Bara Di Atas Singgasana Jilid 26

“Anusapati…”

“Anggaplah bahwa yang terjadi adalah karma. Bukankah ayahanda Tunggul Ametung mengambil ibunda dengan cara yang tidak ibunda sukai? Bukankah Ayahanda Tunggul Ametung telah melakukan kesalahan yang merusak kehidup ibunda selanjutnya? Ibunda, dalam hal ini ibunda jangan menyalahkan diri sendiri. Karma akan berlaku dimana-pun hamba bersembunyi. Kutuk seorang pendeta di Panawijen pasti akan berlaku. Dan hamba-pun akan memanggul karma itu sebagai seorang putera dari Akuwu Tunggul Ametung.”

“Tidak, tidak anakku. Kau tidak bersalah. Kau adalah anakku. Aku mencintaimu seperti aku mencintai adik-adikmu. Karena itu, aku tidak rela akan kematianmu itu.”

Tangis Ken Dedes yang tertahan-tahan membuat hati Anusapati bagaikan tergores duri. Pedih. Tetapi ia masih bertahan dan berkata, “Hamba tahu ibunda mencintai hamba. Tapi karma adalah diluar jangkauan kemampuan manusia. Dan keris yang ada di tangan Sri Rajasa itu-pun hanya sekedar sebagai lantaran. Sudahlah ibu. Jangan hiraukan hamba. Anak hambalah yang akan menggantikan hamba dihadapan ibunda. Jika hamba telah memanggul karma, maka akan bersihlah anak hamba dari kemungkinan-kemungkinan yang pahit. Dan biarlah keris itu kini tetap di tangan Sri Rajasa.”

“Tidak, tidak,” Ken Dedes berdesis diantara sedu sedannya.

“Sudahlah ibunda, hamba mohon diri. Hamba mohon diri untuk selama-lamanya.”

“Anusapati, Anusapati,” tiba-tiba ibundanya bangkit dan memeluknya erat-erat. Katanya, “Kau jangan membuat hatiku semakin parah Anusapati.”

Anusapati menarik nafas. Jawabnya. “Tidak ibunda. Hamba akan tersenyum apa-pun yang akan terjadi. Hamba akan menerimanya dengan ikhlas sehingga kepergian hamba tidak akan membuat hati ibunda terluka.”

“Tidak. Kau tidak boleh pergi,” suara Ken Dedes lemah, “anakku, maafkan ibumu. Aku, aku telah membohongimu.”

Anusapati mengangkat wajahnya. Pelukan ibunya-pun terlepas perlahan.

“Kenapa ibunda membohongi hamba? Apakah ternyata ayah hamba bukan Akuwu Tunggul Ametung, atau apakah, ayahanda Tunggul Ametung tidak mati terbunuh oleh Ayahanda Sri Rajasa?”

“Bukan, bukan itu.”

“Lalu?”

“Aku membohongimu. Keris itu tidak ada pada ayahandamu Sri Rajasa. Keris itu ada padaku.”

“O,” Anusapati menarik nafas dalam-dalam, “jadi keris itu ada pada ibunda?”

Ken Dedes mengangguk-angguk. Betapa-pun ia menahan hati, tetapi air matanya meleleh semakin deras, “Ya Anusapati. Keris itu ada padaku.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya, Tetapi ia bertanya, “Kenapa ibunda membohongi hamba? Apakah ibunda tidak menganggap penting bahwa keris itu tidak boleh berada di sembarang tangan?”

“O, justru karena aku menganggap keris itu akan dapat menentukan kelanjutan sejarah Singasari, maka aku telah menyimpannya baik-baik.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, “Ibunda. Jika keris itu memang ada pada ibunda, apakah hamba dapat memohon agar keris itu ibunda berikan kepada hamba?”

“Itulah yang aku cemaskan Anusapati.” jawab ibundanya, “Karena itulah, maka aku berbohong kepadamu. Tetapi ternyata kau menjadi berputus-asa dan seakan-akan kau membiarkan dirimu sendiri mengalami kematian, tanpa berbuat sesuatu.”

“Bukan ibunda. Jika memang keris itu ada pada Ayahanda Sri Rajasa, hamba memang tidak akan dapat berbuat apa-apa. Tetapi ternyata keris itu ada pada ibunda. Karena itu, maka hamba mohon agar keris itu diserahkan kepada hamba. Hamba akan menyimpannya baik-baik.”

Ken Dedes menggelengkan kepalanya. “jangan anakku. Biarlah ibunda menyimpannya.”

“Apakah sebabnya ibunda tidak mengijinkan hamba menyimpan keris itu, karena justru jiwa hambalah yang kini paling terancam karenanya?”

“Tidak Anusapati. Aku akan menyimpannya baik-baik. Aku mengerti bahwa jiwamu terancam karenanya. Dengan demikian aku tidak akan menyerahkan keris itu kepada siapa-pun juga. Aku akan menyimpannya baik-baik sehingga dengan demikian jiwamu-pun akan selamat. Aku adalah ibumu Anusapati, dan aku akan selalu berusaha agar kau tidak terancam oleh bencana yang sama seperti ayahandamu Tunggul Ametung.”

“Mungkin ibunda berniat demikian,” jawab Anusapati, “tetapi apakah ibunda dapat bertahan jika pada suatu saat Ayahanda Sri Rajasa datang kepada ibunda dan minta agar keris itu diserahkan? Mungkin ibunda berkeberatan. Tetapi Sri Rajasa dapat memaksa Ibunda dengan cara apa-pun juga sehingga akhirnya keris itu jatuh ketangannya.”

Ken Dedes menggeleng. Katanya, “Anusapati, keris ini tidak boleh berpindah tangan. Aku akan mempertahankannya.”

“Tentu Ayahanda Sri Rajasa akan dapat mengambilnya. Jangankan ibunda seorang perempuan, sedangkan keris itu dapat dicurinya dari tangan Kebo Ijo, seorang perwira prajurit Tumapel yang memiliki kelebihan karena Kebo Ijo adalah saudara seperguruan pamanda Witantra.”

“O,” Ken Dedes menundukkan kepalanya.

“Apakah ibunda pernah mengenal paman Witantra? Seorang Panglima yang tidak ada duanya di Tumapel waktu itu. Panglima pasukan pengawal yang justru tersingkir karena Ia ingin membersihkan nama Kebo Ijo dan dikalahkan oleh Pamanda Mahisa Agni di arena? Ternyata semuanya telah terjebak. Semua orang telah berhasil dikelabui oleh seorang yang bernama Ken Arok.”

Ken Dedes menundukkan kepalanya sambil memegangi keningnya. Kini semuanya terbayang dengan jelas. Semuanya seakan-akan baru kemarin terjadi. Bagaimana rakyat Tumapel berkabung karena Akuwu Tunggul Ametung terbunuh. Kemudian dengan penuh kemarahan mereka menuduh Kebo Ijo telah membunuh Akuwu Tunggul Ametung. Yang belum lagi air mata rakyat Tumapel yang menangisi kematian Tunggul Ametung itu kering, ia sudah memasuki jenjang perkawinan bersama seorang anak muda yang tampan pada waktu itu, dan seorang prajurit yang perkasa, yang bernama Ken Arok.

“Ibunda,” berkata Anusapati kemudian seakan-akan membangunkan ibundanya dari lamunan, “hamba menunggu keputusan ibunda. Jika ibunda memperbolehkan biarlah keris itu hamba saja yang menyimpannya. Mungkin paman Mahisa Agni berpendirian lain dan menganggap perlu untuk menyimpannya. Hamba percaya bahwa jika keris itu ada pada Pamanda Mahisa Agni, Ayahanda Sri Rajasa tidak akan berani mengambilnya. Dengan terang-terangan atau dengan sembunyi-sembunyi, karena di Singasari, orang yang paling disegani oleh Ayahanda Sri Rajasa adalah Pamanda Mahisa Agni.”

Ken Dedes masih belum menjawab.

Dan Anusapati-pun berkata seterusnya, “Tetapi jika ibunda tidak berkenan menyerahkan keris itu kepada hamba, maka biarlah hamba sekali lagi mohon diri. Tidak ada harapan lagi bagi hamba untuk membebaskan diri.”

“O, Anusapati.” desis Ken Dedes, “kau berhasil memaksa aku untuk menyerahkan keris itu. Ternyata aku tidak dapat berbuat lain.”

Dada Anusapati menjadi berdebar-debar.

“Tetapi ingat anakku. Keris itu bukan alat untuk menyebarkan dendam. Jika kau dikejar oleh dendam dihatimu, dan kau mempergunakan keris itu, maka akan tumbuh dendam yang lain di antara keturunan Sri Rajasa. Dan dendam itu akan selalu menghantuimu setiap saat.”

Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Hamba tidak mendendam ibunda. Hamba telah mendengar pesan Pamanda Mahisa Agni, bahwa hamba tidak diperkenankan berbuat apa-apa, selain berusaha menghindarkan diri dari bencana. Salah satu cara yang dapat hamba tempuh adalah menyembunyikan keris ini. Bukan untuk dipergunakan.”

Ken Dedes memandang puteranya sejenak. Di wajah itu memang terbayang wajah ayahandanya, Tunggul Ametung. Wajah yang semula sangat ditakutinya ketika Akuwu itu datang mengambilnya ke Panawijen dengan sorot mata yang merah.

“Kuda Sempana lah sumber dari bencana ini,” desisnya di dalam hati.

Tetapi semuanya itu sudah lama lampau. Semuanya itu sudah terjadi. Jika ia sendiri tidak ikut mengembangkan peristiwa-peristiwa berikutnya, maka akibatnya-pun tidak akan separah ini.

Ken Dedes mengangkat wajahnya ketika ia mendengar Anusapati kemudian berkata, “Ibunda. Jika memang berkenan dihati ibunda, hamba mohon keris itu dapat hamba terima dan hamba simpan sebaik-baiknya. Mumpung kini Pamanda Mahisa Agni masih berada di Singasari. Biarlah hamba mohon pertimbangan, apakah yang sebaiknya hamba lakukan dengan keris itu, dan barangkali Pamanda Mahisa Agni mempunyai cara yang baik yang dapat hamba lakukan.”

Ken Dedes masih ragu-ragu. Terbayang ditatapan matanya kecemasan yang mencengkam.

“Apakah ibunda ragu-ragu?” bertanya Anusapati.

Dengan jujur Ken Dedes menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Ya Anusapati. Sebenarnyalah aku ragu-ragu. Tetapi aku kira tidak ada yang lebih baik bagimu daripada menyimpan keris itu. Tetapi sekali lagi, keris itu hanya dapat aku serahkan padamu untuk disimpan. Jika dengan demikian kau akan terhindar dari bencana.”

“Tentu ibunda. Hamba hanya sekedar akan menyimpan keris itu. Hamba tidak akan mempergunakannya.”

Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Sejenak kemudian ia-pun berdiri dan melangkah perlahan-lahan masuk kedalam ruangan sempit di sebelah biliknya.

Anusapati menunggu ibundanya dengan hati yang berdebar-debar. Ia belum pernah melihat keris buatan Empu Gandring itu. Seandainya ibundanya memberikan keris yang mana-pun juga, maka ia-pun akan mempercayainya.

Ketika ibundanya Ken Dedes keluar dari ruang sempit itu dengan membawa sebuah peti, maka hatinya kian bergejolak. Jika benar keris itu keris Empu Gandring, maka keris itulah yang sudah menghabisi jiwa ayahandanya.

“Inilah keris itu Anusapati,” berkata Permaisuri itu dengan suara bergetar. Bukan hanya suaranya, tetapi tangannya yang memegang peti itu-pun bergetar.

Perlahan-lahan Ken Dedes meletakkan peti itu di pembaringan. Kemudian dengan hati-hati sekali ia merabanya sambil berkata, “Bukan maksudku untuk memperluas dendam di setiap hati, Anusapati, apakah kau mengerti maksudku?”

“Hamba mengerti ibunda.”

“Simpanlah keris ini baik-baik. Dan lupakanlah bahwa kau menyimpan keris ini, keris yang mempunyai sangkut paut dengan ayahandamu. Jika kau berhasil melupakannya, kau akan mendapatkan ketenteraman.”

“Hamba akan berusaha ibunda. Mudah-mudahan hamba dapat melupakannya bahwa hamba telah menyimpan dan menyembunyikan keris ini demi keselamatan hamba.”

Ken Dedes tidak menjawab. Tetapi hatinya bagaikan terpecah karenanya. Ia benar-benar harus memilih, Sri Rajasa atau Anusapati anaknya yang lahir dari tetesan darah Akuwu Tunggul Ametung.

“Inilah Anusapati,” desis Ken Dedes sambil menyerahkan peti itu kepada Anusapati.

Ternyata bahwa tangan Anusapati-pun menjadi gemetar pula. Dengan dada yang berdebar-debar tangannya yang gemetar itu-pun kemudian membuka peti itu.

Dadanya berdesir ketika ia melihat keris yang ada di dalam peti itu. Keris yang tidak seperti dibayangkannya, keris dengan sarung emas bertatahkan intan berlian. Bukan pula dengan ukiran yang indah. Tetapi keris itu disarungkan dalam wrangka yang sederhana dan ukirannya adalah sebatang kayu cangkring yang belum dibentuk.

Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia memang pernah mendengar bahwa keris itu sebenarnya masih belum siap sama sekali ketika Ken Arok mengambilnya dan kemudian membunuh Empu Gandring agar Empu itu tidak dapat mengatakan, bahwa yang memesan keris itu kepadanya adalah Ken Arok yang kini bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi.

Sesaat kemudian maka peti itu-pun ditutupnya kembali. Anusapati tidak sampai hati untuk menarik keris itu dari wrangkanya dihadapan ibunya. Ia yakin bahwa keris itu pasti masih bernoda darah yang membeku karena sepengetahuannya keris buatan Empu Gandring itu tidak pernah dimandikan.

Sejenak kemudian, setelah getar didadanya agak mereda, maka Anusapati-pun mohon diri kepada ibunya untuk membawa keris itu dan menyimpannya.

“Bagaimana jika seseorang melihat kau membawa peti itu Anusapati? Mungkin seseorang akan menjadi curiga dan mengatakan kepada orang lain bahwa kau membawa sebuah peti dari bilik ini.”

“Apakah ada orang yang mengetahui bahwa peti ini berisi keris Empu Gandring itu ibunda?”

“Tidak. Tetapi bahwa kau membawa sesuatu dari bilik ini memang dapat dicurigai. Mungkin aku sekedar berprasangka. Tetapi jika benar-benar demikian, dan kecurigaan itu sampai ditelinga Tohjaya dan Ayahanda Sri Rajasa, maka ia pasti akan bertanya kepadamu atau kepadaku, apakah yang ada didalam peti itu.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, “Baiklah ibunda, jika demikian aku akan membawa kerisnya saja. Petinya biarlah aku tinggalkan disini.”

“Apalagi keris itu Anusapati,” jawab ibunda, “ciri keris itu mudah sekali dikenal.”

Anusapati mengamati keris itu sekali lagi. Memang keris itu mudah sekali dikenal. Tetapi sepintas lalu, keris itu tidak berbeda dengan keris-keris yang lain. justru sederhana sekali bentuk dan warnanya.

“Ibunda,” berkata Anusapati kemudian. “hamba akan membawanya tanpa peti ini. Keris hamba akan hamba tinggal didalam peti ini, dan hamba akan menggantinya dengan keris Empu Gandring ini.”

“Sudah aku katakan Anusapati,” keris itu mempunyai ciri yang mudah dikenal oleh siapapun. Meskipun orang itu tidak mengenalnya bahwa keris ini adalah keris Empu Gandring, tetapi mereka pasti akan segera tertarik melihat, kesederhanaan keris ini, apalagi ukirannya yang terbuat dari kayu cangkring.”

“Hamba akan membawanya dengan hati-hati ibunda. Hamba akan berusaha menyembunyikannya dibawah tangan hamba. Dari bangsal ini hamba akan langsung pergi ke bangsal hamba dan kemudian menemui paman Mahisa Agni untuk mengatakan kepadanya bahwa keris Empu Gandring itu ada ditangan hamba. Apakah sebaiknya yang pantas hamba lakukan menurut pertimbangan Pamanda Mahisa Agni.”

Ken Dedes termangu-mangu sejenak. Tetapi kemudian ia-pun berkata, “Hati-hatilah. Rasa-rasanya keris itu sendiri masih menuntut karena kematian Empu yang membuatnya.”

“Itulah sebabnya keris ini harus disembunyikan. Dan seperti kata ibunda, aku akan berusaha melupakan, bahwa akulah yang telah menyembunyikan keris ini.”

“Terserahlah kepadamu Anusapati.”

Anusapati kemudian mengambil kerisnya yang terselip dilambung. Kemudian keris itu-pun diletakkannya didalam peti, setelah ia mengambil keris Empu Gandring.

Dengan hati-hati keris itulah yang kemudian disisipkan di pinggangnya. Ukirannya tepat berada dibawah tangan Anusapati yang tergantung disisi tubuhnya.

“Mudah-mudahan tidak ada orang yang melihatnya ibunda, agar tidak timbul persoalan-persoalan baru yang dapat mengguncangkan istana ini.”

Ken Dedes menganggukkan kepalanya. Namun ia masih berkata, “Anusapati, aku masih harus mencari jawab jika pada suatu saat Ken Arok datang kepadaku dan menanyakan keris itu seperti kedatanganmu kini.”

Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Tetapi terbayang kecemasan di wajah ibunya meskipun Ken Dedes itu kemudian berkata, “Tetapi biarlah jangan kau hiraukan. Aku akan berusaha untuk menjawabnya meskipun saat ini aku belum menemukan alasan yang sebaik-baiknya.”

Anusapati masih termangu-mangu. Karena itu ia-pun tidak segera berbuat sesuatu.

“Kenapa kau bimbang?” bertanya ibunya, “bagiku ternyata keris itu memang lebih baik ada padamu daripada ada pada Sri Rajasa.”

“Terima kasih ibu,” berkata Anusapati kemudian, “sekarang hamba mohon diri.”

“Hati-hatilah Anusapati.”

Anusapati kemudian meninggalkan ibunya sendiri di dalam biliknya. Sejenak ia berdiri dipintu bangsal sambil memandang berkeliling. Ternyata tidak banyak orang yang berkeliaran di halaman. Seorang juru taman dan dua orang prajurit yang melintas.

Anusapati-pun kemudian melangkah menuruni tangga. Di sebelah pintu duduk dua orang emban sambil menunduk dalam-dalam.

Dengan hati-hati Anusapati pun melangkah meninggalkan bangsal itu. Tangannya hampir tidak melenggang sama sekali karena ia berusaha untuk menyembunyikan ciri-ciri keris yang aneh itu.

Sepeninggal Anusapati, kedua emban yang duduk di sebelah pintu itu-pun saling berpandangan. Tetapi mereka masih tetap ragu-ragu untuk mendekati bilik Permaisuri. Menurut dugaan mereka, Permaisuri yang sedang sakit itu selalu saja marah-marah kepada puteranya laki-laki yang sulung itu.

Barulah ketika mereka mendengar Permaisuri memanggil, mereka-pun datang mendekat dan dengan hati yang berdebar-debar mereka memasuki pintu bilik. Ketika mereka melampaui pintu bilik mereka melihat Permaisuri itu berbaring dipembaringannya sambil berselimut kain berwarna kelam menutupi seluruh tubuhnya, kecuali wajahnya.

“Ambilkan air panas emban,” suara Ken Dedes lambat dan parau.

Kedua emban itu-pun saling berpandangan sejenak. Namun kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Hamba tuan Puteri. Tetapi apakah hamba harus mengambil air panas untuk minum atau untuk keperluan yang lain?”

“Aku ingin minum air yang panas sekali. Taruhlah sedikit pangkal jahe dan gula kelapa.”

“O, hamba tuan Puteri.”

Salah seorang dari kedua emban itu-pun kemudian dengan tergesa-gesa meninggalkan bilik itu untuk membuat air jahe bagi tuan Puteri Ken Dedes.

Dalam pada itu, Anusapati yang berjalan dengan hati-hati telah sampai di halaman bangsalnya. Langkahnya menjadi semakin cepat, meskipun ia berusaha agar tidak menimbulkan kecurigaan bagi siapa-pun juga.

Demikian Anusapati sampai di bangsalnya, maka ia-pun menarik nafas dalam-dalam. Keringatnya terasa terperas dari dalama tubuhnya oleh ketegangan meskipun jarak yang dilewatinya sudah terlampau sering dilaluinya. Namun kali ini, dengan keris Empu Gandring dilambung, maka jarak itu rasa-rasanya menjadi sepuluh kali lipat. Setelah hatinya agak tenang, dan keringatnya berkurang, barulah ia masuk ke ruang dalam menemui isterinya yang sedang duduk bersama anak laki-lakinya.

“O, dari manakah ayahanda datang?” bertanya anak laki-lakinya, “tampaklah ayahanda lelah sekali. Keringat ayahanda membasahi seluruh tubuh.”

Anusapati mengerutkan keningnya. Namun ia-pun kemudian tersenyum sambi berkata, “Udara panasnya bukan main. Ayahanda tidak pergi kemana-mana. Ayahanda baru datang dari regol depan, melihat-lihat kegiatan para prajurit.”

Anak laki-lakinya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia-pun telah asyik lagi dengan permainannya.

Tetapi ternyata bahwa isteri Anusapati itu tidak secepat anaknya menerima keterangan itu. Dari sorot matanya masih tampak berbagai macam pertanyaan yang tidak terucapkan.

Sejenak kemudian maka Anusapati-pun segera masuk ke dalam biliknya. Tetapi ia tidak mau membuat isterinya menjadi gelisah. Karena ia tidak bermaksud mengatakan apa-pun juga tentang keris itu dan tentang dirinya sendiri.

Sebelum isterinya menyusul masuk kedalam bilik itu, maka Anusapati-pun segera menyimpan keris Empu Gandring dan meletakkannya di antara beberapa pusakanya yang lain, sebelum ia dapat menyimpannya secara khusus.

“Aku harus menemui paman Mahisa Agni lebih dahulu,” berkata Anusapati didalam hatinya, “aku harus mendapat petunjuk tentang keris itu.”

Karena itu, maka ia-pun segera minta diri kepada isterinya untuk pergi kebangsal pamannya.

“Kakanda akan pergi lagi?” bertanya isterinya.

Anusapati tersenyum. Ia sadar, bahwa isterinya-pun melihat kesibukannya yang meningkat pada saat-saat terakhir. Tetapi ia masih belum mengatakan sesuatu.

“Aku akan menemui Pamanda Mahisa Agni. Mungkin pamanda akan segera meninggalkan Singasari.”

Isterinya tidak menyahut. Tetapi dimatanya membayang kecemasan dan kegelisahan.

Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mencoba tersenyum dan berkata, “Jika kau memerlukan aku, perintahkanlah seorang prajurit pengawal memanggil aku di bangsal Pamanda Mahisa Agni.”

Isterinya menganggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak berani mendesak lebih jauh lagi meskipun sebenarnya hatinya sudah bergejolak. Sebagai seorang puteri dari keturunan Maharaja di Kediri, ia merasa asing di Singasari. Bahkan ia merasa bahwa ia berada dalam lingkungan yang sangat mencemaskan. Apalagi akhir-akhir ini Anusapati tampaknya sedang terlibat dalam suatu kesibukan yang sangat penting.

Beberapa keanehan yang dialaminya membuatnya semakin kecut. Bau yang sangat wangi, bunyi yang tidak dikenal dan wajah-wajah yang kadang-kadang memandanginya dengan tajamnya, seakan-akan sengaja menunjukkan kebencian dan dendam yang tertahan di dalam hati.

Untunglah bahwa Ken Dedes bersikap sangat baik kepadanya. Dan bahkan Permaisuri itu rasa-rasanya bagaikan ibunya sendiri. Setiap kali ia selalu menghiburnya dan menenteramkan kegelisahannya. Adik-adiknya-pun sangat baik kepadanya. Adik-adik Anusapati yang lahir dari Ken Dedes. Tetapi adik-adik Anusapati yang lahir dari Ken Umang sama sekali acuh tidak acuh saja kepadanya.

“Tenangkan hatimu,” berkata Anusapati, “bukankah di siang hari kita tidak pernah mengalami apa-pun juga.”

Isterinya menganggukkan kepalanya pula.

“Nah, baiklah. Hati-hatilah mengawasi anak kita. Ia menjadi semakin nakal. Jika ia keluar bangsal, suruhlah pemomongnya mengikutinya kemana ia pergi.”

“Baiklah kakanda,” jawab isterinya, meskipun kata-katanya itu bagaikan meloncat begitu saja dari bibirnya tetapi tidak dari hatinya.

Anusapati-pun kemudian mengambil kerisnya yang lain dan keluar pula dari biliknya. Dengan susah payah ia menahan perasaannya yang bergejolak, agar orang-orang yang melihatnya tidak menjadi curiga melihat sikapnya.

Perlahan-lahan Anusapati melangkah menuruni tangga. Di halaman bangsalnya yang ditanami berbagai macam pohon bunga ia berhenti sejenak. Dipetiknya setangkai bunga menur yang putih. Kemudian diselipkannya bunga itu diatas telinganya.

Langkahnya terhenti pula didepan gardu penjaga. Sambil tersenyum ia bertanya, “Berapa orang yang bertugas di sini hari ini?”

Prajurit pengawal yang bertugas menganggukkan kepalanya dalam-dalam sambil menjawab, “Dua orang tuanku. Seperti biasanya.”

“O, dan dimalam hari?”

Prajurit itu menjadi heran. Selama ini masih belum ada perubahan apa-apa. Namun demikian ia menjawab juga, “Lima orang tuanku dan dua orang penghubung. Tetapi pada saat-saat yang dianggap gawat, kadang-kadang ditambah lagi dengan dua orang pengawal.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun ia hampir tidak mendengar jawaban itu. Apalagi ketika pengawal itu menambahkan, “Bahkan kadang-kadang masih ditambah lagi apabila perlu.”

Anusapati masih mengangguk-angguk. Bahkan masih tersenyum-senyum meskipun angan-angannya sama sekali tidak melekat pada jawaban prajurit-prajurit itu.

“Jagalah baik-baik,” katanya kemudian, “aku akan pergi sebentar.”

Sekali lagi prajurit itu menjadi heran. Pangeran Pati itu hampir tidak pernah memberikan pesan seperti itu disiangi hari. Jika ia pergi, maka ia-pun pergi sajalah. Jika ia datang, ia-pun hanya sekedar berpaling dan tersenyum sedikit. Memang kadang-kadang Putera Mahkota itu menghampiri mereka dan bercakap-cakap. Tetapi hampir tidak pernah berpesan seperti itu di siang hari, selain apabila memang sedang timbul persoalan. Itu-pun dimalam hari, seperti pada saat-saat terjadi hal-hal yang aneh di sekitar bangsal ini.

Tetapi prajurit itu tidak menjawab. Ia hanya mengangguk dalam-dalam. Demikian juga seorang kawannya. Dengan wajah yang aneh keduanya memandang Anusapati yang melangkah perlahan-lahan meninggalkan mereka. “Tampaknya Pangeran Pati itu sedang gelisah,” berkata seorang prajurit.

“Ya. Akhir-akhir ini tampaknya sibuk sekali. Hilir mudik setiap kali.”

Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab lagi.

Dalam pada itu, Anusapati berjalan melintasi halaman istana Singasari menuju ke bangsal pamannya Anusapati selama ia berada di Singasari. Betapa-pun ia tergesa-gesa untuk segera menyampaikan ceritera tentang keris yang kini sudah ada ditangannya, namun langkah Pangeran Pati itu tampaknya tenang-tenang saja, dan bahkan seakan-akan tanpa maksud sama sekali.

Sementara itu, sepasang mata memandanginya dengan tajamnya dari balik gerumbul perdu agak jauh dari bangsal Mahisa Agni. Ketika ia melihat Anusapati dari kejauhan, ia-pun segera berlindung dibalik segerumbul pohon bunga soka merah.

Tetapi orang itu terkejut ketika tiba-tiba saja seorang juru taman yang membawa sebuah cangkul telah berdiri di sebelahnya sambil menggamitnya.

“Gila, kau lagi,” ia menggeram.

Juru taman itu adalah Sumekar. Katanya sambil tersenyum, “Kau harus berterima kasih kepadaku, karena aku tidak menyebutmu akan membunuhku malam itu.”

Orang itu memandang Sumekar dengan tajamnya. Betapa dendam memancar dari sorot matanya itu.

“Jangan memandang aku begitu,” berkata Sumekar, “aku dapat mati kaku disini.”

“Persetan. Kau memang harus mati.”

“Tidak. Kau sudah gagal membunuh aku. Seharusnya, kau tidak boleh berusaha mengulanginya.”

“Apa katamu? Nanti malam aku akan membunuhmu.”

“Benar?”

“Ya, pasti.”

Sumekar tidak segera menyahut. Dilontarkannya pandangan matanya ke halaman, dan ternyata Anusapati sudah tidak tampak lagi.

Prajurit itu-pun kemudian berpaling juga. Dan ia-pun kehilangan Anusapati pula.

“Kau memang gila,” bentak prajurit itu, “nanti malam aku akan benar-benar membunuhmu.”

“Jangan.”

“Aku tidak peduli.”

“Jika demikian, sekarang aku akan melaporkan kepada para prajurit pengawal, bahwa kaulah yang akan membunuhku malam itu.”

“Gila,” prajurit itu membelalakkan matanya.

“Jangan, nanti aku akan berteriak.”

Prajurit itu menjadi ragu-ragu. Jika juru taman itu benar-benar berteriak, maka para pengawal akan mendengarnya. Mereka akan berlari-larian datang dan ia kehilangan kesempatan untuk ingkar.

“Apakah aku harus berteriak.”

Tiba-tiba prajurit itu tersenyum, “Aku tidak bersungguh-sungguh. Sebenarnya malam itu-pun aku tidak ingin membunuhmu. Aku hanya ingin membuatmu jera, agar kau tidak menipuku lagi. Tetapi kau sudah berteriak. Seandainya kau tidak berteriak, aku-pun tidak akan benar-benar mencekikmu. Aku bukan pembunuh seperti yang kau sangka.”

“Benar begitu?”

“Ya. Bukanlah aku seorang prajurit. Prajurit pengawal? Tugasku adalah melindungi setiap orang di dalam istana ini dan tentu bukan untuk membunuhmu.”

Tatapan Sumekar memancarkan keragu-raguan.

“Kau ragu-ragu,” prajurit itu tertawa pendek, “tentu kau ragu-ragu. Tetapi tidak apa, pada saatnya kau akan mengetahui bahwa aku berkata sebenarnya. Aku benar-benar tidak akan membunuh. Selama aku menjadi seorang prajurit, aku belum pernah membunuh. Apalagi membunuh seorang juru taman, sedang di peperangan-pun aku tidak membunuh.”

Sumekar memandang orang itu sejenak. Namun ia-pun ikut tertawa pula. Katanya, “Apa benar yang kau katakan?”

“Tentu, apakah kau masih belum percaya.”

Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, “Baiklah. Aku percaya. Dan sekarang, apakah yang akan kau lakukan disini?”

“Dan kau?” prajurit itu-pun bertanya.

Sumekar mengerutkan keningnya. Katanya, “Bukankah aku seorang juru taman yang bertugas di halaman ini. Aku mengurusi semua tanaman bersama beberapa orang kawanku. Tanaman perdu, pohon-pohon bunga, sampai pohon sawo kecik dan pohon beringin. Itu semua adalah tugas kami.”

Prajurit itu mengangguk-angguk.

“Nah, aku minta diri. Aku akan bekerja lagi.”

Prajurit itu tersenyum meskipun di dalam hati ia mengumpat-umpat. Ia tidak melihat kemana Anusapati menghilang. Tetapi ia hampir pasti, bahwa Anusapati masuk kedalam bangsal Mahisa Agni.

Sejenak kemudian Sumekar-pun meninggalkan prajurit itu seorang diri. Namun langkahnya tertegun ketika Sumekar mendengar prajurit itu berkata, “He, nanti malam aku pergi kepondokmu. Aku akan membawa makanan yang paling enak buatmu.”

“Benar?” bertanya Sumekar.

“Ya. Apakah kau tinggal di belakang di antara para kamba Istana ini?”

“Ya, aku tinggal di gubug paling ujung.”

Prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Tunggulah, aku pasti datang.”

“Kau sangat baik. Aku minta maaf bahwa aku pernah berprasangka buruk terhadapmu.”

“Aku nanti malam bertugas. Tetapi lewat tengah malam, aku sudah beristirahat. Aku akan datang saat itu.”

“Lewat tengah malam?” bertanya Sumekar, “kenapa lewat tengah malam? Tetangga-tetangga kadang-kadang marah jika mereka terganggu di malam hari. Mereka bekerja sehari penuh, sehingga di malam hari mereka ingin beristirahat.”

“Apakah kau sangka aku akan berteriak-teriak?”

Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Lalu jawabnya, “Baiklah jika demikian. Aku akan menunggu.”

“Baiklah, pergilah kepekerjaanmu.”

Sepeninggal Sumekarj prajurit itu menggeram. Katanya kepada diri sendiri, “Nanti malam aku harus dapat membunuhnya dengan cara apapun. Tanpa mengeluarkan tenaga aku akan dapat membunuhnya. Tetapi ia tidak boleh mendapat kesempatan untuk berteriak. Ia harus terdiam pada serangan yang pertama.”

Sambil menggeretakkan giginya prajurit itu-pun kemudian berlalu. Ia tidak mendapatkan bahan apa-pun juga tentang Anusapati. Juru taman itu telah mengganggunya lagi.

Namun ia sama sekali tidak menyangka bahwa apabila benar-benar ia berusaha untuk membunuh juru taman itu, maka pada suatu ketika juru taman itu akan kehilangan kesabarannya dan bahkan juru taman itu akan dapat membunuhnya tanpa mengadakan perlawanan apapun.

Dalam pada itu, Anusapati-pun telah sampai ke bangsal pamannya. Dengan ragu-ragu Anusapati menceriterakan, apa yang sudah terjadi.

“Keris itu sekarang sudah aku simpan baik-baik paman.”

Mahisa Agni-pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Dengan demikian, kau sudah mengurangi kemungkinan pahit yang dapat terjadi atasmu Anusapati. Keris Empu Gandring adalah keris yang sangat tajam. Bukan saja tajam ujungnya, tetapi juga tuahnya. Setiap goresan betapa-pun kecilnya, akan berarti maut.”

“Ya paman,” jawab Anusapati. Lalu, “tetapi yang sekarang menjadi pikiranku, apakah yang dapat dikatakan oleh ibunda Permaisuri apabila ayahanda bertanya kepadanya tentang keris itu.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.

“Mungkin Ayahanda Sri Rajasa dapat menjadi sangat marah dan menimpakan kesalahannya kepada ibunda.”

Mahisa Agni merenung sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku kira ia tidak akan berani berbuat begitu terhadap ibundamu Anusapati. Selain Sri Rajasa harus mengingat asal usul kekuasaannya yang besar itu sekarang, juga karena ibundamu mempunyai seorang anak laki-laki yang digelari oleh rakyat Singasari sebagai Kesatria Putih. Disamping Kesatria Putih, ibundamu adalah adikku, yang ikut serta dalam perjuangan mempersatukan tanah Singasari. Setiap prajurit Singasari mengetahuinya dan setiap prajurit Singasari mengakuinya.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia-pun kemudian bertanya, “Jadi apakah tidak mungkin ayahanda mengