namun ia cepat bertindak. Sambil memutar tubuhnya, kakinya telah menyambar mendatar.

Tetapi Ki Waruju pun cepat bergerak. Ia sadar, bahwa tenaganya masih lebih baik dari tenaga lawannya. Karena itu, maka dengan sengaja ia telah membenturkan kekuatannya dengan menangkis serangan itu.

Sekali lagi telah terjadi satu benturan kekuatan. Tetapi kekuatan keduanya sudah tidak lagi penuh seperti saat mereka baru mulai.

Meskipun demikian benturan ilmu itu masih tetap mendebarkan hati.

Namun dalam pada itu, ternyata bahwa tenaga Ki Sarpa Kuning benar-benar telah jauh surut. Ketika kakinya membentur kedua belah tangan Ki Waruju yang menangkis serangan itu, dan bahkan Ki Waruju telah mendorongnya, maka Ki Sarpa Kuning telah kehilangan keseimbangannya. Terhuyung-huyung ia terdorong surut. Namun ketika ia berusaha memperbaiki keadaannya, maka serangan Ki Waruju telah menyusulnya. Dengan derasnya Ki Waruju meloncat mendekat. Kemudian dengan sekali berputar ia telah menyerang lawannya. Sambil memiringkan tubuhnya Ki Waruju menjulurkan kakinya tepat mengenai lambung Ki Sarpa Kuning.

Terdengar Ki Sarpa Kuning mengaduh perlahan Namun kemarahan yang meledak-ledak telah memaksa dirinya untuk bertahan. Ketika ia terdorong oleh serangan itu dan jatuh, dengan cepat ia berusaha untuk bangkit. Bahkan sambil berteriak nyaring untuk mengatasi getar di dalam jantungnya.

Tetapi serangan Ki Waruju telah memburunya. Demikian ia bangkit, maka Ki Waruju telah menyerangnya. Tangannya terjulur lurus mengarah kedada.

Namun Ki Sarpa Kuning tidak mau dadanya dipecahkan oleh serangan lawannya. Dengan cepat ia justru menjatuhkan dirinya bersandar kedua tangannya.

Ki Waruju lah yang kemudian menjadi tergesa-gesa. Ia memang ingin segera menyelesaikan tugasnya. Karena itu, maka ia pun telah berusaha menyerang saat Ki Sarpa Kuning masih belum bangkit.

Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Justru kaki Ki Sarpa Kuninglah yang mengenai dadanya ketika ia meloncat maju. Ki Sarpa Kuning masih dapat mempergunakan sisa tenaganya untuk melenting dan langsung menyerang ke arah dada.

Ki Waruju terdorong surut. Sementara itu Ki Sarpa Kuning sempat meloncat bangkit dan memperbaiki keadaannya. Namun sementara itu, Ki Waruju pun telah bangkit pula berdiri dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Demikianlah, sejenak kemudian keduanya telah terlibat lagi ke dalam pertempuran yang sengit. Namun betapa kemarahan membakar isi dadanya, namun ternyata bahwa Ki Sarpa Kuning menjadi semakin kehabisan kesempatan. Sementara itu, Ki Waruju yang menganggap bahwa orang seperti Ki Sarpa Kuning itu tidak akan dapat lagi berubah, maka tidak ada jalan lain kecuali menyingkirkannya untuk selamanya.

Karena itu, maka ketika pertempuran itu mulai lagi menyala, maka Ki Waruju telah mulai lagi dengan serangan-serangannya yang gawat.

Ki Sarpa Kuning benar-benar mengalami ksulitan. Dalam keadaan yang paling gawat, ia masih melemparkan seekor ular ke arah lawannya. Tetapi, ular itu tidak berarti apa-apa, sementara kemarahan Ki Waruju menjadi semakin membakar jantung.

Serangan Ki Sarpa Kuning dengan sisa-sisa tenaganya tidak banyak memberinya peluang. Bahkan serangan-serangan balasan Ki Waruju telah berhasil melukai bagian dalam dadanya.

Ketika kaki Ki Waruju mengenai, pusat dadanya, rasa-rasanya dada itu akan pecah dan seluruh isinya bagaikan dirontokkannya. Terhuyung-huyung Ki Sarpa Kuning terdorong surut. Namun serangan berikutnya, telah melemparkannya dan jatuh terbanting di tanah.

Adalah nasib yang sangat buruk telah menimpanya. Ki Sarpa Kuning yang memiliki ilmu yang mapan itu tidak berhasil menempatkan dirinya pada saat ia terlempar. Begitu kuat dorongan kaki Ki Waruju, sementara kekuatan Ki Sarpa Kuning telah hampir lenyap, telah melemparkannya sehingga ia jatuh terlentang dengan bagian belakang kepalanya membentur batu di pinggir arena.

Batu itu memang tidak begitu besar. Tetapi bagian belakang kepala adalah bagian yang terlalu lemah. Karena itu, maka demikian kepalanya terantuk batu, maka rasa-rasanya langit pun menjadi gelap.

Betapa besarnya daya lahan Ki Sarpa Kuning. Namun bagian dadanya yang lerluka dan bagian belakang kepalanya yang terbentur batu oleh dorongan kekuatan yang jarang ada bandingnya, telah membuat Ki Sarpa Kuning itu kehilangan kesadarannya. Bahkan kemudian darah yang berwarna gelap pun telah meleleh dari bibirnya

Orang-orang yang berada di pinggir arena itu pun menjadi bertambah tegang. Namun sejenak kemudian, ketegangan itu dipecahkan oleh geram murid Ki Sarpa Kuning yang bernama Gajah Wareng.

“Gila” geramnya, “kau melukai guruku. Tidak ada hukuman yang pantas bagimu kecuali hukuman mati”

Ki Waruju termangu-mangu. Namun bagaimanapun juga, nafasnya pun telah menjadi tersendat-sendat. Ia sudah mengerahkan segenap sisa kemampuannya pada saat terakhir, sehingga kekuatannya itu pun seolah-olah telah terkuras habis.

Dalam pada itu, Gajah Wareng diikuti oleh saudara seperguruannya yang berkumis lebat itu pun telah memasuki arena. Dengan sorot mata yang menyala dipandanginya Ki Waruju yang berdiri mematung di tempatnya.

“Bersiaplah untuk mati” berkata Gajah Wareng, “kami berdua mempunyai kekuatan melampaui guru seorang diri. Apalagi jika nanti ketiga adik seperguruanku itu akan melibatkan dirinya memasuki arena. Kau tidak akan berarti apa-apa”

Wajah Ki Waruju menjadi tegang. Sekilas dipandanginya Ki Sanggarana. Namun Ki Sanggarana sendiri menjadi bingung menghadapi keadaan.

Sementara itu, orang-orang yang berada di seputar arena pun menjadi semakin tegang pula. Ketika mereka memandang Ki Sendawa yang berdiri tegak dipinggir arena, maka mereka pun menjadi berdebar-debar karenanya.

Ki Sendawa yang sudah sempat beristirahat beberapa saat itu pun telah menjadi agak segar. Ketika ia melihat Ki Sarpa Kuning terbanting jatuh dan kemudian tidak sadarkan diri. Jantungnya bagaikan telah membeku. Namun darahnya menjadi panas kembali ketika ia melihat sikap murid-murid Ki Sarpa Kuning itu.

Ki Waruju memandang kedua murid Ki Sarpa Kuning itu dengan tajamnya. Kemudian dengan suara yang berat ia berkata, “Kalian akan melawan aku?“

“Bukan sekedar melawan” jawab Gajah Wareng, “Aku akan membunuhmu”

“Gurumu tidak dapat membunuhku” jawab Ki Waruju.

“Aku tidak sendiri” jawab Gajah Wareng, “dan kau tidak akan mampu melawan kami berdua, sebab kekuatan kami berdua melampaui kekuatan guru”

Ki Waruju mengangguk-angguk. Katanya, “Kalian ternyata murid-murid yang setia. Ketika kalian melihat guru kalian tidak berdaya, maka kalian telah berusaha untuk membunuh diri”

“Gila” geram Gajah Wareng, “jangan terlalu sombong. Aku tahu bahwa tenagamu sudah susut dan bahkan hampir habis seluruhnya. Aku tahu bahwa kau tidak akan dapat bertempur dengan sepenuh kemampuannya. Dan aku-pun tahu, bahwa membunuhmu dalam keadaan yang demikian adalah satu pekerjaan yang sangat mudah, seperti memijat buah ceplukan matang”

Ki Waruju berusaha untuk mengatur pernafasannya. Namun ia masih menjawab, “Aku sudah sempat beristirahat sekarang. Kalian tidak akan mampu berbuat apa-apa. Sementara para pengikut Ki Sanggarana akan dapat membantuku”

Gajah Wareng memandang berkeliling. Namun matanya membentur sorot mata pada pengikut Ki Sendawa yang menyala. Karena itu sambil tersenyum ia berkata, “Aku dan Ki Sendawa juga tidak sendiri”

Ki Waruju tertegun sejenak. Namun ia menjadi berdebar-debar ketika Gajah Wareng berbicara kepada adik seperguruannya yang telah dikecewakan oleh gurunya itu, “Jaga baik-baik. Lakukan yang kau anggap perlu. Aku tidak segan membakar halaman banjar ini dengan pertempuran sehingga halaman ini akan dipenuhi oleh bangkai anak-anak Talang Amba yang berserakan silang melintang. Apakah ia pengikut Ki Sendawa atau pengikut Ki Sanggarana, sementara aku berdua akan membunuh orang yang sombong ini sebelum kita akan menolong guru”

Ketegangan telah membakar seluruh halaman banjar itu. Ki Sanggarana yang berusaha dengan susah payah untuk menghindari pertumpahan darah yang lebih luas, menjadi korban adalah orang-orang Talang Amba. Apakah ia pengikut Ki Sendawa atau pengikutnya.

Dalam ketegangan itu, suara Mahisa Murti telah memecahkan keheningan, “Aku akan turun kearena”

Semua mata memandanginya. Namun tiba-tiba Gajah Wareng menyahut, “Jangan tergesa-gesa. Tunggulah jika saatnya telah tiba. Kau akan mendapat kesempatan cukup banyak”

Mahisa Murti tersenyum. Tetapi ia melangkah maju memasuki arena sambil berkata, “Aku sudah tidak sabar lagi”

“Jangan mengganggu kami” berkata orang berkumis, “Aku berdua sudah siap membunuh orang gila itu”

Tetapi Mahisa Murti justru bertolak pinggang sambil berkata, “Jangan salah mengerti Ki Sanak. Ki Waruju masih terlalu lelah untuk menghadapi kalian berdua. Karena itu. maka biarlah kami berdua mewakilinya”

Gajah Wareng menjadi tegang. Matanya bagaikan hendak meloncat keluar. Dengan gagap oleh gejolak perasaannya ia bertanya, “Apa maksudmu he?“

“Ki Sanak” berkata Mahisa Murti, “Aku dan saudaraku berdiri dipihak Ki Waruju.

“Gila. Apa maksudmu? Apa maksudmu he? Kau ingin berkhianat justru setelah guru dalam keadaan yang sulit?” bertanya Gajah Wareng dengan Kemarahan yang membakar dadanya.

“Ya Ki Sanak. Tetapi sama sekali bukan berkhianat dalam pengertian yang wajar. Aku memang sudah berkhianat sejak aku menerima tawarannya untuk menjadi muridnya” jawab Mahisa Murti.

“Anak gila“ Gajah Wareng hampir berteriak, “sejak mula aku sudah tidak mempercayaimu”

“Aku pun mengerti bahwa kalian tidak mempercayaiku” jawab Mahisa Murti, “tetapi kesempatan yang paling haik itu dapat aku pergunakan untuk mengerti serba sedikit tentang isi dari perguruan Ki Sarpa Kuning”

Gajah Wareng tidak dapat menahan diri lagi. Sementara itu orang berkumis yang juga sudah berada di arena itu pun menggeram, “Aku akan membunuhmu lebih dahulu”

Dengan serta merta orang itu telah menyerang Mahisa Murti. Namun sementara itu, Mahisa Pukat pun telah berada di arena pula. Dengan nada dalam ia berkata, “Gajah Wareng. Biarlah aku yang melawanmu”

Gajah Wareng menggeretakkan giginya. Ketika ia memandang saudara muda seperguruannya yang berdiri termangu-mangu di luar arena, ia pun berkata, “Marilah. Agar tugas kita cepat selesai, ikutlah dalam permainan ini”

Orang itu nampak ragu-ragu. Namun kemudian dengan tegas ia menjawab, “Tidak”

“He, kau pun akan berkhianat pula?“ geram Gajah Wareng.

Orang itu berdiri tegak tanpa bergerak. Ia sudah dikecewakan oleh perguruannya. Sejak ia memasuki perguruan itu, ia sudah di bebani oleh satu perasaan yang tidak dapat dicernakannya. Apalagi ketika adiknya sudah terbunuh karena tangan gurunya sendiri

“He cepat” teriak Gajah Wareng, “Jika kau benar-benar ingin berkhianat, maka kau menyadari, hukuman apa yang akan kau terima nanti”

Tetapi orang itu menggeleng sambil menjawab, “Aku tidak akan membantu kalian. Apapun yang terjadi atas guru, aku tidak akan dapat berbuat apa-apa. Hatiku sudah pernah dilukainya. Adikku telah dibunuhnya”

“Adikmu telah berkhianat. Jika kau melakukannya juga, maka kau pun akan mati seperti adikmu” geram orang berkumis yang sudah mulai bertempur melawan Mahisa Murti.

Tetapi orang itu tetap tidak beranjak dari tempatnya.

Sementara itu, kemarahan Gajah Wareng pun menjadi semakin meningkat. Karena itulah, maka ia pun tidak berbicara lebih lanjut. Yang dihadapinya adalah anak muda yang telah dibawa oleh gurunya memasuki baraknya. Namun yang ternyata dalam keadaan yang gawat ia sudah berkhianat.

Dengan demikian telah terjadi dua putaran perkelahian. Gajah Wareng bertempur melawan Mahisa Pukat, sementara saudara seperguran Gajah Wareng yang berkumis itu bertempur melawan Mahisa Murti.

Ki Waruju menarik nafas dalam-dalam. Ia memang berharap hal itu terjadi. Tetapi karena ia belum mengerti maksud Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu sebelumnya, maka ia hanya dapat menunggu.

Ki Sanggarana pun menjadi agak bingung. Tetapi akhirnya ia dapat menduga-duga apa yang telah terjadi meskipun mungkin tidak tepat sebagaimana sebenarnya.

Demikianlah, pertempuran antara murid-murid Ki Sarpa Kuning melawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun menjadi semakin seru. Seperti gurunya, maka kedua murid

Ki Sarpa Kuning itu pun bertempur dengan garangnya. Keduanya mampu bergerak cepat dan tangkas.

Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat adalah anak-anak muda yang telah menempa diri sebaik-baiknya. Karena itulah, maka dengan baik pula mereka dapat melayani lawan-lawannya.

Mahisa Murti berusaha untuk memancing lawannya mengambil jarak dari pertempuran antara Mahisa Pukat dengan Gajah Wareng, sehingga dengan demikian, maka keduanya tidak akan saling mengganggu.

Sementara kedua orang murid Ki Sarpa Kuning itu bertempur, orang-orang yang berada di seputar arena itu benar-benar telah dicengkah oleh perasaan yang membingungkan. Tiba-tiba saja dikalangan murid-murid Ki Sarpa Kuning sendiri telah terjadi pertengkaran sehingga mereka telah saling bertempur.

Baik para pengikut Ki Sendawa, maupun para pengikut Ki Sanggarana. tidak segera dapat mengerti, apa yang sebenarnya telah terjadi.

Namun Ki Waruju tersenyum menyaksikan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bertempur melawan kedua orang murid Ki Sarpa Kuning, sementara itu ia sendiri mendapat kesempatan untuk beristirahat. Apabila perlu, maka tenaganya yang akan segera pulih kembali itu, akan dapat dipergunakannya sebaik-baiknya.

Namun ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang memiliki bekal yang cukup. Karena itu. maka pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Gajah Wareng dan orang berkumis itu adalah murid-murid Ki Sarpa Kuning yang paling dipercaya. Namun keduanya tidak segera dapat menguasai Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Dalam keadaan yang paling gawat itu, Ki Sendawa berusaha untuk mempersiapkan pasukannya sebaik-baiknya. Kepada kepercayaannya ia memerintahkan agar dengan diam-diam pasukannya disiapkan. Setiap saat mereka akan dapat bertindak.

Agaknya Ki Waruju cukup waspada. Ia melihat gerak-gerak yang mencurigakan dari Ki Sendawa dengan beberapa orang pembantunya.

Karena itu, maka Ki Waruju itu pun tidak tinggal diam. Ia pun kemudian dengan diam-diam bergeser mendekati Ki Sanggarana sambil berbisik, “Hati hatilah. Keadaan dapat menjadi semakin buruk. Ki Sendawa telah menyiapkan orang-orangnya”

“Apakah harus terjadi benturan kekuatan antara para pengikut paman Sendawa dan pengikut-pengikut?” bertanya Ki Sanggarana dengan cemas.

“Hanya mempersiapkan diri. Berjaga-jaga. Mudah-mudahan hal itu tidak akan terjadi” jawab Ki Waruju.

Ki Sanggarana menjadi berdebar-debar. Tetapi ia pun memerintahkan kepada orang-orang yang dipercayanya untuk bersiap-siap.

“Kalian hanya bersiaga saja, pesannya kalian tidak mendapat wewenang untuk menyerang tanpa perintahku langsung. Aku sendiri yang akan meneriakkan aba-aba jika kalian memang harus bertempur”

Kepercayaan itu mengangguk. Namun sebentar kemudian, ia pun telah menjatuhkan perintah untuk bersiaga sepenuhnya.

“Setiap saat keadaan akan dapat menjadi sangat menentukan Bahkan menentukan hidup dan mati dari Kabuyutan Talang Amba” berkata kepercayaan Ki Sanggarana itu kepada para pengikutnya.

Kepercayaannya itu pun mengangguk-angguk. Sejenak kemudian maka ia pun telah menyusup diantara para pengikut Ki Sanggarana dan memberikan pesan kepada mereka sebagaimana dikehendaki oleh Ki Sanggarana.

Dalam pada itu, Mahisa Murti yang bertempur melawan murid Ki Sarpa Kuning yang berkumis itu pun telah berhasil menjajagi kemampuan lawannya. Tidak terlalu berbahaya, meskipun bukan berarti bahwa ia dapat mengabaikannya.

Orang berkumis itu sendiri telah mengerahkan segenap kemampuannya. Dengan sepenuh kekuatannya ia menyerang dan berusaha mendesak Mahisa Murti. Namun serangan-serangannya ternyata tidak banyak berhasil. Dengan tangkasnya Mahisa Murti selalu dapat menghindarkan diri. Namun demikian, serangan-serangan orang berkumis itu kadang-kadang memang sangat berbahaya.

Dalam kesempatan selanjutnya, Mahisa Murti ternyata harus mengakui kecepatan gerak lawannya. Bahkan kadang-kadang langkah tidak diduganya.

Karena itu. maka Mahisa Murti pun harus berbuat sebaik-baiknya.

Ketika serangan orang berkumis itu datang membadai. maka Mahisa Murti pun dengan tangkas berhasil menghindarinya. Tetapi ternyata orang itu telah meloncat menyamping. Kakinya terjulur lurus kearah lawannya dengan sepenuh kekuatan. Tetapi ternyata bahwa kaki itu tidak mengenai Mahisa Murti, karena Mahisa Murti masih sempat menarik diri selangkah surut.

Namun agaknya lawannya tidak membiarkannya. Dengan serta merata orang berkumis itu memutar tubuhnya sambil mengayunkan kakinya dalam serangan mendatar.

Demikian cepatnya, sehingga Mahisa Murti tidak sempat mengelak lagi. Namun justru karena itu. maka timbullah niat Mahisa Murti untuk membenturkan kekuatannya.

Karena itu, maka Mahisa Murti dengan sengaja tidak menghindar. Tetapi ia melindungi dadanya dengan kedua tangannya yang bersilang di dadanya.

Kaki lawannya itu telah membentur tangannya yang melindungi dada. Benturan itu terjadi dengan kerasnya.

Terasa tangan Mahisa Murti bagaikan dihentakkan oleh kekuatan yang luar biasa besarnya, sehingga tangan itu telah menghentak didadanya pula. Tetapi dengan demikian, sebagian tenaga serangan itu telah dipunahkannya, sehingga dadanya tidak menjadi retak karenanya. Meskipun demikian Mahisa Murti itu telah terdesak selangkah mundur.

Sementara itu, kaki lawannya pun serasa telah membentur selembar kepingan baja yang tebal dan kuat. Kakinya justru bagaikan akan patah.

Orang berkumis itu menyeringai menahan sakit. Kakinya yang melingkar mengenai tangan yang bersilang itu bagaikan telah terdorong pula, sehingga orang berkumis itu justru terhuyung-huyung.

Tetapi ia pun cepat memperbaiki keadaannya. Ketika kemudian Mahisa Murti menyerang, maka orang itu sempat meloncat jauh-jauh sekaligus mengambil kesempatan untuk bersiap-siap menghadapi serangan-serangan berikutnya.

Sementara itu, Gajah Wareng pun telah mengumpat dengan kasarnya. Ternyata bahwa lawannya yang masih muda itu memiliki ketangkasan bergerak yang luar biasa. Bahkan kekuatannya pun sama sekali, tidak diduganya.

Mahisa Pukat memang memiliki kemampuan diluar dugaan lawannya. Gajah Wareng yang menyangka bahwa anak-anak yang dibawa gurunya itu baru sekedar memiliki kelebihan dari orang kebanyakan. Namun ternyata bahwa ia harus memeras kemampuannya untuk menghadapinya.

Pertempuran antara Gajah Wareng dan Mahisa Pukat itu pun semakin lama menjadi semakin sengit, sebagaimana terjadi antara Mahisa Murti dengan lawannya. Sekali-kali Mahisa Pukat memang berusaha mengambil jarak untuk mengetahui serba sedikit tentang tata gerak lawannya. Namun tiba-tiba saja ia sudah meloncat menyerang dengan garangnya. Serangan yang tiba-tiba dan yang sering membuat lawannya kehilangan kesempatan sehingga memaksa lawannya itu untuk menghindar jauh-jauh.

Tetapi, setiap kali Mahisa Pukat tidak memberi kesempatan kepada lawannya. Dengan cepat ia memburu dengan serangan-serangan beruntun.

Tetapi, Gajah Wareng murid terpercaya dari Ki Sarpa Kuning itu pun memiliki kemampuan yang tinggi pula. Karena itu. Setiap kali ia berhasil membebaskan diri dari amukan serangan Mahisa Pukat. Bahkan sekali-sekali ia pun mampu membalas menyerang dengan garangnya. Bahkan kadang-kadang serangannya pun datang menghantam Mahisa Pukat dengan sepenuh kekuatannya

Tetapi, Mahisa Pukat yang trengginas itu tidak terlalu banyak mengalami kesulitan Bahkan dengan tepat ia selalu berhasil memotong serangan lawannya yang kadang-kadang juga sangat berbahaya.

Ternyata pertempuran antara kedua orang murid Ki Sarpa Kuning melawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang menurut pengertian beberapa orang di sekitar arena itu juga murid Ki Sarpa Kuning, telah menimbulkan berbagai persoalan di dalam hari mereka. Pertempuran itu sendiri telah menggetarkan jantung mereka. sementara itu perselisihan di antara murid-murid Ki Sarpa Kuning itu sendiri telah membingungkan mereka.

Yang berdiri termangu-mangu adalah murid Ki Sarpa Kuning yang menjadi kecewa atas kematian adiknya itu. Ia memperhatikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebar-debar. Ada semacam perasaan tersinggung jika ia melihat ilmu sebagaimana dimilikinya itu tidak mampu berbuat banyak atas kedua anak muda yang bernama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu. Namun ia tidak ingin membantu murid-murid Ki Sarpa Kuning yang telah menyakiti hatinya dengan membunuh adiknya itu. Dalam pada itu, orang berkumis yang bertempur melawan Mahisa Murti itu semakin lama menjadi semakin terdesak. Mahisa Murti benar-benar telah berniat untuk mengakhiri pertempuran. Sehingga karena itu, maka ia pun benar-benar telah sampai ke puncak ilmunya.

Orang berkumis itu pun merasakan, betapa serangan-serangan Mahisa Murti menjadi semakin mendesaknya. Seolah-olah ia telah kehilangan kesempatan sama sekali. Serangan-serangan yang datang membadai itu tidak dapat dielakkannya seluruhnya. Sekali-kali serangan Mahisa Murti telah berhasil menyusup di sela-sela pertahanannya dan mengenai tubuhnya.

Orang berkumis itu mengumpat-umpat. Tetapi adalah satu kenyataan bahwa tubuhnya telah disakiti oleh serangan-serangan Mahisa Murti.

“Anak Setan” orang itu menggeram. Dikerahkannya segenap kemampuannya. Dengan garangnya ia berusaha untuk membalas memecahkan pertahanan lawannya.

Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Justru karena ia berusaha untuk menyerang dengan sepenuh kekuatannya, maka ia telah terpancing untuk mengerahkan segenap kekuatan dan tenaganya.

Karena itulah, maka tenaganya pun menjadi kian susut. Semakin banyak ia memeras tenaganya, maka tenaga itu pun menjadi semakin cepat susut pula.

Dengan demikian, maka perlawanannya justru menjadi semakin tidak berimbang. Ketika Mahisa Murti menyerangnya dengan tangannya yang terjulur ke dadanya, ia masih mampu mengelak dengan menarik sebelah kakinya dalam setengah lingkaran menyamping sambil memiringkan tubuhnya. Tetapi adalah diluar dugaan bahwa tangan yang terjulur itu telah terayun menyamping.

Orang berkumis itu berusaha melindungi dirinya dengan kedua tangannya, agar serangan tangan lawannya tidak mengenai keningnya.

Tetapi Mahisa Murti telah merubah serangannya. Dengan cepat tangan itu ditariknya. Sambil memiringkan tubuhnya, kakinya telah terangkat. Cepat sekali mengarah lambung.

Orang berkumis itu masih berusaha menangkis. Tetapi kaki Mahisa Murti ternyata lebih cepat, sehingga orang itu pun mengaduh perlahan ketika lambungnya telah dihentakkan oleh kaki Mahisa Murti sehingga dengan demikian, maka tubuhnya pun telah terlempar beberapa langkah dan terbanting jatuh.

Dengan cepat orang itu berusaha berdiri. Namun terasa betapa perutnya menjadi mual. Perasaan pedih telah menyengat pula sehingga demikian ia tegak, maka ia pun telah terhuyung-huyung.

Mahisa Murti tidak melepaskan kesempatan itu. Justru pada saat orang itu terhuyung-huyung, maka Mahisa Murti telah meluncurkan serangannya yang menentukan. Sekali lagi ia mempergunakan kakinya. Dengan loncatan yang panjang, maka kakinya terjulur menyamping langsung menghantam dada.

Sekali lagi lawannya terlempar dan jatuh terlentang. Demikian kerasnya, sehingga orang itu tidak sempat untuk mengaduh lagi. Demikian ia terbanting jatuh, maka ia pun telah menjadi pingsan.

Gajah Wareng mengumpat dengan kasarnya. Ketika ia melihat saudara seperguruannya itu terjatuh dan tidak dapat bangkit lagi, maka ia pun menjadi gelisah. Tetapi ia tidak menghentikan perlawanannya.

“Menyerahlah” berkata Mahisa Pukat.

Tetapi jawaban orang itu adalah umpatan yang menyakitkan telinga. Bahkan kemudian ia pun berkata kepada adik seperguruannya yang telah dianggapnya berkhianat, “Kau telah menjadi gila. Jika kau tidak mau melibatkan diri, maka kau akan aku bunuh seperti adikmu”

Orang itu tidak menjawab sama sekali. Ancaman itu memang mendebarkan jantung. Tetapi ketika ia melihat Ki Sarpa Kuning yang terbaring dan tidak bergerak lagi sebagaimana saudaranya seperguruannya yang seorang lagi, maka kecemasannya pun segera larut. Ki Sarpa Kuning sudah tidak akan dapat menghukumnya, sementara ia memang tidak takut kepada Gajah Wareng.

Dalam pada itu, maka Gajah Wareng benar-benar telah terdesak. Mahisa Murti yang telah kehilangan lawannya pun telah mendekatinya. Namun ia sama sekali tidak mengganggu pertempuran itu.

Ketika Mahisa Pukat kemudian mendesak lawannya semakin tajam, maka Gajah Wareng telah mengambil satu sikap yang mengejutkan. Tiba-tiba saja ia berteriak, “Ki Sendawa. Kali ini adalah kesempatan yang terakhir. Jika kau tidak berhasil, maka untuk selamanya kau akan kehilangan kesempatan. Cepat, siapkan orang-orangmu”

Ki Sendawa yang masih dicengkam oleh gejolak perasaannya melihat kekalahan demi kekalahan itu pun terkejut. Namun sekali lagi ia menghadapi satu kenyataan. Ki Sarpa Kuning sudah dikalahkan. Seorang muridnya sudah terbaring diam. Seorang muridnya yang lain berdiri termangu-mangu diluar arena, sementara dua orang murid yang masih muda itu justru telah berpihak kepada Ki Sanggarana.

Dalam kebimbangan itu sekali lagi terdengar suara Gajah Wareng, “Cepat. Lakukan. Bukankah kau tidak datang sendiri?”

Tetapi sebelum Ki Sendawa berbuat sesuatu, Ki Sanggarana yang menjadi cemas, bahwa akan terjadi pertempuran yang melibatkan orang-orang Talang Amba yang akan melawan orang-orang Talang Amba sendiri, telah tampil didampingi oleh Ki Waruju.

Dengan suara lantang ia berkata, “Paman Sendawa. Paman telah melihat apa yang telah terjadi di halaman banjar ini. Apakah paman masih belum puas dan masih, akan berusaha untuk membenturkan kekuatan diantara saudara sendiri?“

Gajah Wareng yang masih bertempur itu pun berteriak, “Jangan hiraukan”

Tetapi suaranya terputus karena Mahisa Pukat yang menjadi jengkel telah menyerangnya dengan serta merta. Kakinya yang berhasil menghantam lambungnya telah melemparkannya.

Tetapi Gajah Wareng cukup tangkas, sehingga ia tidak terbanting jatuh karenanya. Meskipun demikian, ia harus meloncat jauh-jauh dari lawannya untuk menghindari serangan berikutnya yang akan dapat menghantamnya pula.

“Paman” berkata Ki Sanggarana kemudian, “paman tahu, bahwa orang terpenting yang akan membantu paman telah dikalahkan. Apa sebenarnya yang akan dapat paman lakukan?”

Namun ternyata Ki Sendawa yang sudah dibayangi oleh kekuasaan seorang Buyut itu pun masih juga menjawab, “Aku datang dengan para pengikutku”

“Jumlah mereka tidak sebanyak jumlah orang-orangku. Tetapi yang lebih buruk lagi, orang-orang paman dan orang-orangku, keduanya adalah orang-orang Talang Amba. Mungkin di antara mereka yang berpihak kepada paman, adalah saudara salah seorang di antara mereka yang berpihak kepadaku”

“Jangan cengeng” teriak Gajah Wareng. Tetapi sekali lagi serangan Mahisa Pukat telah melemparkannya.

Ki Sendawa termangu-mangu Ia memang menghadapi satu kenyataan, bahwa Ki Sarpa Kuning telah terbaring diam. Murid-murid Ki Sarpa Kuning tidak lagi dapat diharapkan, bahkan ada di antara mereka yang berpihak kepada Ki Sanggarana.

Namun dalam keragu-raguan itu ia masih berteriak, “Sanggarana. Apakah kau masih akan berkeras kepala? Meskipun orang-orangku dan pengikutmu sama-sama orang Talang Amba, namun mereka berpijak pada alas berpikir yang berbeda. Orang-orangku adalah orang-orang yang dengan jujur melihat satu kenyataan tentang darah keturunan kita, sementara orang-orangmu adalah orang-orang yang telah kau bayar untuk berpihak kepadamu”

“Paman jangan memutar-balikkan satu kenyataan. Apalagi paman sudah kalah janji dalam arena ini Ki Sarpa Kuning pun telah kalah. Dan apalagi?” bertanya Ki Sanggarana.

“Tetapi orang-orang tidak akan kalah. Kita akan bertempur, pasukanku akan menggilas pasukanmu” teriak Ki Sendawa.

Sekali lagi ketegangan telah memuncak. Sementara itu. Gajah Wareng memang sudah tidak akan mampu berbuat sesuatu. Harapannya satu-satunya adalah, bahwa Ki Sendawa akan memerintahkan orang-orangnya untuk bertempur. Jika pertempuran itu benar-benar terjadi, maka mungkin ada kesempatan baginya untuk melarikan diri.

Karena itu, maka ia pun menjadi sangat berkepentingan untuk membakar hati Ki Sendawa. Ia tidak peduli apakah orang-orang Talang Amba akan saling berkelahi atau saling membunuh. Ia sama sekali tidak berkepentingan, berapa banyaknya orang yang akan mati. Yang penting bagi dirinya adalah keselamatannya sendiri.

Dengan demikian, maka ia pun telah berteriak pula, “Ki Sendawa. Jangan menunggu lebih lama lagi. Orang-orangmu tentu lebih baik dari orang-orang yang telah memihak Sanggarana. Apalagi mereka bertempur dengan landasan tekad untuk memenangkan satu perjuangan berdasarkan satu keyakinan”

Darah Ki Sanggarana rasa-rasanya mengalir semakin cepat. Apalagi ketika Ki Sendawa yang benar-benar menjadi terbakar dan berteriak, “Aku memberimu kesempatan sampai hitungan ketiga. Jika kau tidak menyerah, maka orang-orangku akan mengangkat senjata”

“Tunggu paman. Soalnya bukan karena aku menjadi ketakutan. Orang-orangku berjumlah lebih banyak. Dan aku tahu, bahwa orang-orang Talang Amba, baik yang berpihak kepada paman, maupun yang berpihak kepadaku, semuanya bukan orang-orang yang pernah dengan sungguh-sungguh mempelajari dan berlatih oleh kanuragan. jika pertempuran itu terjadi, mereka benar-benar akan saling membunuh tanpa memperhatikan cara dan paugeran yang manapun juga.

“Aku tidak peduli. Jika kau mencemaskannya, menyerahlah” teriak Ki Sendawa,

Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat tidak membiarkan lawannya berkesempatan untuk berteriak lagi Dengan garangnya ia menyerang beruntun, sehingga untuk berteriak pun Gajah Wareng sudah tidak sempat lagi.

Ketegangan benar-benar telah mencengkam. Ki Sanggarana sudah berada di antara orang-orangnya. Ia sadar, bahwa pertempuran memang benar-benar akan dapat terjadi. Tetapi ia pun yakin bahwa orang-orangnya dibantu oleh Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Ki Waruju dan mungkin juga murid Ki Sarpa Kuning yang berada di luar arena itu, akan dapat memenangkan pertempuran. Tetapi berapa puluh orang yang kemudian akan menjadi banten.

Dalam pada itu, jantung Ki Sanggarana bagaikan akan meledak ketika ia mendengar Ki Sendawa mulai meneriakkan hitungan, “Satu“

Gajah Wareng bertahan mati-matian. Ia masih mencoba untuk menunggu sampai hitungan ketiga. Kemudian akan menyala pertempuran yang kacau, sehingga mungkin sekali id akan dapat melarikan diri.

Jantung Ki Sanggarana benar-benar akan. pecah ketika ia mendengar Ki Sendawa meneriakkan hitungan berikutnya, “Dua“

“Tidak ada pilihan lain” geram Ki Sanggarana di dalam hati untuk memantapkan sikapnya, “jika paman memang menghendaki demikian, apaboleh buat. Kami tidak akan membiarkan leher kami di tebas tanpa perlawanan”

Namun dalam pada itu, sebelum Ki Sendawa meneriakkan hitungan yang ketiga, tiba-tiba saja terdengar suara nyaring dari belakang orang-orang yang sedang berkerumun di halaman banjar Ketika mereka berpaling, mereka melihat seorang perempuan berdiri di atas lincak bambu di bawah sebatang pohon jambu kelutuk.

Paman teriak perempuan itu di sela-sela isaknya, “paman tidak usah menyelesaikan hitungan paman. Jika paman memang ingin merampas kekuasaan yang seharusnya diwariskan oleh ayah kepada kakang Sanggarana, aku tidak berkeberatan. Aku dapat memaksa kakang Sanggarana untuk menolaknya kemungkinan untuk menerima warisan itu jika warisan itu harus dilandasi oleh darah dan jiwa anak-anak terbaik dari Talang Amba. Apakah mereka berpihak kepada paman, atau berpihak kepada kakang Sanggarana. Jika pembantaian itu benar-benar terjadi, aku membayangkan, apakah yang akan dikatakan oleh ayah jika ia menyaksikannya. Sepanjang umurnya ia bekerja untuk kesejahteraan Kabuyutan ini. Sementara itu, kekerasan akan memecah dan menghancurkan Kabuyutan ini.

Suasana telah dicengkam oleh satu ketegangan yang dalam. Sementara itu, Nyai Sanggarana yang berdiri di atas lincak itu pun meneruskan, “Paman. Ambillah kedudukan itu, jika itu akan dapat menyelamatkan anak-anak muda Talang Amba, apakah mereka pengikut paman atau pengikut kakang Sanggarana. Aku tahu, bahwa pengikut kakang Sanggarana jumlahnya jauh lebih banyak dari pengikut paman. Sementara itu, taruhan di arena itu pun telah dimenangkan kakang Sanggarana. Tetapi jika usaha-usaha untuk menghindari pertumpahan darah itu tidak berhasil, maka ambillah paman. Ambillah kedudukan Buyut di Talang Amba. Aku yakin suamiku tidak akan berkeberatan. Hal itu merupakan satu pengorbanan bagi keselamatan anak-anak muda Talang Amba. Segalanya akan dilakukannya, jika akibatnya akan berarti bagi anak-anak dan Kabuyutan ini”

Ki Sendawa memandang kemanakannya itu dengan wajah yang tegang. Namun kata-kata kemanakannya itu terasa menyentuh jantungnya. Apalagi ketika Nyai Sanggarana itu berkata, “Kakang. Marilah kakang Tinggalkan tempat ini. Katakan kepada anak-anak muda, bahwa kau sangat berterima kasih kepada kesediaan mereka untuk mendukungmu. Tetapi katakan, bahwa kau tidak ingin melihat pertumpahan darah terjadi. Kau tidak ingin duduk di atas bangkai yang bertimbun. Lebih baik kau lepaskan harapanmu untuk mewarisi kedudukan ayah daripada kau biarkan kita saling berbunuhan disini”

Ketika Nyai Sanggarana itu terdiam, maka halaman itu benar-benar menjadi hening. Pertempuran antara Gajah Wareng dan Mahisa Pukat pun telah terhenti. Sementara yang terdengar kemudian adalah isak tangis Nyai Sanggarana itu.

Ki Sanggarana menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian melangkah mendekati isterinya. Dibimbingnya isterinya turun dari lincak bambu itu. Namun kemudian ia sendirilah yang naik ke atas lincak itu sambil berkata, “Paman. Paman sudah mendengar kata-kata isteriku, kemanakan paman itu. Isteriku tidak rela jika aku harus menukarkan kedudukan itu dengan setimbun mayat kawan-kawanku sendiri. Karena itu paman, sudahlah. Aku akan menyerahkan kedudukan itu kepada paman. Tetapi dengan pesan, bahwa Talang Amba untuk selanjutnya tidak akan menjadi korban. Talang Amba akan tetap menjadi sebuah Kabuyutan yang besar. Hutan di lereng bukit itu pun merupakan hutan milik Kabuyutan ini yang tidak boleh jatuh ke tangan orang lain. karena di dalam hutan itulah tersimpan nafas Kabuyutan ini. Di hutan di lereng bukit itu tersimpan air yang dapat membasahi Kabuyutan ini di segala musim. Dan hutan-hutan di lereng bukit itu pulalah yang melindungi kita dari banjir bandang dan tanah longsor”

Wajah Ki Sendawa menjadi merah. Ternyata Sanggarana sudah mengetahui perjanjian yang telah dibuatnya dengan orang-orang yang ternyata tidak dapat memenuhi janji mereka itu. Sementara anak-anak Talang Amba sudah saling berhadapan dengan senjata di tangan.

Dalam pada itu. selagi ketegangan menjadi semakin mencengkam, tiba-tiba saja terdengar suara Ki Sendawa, “Sanggarana. Sikapmu justru telah melunakkan hatiku. Betapapun garangnya nafsu yang bergejolak di dalam hatiku, namun sikap kalian benar-benar telah menyentuh perasaanku. Baiklah Sanggarana. Bukan kau yang harus mengalah. Tetapi biarlah aku yang tua inilah yang menarik diri dari perebutan ini. Mungkin hatiku tidak dapat kau tundukkan dengan kemenangannmu di arena atau bahkan sampai kematianku sekali. Tetapi sikapmu yang tidak aku duga sebelumnya, seakan-akan telah membuka kesadaranku tentang masa depan Kabuyutan ini”

Kata-kata Ki Sendawa itu benar-benar telah mengguncang perasaan orang-orang yang berada di halaman itu. Apalagi ketiga Ki Sendawa melanjutkan, “Anak-anak muda Talang Amba. Dengarlah. Bersukurlah bahwa pertumpahan darah itu masih belum terjadi Kalian, anak-anak terbaik dari Talang Amba telah terjebak ke dalam sikap yang saling bermusuhan karena tingkah lakuku. Baiklah. Sejak sekarang, lupakan apa yang pernah terjadi. Untunglah belum ada korban diantara kita yang jatuh. Meskipun di arena ini terbaring dua sosok tubuh, namun keduanya bukan orang Talang Amba. meskipun keadaannya itu pun adalah akibat dari tingkahku. Namun keduanya menyadari apa yang telah mereka lakukan”

Dengan tidak disadari, maka setiap orang telah memperhatikan dua sosok tubuh yang terbaring diam di arena itu. Sementara itu Mahisa Pukat berdiri termangu mangu. Sementara Gajah Wareng pun menjadi tegang menghadapi perkembangan keadaan yang justru sebaliknya dari yang diharapkannya.

Namun dalam pada itu. maka nampaknya Ki Sendawa benar-benar telah menemukan satu sikap yang berarti bagi Talang Amba. Satu kesadaran yang memercik dari dasar hatinya yang semula terbalut oleh sikap tamaknya, justru karena kedua kemanakannya suami isteri yang merelakan kedudukan yang diperebutkan itu.

Tetapi dalam suasana yang mencengkam perasaan orang-orang Talang Amba itu, tiba-tiba saja telah terjadi sesuatu yeng mengejutkan. Gajah Wareng yang merasa dirinya terpencil itu pun telah mengambil sikap tersendiri. Ia tidak mau berada dalam kesulitan mengingat perubahan sikap Ki Sendawa. Bahkan ia mulai membayangkan, orang-orang Talang Amba itu akan menangkapnya dan mencincangnya beramai-ramai.

Karena itu. maka ia pun harus mengambil sikap yang cepat yang memungkinkannya untuk melepaskan diri.

Sejenak Gajah Wareng termangu-mangu Namun kemudian selagi semua perhatian tertuju kepada Ki Sendawa yang mulai berubah itu. Gajah Wareng telah memungut paser-paser beracun dari dalam kantong ikat pinggangnya. Namun ia masih menunggu kesempatan. Justru ketika Ki Sendawa kemudian mulai berbicara lagi kepada Ki Sanggarana tentang niatnya untuk mengundurkan diri.

Dengan hati-hati Gajah Wareng itu bergeser. Setapak demi setapak. Namun dengan tiba-tiba ia pun telan meloncat berlari meninggalkan arena itu.

Tetapi Gajah Wareng tidak membiarkan dirinya dikejar dan ditangkap oleh lawannya. Dengan serta merta ia pun teluh melemparkan sebuah paser langsung ke arah dada Mahisa Pukat.

Mahisa Pukat tidak mengira bahwa lawannya telah menyerangnya dengan cara yang sangat licik dan justru pada saat perhatiannya tertuju kepada Ki Sendawa.

Dengan demikian maka Mahisa Pukat tidak sempat menghindari serangan itu. Meskipun demikian, ia masih sempat menangkis serangan itu dengan tangannya yang melindungi dadanya.

Namun dalam pada itu, maka paser itu pun telah menancap di tangannya. Paser yang ternyata mengandung racun yang sangat tajam.

Tetapi sementara itu, saudara seperguruannya yang telah dikecewakan oleh Ki Sarpa Kuning karena adiknya telah dibunuhnya, dengan serta merta telah bertindak. Seperti yang dilakukan oleh Gajah Wareng, maka orang itu pun telah melemparkan sebuah paser kecilnya ke arah Gajah Wareng yang melarikan diri itu.

Ketika paser, itu tertancap di pundaknya, maka Gajah Wareng pun tertegun. Wajahnya menjadi pucat seperti kapas.

Dengan jantung yang rasa-rasanya berdegup semakin keras. Gajah Wareng berdiri memandangi adik seperguruannya yang telah melontarkan paser itu ke arahnya, “Kau memang pengkhianat” geram Gajah Wareng.

Adik seperguruannya tidak menjawab. Namun wajahnya menjadi sangat tegang, karena ia pun melihat paser yang mengenai tangan Mahisa Pukat.

Dalam pada itu, Gajah Wareng itu pun kemudian berkata dengan suara bergetar, “Racun yang mengenai tubuhku adalah racun yang terkutuk. Tidak ada obat yang dapat menyelamatkan seseorang yang terkena racun keluarga Ki Sarpa Kuning. Aku akan mati. Tetapi orang itu pun akan mati.

Semua orang kemudian memandang ke arah Mahisa Pukat yang ditunjuk oleh Gajah Wareng dan jarinya yang gemetar.

Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat seolah-olah tidak menghiraukannya. Selangkah ia maju mendekati Gajah Wareng sambil berkata, “Racun itu memang racun yang kuat sekali. Racun itu tidak akan terlawan oleh obat apa pun juga. Tetapi racun itu tidak akan dapat membunuhku”

“Omong kosong” geram Gajah Wareng, “tidak ada kecualinya. Racun itu akan membunuh dengan garangnya”

Tetapi Mahisa Pukat justru tertawa. Katanya, “Jangankan paser-paser itu. Kau melihat sendiri, bahwa ular-ular yang ganas itu tidak dapat membunuh Ki Waruju”

“Tetapi kau bukan Ki Waruju“ orang itu berteriak. Mahisa Pukat masih tertawa. Katanya, “Kita sekeluarga sebagaimana keluargamu yang bermain-main dengan bisa. Kami adalah keluarga yang memang mempunyai ketahanan terhadap bisa. Kau memang tidak akan dapat membunuhku”

Wajah Gajah Wareng menjadi semakin tegang. Namun dalam pada itu, racun yang keras itu pun mulai menusuk tubuhnya lewat jalur-jalur arus darahnya. Semakin lama semakin mencengkam, sehingga tubuhnya pun menjadi gemetar.

“Kau juga akan mati” teriaknya.

Tetapi Mahisa Pukat masih tetap berdiri tegak. Bahkan selangkah lagi ia maju mendekat.

Tubuh Gajah Wareng benar-benar telah gemetar. Racun itu telah bekerja di dalam tubuhnya, sehingga sejenak kemudian, maka Gajah Wareng itu pun tidak lagi dapat berdiri.

Ketika Gajah Wareng itu jatuh pada lututnya, maka terdengar ia mengumpat-umpat. Apalagi ketika pandangannya yang menjadi kabur masih menangkap tubuh Mahisa Pukat yang tetap tegak.


“Anak iblis“ suaranya sudah menjadi semakin sendat.

Tetapi suara itu pun segera lenyap. Gajah Wareng pun telah jatuh tertelungkup Tubuhnya bagaikan menjadi kejang dan kulitnya menjadi bernoda kehitam-hitaman.

Dengan demikian, maka pertempuran itu pun telah berakhir. Di arena itu terbaring tiga sosok mayat. Ternyata Ki Sarpa Kuning dan dua muridnya tidak dapat bertahan menghadapi orang-orang yang tidak diduganya akan dijumpai di Kabuyutan kecil itu.

Dengan demikian, maka yang berhadapan kemudian adalah orang-orang Kabuyutan Talang Amba itu sendiri. Tidak ada orang lain yang dengan sengaja berusaha untuk mendapatkan keuntungan dari pertentangan yang terjadi di Kabuyutan itu. Apalagi Ki Sendawa tiba-tiba telah melihat satu sikap yang dapat menggugah hatinya yang kelam.

Dalam pada itu, maka dalam ketegangan itu terdengar Ki Sendawa berkata, “Sanggarana. Baiklah. Biarlah aku kembali bersama orang-orang yang berpihak kepadaku. Namun aku pun akan berusaha agar racun yang telah aku taburkan pada pengikut-pengikutku itu akan dapat aku lenyapkan. Aku akan memberitahukan kepada mereka, bahwa tidak seharusnya kita saling bermusuhan”

Ki Sanggarana memandang pamannya dengan hati yang bergejolak. Namun akhirnya ia mendekati pamannya sambil berkata lembut, “apakah paman berkata sebagaimana paman kehendaki”

“Percayalah. Aku berkata sebenarnya” jawab Ki Sendawa.

“Aku mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga paman. Bukan saja karena aku akan dapat mewarisi jabatan tertinggi di Kabuyutan ini. tetapi aku pun akan menikmati satu kebahagiaan karena pertumpahan darah di daerah ini dapat dicegah”

Ki Sendawa mengangguk-angguk. Katanya, “Selama ini aku telah diselubungi oleh ketamakan yang tidak teratasi oleh nalarku. Tetapi kini aku merasa, bahwa dunia telah menjadi terang. Aku tidak lagi merasa duniaku gelap seperti saat-saat sebelumnya”

“Aku mohon maaf. paman, bahwa selama ini aku telah berbuat tidak sepantasnya terhadap paman, pengganti orang tuaku” berkata Ki Sanggarana.

“Bukan kau yang harus minta maaf, tetapi aku” jawab Ki Sanggarana.

Ki Sanggarana menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, Ki Sendawa pun berkata, “Baiklah. Aku minta diri. Mudah-mudahan untuk seterusnya hatiku selalu mendapat terang dari Sang Maha Pencipta, sehingga peristiwa seperti ini tidak akan terjadi lagi”

“Terima kasih paman. Sebenarnya aku ingin mengharapkan paman singgah barang sebentar” berkata Ki Sanggarana.

“Terima kasih. Aku harus menenangkan diri dan menenangkan gejolak perasaan orang-orangku. Aku harus memberikan pertanggungan jawab dan penjelasan, sehingga untuk selanjutnya tidak akan terjadi sesuatu?”

Ki Sanggarana tidak menahan lagi. Ki Sendawa pun kemudian masih sempat minta diri kepada orang-orang Talang Amba dan bersama orang-orangnya ia meninggalkan halaman banjar dan tiga sosok mayat dan perguruan Sarpa Kuning, termasuk. Ki Sarpa Kuning itu sendiri.

Orang-orang yang berpihak kepada Ki Sanggarana menyaksikan Ki Sendawa yang meninggalkan banjar itu bersama dengan para pengikutnya dengan hati yang berdebar-debar.

Ternyata mereka tidak harus bertempur. Yang terjadi pertempuran di arena adalah orang-orang tertentu. Orang-orang lain yang mencoba ikut mencampuri persoalan Kabuyutan Talang Amba.

Hampir diluar sadar, maka orang-orang Talang Amba kemudian bersyukur di dalam hati, bahwa Sang Maha Pencipta masih melindungi rakyat Talang Amba sehingga pertempuran yang akan dapat mengakibatkan pertumpahan darah dapat dihindarkan.

Sementara itu, para pengikut Ki Sendawa yang meninggalkan banjar itu pun mempunyai perasaan yang sama. Mereka pun merasa terlepas dari satu jebakan perasaan yang tidak dapat dikendalikannya sebelumnya. Mereka pun bersyukur, bahwa tidak terjadi pertumpahan darah itu Mereka tidak harus saling berbunuh-bunuhan diantara keluarga sendiri.

Baru kemudian mereka dapat menyebut di dalam hatinya, bahwa diantara para pengikut Ki Sanggarana adalah saudara-saudara mereka. Bahkan ada yang terlalu dekat dalam pertalian darah. Ada di antara orang-orang Talang Amba yang berpihak Ki Sanggarana adalah kemanakan mereka. Bahkan ada yang saudara sepupu dan saudara kandung.

“Namun Sang Maha Pencipta masih melindungi kita semuanya” berkata seseorang kepada orang yang berjalan di sebelahnya.

“Ya. Rasa-rasanya hati ini telah dikuasai oleh satu sikap yang kurang kita mengerti sedalam-dalamnya akan maknanya” jawab yang lain. Lalu, “Kita seakan-akan demikian saja hanyut oleh arus yang deras yang tidak terbendung lagi”

“Kita telah terbebas” sahut yang lain, “apakah artinya bagi kita, siapa pun yang akan mewarisi jabatan Kabuyutan. Bahkan seandainya orang lain pun seharusnya kita tidak berkeberatan jika mereka benar-benar akan menguntungkan bagi rakyat Talang Amba”

Kawan-kawannya pun mengangguk-angguk. Setelah mendapat kesempatan berpikir dengan hati yang bening, maka mereka pun pada umumnya tidak berkeberatan sama sekali jika yang kemudian akan menjadi Buyut di Talang Amba adalah Ki Sanggarana. Bahkan seseorang telah berdesis, “Memang ia adalah orang yang paling berhak menjadi Buyut di Talang Amba jika hal itu diambil dari jalur keturunan seperti yang turun temurun terjadi”

“Baru sekarang hal itu dapat kita lihat dengan jelas” sahut yang lain, “rasa-rasanya selama ini mata kita telah menjadi buta”

“Tetapi segalanya telah lampau” jawab yang lain. Namun dalam pada itu, di antara sekian banyak orang, ternyata ada juga yang merasa kecewa. Mereka yang telah terlanjur merasa dirinya seseorang yang memiliki kelebihan dari orang lain. Seorang yang sudah siap untuk membunuh dan berbangga atas kemenangannya itu.

Namun ketika ia terkenang betapa dahsyatnya pertempuran antara Ki Sarpa Kuning melawan Ki Waruju dan kemudian pertempuran antara murid-murid Ki Sarpa Kuning itu sendiri, maka rasa-rasanya memang menjadi ngeri.

Mereka pun segera menyadari, bahwa kemampuan mereka dalam olah kanuragan, masih belum sekuku ireng dibandingkan dengan orang-orang yang kini berada di-lingkungan para pengikut ki Sanggarana.

Dengan demikian bulu-bulu tengkuk mereka pun meremang. Mereka melihat ular yang berbisa, menggigit tanpa menimbulkan akibat apapun juga. Paser yang beracun tajam. Yang dapat membunuh orang dengan cepat. Tetapi salah seorang murid Ki Sarpa Kuning itu ternyata tidak mengalami cidera apapun juga ketika tubuhnya terkena paser beracun itu.

Akhirnya orang itu pun harus mengucapkan syukur juga. Jika bukan perasaannya, maka nalarnya. Karena dengan demikian maka mereka masih tetap hidup dan dapat kembali kepada keluarga mereka dengan selamat.

Di pedukuhannya, maka Ki Sendawa masih sempat mengumpulkan orang-orangnya di banjar padukuhan. Dengan singkat ia menguraikan sikapnya untuk dimengerti oleh para pengikutnya. Dengan suara bergetar ia berkata, “Ternyata kita masih mendapatkan terang dari Sang Maha Pencipta. Pertempuran yang mengerikan itu dapat terhindar. Dan aku pun merasa bebas dari sikap yang tidak sewajarnya. Bagaimanapun juga, kedudukan Buyut di Talang Amba adalah hak Sanggarana”

Orang-orangnya mengangguk-angguk. Tetapi ada yang menjadi geli melihat ke dalam dirinya sendiri. Apa yang telah membuatnya bingung sehingga ia setuju, bahwa Ki Sendawa adalah pewaris yang sah.

“Apakah benar ia saudara sepupu Ki Buyut yang meninggal itu?“ pertanyaan itu baru timbul kemudian.

Tetapi orang-orang itu sudah tidak peduli lagi. Mereka telah merasa diri mereka terhindar dari benturan kekerasan yang akan dapat mengakibatkan saling berbunuhan.

“Bukan saling berbunuhan. Merekalah yang akan membantai kita. Kecuali jumlah mereka hampir berlipat, di antara mereka terdapat orang-orang yang ternyata mampu mengalahkan Ki Sarpa Kuning dan murid-muridnya yang lain.

Namun peristiwa itu agaknya telah menjadi satu pengalaman yang mahal sekali. Orang-orang Talang Amba akan selalu ingat kepada peristiwa itu, sehingga di masa mendatang, mereka tidak akan dengan cepat tergelincir ke dalam satu sikap yang dapat menghancurkan diri mereka sendiri.

Dalam pada itu. maka orang-orang Talang Amba yang tertinggal di Banjar Kabuyutan itu pun merasa dada mereka menjadi lapang. Mereka pun merasa sebagaimana dirasakan oleh saudara-saudara mereka yang semula berpihak kepada Ki Sendawa. Orang-orang Talang Amba yang semula berpihak kepada Ki Sanggarana itu pun merasa bahwa mereka terbebas dari kemungkinan yang paling buruk. Mereka tidak lagi jatuh ke dalam satu kemungkinan mati terbunuh oleh saudara sendiri.

Dengan demikian, maka mereka pun lelah mengucapkan syukur di dalam hati, bahwa pertempuran telah dapat dihindarkan. Sementara yang mereka inginkan pun akan dapat terjadi. Ki Sanggarana akan menggantikan kedudukan ayah mertuanya, menjadi Buyut di Talang Amba.

Namun dengan peristiwa itu, maka mata orang-orang Talang Amba pun telah terbuka. Mereka menjadi semakin hormat kepada Ki Sanggarana. Jika semula mereka menghormatinya hanya karena kebesaran nama Ki Buyut yang telah meninggal yang telah mengambilnya menjadi menantu, maka mereka pun kemudian menjadi hormat kepada Ki Sanggarana karena sikapnya. Ternyata Ki Sanggarana bukan seorang pengecut yang tidak berani bertindak apapun juga. Tetapi yang menjadi beban Ki Sanggarana adalah keselamatan rakyat Talang Amba. Ia sama sekali tidak dengan tamak menginginkan jabatan tertinggi di Kabuyutan Talang Amba, karena dengan demikian ia akan dapat membenturkan kekuatan rakyat Talang Amba kepada saudara-saudara sendiri. Namun pada saat tertentu, maka ia telah dengan berani tampil di arena melawan pamannya, Ki Sendawa.

Dengan demikian, maka rakyat Talang Amba menjadi semakin yakin, bahwa Ki Sanggarana akan dapat menjadi seorang pemimpin yang baik. Seorang pemimpin yang tidak mementingkan diri sendiri.

“Mudah-mudahan ia tidak berubah” berkata seorang yang berkumis keputih-putihan.

“Kenapa?” bertanya seorang kawannya.

“Hal yang mungkin sekali. Seorang yang baik, yang dengan kesungguhan hati berbuat sesuatu bagi kepentingan lingkungannya, setelah menjadi seorang pemimpin perlahan-lahan telah berubah sikap. Ia lebih senang menikmati kedudukannya daripada berjuang lebih berat lagi bagi rakyatnya itu” berkata orang berkumis keputihan-putihan itu.

Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, “Memang mungkin. Kedudukan akan dapat memadamkan nyala api perjuangan di dalam dadanya”

“Karena itu, kita memang harus berdoa mudah-mudahan Ki Sanggarana bukan termasuk orang yang demikian itu” berkata orang berkumis keputih-putihan itu.

Namun sementara itu, Ki Sanggarana yang berada di pendapa banjar tengah berbincang dengan Ki Waruju, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan murid Ki Sarpa Kuning yang tertinggal.

Sementara itu, Ki Sanggarana pun telah memanggil beberapa orang tua di Kabuyutan Talang Amba dan orang-orang yang dianggap berpengaruh untuk duduk bersama di pendapa. Duduk pula diantara mereka Nyai Sanggarana, keturunan langsung Ki Buyut, yang menjadi saluran warisan bagi Ki Sanggarana.

Pertemuan yang dengan tiba-tiba diadakan itu, merupakan satu tanggapan langsung terhadap peristiwa yang baru saja terjadi. Mereka berusaha untuk menilai keadaan. Apakah sikap Ki Sendawa itu cukup meyakinkan.

Beberapa orang Talang Amba sendiri masih tetap meragukan. Tetapi sebagian yang lain, yang menyaksikan langsung peristiwa itu menganggap, bahwa Ki Sanggarana tidak perlu ragu-ragu.

“Apakah kita akan dapat yakin terhadap sikapnya? seorang yang berdahi lebar bertanya.

“Aku percaya” jawab Ki Sanggarana.

“Apakah sikapnya bukan sekedar untuk menyelamatkan diri kemudian menyusun kekuatan yang lebih besar dengan menghubungi orang-orang kesediaan untuk memberikan imbalan yang lebih besar lagi. Bukan hanya hutan di lereng bukit yang tidak banyak berarti bagi kita itu. tetapi sawah dan ladang bahkan mungkin satu diantara pedukuhan yang ada di Talang Amba ini?” bertanya seseorang.

“Apakah sawah dan pedukuhan itu lebih berharga dari hutan di lereng bukit?” bertanya Mahisa Murti.

“Tentu Ngger” jawab orang itu, “apa artinya hutan itu bagi kita. Jika kita ingin memanfaatkannya, maka kita masih harus bekerja keras, menebang dan menyusun tataran tanah yang dapat kita jadikan sawah atau ladang”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Agaknya kita masih belum mengerti arti dari sikap Ki Sarpa Kuning yang telah terbunuh itu”

“Kami mengerti” jawab orang itu, “ia memilih daerah yang masih akan mudah dibentuk. Hutan itu memberi keleluasaan dan barangkali orang-orang itu melihat kayu yang mempunyai nilai tertentu hidup di hutan itu. Mungkin kayu cendana atau sejenis belendok yang berharga.

Mahisa Murti menggeleng lemah. Katanya, “Bukan Ki Sanak. Bukan itu. Ki Sarpa Kuning dan orang-orang tidak memerlukan hutan itu. Mereka akan menebanginya dan menjadi bukit itu bukit gundul”

“Mereka akan membuat tanah persawahan” jawab orang itu.

Tetapi Mahisa Murti masih juga menggeleng, “Bukan tanah persawahan. Tetapi justru tanah gundul itulah yang dikehendaki.”

“Kenapa dengan tanah gundul?” bertanya orang itu. Mahisa Murti pun berpaling kepada Ki Sanggarana. Ia yakin bahwa Ki Sanggarana tentu dapat mengerti masalahnya.

Ki Sanggarana kemudian bergeser setapak. Namun ia mengerti, bahwa Mahisa Murti menghendaki, agar ia menyatakan pendapatnya.

Karena itu, maka katanya, “Saudara-saudara di Kabuyutan Talang Amba. Bahwa orang-orang asing itu menghendaki hutan di lereng bukit memang agak mengherankan kita. Sebenarnya mereka dapat minta imbalan lebih dari itu. Jauh lebih baik. Tetapi mereka memang tidak memerlukan sawah atau ladang yang baik. Mereka memang memerlukan hutan di lereng bukit”

“Kami ingin mengetahui sebabnya” bertanya seseorang.

Ki Sanggarana menarik nafas dalam-dalam. Sambil berpaling kepada Ki Waruju, ia pun berkata, “Aku sudah mendapat beberapa keterangan dari Ki Waruju yang telah membantu kami menghindarkan benturan yang dapat membawa korban lebih banyak lagi. Menurut Ki Waruju, maka hutan di lereng bukit itu telah menampung air di musim hujan. Air yang turun di lereng bukit karena hujan yang deras, akan tertahan dan tersimpan di dalam tanah. Air itu akan sangat bermanfaat di musim kering. Tetapi jika tanah itu menjadi gundul, maka akibatnya akan jauh berbeda. Air akan mengalir sederas-derasnya di musim hujan karena tidak ada penahannya sama sekali. Akibatnya adalah banjir bandang. Padukuhan serta sawah ladangnya akan hanyut dan barangkali kekayaan dan ternak pun akan terendam”

Orang-orang yang mendengarkan keterangan itu menjadi tegang. Salah seorang diantara mereka pun bertanya, “Tetapi apakah pamrih mereka dengan rencana itu. Apakah mereka hanya sekedar ingin merusak kehidupan kami, atau karena mereka memang mempunyai kesenangan melihat penderitaan orang lain atau kepentingan lain yang tidak kita ketahui?“

“Persoalan itu menyangkut satu tatanan kehidupan yang luas Ki Sanak” jawab Ki Waruju, “persoalan yang menyangkut hubungan antara Kediri dan Singasari, Beberapa orang bangsawan Kediri memang merasa bahwa selama ini Kediri berada di bawah pemerintahan Singasari. Mereka tidak mau menerima keadaan itu untuk seterusnya. Apalagi diantara mereka merasa bahwa yang sebenarnya berhak memerintah adalah Kediri. Pada saat Akuwu Tumapel yang bernama Ken Arok melihat satu kesempatan, maka ia telah bangkit dan mengalahkan Kediri. Pada saat itu berdirilah Singasari yang memerintah sampai ke tlatah Kediri”

Orang-orang, yang mendengarkan keterangan itu pun mengangguk-angguk. Mereka pun sebagian pernah mendengar cerita itu. Bahkan beberapa orang tua-tua masih ingat, apa yang pernah terjadi meskipun tidak langsung mereka alami.


Namun keterangan tentang hutan di lereng bukit itu nampaknya dapat mereka mengerti. Ternyata bahwa hutan di lereng bukit itu akan dapat berpengaruh terhadap dataran dibawahnya.

“Satu jenis perang yang berjangka panjang” desis salah seorang di antara mereka yang hadir.

“Tepat” jawab Ki Sanggarana, “perang yang berjangka panjang. Karena itu, apa yang terjadi di Talang Amba, bukannya satu persoalan yang berdiri sendiri, yang terpisah dari usaha yang lain yang dilakukan oleh beberapa orang bangsawan Kediri. Jika kali ini Ki Sarpa Kuning, yang merupakan salah seorang yang berdiri di belakang para bangsawan itu, telah gagal, mungkin pada saatnya akan datang lagi orang lain dengan cara yang berbeda. Mungkin mereka tidak lagi berhubungan dengan orang-orang Talang Amba. Mungkin mereka langsung merusak hutan itu”

Orang-orang yang mendengarkannya mengangguk-angguk. Tetapi nampak ada ketegangan di sorot mala mereka. Karena mereka menyadari, bahwa mereka ternyata berada di dalam lingkaran peperangan. Kabuyutan mereka menjadi sasaran perang yang aneh itu.

Dengan demikian mereka pun mengerti, bahwa Kabuyutan Talang Amba adalah satu Kabuyutan yang luas di tlatah Singasari, yang menjadi salah satu sasaran yang harus dimusnahkan.

Karena itu, maka menjadi kewajiban mereka untuk berbuat sesuatu, agar Kabuyutan mereka tidak menjadi hancur karenanya.

Usaha Ki Sarpa Kuning mendorong perpecahan di Talang Amba sehingga hampir saja terjadi pertumpahan darah, harus tetap mereka ingat sebagai satu pelajaran yang berharga.

“Saudara-saudaraku” berkata Ki Sanggarana kemudian, “tugas kita masih cukup banyak. Kita dapat bersyukur bahwa kita tidak terpecah karenanya. Tetapi kita pun harus bersiaga menghadapi kemungkinan yang bakal datang. Untunglah, bahwa kekuatan kita telah pulih dan Talang Amba telah menjadi satu kembali. Dengan demikian, maka di saat-saat mendatang, dalam pembicaraan seperti itu, kita tidak akan dapat meninggalkan paman Sendawa”

Orang-orang Talang Amba itu tidak berkeberatan. Bahkan mereka-mereka berkewajiban untuk menghimpun segenap kekuatan yang ada di Talang Amba, karena bahaya yang mereka hadapi mungkin justru akan bertambah besar.

Dalam pada itu, maka untuk sementara kehidupan di Talang Amba telah pulih kembali. Hubungan antara padukuhan-padukuhan yang semula dibatasi oleh sikap yang berbeda terhadap Buyut yang bakal mereka pilih, kemudian telah bertaut kembali. Sanak kadang yang terpisah, telah saling berkunjung dan yang pernah terjadi, kadang-kadang justru menjadi bahan kelakar yang segar.

Namun demikian, Ki Sanggarana tidak kehilangan kewaspadaan. Meskipun ia belum dilantik resmi sebagai Buyut di Talang Amba, namun justru karena peristiwa yang telah terjadi, seakan-akan telah menetapkannya untuk memangku jabatan Buyut yang ditinggalkan oleh mertuanya.

Sementara itu, peristiwa yang terjadi di Talang Amba itu pun didengar pula oleh para pemimpin di Singasari. Para Senopati pun telah memperbincangkannya pula. Mahisa Bungalan yang mengetahui beberapa hal tentang usaha itu pun telah memberikan laporannya.

Dengan demikian, maka Singasari pun menyadari, bahwa Kediri yang nampaknya tenang itu, telah bergejolak di bagian dalam. Bukan hanya sekali, tetapi beberapa kali terjadi peristiwa yang sama. Satu dua orang bangsawan merasa bahwa Kediri bukan sewajarnya diperintah oleh Singasari.

Dalam pada itu, Akuwu Gagelang telah mendapat perintah langsung dari Singasari untuk menangani perkembangan keadaan di daerahnya, Kabuyutan Talang Amba.

“Orang-orang Talang Amba memang gila” geram Akuwu Gagelang, “mereka sama sekali tidak melaporkan kepadaku. Tiba-tiba aku mendapat perintah dari Singasari untuk menangani persoalan yang timbul di Kabuyutan itu”

Para Senopati Gagelang hanya dapat menundukkan kepala. Mereka memang merasa kecewa terhadap sikap orang-orang Talang Amba. Menurut dugaan orang-orang Gagelang, maka orang-orang Talang Amba langsung memberikan laporan kepada Singasari.

Tetapi sebenarnyalah bahwa berita tentang peristiwa di Talang Amba itu telah dibawa oleh Ki Waruju yang kembali untuk satu dua hari ke Singasari. Lewat Mahendra, maka persoalan itu sampai kepada para pemimpin di Singasari. Apalagi Mahisa Bungalan telah memberikan laporan pula sejauh dapat diketahuinya.

Sementara itu, Akuwu Gagelang telah memberikan perintah kepada seorang Senopatinya, “Bawa orang-orang yang merasa dirinya memerintah di Talang Amba itu menghadap aku. Aku harus memberi peringatan kepada mereka. Bahkan jika perlu hukuman atas kelancangan mereka”

“Tetapi Buyut Talang Amba telah meninggal” berkata salah seorang Senopatinya.

“Aku tahu. Tetapi dalam keadaan yang demikian, tentu ada seseorang yang tampil dan memimpin orang-orang Talang Amba” berkata Akuwu lantang, “orang itulah yang harus bertanggung jawab. Jika benar orang itu melaporkan kepada Sang Maha Prabu di Singasari sebelum memberi tahukan persoalannya kepadaku, maka orang itu telah mencemarkan namaku. Seolah-olah aku tidak tahu menahu tentang segala peristiwa yang terjadi di Kabuyutan di tlatah Pakuwon Gagelang”

Senopati itu mengangguk-angguk. Jawabnya, “Hamba Akuwu. Hamba akan memanggil orang itu”

Demikianlah, Senopati itu pun telah pergi ke Talang Amba. Kedatangannya memang sangat mengejutkan. Apalagi Senopati itu telah membawa beberapa. orang pengawal, karena menurut penilaian orang-orang Gagelang, keadaan di Talang Amba masih belum jelas.

Ketika Senopati itu bertemu dengan seseorang yang sedang bekerja di sawah, maka ia pun bertanya, “Siapa yang sekarang memangku kedudukan Buyut di Talang Amba sebelum ada seorang Buyut yang diangkat oleh Akuwu?“

Orang itu ragu-ragu sejenak. Namun akhirnya ia menjawab, “Ki Sanggarana. Menantu Ki Buyut yang telah meninggal”

“Dimana rumahnya?” bertanya Senopati itu.

“Juga di rumah Ki Buyut yang meninggal itu” jawab orang Talang Amba itu, “Apakah Senopati belum pernah melihat rumah Ki Buyut?“

“Aku sudah tahu” jawab Senopati itu sambil menggerakkan kendali kudanya. Sejenak kemudian maka sekelompok prajurit dari Pakuwon Gagelang itu pun telah lenyap meninggalkan debu yang terhambur di bulak panjang.

Ketika Senopati dan para pengawalnya memasuki rumah Ki Sanggarana, Ki Waruju telah berada di rumah itu pula. Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan seorang murid Ki Sarpa Kuning pun juga masih berada di rumah itu, karena Ki Sanggarana telah menahan mereka untuk tinggal barang satu dua pekan atau lebih jika mereka menghendaki.

Meskipun demikian kehadiran Senopati dan pengawal-pengawalnya itu memang mengejutkan. Dengan hormat, Ki Sanggarana pun telah mempersilahkan Senopati itu naik ke pendapa.

Setelah menanyakan keselamatan masing-masing, maka Senopati itu pun kemudian bertanya, “Ki Sanak. Siapakah yang saat ini memangku jabatan Buyut di Kabuyutan yang komplang ini?“

Ki Sanggarana menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Maaf Senopati. Bukan maksudku mendahului titah Akuwu. Tetapi untuk sementara aku telah melakukan tugas itu, sekedar untuk mengisi kekosongan karena kebetulan aku adalah menantu Ki Buyut yang telah meninggal dunia”

Senopati itu mengangguk-angguk. Katanya, “Kau sudah bertindak tepat Ki Sanak. Memang seharusnya seseorang tampil untuk memangku jabatan itu. Jika tidak ada yang berani tampil maka keadaan tentu akan menjadi kacau. Bukankah di Kabuyutan ini hampir saja timbul kekacauan?”

Ki Sanggarana memandang Ki Waruju sekilas. Namun karena Ki Waruju tidak memandang ke arahnya, maka ia pun menjawab, “Ya Senopati. Di Kabuyutan ini memang telah timbul satu persoalan, justru karena ada orang asing yang memasuki Kabuyutan ini dan berusaha mengendalikan persoalan yang timbul di dalam Kabuyutan ini sendiri”

“Aku telah mendengar laporan” jawab Senopati itu, “sekelompok orang asing yang ingin menguasai bukit berhutan itu“

Ki Sanggarana menarik nafas dalam-dalam. Tekanan perhatian Senopati itu justru kepada orang asing yang bernama Ki Sarpa Kuning, tidak kepada perselisihan diantara orang-orang Talang Amba sendiri.

Namun yang lebih mengejutkan lagi adalah penjelasan Senopati itu, bahwa para bebahu di Kabuyutan Talang Amba telah melakukan satu kesalahan yang besar. Mereka telah memberikan laporan kepada pimpinan pemerintahan di Singasari bahkan telah sampai kepada Sang Maha Prabu, sementara Akuwu di Gagelang masih belum mengetahuinya.

“Akuwu memerintahkan, agar pemangku jabatan Buyut di Talang Amba di bawa ke Pakuwon. Ia harus mempertanggung jawabkan sikapnya yang melampaui kuasa Sang Akuwu” berkata Senopati itu.

“Apa yang sudah aku lakukan. Senopati?” bertanya Ki Sanggarana,

“Kau telah melaporkan kedatangan orang asing yang ingin menguasai hutan di lereng bukit itu ke Singasari sebelum kau melaporkannya ke Gagelang” berkata Senopati itu.

Wajah Ki Sanggarana menjadi tegang. Dengan cemas ia berkata, “Senopati. Aku sama sekali belum melaporkannya kepada siapa pun juga. Apalagi kepada para pemimpin di Singasari. Selama ini aku masih berusaha untuk menyelesaikan persoalan yang timbul di dalam Kabuyutan ini. Persoalan yang hampir saja membenturkan aku dengan pamanku sendiri karena pokal orang asing itu”

“Apa yang terjadi?” bertanya Senopati itu. Ki Sanggarana pun kemudian menceriterakan, apa yang telah terjadi antara dirinya dan pamannya. Ki Sendawa.

Namun yang kemudian telah dapat diatasinya, meskipun harus mengorbankan orang-orang asing yang berada di Kabuyutan itu.

Senopati itu mengerutkan keningnya. Dipandanginya Ki Sanggarana dengan tajamnya. Namun kemudian katanya, “Jadi kau dan orang-orangmu mampu mengalahkan Ki Sarpa Kuning dan murid-muridnya?“

Ki Sanggarana menjadi berdebar-debar. Ia ingin mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi ia ragu-ragu, apakah Ki Waruju sependapat jika ia berbuat demikian.

Namun dalam keragu-raguan itu terdengar Ki Waruju berkata, “Senopati. Kami ternyata telah dapat mengatasi ilmu ketiga orang itu dengan jumlah dan keberanian kami. Anak-anak muda Talang Amba telah bergerak dengan cepat dan pada saat yang tepat, sehingga mereka dapat mengalahkan orang yang disebut Ki Sarpa Kuning itu”

“Tanpa korban sama sekali?” bertanya Senopati itu.

Ki Waruju pun menjadi ragu-ragu. Namun sebelum ia menjawab Senopati itu berkata, “Mustahil jika anak-anak muda Talang Amba mampu menyelesaikan orang yang bernama Ki Sarpa Kuning tanpa korban seorang pun. Seandainya anak-anak muda Talang Amba serentak bergerak, maka di samping tiga orang korban itu, tentu akan jatuh berpuluh korban di antara anak-anak muda itu sendiri. Apalagi jika ada dua sisi yang saling bermusuhan”

Ki Waruju pun menjadi semakin ragu-ragu. Agaknya ia memang tidak akan dapat berbohong. Senopati itu mempunyai wawasan yang cukup tajam mengenai keadaan yang terjadi di Talang Amba. Sehingga karena itu, maka akhirnya Ki Waruju berketetapan hati untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi atas dirinya, meskipun ia masih berusaha untuk melindungi Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan seorang murid Ki Sarpa Kuning.

Karena itu, maka katanya, “Senopati. Baiklah aku berterus terang Sebenarnyalah bahwa aku telah berdiri di pihak Ki Sanggarana saat perselisihan itu terjadi Namun sebelum terjadi benturan kekerasan, Ki Sanggarana berhasil menumbuhkan kesadaran di hati pamannya, meskipun dengan cara yang tidak terduga-duga.

Dengan singkat, Ki Waruju pun menceriterakan, apa yang telah dilakukan olehnya Sanggarana sebagai kemanakan langsung dari Ki Sendawa yang ternyata berhasil menyentuh perasaannya”

Senopati itu mengangguk-angguk Dipandanginya Ki Waruju sejenak. Lalu katanya, “Jadi kau merasa dirimu dapat mengimbangi kemampuan Ki Sarpa Kuning?“

“Mungkin secara kebetulan saja. Senopati. Sementara itu kegelisahan Ki Sarpa Kuning pun ikut menentukan kekalahannya. Sikap Ki Sendawa yang menyadari kesalahannya itu membuat Ki Sarpa Kuning marah dan kecewa. Dengan demikian, maka sebagian besar kekalahan Ki Sarpa Kuning adalah karena dirinya sendiri. Aku hanya sekedar menjadi lantaran untuk meyakinkan kematiannya saja”

Senopati itu mengangguk-angguk. Namun katanya, “Meskipun demikian, aku tidak dapat menolak perintah Akuwu untuk membawa pemangku jabatan Buyut di Talang Amba ini. Tetapi karena menurut keterangan Ki Waruju. ia telah ikut mencampuri persoalan ini, maka aku akan membawanya pula menghadap Akuwu. Namun jika kalian dapat meyakinkan apa yang terjadi, maka agaknya Akuwu pun akan mempercayainya. Apalagi jika kalian dapat menjelaskan bahwa kalian belum pernah melaporkannya ke Singasari. Jika Singasari mengetahui persoalan yang terjadi itu adalah karena ketajaman pengamatan para petugas sandi dari Singasari itu sendiri”

“Begitulah Senopati” jawab Ki Sanggarana, “mungkin pada saat itu, secara kebetulan atau sengaja, ada satu atau lebih petugas sandi dari Singasari yang berada di Kabuyutan Talang Amba atau di sekitarnya. Atau setelah hal itu terjadi dan menjadi bahan pembicaraan orang-orang di pasar dan di sepanjang jalan, maka kabar tentang peristiwa itu ditangkap oleh para petugas dari Singasari”

“Mungkin. Tetapi anehnya, bahwa kami belum mendengar peristiwa itu secara terperinci” berkata Senopati itu.

“Kami memang baru menyiapkan laporan yang akan kami bawa ke Pakuwon Gagelang, sekaligus tentang kemungkinan pengangkatan seorang Buyut di Kabuyutan Talang Amba” berkata Ki Sanggarana kemudian.

Senopati dari Pakuwon Gagelang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun bertanya, “Apakah kau sudah menentukan seorang calon bagi Buyut di Talang Amba? Atau karena kau sendiri sekarang menjadi pemangku jabatan itu, kau akan mengusulkan dirimu sendiri?”

“Aku tidak akan mengusulkan diriku sendiri” jawab Ki Sanggarana terserah kepada kebijaksanaan Akuwu. Mungkin Akuwu memandang ada orang lain yang lebih tepat untuk menjadi Buyut di Talang Amba daripada aku yang sekarang menjadi pemangku”

Senopati itu mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Jika demikian, bersiaplah. Kita akan pergi ke Gagelang menghadap Sang Akuwu”

Ki Sanggarana menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Akuwu menganggap bahwa ia telah melakukan satu kesalahan. Namun bagaimana pun juga ia memang harus menghadap. Ia harus menyampaikan satu pertanggungan jawab atas peristiwa yang baru saja terjadi. Bahkan Senopati itu telah meminta agar Ki Waruju ikut bersama dengan Senopati itu pula.

Demikianlah, maka Ki Sanggarana pun menyahut, “Baiklah Senopati. Aku tidak akan menolak perintah itu. Aku akan menghadap Akuwu. Tetapi tentang Ki Waruju, sebaiknya Ki Waruju menyatakan sikapnya. Karena sebenarnyalah ia bukan warga Kabuyutan ini dan bahkan bukan warga Pakuwon Gagelang”

“Meskipun ia bukan orang Gagelang, tetapi ia melakukan satu perbuatan di Gagelang. Karena itu, maka ia pun wajib menghadap untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya atau mungkin hanya sekedar memberikan keterangan saja” jawab Senopati itu.

Ki Waruju pun kemudian mengangguk-angguk sambil menjawab, “Baiklah Senopati. Aku tidak akan berkeberatan. Aku memang sudah berbuat sesuatu di Kabuyutan ini yang termasuk daerah kekuasaan Akuwu di Gagelang. Karena itu, maka aku pun tidak akan menolak perintah untuk menghadap Akuwu di Gagelang”

Ki Sanggarana menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya Ki Waruju memang akan mempertanggung jawabkan sendiri langkahnya. Karena dengan demikian agaknya Ki Waruju memang benar-benar ingin membantunya.

Sejenak kemudian, maka Senopati Gagelang bersama beberapa pengawalnya telah membawa Ki Sanggarana dan Ki Waruju ke Pakuwon untuk menghadap Sang Akuwu. Sementara itu, isteri Ki Sanggarana benar-benar menjadi gelisah. Ia telah sejak semula menganjurkan agar suaminya menarik diri dari seluruh persoalan Buyut di Talang Amba yang kosong. Dengan demikian, maka keluarga kecilnya tidak akan selalu merasa terganggu.

Namun Nyai Sanggarana itu pun mengerti, bahwa suaminya tidak akan dapat mengabaikan sama sekali pendapat anak-anak muda Talang Amba yang telah mengungkitnya untuk tampil dalam arena pencalonan Buyut di Talang Amba.

Dalam pada itu, maka Ki Sanggarana dan Ki Waruju pun telah meninggalkan Talang Amba. Beberapa orang anak muda memperhatikan kedua orang yang mereka anggap telah menjadi pusat perhatian orang-orang Talang Amba yang ternyata telah dibawa oleh sekelompok pengawal dari Pakuwon Gagelang.

“Apa salah mereka?“ orang-orang Talang Amba itu pun saling bertanya.

Namun tidak seorang pun yang dapat menjawab. Baru kemudian ketika mereka pergi ke rumah Ki Sanggarana, mereka mendapat penjelasan dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tentang kedatangan sekelompok pengawal dari Pakuwon Gagelang.

“Apakah Ki Sanggarana dapat dianggap bersalah?” bertanya anak-anak muda yang datang ke rumah Ki Sanggarana itu.

“Menurut Senopati yang datang itu, Ki Sanggarana memang dianggap bersalah” jawab Mahisa Murti, “tetapi nampaknya Senopati itu dapat mengerti. Karena itu, menurut Senopati yang datang itu, mungkin Ki Sanggarana dan Ki Waruju hanya akan diminta untuk memberikan keterangan saja”

Anak-anak muda Talang Amba itu mengangguk-angguk. Mereka pun kemudian tidak memikirkannya lagi persoalan yang semula mereka anggap gawat.

Tetapi ternyata bahwa persoalan itu tidak secepat yang diduga oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk mendapat penyelesaian. Ternyata Akuwu Gagelang berpendirian lain dengan Senopati yang telah mengambil dua orang yang terlibat langsung dalam peristiwa yang terjadi di Talang Amba.

Ketika Ki Sanggarana dan Ki Waruju menghadap, maka mula-mula Akuwu memerintahkan agar keduanya memberikan keterangan yang sebenarnya tentang apa yang telah terjadi di Talang Amba.

Ki Sanggarana dan Ki Waruju pun telah melakukannya sebagaimana diperintahkan oleh Akuwu. Mereka telah mengatakan apa yang telah terjadi. Meskipun demikian, mereka dengan sengaja tidak menyebut sama sekali tentang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serta seorang murid Ki Sarpa Kuning yang masih tetap hidup.

Namun tanggapan Akuwu Gagelang benar-benar mengejutkan. Ki Sanggarana dan Ki Waruju, bahkan Senopati yang telah mengambil mereka pun tidak menduga sama sekali, bahwa Akuwu kemudian memerintahkan, “Keduanya telah melakukan pelanggaran. Aku memerintahkan agar keduanya dimasukkan ke dalam ruang tahanan”

“Ampu Akuwu“ diluar sadarnya Senopati yang mengambil mereka itu pun memohon, “apakah perintah tuanku itu sudah tuanku pertimbangkan semasak-masaknya?“

“Aku sudah mengambil keputusan. Setiap keputusanku telah aku pertimbangkan sebaik-baiknya” jawab Akuwu.

“Tetapi apakah kesalahan mereka cukup berat untuk dimasukkan ke dalam tahanan. Bukankah mereka hanya terlambat membuat laporan”

Wajah Akuwu menjadi tegang. Dipandanginya Senopati itu sambil berkata, “Ternyata kau tidak menjadi semakin cakap, tetapi justru menjadi semakin dungu. Jangan bertanya sekarang. Nanti kau akan tahu jawabnya”

Senopati itu tidak berani bertanya lagi. Bahkan ia pun kemudian menundukkan kepalanya ketika Akuwu itu berkata Lantang, “Sekali lagi, kau perintahkan agar keduanya ditahan sampai pengusutan selesai dan aku yakin, bahwa yang dilakukan oleh Ki Sanggarana bukan satu kesengajaan melampaui kuasaku”

Senopati itu tidak berani bertanya lagi. ia telah mengenal watak Akuwu itu dengan baik. Jika ia mencoba bertanya sekali lagi, maka Akuwu itu tentu akan menjadi marah dan mengambil satu tindakan yang akan dapat merugikan kedua orang yang akan ditahan itu. Karena itu, maka Senopati itu pun hanya dapat menyaksikan Ki Sanggarana dan Ki Waruju digiring oleh beberapa orang pengawal untuk dibawa ke dalam tahanan. Meskipun di dalam hatinya, kenapa Akuwu bertindak terlalu keras terhadap Ki Sanggarana.


Namun sementara itu. setelah Ki Sanggarana dan Ki Waruju dimasukkan ke dalam tahanan, serta para Senopati dan pemimpin Pakuwon Gagelang yang menghadap sudah meninggalkan istana Akuwu di Gagelang, maka Akuwu telah menerima seorang yang tidak banyak dikenal di Gagelang. Bahkan termasuk seorang yang bermatabat sangat rendah, karena orang itu adalah seorang juru taman.

Tetapi ketika juru taman itu masuk ke dalam ruangan khusus Akuwu Gagelang, maka juru taman itu pun lelah diterimanya dengan penuh hormat.

“Silahkan duduk Pangeran“ Akuwu itu pun mempersilahkan.

Juru taman itu mengangguk kecil sambil berkata, “Bersikaplah wajar. Aku adalah juru taman disini”

“Tetapi, Pangeran bagiku adalah orang yang pantas aku hormati” jawab Akuwu.

“Terima kasih. Tetapi kita mempunyai keterikatan terhadap lingkungan kita” jawab juru taman itu, “apabila kita harus memperhitungkan, bahwa kita tidak boleh memancing perhatian orang lain”

“Baiklah Pangeran. Namun di ruang ini tidak akan ada orang lain jika orang itu tidak aku panggil” jawab Akuwu.

“Ternyata kehadiranku di sini ada juga gunanya” berkata juru taman itu., “Aku ingin berbicara tentang kedua orang yang kau masukkan ke dalam tahanan itu”

“Bukankah aku tidak salah langkah?” bertanya Akuwu. “Kedua orang itu aku anggap berbahaya bagi kelanjutan rencana gagal karena Ki Sarpa Kuning terbunuh”

“Ya. Aku hanya ingin mengatakan, bahwa kau sudah mengambil langkah yang benar. Menurut pendengaranku. Sanggarana ternyata orang yang berbahaya bagi keseluruhan rencana paman Pangeran untuk menghancurkan Singasari dengan cara yang telah dipilihnya. Perlahan-lahan tetapi pasti” jawab juru taman itu.

“Jadi bagaimana sebaiknya yang harus aku lakukan selanjutnya?” bertanya Akuwu.

“Biarlah keduanya berada di dalam tahanan untuk waktu yang tidak ditentukan. Aku akan membuat hubungan dengan Sendawa. Apakah benar ia telah menarik diri dari niatnya untuk menjadi Buyut di Talang-Amba” jawab juru taman itu.

“Pangeran akan berhubungan langsung dengan orang itu?“ Akuwu itu mengerutkan keningnya.

“Tentu tidak dalam kedudukan yang sebenarnya” jawab Pangeran itu, “tetapi aku dapat menyebut diriku siapa saja. Aku hanya ingin meyakinkan sikapnya yang sebenarnya. Apakah benar ia telah bersikap seperti yang aku dengar itu” jawab juru taman itu.

“Terserah kepada Pangeran. Tetapi hati-hatilah. Agaknya di Talang Amba telah hadir kekuatan lain” jawab Akuwu.

“Orang itu sudah ada disini” berkata juru taman itu, “Bukankah kau sudah menahan orang yang bernama Ki Waruju?”

“Apakah Pangeran yakin bahwa Ki Waruju hanya seorang diri atau seperti laporan yang pernah kita dengar, bahwa ada orang lain di belakangnya?” bertanya Akuwu.

“Aku akan melihat semuanya. Aku yang tidak dikenal oleh orang-orang Talang Amba akan mempunyai kesempatan yang lebih luas dari Akuwu” jawab juru taman itu.

Silahkan Pangeran. Jika Pangeran telah mendapatkan satu kesimpulan, maka aku akan melakukan apa yang paling baik menurut pertimbangan Pangeran” jawab Akuwu.

“Rencanaku mengarah kepada usaha untuk menempatkan Ki Sendawa pada kedudukan buyut di Talang Amba Jika Ki Sarpa Kuning gagal, karena ia telah melakukannya dengan wantah. Tetapi mungkin aku akan dapat mengambil jalan lain. Mudah-mudahan tugas ini cepat selesai. Hutan di lereng bukit itu cepat menjadi gundul, karena daerah tugasku masih cukup luas. Aku harus melakukan tugas di tempat lain. Yang akan melanjutkan tugasku disini adalah Akuwu. Jika daerah ini kelak tenggelam oleh banjir dan dilanda kelaparan karena sawah ladang yang rusak, maka Akuwu akan dapat mengambil langkah-langkah. Tentu bukan langkah satu-satunya. Pakuwon ini harus bekerja dalam rencana yang tersusun bersama dengan daerah-daerah lain. sehingga tujuan akhirnya, pecahnya Singasari. Kediri dan Pakuwon-pakuwon yang telah bersepakat untuk mengembalikan kekuasaan pada tahta Kediri akan bergerak bersama-sama. Tidak sendiri-sendiri”

Akuwu Gagelang mengangguk-angguk. Hal itu telah dimengertinya dengan baik sejak semula.

Karena itu, maka juru taman itu pun kemudian berkata pula, “Aku akan datang menemui Ki Sendawa sebagai seorang prajurit dari Pakuwon ini. Aku akan menjajagi sikapnya, dan aku akan segera memberikan laporan kepada Akuwu”

“Silahkan. Apa yang baik bagi Pangeran, silahkan melakukannya” jawab Akuwu itu.

Demikianlah, juru taman yang sebenarnya adalah seorang Pangeran dari Kediri itu mulai dengan usahanya setelah Ki Sarpa Kuning gagal. Ia tetap berniat untuk memecah Kabuyutan Talang Amba. Pangeran itu tetap berniat untuk memberikan kedudukan Buyut kepada Ki Sendawa. Sebab dengan demikian, Ki Sendawa akan lebih mudah untuk dikuasai.

Sebagai seorang yang bertugas untuk mengamati keberhasilan tugas Ki Sarpa Kuning, maka Pangeran itu sangat merasa kecewa atas peristiwa yang telah terjadi di Talang Amba. Hadirnya orang yang bernama Ki Waruju memang tidak pernah diperhitungkan sebelumnya.

Demikianlah, maka Pangeran itu telah menunggu satu kesempatan yang paling baik untuk menghubungi Ki Sendawa. Dengan pakaian sebagai pengawal Pakuwon Gagelang, maka bersama sekelompok pengawal yang lain. Pangeran itu pun mengelilingi daerah kekuasaan Akuwu di Gagelang.

Ketika iring-iringan itu sampai ke Talang Amba, maka Pangeran yang menyamar sebagai seorang prajurit itu pun sempat singgah di rumah Ki Sendawa.

Kedatangan beberapa orang pengawal itu mengejutkan hati Ki Sendawa. Ada kecemasannya, bahwa para pengawal itu akan mengambil tindakan atas tingkah lakunya beberapa waktu yang lewat, yang mendahului keputusan Akuwu Gagelang telah berusaha untuk merebut kedudukan Buyut di Talang Amba.

Namun ternyata sikap para pengawal itu terlalu baik kepada Ki Sendawa. Sama sekali tidak ada kesan yang mencemaskan. Mereka bersikap hormat dan ramah. Bahkan terasa oleh Ki Sendawa agak berlebih-lebihan.

“Apakah kami diperkenankan beristirahat di sini beberapa lama Ki Sendawa” berkata Pangeran yang menyamar sebagai pengawal itu.

“Tentu Ki Sanak, Silahkan” Jawab Ki Sendawa, “Jika Ki Sanak merasa haus, biarlah kami mengambil beberapa butir kelapa muda”

“Terima kasih” jawab Pangeran itu, “kami tidak haus. Kami hanya ingin beristirahat sebentar. Halaman rumahmu terasa sangat sejuk”

“Silahkan” berkata Ki Sendawa.

Namun Ki Sendawa tidak membiarkan tamu-tamunya duduk merenungi kesejukan halamannya saja. Ternyata Ki Sendawa juga menyiapkan minuman dan makanan bagi para pengawal itu.

Semula memang tidak ada pembicaraan yang menarik sekali. Para pengawal hanya menanyakan perkembangan padukuhan itu. Menanyakan tentang sawah dan ladang, tentang kebun dan juga tentang tata kehidupan rakyatnya.

Namun semakin jauh mereka berbincang, maka akhirnya Pangeran yang menyamar sebagai seorang pengawal itu pun sampai kepada satu persoalan yang membuat Ki Sendawa menjadi berdebar-debar.

“Ki Sendawa” bertanya Pangeran itu, “apakah menurut kesan Ki Sendawa, keadaan sekarang di Kabuyutan ini sudah menjadi baik?“

“Sudah Ki Sanak” jawab Ki Sendawa, “segalanya telah pulih kembali. Nalarku pun telah pulih kembali. Aku yakin, bahwa Ki Sanak telah pernah mendengar, apakah dari orang lewat dan para pedagang di sepanjang jalan, atau lewat laporan yang sampai ke Pakuwon, atau lewat jalur-jalur yang lain, tentang persoalan yang sudah terjadi di Kabuyutan ini”

Pangeran itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Syukurlah, bahwa semuanya telah berjalan dengan baik. Tetapi bukankah sekarang ini Ki Sanggarana dan seorang yang disebut bernama Ki Waruju sedang menjalani masa tahanan?“

“Ya. Aku menyesal sekali, bahwa hal itu telah terjadi” jawab Ki Sendawa, “sebenarnya di Kabuyutan ini sudah tidak ada masalah lagi. Semuanya sudah dapat diselesaikan sepeninggal Ki Sarpa Kuning yang hampir saja telah memutar balik otak dan nalarku”

Pangeran itu mengangguk-angguk. Lalu tiba-tiba saja ia bertanya, “Siapakah yang sebenarnya lebih berhak atas Kabuyutan ini? Kau atau Ki Sanggarana”

Ki Sendawa terkejut mendengar pertanyaan itu. Karena itu, maka ia pun tidak segera menjawab.

Namun sebenarnyalah Pangeran itu telah mendengar beberapa keterangan tentang Ki Sendawa. Pangeran itu sempat menugaskan seorang petugas sandinya untuk mendengarkan apa yang sebenarnya terjadi di Kabuyutan itu.

Karena itu, maka Pangeran itu pun dapat bertanya, “Ki Sendawa. Menurut beberapa orang yang mengetahui serba sedikit tentang Kabuyutan ini, mereka mengatakan bahwa kau memiliki hak pula atas Kabuyutan ini, karena kau adalah saudara sepupu dari Ki Buyut yang meninggal itu. Bahkan seandainya ayahmu dahulu tidak terbunuh, maka hak itu sebenarnya ada padamu”

“Ah“ desah Ki Sendawa, “hanya sebuah mimpi buruk. Tetapi aku sekarang sudah bangun Ki Sanak. Aku tidak mau mengulangi mimpi buruk itu lagi. Biarlah Sanggarana dapat melakukan tugasnya dengan tenang. Dengan demikian, maka Kabuyutan ini akan menjadi bertambah baik. Kehidupan rakyatnya akan menjadi semakin sejahtera lahir dan batin.

Pangeran itu mengangguk-angguk. Namun kerut di keningnya membayangkan, bahwa ada sesuatu yang bergejolak di dalam jantungnya.

“Nampaknya Ki Sendawa benar-benar telah kehilangan minatnya” berkata Pangeran itu di dalam hatinya.

Tetapi agaknya Pangeran itu masih akan mencobanya Seandainya tidak saat itu, maka pada yang lain ia akan menemuinya lagi.

Meskipun demikian, namun Pangeran itu masih berkata, “Ki Sendawa. Baiklah. Katakanlah bahwa Ki Sendawa sudah tidak bermimpi lagi untuk menjadi Buyut di Kabuyutan ini. Tetapi pada saat seperti ini, selagi Ki Sanggarana tidak ada di Kabuyutan, apakah tidak ada niat Ki Sendawa untuk mengatasi segala macam persoalan yang mungkin timbul”

“Masih ada beberapa orang bebahu Ki Sanak. Jika aku tampil pada saat seperti ini, maka akibatnya tentu akan sebaliknya. Orang-orang Kabuyutan ini masih melupakan, bahwa aku pernah dihinggapi satu penyakit untuk merampas kedudukan Sanggarana. Dan niat itu agaknya telah menyebabkan orang-orang Kabuyutan ini terpecah. Hampir saja terjadi pertumpahan darah antara saudara-saudara sendiri di Kabuyutan ini” berkata Ki Sendawa.

Prajurit itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak lagi mendesak Ki Sendawa. Pangeran yang menyamar sebagai pengawal itu kemudian berbicara tentang banyak hal, tetapi ia tidak lagi menyentuh persoalan KI Sendawa sendiri.

Demikianlah setelah mereka berada di rumah Ki Sendawa itu untuk beberapa saat, maka Pangeran itu pun segera minta diri. Bersama sekelompok orang-orangnya, para pengawal yang memang sudah dipersiapkan oleh Akuwu Gagelang. Pangeran itu pun kembali ke istana Akuwu,

Dengan kerut-merut di kening Pangeran itu berkata, “Sulit sekali. Tetapi aku tidak berputus asa. Aku akan mencari cara yang sebaik-baiknya untuk mendesak Ki Sendawa kembali ke kedudukan Buyut di Talang Amba”

“Terserah kepada Pangeran” jawab Akuwu Gagelang.

“Tetapi sekelompok pengawal yang sudah Akuwu siapkan itu harus benar-benar dapat dipercaya. Seorang saja diantara mereka kehilangan penguasaan diri dan berceritera tentang langkah-langkah kita, maka segalanya akan gagal, “berkata Pangeran itu.

“Jangan bimbang Pangeran. Kelompok itu sudah aku bentuk untuk kepentingan itu” jawab Akuwu.

“Terima kasih” jawab Pangeran itu, “Aku masih mencari kesempatan”

Dalam pada itu, kegelisahan memang mulai timbul di Kabuyutan Talang Amba karena Ki Sanggarana dan Ki Waruju ternyata tidak segera dilepaskan.

“Biarlah keduanya disini” berkata Pangeran itu kepada Akuwu, “kegelisahan di Talang Amba akan mendorong Ki Sendawa untuk berbuat sesuatu. Jika ia sudah merasakan betapa senangnya memegang kekuasaan, maka ia akan terdorong kembali untuk menginginkan kedudukan itu. Dengan demikian, maka ia akan membiarkan Sanggarana dan Waruju tidak akan kembali lagi ke Talang Amba. Atau jika mereka akan kembali kelak, kedudukan Sendawa sudah cukup kuat”

Akuwu Gagelang sendiri tidak banyak mempunyai rencana. Ia lebih banyak menyerahkan segalanya kepada Pangeran yang dalam keadaan sehari-hari tidak lebih dari seorang juru taman. Namun yang dalam saat-saat tertentu ia adalah seorang pengawal atau orang lain yang tidak banyak diketahui oleh orang-orang Gagelang dan bahkan pada Senopati dan pengawal Gagelang yang lain, kecuali yang memang sudah dipersiapkan oleh Akuwu.

Dalam pada itu. orang-orang Talang Amba rasa-rasanya memang kehilangan ikatan karena KI Sanggarana yang sedang ditahan di Pakuwon Gagelang. Namun mereka tidak tahu. apa yang sebaiknya mereka lakukan. Ketika kegelisahannya itu tidak lagi terbendung, maka beberapa orang anak muda telah menemui Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang masih berada di banjar Kabuyutan.

“Apa yang dapat kami lakukan?” bertanya anak-anak muda itu.

“Aku tidak dapat memberikan pendapatku” jawab Mahisa Murti, “Aku kurang menguasai hubungan antara Kabuyutan ini dengan Akuwu di Gagelang”

“Jika keadaan ini berlangsung terlalu lama, maka kehidupan di Talang Amba akan menjadi semakin suram” berkata anak-anak muda itu pula.

“Kalian harus mendorong para bebahu yang ada untuk melakukan kewajiban mereka sebaik-baiknya. Kalian harus siap untuk berbuat apa saja yang menurut para bebahu dianggapnya baik” jawab Mahisa Murti.

“Tetapi bagaimana dengan Ki Sanggarana? Apakah sebenarnya kesalahannya? Apakah benar menurut pendengaranku, bahwa ia sudah melanggar hak dan wewenang Sang Akuwu di Gagelang, karena Talang Amba langsung berhubungan dengan Singasari?” bertanya salah seorang dari anak-anak muda itu.

Mahisa Murti menggeleng. Jawabnya, “Aku kurang tahu. Tetapi tidak mustahil bahwa kita akan mencari keterangan tentang hal itu. Namun sudah barang tentu, tidak dengan terbuka. Kita akan mencari jalan yang sebaik-baiknya.

“Tetapi“ seorang anak muda berdesis, “apakah hal ini bukan karena sikap Ki Sendawa? Ia sebenarnya tidak ikhlas menyerahkan kekuasaan di Talang Amba ini kepada kemanakannya. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain pada waktu terjadi benturan di banjar. Tetapi sekarang, ia telah berhubungan dengan beberapa pihak di Pakuwon Gagelang.

Pendapat itu memang masuk akal. Tetapi Mahisa Murti ternyata berpendapat lain. Katanya, “Ki Sanak. Menurut pendapatku, apa yang dilakukan oleh Ki Sendawa itu benar-benar terpancar dari hatinya yang tulus. Sekeras-keras hati seseorang, namun pada suatu saat akan luluh juga. Sikapnya Sanggarana nampaknya ikut menentukan”

“Tetapi, apakah kita tidak dapat mengambil satu kesimpulan apapun juga tentang kedatangan sekelompok prajurit ke rumahnya?” bertanya anak muda itu, “Bukankah hal itu jarang sekali terjadi? Rumah siapakah diantara kita yang pernah mendapat kunjungan sekelompok pengawal dari Gagelang?“

Beberapa orang mengangguk-angguk. Namun Mahisa Pukat pun menyahut, “Tetapi kita tidak dapat dengan tergesa-gesa mengambil satu kesimpulan. Kita harus berpikir lebih bening. Justru pada saat Ki Sanggarana tidak ada. Langkah yang tergesa-gesa hanya akan menambah kebingungan orang-orang Talang Amba saja”

Beberapa orang pun mengangguk-angguk pula. Rasa-rasanya setiap pendapat dapat mereka mengerti dan dapat mereka benarkan, justru karena kebingungan mereka.

Namun dalam pada itu, seorang diantara mereka berkata, “Bagaimanapun juga kita harus menyusun langkah-langkah. Nah. apa yang sebaiknyya kita lakukan lebih dahulu”

“Kita akan menunggu beberapa saat” berkata Mahisa Murti, “Jika Ki Sanggarana dan Ki Waruju tidak segera dibebaskan, kita akan bertanya kepada Akuwu. Sekaligus kita mohon petunjuk apa yang sebaiknya dapat kita lakukan”

“Kita masih harus menunggu lagi?” bertanya beberapa anak muda hampir bersamaan.

“Hanya beberapa hari saja” jawab Mahisa Pukat, “Kita lebih baik bersabar tetapi menentukan langkah-langkah pasti dari pada tergesa-gesa tetapi langkah kita tersesat”

Anak-anak muda itu saling berpandangan. Namun tidak seorang pun yang menjawab. Mereka mencoba untuk mempercayai kedua anak muda yang telah membuktikan kelebihan mereka dihadapan anak-anak muda Talang Amba.

Untuk sementara anak-anak muda Talang Amba dapat ditenangkan. Mereka berusaha untuk bersabar sambil menunggu apa yang akan terjadi dengan Ki Sanggarana dan Ki Waruju.

Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak sebenarnya diam menunggu seperti yang dikatakannya. Tetapi mereka berusaha untuk mengetahui lebih jauh sikap Ki Sendawa. Apakah Ki Sendawa benar-benar ingkar dari sikap yang dinyatakannya di banjar, atau ia memang tidak mempunyai hubungan apapun dengan kehadiran para pengawal ke rumahnya, karena Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun sebenarnya bertanya pula di dalam diri, apa saja yang dilakukan oleh para pengawal itu justru pada saat Ki Sanggarana dan Ki Waruju masih berada di Gagelang.

Karena itulah, maka diluar pengetahuan anak-anak muda di Talang Amba, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengamati padukuhan dan rumah Ki Sendawa di malam hari. Sementara di siang hari, anak-anak muda Talang Amba akan dapat melihat dan mengatakan, apabila ada orang yang tidak dikenal apalagi sekelompok pengawal yang datang ke rumah itu.

“Di malam hari, kemungkinan yang lain dapat terjadi” berkata Mahisa Murti kepada Mahisa Pukat, “mungkin anak-anak Talang Amba lengah. Tetapi mungkin orang itu dengan diam-diam sengaja datang ke rumah Ki Sendawa mencari hubungan. Jika orang itu memiliki sedikit kelebihan ilmu, maka hal itu tidak mustahil dapat dilakukannya.

Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berusaha dalam waktu yang dekat, sebelum anak-anak muda Talang Amba kehabisan kesabaran, untuk mengetahui apa saja yang terjadi di rumah Ki Sendawa.

Ketika sudah dua tiga hari, keduanya tidak menemukan sesuatu yang penting, maka keduanya mulai menjadi gelisah. Jika anak-anak muda Talang Amba tidak sabar lagi. mungkin mereka akan mengambil sikap sendiri-sendiri.

Namun pada hari yang kelima, ternyata yang mereka tunggu itu pun datang. Ketika kedua anak muda itu dengan diam-diam mengintip regol halaman rumah Ki Sendawa dari halaman di muka rumah itu, mereka melihat dua orang yang dengan hati-hati mendekati regol. Kemudian keduanya dengan sikap yang mencurigakan telah memasuki halaman itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mau kehilangan buruannya. Mereka pun telah berusaha untuk mendekat. Dari balik dinding kedua mengintip apa yang dilakukan oleh kedua orang itu.

Dengan hati yang berdebar-debar Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat keduanya kemudian naik ke pendapa dan mengetuk pintu pringgitan.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendengar ketukan pintu. Tetapi ia tidak mendengar dengan jelas jawaban kedua orang itu ketika suara dari dalam menyapanya.

Demikian pula ketika mereka melihat Ki Sendawa membuka pintu dan mempersilahkan kedua orang itu duduk di pendapa.

Untuk beberapa saat ketiga orang itu berbicara dengan sungguh-sungguh. Tetapi yang dilihat oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat adalah sikap menolak Ki Sendawa. Bahkan akhirnya ketika Ki Sendawa berbicara lebih keras. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendengar, “Tidak Ki Sanak. Aku tidak akan mengkhianati kemanakanku itu. Aku sudah berjanji dihadapan rakyat Talang Amba”

“Tetapi kau dapat mencoba Ki Sendawa. Seandainya kau tidak bersedia memegang jabatan ini untuk seterusnya, kau dapat melakukannya di saat Ki Sanggarana tidak ada di Kabuyutan ini.

Ki Sendawa mengerutkan keningnya. Kata-kata itu ternyata direnunginya. Sementara Ki Sanggarana tidak ada, maka memang perlu ada orang yang memegang pimpinan di Talang Amba, agar rakyatnya tidak berbuat sekehendak hati mereka.

Namun ternyata jawab Ki Sendawa tidak seperti yang dikehendaki oleh kedua orang yang datang itu. Katanya, “Ki Sanak. Aku setuju bahwa selama Sanggarana tidak ada di Kabuyutan, perlu ada orang yang menggantikannya untuk sementara. Tetapi di Kabuyutan Talang Amba ada beberapa orang bebahu yang membantu Ki Buyut selama memerintah Kabuyutan ini. Aku akan menghubungi mereka. Yang tertua di antara mereka akan ditetapkan untuk sementara memegang tugas sebagaimana tugas seorang Buyut sampai saatnya Sanggarana dibebaskan”

“Kau jangan menyia-nyiakan kesempatan Ki Sendawa” berkata orang yang datang itu. Nampaknya ia pun mulai kehilangan kesabaran, “lebih daripada itu, kau jangan mengorbankan rakyat Talang Amba. Mungkin kau dapat duduk berpangku tangan. Kau tidak perlu memikirkan keadaan Kabuyutanmu. Kau tidak perlu memikirkan keadaan rakyatmu. Tetapi pada suatu saat kau akan mendengar tangis orang-orang Talang Amba yang kehilangan masa depan mereka Waktu yang singkat ini akan mungkin dapat menyesatkan sasaran rakyat Talang Amba yang patuh dan setia ini”

“Aku akan dapat ikut menentukan arah perkembangan Kabuyutan ini Ki Sanak. Hanya untuk waktu sepekan atau dua pekan sampai saatnya Sanggarana kembali. Apa arti waktu yang singkat itu bagi perjalanan hidup Kabuyutan ini. Seandainya yang singkat itu ikut menentukan, maka aku pun akan dapat berbuat sesuai dengan kemampuanku tanpa menyebut diriku pemimpin, karena aku dapat memberikan pen dapatkan kepada para bebahu. Jika pendapatku dianggap baik, maka pendapatku itu tentu akan diterimanya, karena bagaimanapun juga, mereka masih tetap memandang aku sebagai orang yang dekat dan bahkan paman dari Sanggarana”

“Ki Sendawa” berkata salah seorang dari keduanya, “jangan berbelit-belit. Sebaiknya kau terima saja tawaran kami. Kau akan diangkat untuk sementara menjadi Buyut di Talang Amba. Jika Sanggarana telah dibebaskan, kau akan menyerahkan jabatan itu kepadanya. Tetapi jika Sanggarana tidak kembali lagi Ke Kabuyutan ini, maka di Kabuyutan ini sudah ada seorang Buyut yang pantas”

“Aku tidak tahu maksud Ki Sanak” jawab Ki Sendawa.

“Aku ingin meneruskan perjanjian yang sudah dibuat oleh Ki Sarpa Kuning. Kau akan menjadi Buyut disini tetapi hutan itu menjadi milikku” jawab orang itu.

“Aku menjadi semakin bingung” jawab Ki Sendawa.

“Dengarlah” berkata orang itu. yang nampaknya benar-benar sudah kehilangan kesabarannya, “Jika kau tidak mau menerima tawaran ini, maka kau akan mengalami nasib seperti Sanggarana. Kau akan ditangkap dan yang akan diangkat menjadi Buyut di Talang Amba adalah orang lain sama sekali”

Wajah Ki Sendawa menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia menjawab, “Ki Sanak ternyata aneh bagiku. Siapakah sebenarnya kalian ini? Jika kalian benar-benar seperti yang kalian katakan, pengawal dari Gagelang, kalian tentu tidak akan berkata seperti itu. Kalian tentu akan berkata dengan dasar yang mapan. Dan kalian tentu mengetahui paugeran bagi satu Kabuyutan”

“Jangan banyak berbicara Ki Sendawa” jawab salah seorang dari kedua orang itu, “Akuwu di Gagelang mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa saja. Yang biru dikatakan kuning, dan yang kuning dikatakan hijau. Karena itu, dengarlah. Kau terima tawaran yang menguntungkan sekali bagimu. Yang sudah kau impikan sejak lama. Menjadi Buyut di Talang Amba, atau malahan kau akan ditangkap dan dipenjarakan, sementara yang menjadi Buyut di Talang Amba adalah orang lain sama sekali. Tidak ada yang dapat menentang keputusan Akuwu Gagelang”

“Kata-katamu aneh Ki Sanak” berkata Ki Sendawa. Ternyata Ki Sendawa tetap orang yang keras hati. Karena itu, maka jawabnya, “Aku justru menjadi curiga kepada kalian berdua. Kalian tentu bukan pengawal dari Gagelang. Tetapi kalian tentu orang-orang yang ingin mengotori Pakuwon Gagelang dengan perbuatan-perbuatan yang gila itu. Aku memperingatkan kepada kalian Ki Sanak. Jangan mencoba membuat onar disini. Aku masih dapat menahan diri sekarang. Tetapi lain kali aku akan bertindak dan menyerahkan kalian kepada Akuwu di Gagelang, karena kalian telah mengotori nama Pakuwon Gagelang”

Tetapi kedua orang itu tertawa. Seorang di antaranya berkata, “Kau jangan menjadi gila. Aku adalah utusan Akuwu Gagelang. Jika kau tidak percaya, besok kau dapat menghadap. Aku akan berada di sana. Kau akan berbicara dengan Akuwu. sementara aku akan memberikan petunjuk-petunjuk penting kepada Akuwu. Kau tidak percaya?“

Ki Sendawa mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba ia berkata, “Baik. Aku akan menghadap Akuwu. Aku akan berbicara tentang Kabuyutan Gagelang jika aku diperkenankan untuk menghadap”

“Benar? Kau akan datang besok?” bertanya salah seorang dari keduanya, “tetapi jika kau tidak datang, maka nasibmu akan menjadi sangat buruk. Lebih buruk dari Sanggarana, karena tidak seorang pun yang dapat mengelak dari jaring-jaring kuasaku dan kuasa Akuwu di Gagelang”

Ternyata Ki Sendawa benar-benar seorang yang berhati batu padas Ia benar-benar ingin membuktikan kata-kata itu. Karena itu. maka katanya, “Aku besok memang akan menghadap. Tetapi ingat, jika kalian berbohong, maka kalian akan ditangkap. Para pengawal Pakuwon akan menangkapmu dan mengadilimu”

Ketetapan hati Ki Sendawa memang berpengaruh atas kedua orang itu. Agaknya Ki Sendawa berkeras seperti itu juga saat ia ingin menjadi Buyut di Talang Amba. Hanya satu keajaiban sajalah yang dapat mematahkan kekerasan hatinya itu. Namun sekarang kekerasan hatinya dihadapkannya kepada persoalan yang sebaliknya.

Namun demikian, salah seorang dari kedua itu pun berkata pula dengan tegas, “Aku menunggumu besok di gerbang istana Akuwu di Gagelang”

Kedua orang itu tidak menunggu jawaban Ki Sendawa. Keduanya segera minta diri. Namun ketika mereka sampai di tangga pendapa, salah seorang di antaranya masih berkata, “Aku akan menunggumu besok. Kau dapat menentukan sikap sekarang. Malam ini kau masih mempunyai waktu”

Ki Sendawa tidak menjawab. Dipandanginya saja kedua orang tamunya yang aneh itu melangkah meninggalkan regol rumahnya.

Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan cepat telah berlindung di balik dinding halaman. Mereka menunggu kedua orang itu pergi menjauh. Baru kemudian kedua anak muda itu pun telah berkisar dari tempatnya.

Meskipun demikian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih tetap menghindarkan diri dari kemungkinan untuk diketahui oleh Ki Sendawa. Bagaimana pun juga, mereka masih belum yakin, bahwa Ki Sendawa tidak akan mencurigainya. Karena kedua anak itu merasa, bahwa keduanya bukan orang-orang Talang Amba yang sebenarnya.

Namun dengan demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi yakin, bahwa Ki Sendawa tidak akan menelan kembali kata-katanya yang pernah diucapkan di banjar. Ia dengan tegas telah menolak laporan untuk menjadi Buyut di Talang Amba. Meskipun masih harus diperhitungkan alasan-alasan penolakan itu. Mungkin Ki Sendawa curiga bahwa kedua orang itu akan, sekedar memancing sikapnya dan kemudian menjerumuskannya ke dalam kesulitan. Tetapi mungkin juga, Ki Sendawa tidak yakin, bahwa keduanya memang utusan Akuwu.

“Kita masih harus menunggu sampai esok” berkata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “apakah yang akan dikatakannya kepada Akuwu“

“Sulit untuk mengetahui apa yang sebenarnya akan mereka bicarakan” jawab Mahisa Pukat, “tetapi sebagian dari sikap Ki Sendawa telah kita ketahui”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Kita akan dapat melihat, apa yang akan dilakukannya besok. Mungkin ia akan menyatakan dirinya Buyut di Talang Amba dengan dukungan Akuwu Gagelang, atau sikap yang lain yang masih harus kita nilai lagi”

“Ya“ Mahisa Pukat mengangguk-angguk, “Kita memang masih harus menunggu. Jika anak-anak-muda itu kehilangan kesabaran maka kita akan mengalami kesulitan”

“Tetapi tidak ada jalan lain” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu lagi.

Malam itu, ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kembali ke banjar, maka beberapa orang anak muda yang meronda, bertanya kepadanya. Namun kedua anak-anak muda itu mengatakan kepada anak-anak muda yang meronda itu, bahwa mereka baru datang dari sungai.

Anak-anak muda yang meronda itu sama sekali tidak mencurigakan keduanya, karena keduanya telah ternyata berbuat sesuatu yang berarti bagi Kabuyutan mereka.

Tetapi ketika seorang di antara anak-anak muda itu bertanya, “Kapan kita menentukan sikap?”

Barulah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi berdebar-debar. Pertanyaan itu telah membuka pertanyaan-pertanyaan yang lain pula. Seorang yang berkumis lebat bertanya, “Apakah kita masih harus bersabar?”

“Waktunya sudah dekat” berkata Mahisa Murti, “Kita hanya menunggu dua atau tiga hari. Kali ini aku tidak akan salah lagi”

“Apa peganganmu, bahwa dalam dua atau tiga hari lagi kita akan dapat menentukan sikap” bertanya seorang yang bertubuh tinggi.

“Ya. Apa dasarmu” bertanya yang lain.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang mengalami kesulitan untuk menjawab pertanyaan itu. Namun demikian Mahisa Murti masih mencoba untuk menyahut, “Kawan-kawan, rasa-rasanya seseorang memang mempunyai penggraita. Mungkin ada semacam naluri yang dapat memberikan isyarat. Tetapi memang sulit dibuktikan dengan dasar-dasar yang dapat masuk di akal”

“Ki Sanak” berkata seorang yang bertubuh raksasa, “Jika kali ini apa yang kalian katakan itu tidak terbukti, maka kami akan mengambil jalan sendiri. Kami minta maaf, bahwa kami tidak akan dapat menurut petunjuk-petunjuk kalian lagi”

“Baiklah. Aku minta kalian sekali lagi memperhatikan pendapatku. Jika kali ini kami berdua keliru lagi, maka kalian dapat mengambil sikap sendiri”

“Kami sudah kehabisan kesabaran Ki Sanak” berkata yang lain lagi, “kami akan menyesal sepanjang hidup kami, jika pada suatu saat, ternyata bahwa kami telah terlambat bertindak”

Ternyata jantung kedua anak muda itu pun berdebaran. Jika anak-anak Talang Amba itu terlambat, maka yang datang ke rumah Ki Sendawa itu adalah utusan Akuwu, maka perlu dipertimbangkan penilaian khusus terhadap Akuwu di Gagelang.

“Apakah ada maksud-maksud tertentu pada Akuwu di Gagelang itu?” tiba-tiba saja Mahisa Pukat berdesis.

“Ya. Pertanyaan itu wajar sekali” sahut Mahisa Murti.

Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mulai memberikan penilaian kepada Akuwu itu sendiri. Mereka melihat satu sikap yang ganjil.

“Tetapi jika dua orang itu yang palsu, maka persoalannya akan gawat bagi Ki Sendawa” berkata Mahisa Pukat.

“Kita akan mengamati perjalanannya sampai ke istana Akuwu” berkata Mahisa Murti.

“Apakah itu mungkin?”bertanya Mahisa Pukat.

Mahisa Murti merenung sejenak. Lalu katanya, “Bagaimana jika kita berterus terang saja kepada Ki Sendawa. Nampaknya Ki Sendawa memang dapat dipercaya”

Mahisa Pukat berpikir sejenak. Lalu katanya, “Kita dapat mencobanya. Besok pagi-pagi benar sebelum ia berangkat, kita menemuinya”

Mahisa Murti pun mengangguk-angguk. Keduanya kemudian bersepakat untuk menemui Ki Sendawa dan mengatakan persoalan yang bergejolak di Talang Amba sepeninggal Ki Sanggarana dan Ki Waruju”

Demikianlah seperti yang direncanakan, maka pagi-pagi benar, sebelum matahari terbit, kedua anak muda itu telah berada di rumah Ki Sendawa dengan diam-diam. Mereka pun dengan terus terang mengatakan kepada Ki Sendawa, apa yang mereka lihat semalam.

“Jadi kalian mengetahuinya?” bertanya Ki Sendawa.

“Ya. Kami mendengarkan pembicaraannya Ki Sendawa dengan kedua orang itu. Kami pun mengetahui sikap Ki Sendawa. Dan kami pun mendengar bahwa Ki Sendawa akan menghadap Akuwu pagi ini untuk membuktikan kebenaran kata-kata kedua orang itu” jawab Mahisa Murti.

“Ya. Aku memang menghadap Akuwu. Aku ingin kepastian, apakah yang dikatakan oleh kedua orang itu benar” berkata Ki Sendawa.

“Jika tidak benar?” bertanya Mahisa Pukat.

“Persoalannya menjadi jelas. Kedua orang itu adalah orang-orang yang akan mengail di air keruh. Aku akan melaporkannya kepada Akuwu, sekaligus menanyakan tentang Sanggarana dan Ki Waruju” jawab Ki Sendawa.

“Tetapi jika yang dikatakan oleh kedua orang itu benar?” bertanya Mahisa Pukat pula.

“Jika demikian, maka kita perlu menilai sikap Akuwu. Apa sebenarnya yang dikehendakinya” jawab Ki Sendawa.

“Jika demikian, apakah berarti bahwa kita pun harus berhati-hati terhadap sikap Akuwu?” desak Mahisa Pukat.

“Ya. Dan itu berarti satu masalah yang besar. Jika aku tetap menolak, maka aku pun tentu tidak akan pernah kembali seperti Sanggarana” jawab Ki Sendawa pula

“Jadi bagaimana sikap Ki Sendawa?” bertanya Mahisa Murti.

“Ki Sanak” jawab Ki Sendawa dengan nada dalam, “jika kedua orang itu adalah utusan Akuwu yang sebenarnya, mungkin aku harus berkelahi di perjalanan. Mungkin keduanya membawa sekelompok kawan-kawannya yang memaksa aku untuk menyerah, atau bahkan membunuhku sama sekali. Tetapi aku benar-benar menghadap Akawu dan sikap Akuwu adalah sebagaimana dikatakan oleh kedua orang itu. maka aku memang harus berpura-pura”

“Pura-pura bagaimana?” bertanya Mahisa Pukat.

“Aku harus berpura-pura menerimanya agar aku dapat kembali ke Talang Amba” jawab Ki Sendawa, “selanjutnya, kita akan dapat berbicara apa yang sebaiknya harus kita lakukan”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mengangguk-angguk Mereka menjadi semakin yakin, bahwa Ki Sendawa tidak akan ingkar aari sikapnya Karena itu, maka Mahisa Murti pun berkata, “Jika Ki Sendawa tidak berkeberatan, kami berdua bersedia mengawasi Ki Sendawa pergi ke Gagelang. Mungkin Ki Sendawa akan membawa dua atau tiga orang pengawal yang lain”

“Ya. Aku memang akan membawa pengawal. Jika kedua orang itu bukan utusan Akuwu yang sebenarnya dan akan menjebakku di perjalanan, biarlah aku mati sebagai laki-laki dengan menggenggam pedang di tangan, “ jawab Ki Sendawa. Namun kemudian, “Tetapi sebaiknya. kalian tidak usah pergi bersamaku. Kalian masih terlalu muda. Mungkin kalian masih akan melihat matahari terbit untuk berpuluh, beratus bahkan beribu kali lagi”

Tetapi Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, “Aku yakin akan kuasa Sang Maha Pencipta”

Ki Sendawa menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Jika demikian terserah kepada kalian”

Dengan wajah tengadah Mahisa Pukat menjawab, “kami akan ikut bersama Ki Sendawa nanti”

Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berkeras untuk ikut bersama Ki Sendawa. Karena itu, maka Ki Sendawa pun tidak mencegahnya lagi.

Ketika kemudian matahari terbit, maka Ki Sendawa pun telah bersiap. Tiga orang pengawal akan menyertainya, sehingga dengan demikian, maka mereka akan menempuh perjalanan berenam.

Setelah mereka bersiap sepenuhnya, maka dengan mempergunakan kuda Ki Sendawa, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun ikut pula dalam kelompok itu berbaur dengan para pengawal, sehingga keduanya tidak merupakan pengikut yang khusus.

Dengan jantung yang berdebar-debar Ki Sendawa memacu kudanya. Rasa-rasanya ia segera ingin sampai ke Gagelang. Jika mereka harus dijebak oleh kedua orang semalam datang berkunjung ke rumahnya, biarlah segera terjadi. Mungkin mereka adalah pengawal-pengawal Akuwu yang bertindak atas nama mereka sendiri dan memanfaatkan nama Akuwu. Tetapi memang mungkin Akuwu benar-benar memerintahkan mereka.

Demikianlah, akhirnya mereka menjadi semakin dekat dengan pusat pemerintahan Pakuwon Gagelang. Dengan demikian, maka Ki Sendawa pun menjadi semakin condong untuk mempercayai bahwa kedua orang itu memang benar-benar utusan Akuwu di Gagelang.

“Jika keduanya bukan utusan Sang Akuwu, maka mereka tentu akan mengambil sikap sebelum aku memasuki pusat pemerintahan Gagelang” berkata Ki Sendawa kepada para pengiringnya.

“Benar Ki Sendawa” sahut Mahisa Murti, “tetapi segalanya masih mungkin terjadi”

“Ya. Masih ada kemungkinan yang pahit yang dapat terjadi atas kita. berkata Ki Sendawa kemudian, “namun seandainya keduanya benar-benar utusan Akuwu, maka kita pun harus mempersiapkan diri menghadapi sikap itu”

“Bukankah Ki Sendawa sudah menentukan sikap?” bertanya Mahisa Pukat.

“Ya. Jika Akuwu yang memerintahkan keduanya dengan maksud tertentu, mungkin aku memang harus bersikap pura-pura. Sebab jika aku menolaknya, maka mungkin kita semuanya tidak akan dapat kembali ke Kabuyutan Talang Amba” jawab Ki Sendawa seperti pernah dikatakannya sebelumnya.

Demikianlah mereka kemudian memasuki gerbang Pakuwon Gagelang. Ada beberapa orang pengawal yang mengawasi regol yang memasuki kota Gagelang. Tetapi dalam keadaan yang tenang, maka para pengawas itu tidak selalu menghentikan orang-orang yang keluar masuk gerbang kota. Mereka hanya mengamati saja dari gardu yang dibuat tidak terlalu jauh dari gerbang.

Ketika kuda-kuda itu berderap di dalam gerbang kota, maka hati Ki Sendawa pun menjadi semakin berdebar-debar. Sudah beberapa kali ia memasuki kota Gagelang untuk keperluan yang bermacam-macam sebelumnya. Bahkan ia pun pernah pergi ke kota untuk sekedar mengunjungi seorang sahabatnya.

Namun kini ia memasuki kota Gagelang berketetapan hati untuk menghadap Akuwu, apapun yang akan terjadi. Karena itu, maka bersama dengan para pengawalnya ia pun langsung menuju ke gerbang istana Akuwu di Gagelang.

Ketika mereka berenam mendekati gerbang istana Akuwu, maka mereka memang telah menarik perhatian para penjaga. Karena itu, maka mereka pun telah dihentikan oleh para pengawal pintu gerbang untuk dimintai keterangan seperlunya.

“Siapakah Ki Sanak?” bertanya salah seorang pengawal.

“Aku Ki Sendawa Ki Sanak” jawab Ki Sendawa, “Aku ingin menghadap Akuwu”

“Menghadap Akuwu?” bertanya pengawal itu, “Kau kira kau akan dapat langsung menghadap begitu saja tanpa melalui keharusan tata cara dan unggah-ungguh”

Ki Sendawa menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya baru ia menyadari, hahwa ia bukan orang penting yang dapat dengan sekehendak sendiri menghadap Akuwu. Apalagi ia tidak mempunyai pertanda apa pun yang memungkinkannya untuk mendapat pelayanan khusus dari para pengawal istana Akuwu.

Karena itu, maka Ki Sendawa pun kemudian berkata, “Maaf Ki Sanak. Aku memang tidak mempunyai hak untuk berbuat demikian. Tetapi ada masalah yang mendesak, yang memaksaku untuk segera melaporkannya kepada Sang Akuwu”

“Apakah kau tidak tahu bahwa semua laporan dapat kau berikan kepada para petugas di Gagelang? Tidak usah langsung kepada Sang Akuwu?” bertanya oengawal itu, “Kau dapat menghadap Senopati yang sekarang memimpin pengawalan untuk hari ini. Kau dapat menyampaikan persoalanmu. Jika persoalanmu tidak dapat ditangani oleh orang lain kecuali Akuwu sendiri, maka persoalanmu akan dilaporkan kepada Akuwu. Baru jika Sang Akuwu menghendaki kau menghadap, maka kau diperkenankan untuk menghadap”

Jantung Ki Sendawa menjadi berdebar-debar. Terbersit di dalam hatinya, bahwa ia justru telah dipermainkan seseorang.

“Tetapi apa kepentingannya mempermainkan aku?” bertanya Ki Sendawa kepada diri sendiri.

Tetapi kemungkinan yang demikian memang dapat saja terjadi. Mungkin untuk membakar hatinya, atau dengan sengaja menimbulkan kekeruhan suasana di Talang Amba.

“Nah Ki Sanak” tiba-tiba saja pengawal itu berkata, “sekarang, pergilah menghadap Senopati yang bertugas di gardu itu. Katakan, apa yang ingin kau laporkan”

Ki Sendawa menjadi ragu-ragu. Jika ia berterus terang, mungkin akan dapat menimbulkan persoalan tersendiri. Tetapi jika ia tidak berterus terang, mungkin para pengawal itu akan mencurigainya.

Dengan demikian, maka Ki Sendawa menjadi ragu-ragu. Beberapa saat ia berdiri termangu-mangu. Sementara itu, pengawal pintu gerbang itu menjadi tidak telaten. Katanya, “He, apa yang kau renungkan? Jangan mengharap untuk dengan serta merta kau dapat menghadap Akuwu. Apalagi kau bukan orang yang dikenal di Pakuwon Gagelang ini”

Ki Sendawa menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang Mahisa Murti, maka anak muda itu berdesis, “Baiklah. Kita menghadap Senopati. Ki Sendawa dapat mengatakan tentang kehadiran kedua orang itu, karena mereka telah menyebut-nyebut nama Sang Akuwu. Itu saja”

Ki Sendawa mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah Ki Sanak. Aku akan menyampaikan persoalanku kepada Senopati. Mudah-mudahan aku mendapat kesempatan untuk menghadap. Seandainya tidak sekarang, mungkin nanti atau besok”

Pengawal itu memandang Ki Sendawa dengan tajamnya. Dengan sikap yang garang ia pun berkata, “Mari, aku akan membawa kalian menghadap Senopati. Kedatangan kalian dalam kelompok itu telah mengejutkan kami. Beruntunglah kalian bahwa kami tidak dengan serta merta menindak kalian”

Ki Sendawa tidak menjawab. Karena ia pun sadar, bahwa sikap pengawal itu akan dapat menjadi semakin garang.

Tetapi, ketika mereka mulai berkisar dari tempatnya, tiba-tiba saja mereka mendengar suara seseorang tertawa. Dengan nada berat terdengar kata-kata disela-sela suara tertawanya, “Kau benar-benar datang Ki Sendawa”

Semua orang telah berpaling kearah suara itu, termasuk pengawal yang akan mengantar Ki Sendawa ke gardu para pengawal.

Dengan jantung yang berdebar-debar mereka melihat seseorang berdiri di bawah tangga serambi samping istana Akuwu di Gagelang.

Ki Sendawa segera dapat mengenali orang itu. Orang itulah yang telah datang ke rumahnya semalam dan minta kepadanya untuk datang ke Pakuwon.

“Kau?” hampir diluar sadarnya Ki Sendawa itu menyapa.

Namun pengawal yang mengantarnya itu pun mendesaknya, “Kau harus menghadap Senopati. He, apakah kau kenal orang itu?”

“Ya” jawab Ki Sendawa, “apakah kau justru tidak mengenalnya?”

“Aku pernah melihatnya. Ia juga seorang abdi di istana ini” berkata pengawal itu.

Ki Sendawa termangu-mangu. Ia tidak mengerti keadaan yang dihadapinya itu. Apalagi ketika pengawal itu berkata, “Ia seorang juru taman”

Ki Sendawa mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia mengumpat di dalam hatinya, “Orang gila. Ternyata ia hanya seorang juru taman”

Tetapi adalah di luar dugaan, ketika kemudian seorang pengawal khusus turun dari tangga istana langsung mendekati pengawal yang akan mengantarkan Ki Sendawa menghadap Senopati yang baru bertugas.

“Aku mendapat perintah dari Akuwu untuk membawa orang ini langsung menghadap” berkata pengawal khusus itu.

Pengawal yang bertugas di gerbang itu termangu-mangu Tetapi pengawal yang datang kepadanya itu adalah pengawal khusus yang bertugas pengawal Akuwu.

Karena itu, maka pengawal yang bertugas di pintu gerbang itu tidak dapat mencegahnya, meskipun berbagai pertanyaan telah bergejolak di dalam hatinya.

Demikianlah, maka kemudian Ki Sendawa itu pun telah dibawa langsung menghadap Akuwu. tetapi para pengawal harus tetap tinggal di gardu penjaga selama Ki Sendawa dibawa memasuki istana Akuwu Gagelang.

Dengan jantung yang rasa-rasanya berdegup semakin keras, Ki Sendawa akhirnya duduk menghadap Akuwu.

Dengan kepala menunduk dan tatapan mata yang rendah menyentuh kaki Akuwu, Ki Sendawa rasa-rasanya harus menahan nafasnya.

Akhirnya Akuwu pun telah bertanya kepadanya, “Apakah kau mempunyai satu kepentingan tertentu sehingga kau ingin menghadap?”

“Ampun Akuwu” suara Ki Sendawa gemetar, “sebenarnyalah hamba telah mendapat kunjungan dua orang yang telah minta agar hamba menghadap Sang Akuwu”

“Apakah kau mengenal orang itu?” bertanya Akuwu.

“Hamba Akuwu. Orang itu adalah orang yang telah menyapa hamba di luar istana. Menurut pengawal yang bertugas di pintu gerbang, orang itu adalah juru taman”

“Juru taman?” ulang Akuwu.

Ki Sendawa menjadi bingung. Namun kemudian jawabnya, “Hamba Akuwu. Menurut pengawal yang telah mengantar hamba menghadap Senopati yang bertugas. Tetapi sebelum hamba sampai ke gardu. Sang Akuwu telah memanggil hamba”

Akuwu itu mengangguk-angguk. Sementara itu dalam kebimbangan Ki Sendawa telah menceriterakan kehadiran dua orang di rumahnya semalam.

Dalam pada itu, selagi Ki Sendawa dengan gelisah mengatakan tentang kehadiran kedua orang di rumahnya, maka tiba-tiba saja orang yang disebutnya juru taman itu telah berada pula di ruangan itu.

“Selamat datang Ki Sendawa” sapa orang itu.

Ki Sendawa berpaling. Ketika dilihatnya orang itu, maka jantungnya menjadi semakin keras berdenyut.

“Aku memang sudah mengira, bahwa kau akan benar-benar menghadap Akuwu hari ini” berkata juru taman itu.

“Ya, aku memang datang menghadap” jawab Ki Sendawa.

“Nah, apa katamu tentang yang aku katakan semalam?” bertanya juru taman itu.

Jantung Ki Sendawa menjadi semakin berdebar-debar. Sikap orang itu sama sekali bukannya sikap seorang juru taman, meskipun ia duduk pula dilantai seperti dirinya.

“Ki Sendawa” berkata Akuwu kemudian, “sebenarnya apa yang kau laporkan itu sudah aku ketahui semuanya. Aku memang menunggu kedatanganmu untuk mendapatkan ketegasan sikapmu”

Wajah Ki Sendawa menjadi bertambah tegang. Sementara Akuwu berkata selanjutnya, “Keterangan yang aku dengar tentang sikapmu agak mengecewakan aku. Tetapi kedatanganmu memberikan harapan baru bagiku”

Sejenak Ki Sendawa termangu-mangu. Keheranannya telah mencengkam jantung bahwa sebenarnyalah Akuwu telah menghendakinya menjadi Buyut di Talang Amba. Satu sikap yang sama sekali tidak dapat dimengertinya.

Justru karena itu, maka Ki Sendawa pun telah termenung untuk beberapa saat. Ia mencoba untuk menjajagi keadaan dihadapinya.

Sementara itu, orang yang disebutnya sebagai juru taman itu pun tersenyum sambil berkata, “Nah Ki Sendawa, bukankah aku tidak berbohong? Aku adalah utusan Akuwu. Dan sekarang, katakanlah, apakah kau bersedia menjadi Buyut di Talang Amba, atau setidak-tidaknya kau dapat memangku jabatan itu sebelum ada kejelasan tentang pengangkatan seorang Buyut yang pantas bagi kabuyutan itu. Tetapi menilik kedudukan, maka kaulah orang yang paling berhak untuk menjadi Buyut sebagaimana pernah kau perjuangkan bersama Ki Sarpa Kuning. Tetapi perjuangan itu gagal karena Ki Sarpa Kuning nampaknya menjadi terlalu tamak”

Ki Sendawa menjadi semakin bimbang. Tetapi ia masih tetap berdiam diri.

Dalam pada itu, Akuwu pun berkata lebih lanjut, “Ki Sendawa, aku adalah Akuwu Gagelang. Aku bukan Ki Sarpa Kuning. Karena itu, jika kau bersedia, maka kedudukanmu akan menjadi kuat. Akulah yang memang mempunyai kekuasaan untuk mengesahkan kedudukanmu. Karena itu. jangan bimbang. Sementara itu, aku tidak akan minta imbalan apa pun juga, kecuali sebagaimana diinginkan oleh Ki Sarpa Kuning. Tanah di lereng bukit yang masih berujud hutan belukar. Aku akan menebangnya dan membuatnya menjadi pedukuhan-pedukuhan yang ramai. Aku memerlukan daerah itu”

Jantung Ki Sendawa menjadi berdentang semakin cepat. Ia mengerti arti hutan di lereng bukit itu. Jika Akuwu juga menghendaki hutan itu sebagaimana dikehendaki oleh Ki Sarpa Kuning, maka keadaan yang dihadapinya sungguh membingungkan.

Tetapi dalam pada itu, sejak Ki Sendawa berangkat dari Kabuyutan, ia sudah mempunyai bekal sikap yang sebaiknya dilakukan menghadapi keadaan itu. Seperti sudah direncanakan, jika Akuwu sendiri menghendakinya, maka ia tentu tidak akan dapat menolak. Jika ia mempunyai sikap yang berbeda dengan kehendak Akuwu, maka ia tentu tidak akan dapat pulang kembali ke Kabuyutan Talang Amba.

Karena Ki Sendawa masih belum menjawab, maka Akuwu itu pun berkata, “Ki Sarpa Kuning telah gagal tetapi apakah dengan demikian kau benar-benar telah kehilangan keinginanmu untuk menjadi Buyut di Talang Amba? Ki Sendawa, mungkin kematian Ki Sarpa Kuning telah menghancurkan gairah perjuanganmu, karena kau menjadi putus asa. Tetapi sekarang, bukan sekedar Ki Sarpa Kuning yang akan mendukungmu. Tetapi aku Akuwu Gagelang. Yang mempunyai kekuasaan untuk menentukan apakah kau dapat diangkat menjadi Akuwu atau tidak”

Ki Sendawa menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar sepenuhnya dengan siapa ia berhadapan. Karena itu, maka Ki Sendawa itu tidak mempunyai pilihan lain. Sambil menundukkan kepalanya ia berkata, “Ampun Akuwu. Hamba tidak menyangka, bahwa hamba masih mempunyai kesempatan untuk menjadi seorang Buyut di Talang Amba. Kekalahan Ki Sarpa Kuning memang membuat hamba menjadi berputus asa. Kedatangan utusan Sang Akuwu, membuat hati hamba menjadi curiga. Hamba menyangka, bahwa utusan itu sekedar memancing sikap hamba, apakah hamba benar-benar sudah menyesal atau sekedar menyembunyikan keinginan hamba yang sebenarnya. Karena itu, hamba bersikap seakan-akan hamba benar-benar telah menyesali sikap hamba yang gagal itu.

“Dan sekarang? apa katamu?” bertanya Sang Akuwu.

“Sang Akuwu. Sebenarnya hamba tidak akan pernah dapat melupakan warisan yang seharusnya hamba terima itu. Namun apaboleh buat. Sanggarana mempunyai kekuatan yang jauh lebih besar dari kekuatan hamba” jawab Ki Sendawa. Lalu, “Dengan demikian, jika ada perkenaan tuanku, maka hamba tentu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Namun demikian, hamba harus memperhatikan keadaan di sekitar hamba. Jika rakyat Talang Amba menolak hamba, maka hamba harus memperhatikannya”

“Hatimu lemah seperti batang ilalang” berkata Akuwu.

Ki Sendawa menjadi semakin tunduk. Lalu katanya, “Sebenarnyalah hamba tidak akan dapat menentang sikap Sanggarana, kemanakan hamba itu”

“Sanggarana sekarang ada disini” berkata Akuwu.

“Hamba mengetahuinya tuanku. Tetapi pengikutnya tetap berada di Talang Amba” jawab Ki Sendawa.

“Jangan takut. Dalam keadaan yang gawat, pengawal-pengawalku akan membantumu” berkata Akuwu kemudian, “apalagi jika lereng pegunungan itu sudah menjadi ramai. Maka orang-orang yang akan tinggal di lereng pegunungan itu tentu akan berpihak kepadamu”

Ki Sendawa mengangguk-angguk. Ia harus berhati-hati agar sikapnya tidak mencurigakan. Jika ia dengan serta merta menerima tanpa ragu-ragu. Akuwu justru akan menjadi curiga. Karena itu, maka katanya, “Ampun tuanku. Jika hamba kemudian menyatakan kesediaan hamba, maka hamba tidak akan mempunyai kekuatan apa pun untuk mempertahankan diri dari kemarahan orang-orang yang berpihak kepada Sanggarana. Karena itu, segala sesuatunya kami serahkan kepada Akuwu. Di Banjar, saat Ki Sarpa Kuning terbunuh, aku merasa bahwa aku sudah tidak akan mempunyai harapan lagi untuk keluar dari halaman. Namun akhirnya dengan menyesali perbuatanku, aku tidak dibunuh oleh para pengikut Sanggarana”

“Lupakan” berkata Akuwu, “jangan takut kepada pengikut Sanggarana. Para pengawal dari Gagelang akan selalu mengamati keadaan”

Ki Sendawa mengangguk-angguk. Namun sebenarnyalah jantungnya serasa bergejolak. Ia mulai jelas, siapa yang sebenarnya dihadapinya. Agaknya Akuwu di Gagelang telah menempatkan dirinya dipihak yang berlawanan dengan kekuasaan Singasari.

Dalam pada itu. Akuwu di Gagelang itu pun kemudian berkata, “Ki Sendawa. Kembalilah. Bersiap-siaplah untuk memangku jabatan Buyut di Talang Amba atas kehendak Akuwu di Gagelang, karena orang yang berhak menurut pendapat mereka. Sanggarana sedang dalam pengusutan."


“Hamba tuanku. Hamba akan melakukannya” jawab Ki Sendawa, “hamba akan menunggu sementara itu. hamba akan mempersiapkan diri hamba sebaik-baiknya”

“Sekarang, pulang” berkata Akuwu Gagelang, “segalanya akan berjalan dengan baik”

Ki Sendawa pun kemudian dengan jantung yang bergejolak meninggalkan Gagelang. Para pengawalnya mengikutinya dengan penuh pertanyaan di dalam hati, termasuk Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Namun ketika mereka telah berpacu di bulak-bulak panjang menuju ke Talang Amba, Ki Sendawa mulai berbincang dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat setelah mereka memperlambat lari kuda mereka.

“Memang aneh” berkata Mahisa Murti setelah ia mendengar ceritera tentang sikap Akuwu. Lalu, “Namun dengan demikian kita dapat menilai sikap itu. Kita mengetahui bahwa beberapa orang bangsawan di Kediri berusaha menghancurkan kuasa Singasari dengan perlahan-lahan.

“Nah, agaknya Akuwu di Gagelang berdiri dipihak beberapa orang bangsawan Kediri itu”

Ki Sendawa mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Pukat melanjutkan, “Usaha untuk melemahkan tata kehidupan di Singasari dengan menghancurkan daerah-daerah yang subur merupakan satu usaha yang sangat mengerikan akibatnya. Sebagian tata kehidupan akan musnah. Sementara untuk memperbaiki tata kehidupan itu diperlukan waktu yang sangat panjang. Lereng-lereng pegunungan itu harus dihijaukan kembali. Untuk itu maka diperlukan tenaga, dana dan kesediaan bekerja yang sangat besar”

Ki Sendawa mengangguk-angguk. Katanya, “Beruntunglah aku, bahwa aku belum menyerahkan usaha maut itu ke dalam tangan Ki Sarpa Kuning. Bersukurlah aku bahwa di Talang Amba hadir orang yang bernama Ki Waruju serta kalian berdua, sehingga dengan demikian kehancuran itu tidak terjadi. Agaknya aku kurang berhati-hati menanggapi permintaan Ki Sarpa Kuning itu. Ia berhasil mengungkat nafsu ketamakanku sehingga aku seolah-olah menjadi buta karenanya. Tetapi sekarang aku tidak akan terjebak lagi ke alam persoalan itu. Aku tidak akan menyerahkan Talang Amba untuk ditelan banjir dan tanah longsor, sehingga kehidupan akan terbenam dibawah arus lumpur dari lereng bukit”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian bertanya hampir berbareng, “Lalu. apa yang akan Ki Sendawa lakukan?”

“Aku harus menentang niat Akuwu di Gagelang. Tetapi aku tidak mempunyai kekuatan untuk itu” berkata Ki Sendawa.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka menyadari, bahwa Talang Amba tidak akan mampu berbuat banyak atas niat Akuwu di Gagelang.

Karena itu, tiba-tiba saja Mahisa Pukat berkata, “Apakah Ki Sendawa akan melaporkannya ke Singasari?”

Ki Sendawa menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Apakah aku akan dapat membuktikannya? Seandainya aku akan berbuat demikian, maka aku harus berhati-hati. Jika para pemimpin di Singasari meragukan laporanku, maka aku tidak mempunyai bukti apa pun juga yang dapat aku pergunakan untuk memperkuat laporanku.

“Apakah Ki Waruju dan Ki Sanggarana tidak akan dapat menjadi bukti yang kuat?” bertanya Mahisa Murti.

“Jika alasan penahanan mereka disebut dengan sewajarnya, memang akan demikian. Tetapi aku curiga, apakah Akuwu tidak akan memutar balikkan keadaan. Mungkin Akuwu akan dapat saja menyebut, bahwa penahanan itu didasarkan justru atas laporan yang aku buat atau alasan-alasan lain yang masuk akal, sehingga tidak ada hubungannya sama sekali dengan sikap Akuwu dalam hubungannya dengan tanah di lereng pegunungan itu” jawab Ki Sendawa.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ternyata pertimbangan Ki Sendawa cukup tajam menghadapi sikap Akuwu Gagelang sehingga dengan demikian ia harus benar-benar berhati-hati.

“Kita harus membuat perhitungan sebaik-baiknya” berkata Mahisa Murti. Lalu, “Jika keadaan memaksa, aku akan dapat membantu Ki Sendawa menghubungi pimpinan prajurit di Singasari”

Wajah Ki Sendawa menjadi tegang. Namun Mahisa Murti-cepat-cepat menyambung, “Mungkin aku akan dianggap sebagai orang yang tidak terlalu berkepentingan dengan perselisihan antara keluarga di Talang Amba sehingga akan sulit dikaitkan dengan tuduhan seolah-olah Ki Sendawa lah yang telah melaporkan dan memfitnah Ki Sanggarana dan Ki Waruju”

Ki Sendawa termangu-mangu. Sementara itu kuda-kuda mereka meluncur di bulak panjang ditengah-tengah tanah persawahan yang subur. Namun hampir diluar sadarnya, Ki Sendawa memandang ke arah pegunungan yang hijau di seberang daerah yang luas. Jika pegunungan itu menjadi gundul dan kehilangan hutan-hutannya, maka sawah yang hijau itu pun akan menjadi kering dan gersang. Bahkan mungkin akan terbenam dalam lumpur yang mengeras bagaikan batu-batu padas.

Ki Sendawa itu pun menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat satu masa depan yang suram bagi kampung halamannya itu.

Demikianlah kuda-kuda itu pun berjalan tidak terlalu cepat menuju ke Kabuyutan Talang Amba. Orang-orang yang berada dipunggung kuda itu pun nampak merenungi persoalan yang sedang mereka hadapi.

Namun dalam pada itu, Ki Sendawa pun berkata, “Kita tidak boleh tergesa-gesa. Kita harus menemukan satu langkah yang paling tepat. Namun sementara itu, aku akan berbicara dengan anak-anak muda Talang Amba tentang Ki Sanggarana. Dan aku pun akan minta ijin kepada anak-anak muda itu untuk menerima kedudukan sementara Buyut di Talang Amba”

Wajah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berkerut. Tetapi cepat Ki Sendawa berkata, “Jangan cemas anak-anak muda. Aku tidak akan terseret lagi kedalam arus ketamakan itu. Aku akan menunggu perkembangan keadaan, sementara itu kita harus menemukan jalan untuk melepaskan Sanggarana dan Ki Waruju”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka masih tetap mempercayai Ki Sendawa. Namun yang tidak mereka mengerti apakah anak-anak muda Talang Amba mempercayainya.

Tetapi di dalam hati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berjanji untuk membantu meyakinkan anak-anak muda Talang Amba untuk menempatkan diri mereka dipihak Ki Sendawa.

“Tidak ada pilihan lain” berkata Mahisa Murti di dalam hatinya.

Demikianlah, ketika mereka sampai di rumah Ki Sendawa, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun sempat berbicara untuk beberapa saat. Ki Sendawa pun sadar, bahwa anak-anak muda di Talang Amba tentu sulit untuk mempercayainya, karena namanya memang telah ternoda.

“Aku akan mencoba” berkata Mahisa Murti.

“Terima kasih. Kita harus berusaha, agar Akuwu di Gagelang tidak mengambil tindakan apa pun dalam waktu dekat. Baik terhadap Kabuyutan Talang Amba, maupun terhadap Ki Sanggarana dan Ki Waruju” berkata Ki Sendawa.

Dengan jantung yang berdebar-debar, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah meninggalkan rumah Ki Sendawa. Mereka berusaha untuk menemukan cara agar mereka dapat meyakinkan anak-anak muda di Talang Amba, bahwa mereka memang harus menembus langkah yang mungkin harus melingkar-lingkar.

Kedatangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat di rumah Ki Sanggarana telah disambut dengan perasaan curiga. Beberapa orang anak muda yang mewakili kawan-kawannya telah menemuinya.

Seorang di antara mereka bertanya, “Kau pergi dari mana? Seorang kawan kami melihat, kau pergi hersama Ki Sendawa”

“Ya” jawab Mahisa Murti, “kami pergi bersama Ki Sendawa ke Pakuwon Gagelang”

“Untuk apa?” bertanya yang lain, “apakah kau berusaha untuk melepaskan Ki Sanggarana atau justru sebaliknya, agar Ki Sanggarana tetap berada di dalam tahanan?”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kalian terlalu curiga. Apakah ada tanda-tanda pada kami berdua untuk berbuat demikian?”

Anak-anak muda itu saling berpandangan sejenak. Namun tidak seorang pun yang dapat menjawab.

Dalam pada itu, Mahisa Murti berkata seterusnya, “Aku sama sekali tidak mempunyai kepentingan langsung dengan Kabuyutan ini. Jika aku ikut terlibat di dalamnya. semata-mata hanya karena aku merasa berkewajiban untuk berbuat sesuatu bagi sesama. Jika aku melihat ketidak-adilan terjadi disini, maka rasa-rasanya aku terpanggil untuk melibatkan diri”

Anak-anak muda Talang Amba itu menjadi semakin tunduk. Mereka mengakui di dalam hati, bahwa kedua orang anak muda itu telah berbuat banyak bagi Kabuyutan Talang Amba bersama seorang murid Ki Sarpa Kuning yang kini ada diantara mereka dan bekerja bersama mereka.

Dalam kesempatan itu, maka Mahisa Murti justru telah berusaha untuk dengan langsung mengatakan rencana yang harus disusun oleh Kabuyutan Talang Amba meskipun dengan sangat berhati-hati. Mahisa Murti menceriterakan apa yang telah terjadi di rumah Ki Sendawa dan apa yang telah dikatakan oleh Akuwu.

“Aku yakin bahwa kalian menanggapi masalah ini dengan sikap dewasa. Setuju atau tidak setuju, kalian harus mempertimbangkan kepentingan Talang Amba dalam keseluruhan” berkata Mahisa Murti kemudian, “karena itu, aku minta kalian berpikir dengan hati yang bening. Bukar sekedar didorong oleh perasaan. Tetapi kalian harus mencari keseimbangan dengan penalaran”

Anak-anak muda Talang Amba itu menjadi tegang. Mereka dicengkam oleh ketidak pastian sikap. Bagaimanapun juga mereka sulit untuk dapat mempercayai Ki Sendawa.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat nampaknya terlalu yakin akan kejujuran sikap orang yang pernah mengguncang Kabuyutan Talang Amba dengan ketamakannya.

“Aku yakin, bahwa Ki Sendawa benar-benar menyadari kesalahannya, menyesalinya dan berusaha untuk menebus kesalahannya itu. Ia berjanji untuk berusaha mencari jalan agar Ki Sanggarana dapat terlepas dari tahanan. Karena itu, maka ia harus menerima keadaan yang ditawarkan oleh Akuwu. Jika ia menentang, maka ia pun tidak akan dapat kembali lagi ke Kabuyutan ini. Dengan demikian, maka Akuwu mungkin sekali akan mengambil sikap yang lebih keras lagi terhadap Talang Amba”

Anak-anak muda itu termangu-mangu. Sementara itu Mahisa Murti melanjutkan, “Ingat. Semua langkah harus kita lakukan bagi kepentingan Talang Amba. Kalianlah yang lebih berkepentingan dengan hari depan Kabuyutan ini. Bukan aku”

Untuk beberapa saat suasana dicengkam oleh ketegangan. Anak-anak muda Talang Amba itu berusaha nempertimbangkan keterangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang ikut pergi ke Pakuwon Gagelang.

Sementara itu Mahisa Murti pun berkata, “Sudahlah, renungkan untuk satu dua hari. Tetapi ingat, hal ini jangan kalian percakapkan dengan orang-orang yang tidak berpentingan, jika hal ini didengar oleh orang-orang Akuwu Gagelang, maka akibatnya akan menjadi lebih parah lagi lagi Talang Amba dan bagi Ki Sanggarana”

Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, “Kami akan memikirkannya. Mudah-mudahan kami menemukan kesamaan pengertian dengan kalian”

“Kami berharap demikian” jawab Mahisa Murti.

“Aku kira, yang ditempuh oleh Ki Sendawa adalah satu-satunya jalan sekarang ini,” sambung Mahisa Pukat, “Jika kita salah satu langkah saja dalam persoalan ini, maka akibatnya akan kita sesali untuk waktu yang sangat panjang”

Anak-anak muda itu masih mengangguk-angguk. Agaknya mereka benar benar ingin memikirkannya dan mempertimbangkannya diantara kawan-kawan mereka.

Sementara itu, Ki Sendawa pun telah dicengkam oleh kegelisahan. Ia berharap bahwa anak-anak muda Talang Amba mempercayainya. Dengan demikian, maka Talang Amba akan mendapat kesempatan untuk merencanakan sikap yang paling baik menghadapi Akuwu di Gagelang yang agaknya telah menyimpang dari paugeran seorang pemimpin yang mendapat kepercayaan dari Singasana Singasari. Agaknya beberapa orang dari Kediri telah berhasil membujuknya untuk memusuhi Singasari dengan cara yang sangat keji, karena langkah yang mereka ambil adalah satu penghancuran terhadap tata kehidupan yang menjadi semakin mapan.

Dalam pada itu, tanpa hadirnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, beberapa orang anak-anak muda yang dianggap mempunyai pengaruh di Talang Amba telah berbincang. Beberapa orang di antara mereka memang masih tetap meragukan Ki Sendawa. Tetapi yang lain berusaha untuk mengajak kawan-kawannya agar mereka memberi kesempatan kepada Ki Sendawa.

“Kita tidak mempunyai jalan lain” berkata salah seorang di antara mereka, “Ki Sanggarana telah berada di tangan Akuwu. Seperti yang dikatakan oleh anak-anak muda itu, jika kita salah langkah, maka kita akan menyesal untuk waktu yang panjang. Karena sebenarnyalah bahwa Akuwu akan dapat bertindak lebih keras lagi”

“Ya” desis yang lain, “penahanan Ki Sanggarana itu telah menunjukkan satu gejala yang aneh pada Akuwu”

Tetapi masih ada yang berdesis, “Apakah hal itu bukan sekedar permainan Akuwu dengan Ki Sendawa”

“Memang mungkin terjadi” sahut yang lain, “permainan yang kotor itu harus kita cegah”

“Bagaimana kita dapat melihatnya sekarang” sahut anak muda yang pertama, “tetapi aku percaya kepada kedua orang anak muda yang melihat dua orang yang datang ke rumah Ki Sendawa. Jika Ki Sendawa telah menempuh satu permainan dengan Akuwu. maka tidak akan terjadi bahwa dua orang telah mendatanginya atas nama Akuwu dan terjadi satu pembicaraan yang tegang”

Yang lain mengangguk-angguk. Mereka memang dihadapkan kepada persoalan yang pelik. Kepercayaan mereka terhadap Ki Sendawa sudah sangat tipis, sementara itu, mereka melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sebagai sandaran mereka, sehingga karena itu mereka telah mempercayai keduanya sepenuhnya.

Namun akhirnya, anak-anak muda Talang Amba itu telah meletakkan semua harapan kepada sikap Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereka memang tidak mempunyai cara lain yang mereka anggap cukup meyakinkan. Untuk mempergunakan kekerasan, mereka merasa tidak mempunyai kemampuan. Apalagi menghadapi kekuatan Pakuwon Gagelang.

Demikianlah, maka pada langkah yang pertama, Ki Sendawa telah menyatakan dirinya sebagai pemangku jabatan Akuwu di Talang Amba.

Atas permainan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka terjadi pergolakan di Talang Amba di saat Ki Sendawa menyatakan dirinya memegang kendali kepemimpinan di Kabuyutan Talang Amba. Tetapi persoalan itu dapat segera diatasi ketika sekelompok pasukan Gagelang datang ke Kabuyutan itu.

“Satu permainan berbahaya” berkata Ki Sendawa.

“Sekedar untuk meyakinkan Akuwu tentang kedudukan Ki Sendawa. Bukankah Ki Sendawa pernah mengatakan bahwa anak-anak muda di Talang Amba lebih banyak yang berpihak kepada Ki Sanggarana?” sahut Mahisa Murti.

Ki Sendawa mengerti maksud tersebut. Beberapa pemimpin anak-anak muda Talang Amba pun mengerti permainan itu. Tetapi sebagaimana dipesankan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bahwa para pemimpin anak-anak muda di Talang Amba harus merahasiakannya sebaik-baiknya bagi kepentingan Ki Sanggarana.

Demikianlah maka untuk beberapa saat kemudian. Ki Sendawa lah yang telah memerintah di Kabuyutan Talang Amba.

Ternyata hal itu telah disampaikan pula oleh Akuwu kepada Ki Sanggarana dan Ki Waruju. Seolah-olah dengan sengaja Akuwu ingin menunjukkan kepada Ki Sanggarana bahwa ia sudah tidak mempunyai kesempatan lagi meskipun jika kelak ia kembali ke Talang Amba.

“Paman memang orang yang licik” geram Ki Sanggarana. Lalu katanya, “Sebenarnya aku tidak berkeberatan untuk menyerahkan pimpinan itu. Tetapi tidak dengan cara ini”

Tetapi keluhan Ki Sanggarana itu telah ditertawakan oleh Akuwu di Gagelang. Dengan nada tinggi ia berkata, “Sanggarana yang malang. Karena kau telah dengan sombong melampaui kuasaku dan langsung berhubungan dengan Singasari, maka kau sekarang akan merasakan, betapa sakitnya kuasa yang terlampaui itu. Aku lebih senang melihat pamanmu menjadi Buyut di Talang Amba dari kau sendiri. Aku akan menyusun laporan yang akan meyakinkan Singasari, bahwa kau telah melakukan satu kesalahan sehingga kau tidak akan dapat kembali ke Talang Amba sebagai seorang Buyut”

“Apakah dalam hal ini berarti bahwa paman Sendawa telah sepakat mengambil langkah-langkah seperti ini dengan Akuwu?” bertanya Ki Sanggarana.

Akuwu di Gagelang itu mengangguk-angguk kecil Katanya, “Bagiku Sanggarana, yang akan terpilih menjadi Buyut di Talang Amba adalah orang yang terbaik. Karena menurut penilaianku Sendawa memiliki kematangan berpikir dan bersikap lebih dari kau, maka aku telah menetapkan bahwa Ki Sendawa lah yang akan menjadi Buyut di Talang Amba”

“Atas dasar apakah Akuwu menilai kemampuan kami berdua? Kematangan berpikir yang bersikap yang bagaimanakah yang tuanku maksudkan?” bertanya Ki Sanggarana.

“Aku adalah seorang Akuwu” jawab akuwu, “Aku mempunyai penilaian yang tajam terhadap kalian berdua”

Ki Sanggarana menarik nafas dalam-dalam, ia merasa bahwa tidak akan ada artinya jika ia harus berbantah dengan Akuwu di Gagelang.

Dalam pada itu, ketika Akuwu meninggalkannya, maka Ki Waruju pun berkata, “Sudahlah. Kita masih mempunyai waktu untuk menentukan sikap. Aku yakin bahwa kehadiran Mahisa Murti dan Mahisa Pukat di Talang Amba akan membawa akibat yang berarti”

Ki Sanggarana mengangguk-angguk. Katanya, “Untunglah bahwa kita tidak menyebut mereka dalam laporan-laporan yang kita sampaikan. Tetapi yang aku tidak mengerti, bagaimana sikap Ki Sendawa terhadap keduanya. Apakah Ki Sendawa tidak memberikan laporan khusus mengenai kedua anak muda itu?”

Atau Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menyingkir lebih dahulu dari Talang Amba?” bertanya Ki Waruju pula.

Namun dalam pada itu, Ki Waruju masih mempunyai harapan bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan ikut menentukan akhir dari persoalan yang berbelit itu.

“Mudah-mudahan ia memberikan laporan yang. sebenarnya kepada ayahnya yang akan dapat menyampaikannya kepada Mahisa Bungalan” berkata Ki Waruju kepada diri sendiri.

Namun seandainya tidak demikian, maka Ki Waruju masih mempunyai jalan lain. Tempat ia dan Ki Sanggarana ditahan itu terbuat dari Kayu. Dinding-dindingnya terbuat dari papan meskipun cukup tebal. Tetapi dalam keadaan yang memaksa, maka Ki Waruju akan dapat memecahkan pintu bilik yang diselarak dari luar itu.

“Tetapi itu adalah jalan yang terakhir” berkata Ki Waruju di dalam hatinya.

Dalam pada itu, di Talang Amba, Ki Sendawa benar-benar berusaha untuk mendapatkan kepercayaan dari anak-anak muda. Meskipun ia sadar, bahwa kerja itu adalah kerja yang sangat berat. Namun bersama-sama dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akhirnya mereka berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin anak-anak muda yang berpengaruh, bahwa yang dilakukan Ki Sendawa itu benar-benar bagi keseluruhan Talang Amba dan Ki Sanggarana.

Meskipun masih juga ada kecurigaan kepada Ki Sendawa, namun langkah-langkah yang diambil oleh Ki Sendawa ternyata telah menunjukkan kepada mereka, bahwa Ki Sendawa yang telah menerima kedudukan sementara itu berbeda dengan Ki Sendawa sebelumnya.

“Ternyata perjuangan untuk melepaskan Sanggarana akan memerlukan waktu yang agak panjang” berkata Ki Sendawa.

“Ya” jawab Mahisa Murti, “tetapi kita sudah memulainya. Dan itu lebih baik daripada kita masih harus menunggu”

“Tetapi, agaknya memang tidak ada cara lain yang dapat dipergunakan kecuali dengan kekerasan” berkata Mahisa Pukat. Lalu, “Kita dapat menghimpun anak-anak muda dan memberikan latihan-latihan dasar bagi mereka.

“Tetapi kita tidak akan dapat melawan para pengawal dari Gagelang” jawab Ki Sendawa, “Jika kita memaksakan cara itu, maka akibatnya akan menjadi sangat parah bagi Talang Amba. Kita akan ditumpas dan pimpinan Kabuyutan ini akan jatuh ketangan orang lain yang tidak kita kenal sifat dan tabiatnya”

“Aku mengerti Ki Sendawa” berkata Mahisa Murti, “karena itu, salah satu jalan yang dapat ditempuh adalah memberikan laporan kepada Singasari, bahwa Akuwu di Gagelang telah melakukan satu tindakan yang melawan paugeran Singasari. Seandainya Singasari tidak mempercayainya, maka sejak semula kita minta agar Singasari berusaha menyelidikinya. Mereka akan dapat mengirimkan petugas-petugas sandinya sebelum benar-benar mengambil tindakan tertentu”

Ki Sendawa mulai memikirkannya. Namun kemudian katanya, “Kita akan mengambil langkah-langkah yang lain lebih dahulu. Tetapi jika semuanya gagal, maka kita akan mengambil langkah terakhir itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Bagaimanapun juga keduanya menyadari, bahwa Akuwu di Gagelang akan dapat memutar balikkan keadaan yang sebenarnya dan akibatnya akan sangat merugikan Ki Sendawa dan bahkan mungkin Talang Amba dalam keseluruhan.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus memperhitungkan batas kesabaran anak-anak muda Talang Amba. Jika perkembangan persoalan itu berjalan sangat lamban, maka akibatnya akan sangat pahit. Kepercayaan kepada Ki Sendawa akan menjadi semakin susut, seolah-olah Ki Sendawa sedang melakukan satu permainan yang sangat lembut untuk mencapai tujuannya. Menguasai Talang Amba dengan dukungan Sang Akuwu di Gagelang.

Sementara itu, ternyata Ki Sendawa sendiri mulai disudutkan kepada satu keadaan yang pelik. Jantungnya serasa berhenti berdetak ketika dua orang utusan Akuwu datang ke rumahnya dan menyampaikan pesan Akuwu tentang lereng bukit gundul itu

“Akuwu akan mulai sewaktu-waktu” berkata utusan itu, “bukit itu akan dibersihkan dan akan dibangun satu daerah pemukiman di lereng gunung itu”

“Demikian cepatnya?” bertanya Ki Sendawa, “Bukankah aku masih belum disahkan dalam kedudukanku? Apakah dengan demikian aku mempunyai wewenang untuk mengiakan?”

“Semua tanggung jawab ada pada Akuwu” berkata utusan itu, “Bukankah daerah ini juga daerah Gagelang? Adalah wajar bahwa Akuwu melakukan satu kebijaksanaan di daerahnya, termasuk kebijaksanaan mengenai hutan di lereng bukit itu”

“Ki Sanak benar” jawab Ki Sendawa, “tetapi daerah Gagelang terbagi dalam Kabuyutan yang bertanggung jawab atas wilayahnya. Karena itu maka Buyut di Talang Amba bertanggung jawab pula atas wilayahnya. Hijau atau kuning. Hitam atau putih”

“Bagaimanapun juga Talang Amba berada di bawah perintah Gagelang Ki Sendawa. Jika Akuwu mengangkat seorang Buyut yang dapat mengerti kebijaksanaannya itu, sekedar untuk mengurangi persoalan. Tetapi seorang Buyut tidak dapat mencegah kebijaksanaan Akuwu meskipun itu terjadi di wilayahnya” berkata utusan itu.

Ki Sendawa tidak dapat menjawab lagi. Akuwu memang mungkin mempergunakan kekerasan dan tidak lagi menghiraukan kuasa Buyut di Talang Amba. Dalam pada itu. berbareng dengan langkah-langkah itu, Akuwu dapat memberikan laporan tindakan-tindakan yang akan diambilnya meskipun dengan cara yang tidak sewajarnya

Karena itu, maka yang kemudian dapat dikatakan oleh Ki Sendawa adalah, “Ki Sanak. Jika hal itu yang dikehendaki oleh Akuwu, apaboleh buat. Akuwu sudah terlalu baik terhadapku, sehingga aku berkesempatan untuk memegang jabatan ini. Tetapi aku mohon agar Akuwu dapat memberikan ancar-ancar waktu yang akan dipergunakan oleh Akuwu untuk membuka hutan itu”

“Apakah kau mempunyai kepentingan?” bertanya utusan itu.

“Kepentingan hanyalah sekedar mengetahui. Mungkin ada orang Talang Amba yang bertanya, atau mereka yang berkepentingan karena mereka mempunyai rencana tertentu atas hutan itu meskipun belum disampaikannya kepadaku” jawab Ki Sendawa.

“Aku tidak dapat mengatakannya Ki Sendawa. Tetapi tentu dalam waktu yang tidak terlalu lama” jawab utusan itu.

Ki Sendawa menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia harus menyimpan perasaan itu di dalam hatinya.

Ketika utusan itu kembali, maka dengan tergesa-gesa Ki Sendawa telah memanggil Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk memberitahukan persoalan yang sedang dihadapinya.

“Jika Akuwu benar-benar menebang hutan itu, maka kepercayaan anak-anak muda itu tentu akan larut. Mereka menganggap bahwa aku telah memindahkan perjanjian dengan Ki Sarpa Kuning dan berlindung di bawah kuasa Akuwu. Anak-anak muda itu tentu menuduh aku pulalah yang telah menyebabkan Ki Sanggarana dan Ki Waruju ditahan di Gagelang” berkata Ki Sendawa yang kecemasan.

“Karena itu Ki Sendawa. Tidak ada cara lain yang lebih baik dari melaporkan hal ini kepada Singasari” jawab Mahisa Murti.

“Alasan itu pulalah yang dipakai oleh Akuwu untuk menahan Sanggarana dan Ki Waruju” jawab Ki Sendawa, “tetapi baiklah jika itu jalan satu-satunya. Jadi apakah aku harus pergi ke Singasari?”

“Ki Sendawa tidak usah pergi. Biarlah kami berdua sajalah yang pergi” jawab Mahisa Murti.

“Apakah kau akan dapat menyelesaikan persoalannya dengan pihak Singasari?” bertanya Ki Sendawa.

“Kami akan berusaha” jawab Mahisa Pukat.

“Tetapi bagaimana dengan anak-anak Talang Amba jika kalian tinggalkan mereka” desis Ki Sendawa yang cemas

“Kami akan berpesan kepada mereka, agar mereka tetap menahan diri. Kami akan menyelesaikan segala sesuatunya bagi kepentingan Talang Amba. Ki Sanggarana dan Ki Waruju” jawab Mahisa Murti.

Ki Sendawa sudah tidak mempunyai jalan lain. Karena itu, maka diserahkannya segalanya kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Demikianlah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai dengan rencana mereka. Mereka telah menemui para pemimpin anak-anak muda Talang Amba bersama murid Ki Sarpa Kuning yang tinggal. Dengan sungguh-sungguh mereka berpesan, agar anak-anak muda itu tidak bertindak sendiri-sendiri.

“Aku akan pergi ke Singasari” berkata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Lalu Mahisa Murti pun melanjutkan, “jaga segala rahasia sebaik-baiknya jika kalian ingin berhasil”

“Apakah kau benar-benar masih akan kembali?” bertanya seorang anak muda dengan curiga.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Kecurigaan yang demikian itu memang wajar sekali. Namun mereka harus yakin, bahwa tidak ada ialah lain yang akan dapat ditempuh.

“Kawan-kawan” berkata Mahisa Murti, “Aku memang tidak mempunyai cara lain. Dalam keadaan yang paling sulit, maka kita harus mencari perlindungan kepada orang yang paling berwenang. Kita sudah berusaha untuk mencari perlindungan kepada Akuwu di Gagelang. Tetapi usaha itu kandas karena sikap dan tanggapan Akuwu terhadap Kabuyutan Talang Amba. Karena itu, maka harapan kita satu-satunya adalah Singasari. Jika kita gagal mencari perlindungan di Singasari, maka kita akan menarik kepercayaan terhadap keadilan di tanah ini”

Anak-anak muda itu termangu-mangu. Namun akhirnya mereka memang harus masih menunggu lagi. Apalagi ketika kemudian mereka menyadari, bahwa mereka memang tidak akan dapat banyak berbuat. Jika mereka mempergunakan kekerasan, maka keselamatan Ki Sanggarana dan Ki Waruju tentu akan terancam. Lebih dari itu keselamatan Talang Amba sendiri juga tentu akan terancam.

Akhirnya dengan susah payah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dapat meyakinkan beberapa orang anak muda yang mempunyai pengaruh atas anak-anak muda di Talang Amba, tentang rencana yang akan dilakukannya.

Demikianlah, maka tanpa membuang waktu lagi, di hari berikutnya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah meninggalkan Talang Amba. Pagi-pagi benar. Sebelum matahari terbit. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak ingin dilihat orang-orang yang tidak berkepentingan dan tidak mengetahui seluk-beluk dari persoalan yang sedang dihadapi oleh Talang Amba daiam keseluruhan.

Namun sementara itu, Ki Sendawa selalu diliputi oleh kegelisahan. Setiap saat, Akuwu dapat melakukan rencananya, membuat hutan di lereng pegunungan itu menjadi gundul, sementara itu anak-anak muda Talang Amba, terutama para pemimpin mereka telah mengetahui arti dari tanah yang akan menjadi gundul itu. Sebagaimana pernah dituntut oleh Ki Sarpa Kuning pada saat ia mengikat satu kesepakatan dengan Ki Sendawa.

Sehingga apabila hal itu benar-benar dilakukan oleh Akuwu atau orang-orang yang ditugaskannya, maka akan sulit bagi Ki Sendawa, apalagi tanpa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, untuk mencegah langkah yang mungkin akan diambil oleh anak-anak muda Talang Amba.

“Aku telah diombang-ambingkan oleh tingkah Akuwu” berkata Ki Sendawa kepada dirinya sendiri, “pada saat aku mendapat terang di hati, maka aku terbentur kepada sikap Akuwu yang justru telah tersesat. Nampaknya langkah orang-orang Kediri itu sudah mencengkam lewat banyak jalur untuk menusuk kekuasaan singasari kearah jantung”

Dengan demikian, maka kadang-kadang Ki Sendawa itu telah dikuasai oleh kegelisahan yang sulit untuk diatasinya. Bahkan kadang-kadang ia telah kehilangan akal, apa yang sebaiknya dilakukan.

Namun satu hal yang tidak dilepaskannya dari kesadarannya, bahwa ia benar-benar ingin menebus kesalahannya yang telah dilakukan sehingga keadaan yang parah itu menjadi berlarut-larut dan berkepanjangan. Dan salah satu jalan yang narus ditempuhnya adalah harus menerima tawaran Akuwu Gagelang untuk memangku jabatan Buyut di Talang Amba. Bahkan mungkin jabatan itu akan dikukuhkan agar Akuwu dapat dengan mudah melakukan rencananya. Rencana yang dikendalikan oleh beberapa orang yang berada di Kediri yang merasa berkewajiban untuk membebaskan Kediri dari kekuasaan Singasari.

Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah menempuh satu perjalanan yang panjang. Mereka tidak dapat mencapai Singasari dalam satu hari perjalanan meskipun mereka mempergunakan kuda yang dapat mereka pinjam dari Talang Amba.

Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu tidak langsung menuju ke Singasari dan menemui kakak mereka, Mahisa Bungalan. Tetapi mereka telah menemui ayah mereka lebih dahulu untuk mendapatkan pertimbangan. Ketika Mahendra mendengarkan keterangan anaknya maka hatinya menjadi berdebar-debar. Karena rencana orang-orang Kediri itu sudah menyusup di antara para pemimpin pemerintahan yang seharusnya menjadi jalur kekuasaan Singasari.

“Baiklah” berkata Mahendra, “Aku akan menyertai menemui kakakmu Mahisa Bungalan. Ia akan berbicara dengan pamannya Mahisa Agni dan Witantra. Mudah-mudahan mereka dapat memecahkan persoalannya. Mereka harus mendapat bukti keingkaran Akuwu itu”

“Ya ayah” jawao Mahisa Murti, “Yang penting, Singasari harus meyakini bahwa Akuwu Gagelang telah melakukan satu kesalahan”

Mahendra pun mengangguk-angguk. Ia berpendapat bahwa Singasari tidak akan dapat begitu saja mengirimkan sepasukan yang akan dapat menangkap Akuwu Gagelang. Dengan demikian, maka Akuwu itu akan dapat ingkar dan Singasari akan menemui kesulitan untuk membuktikannya.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar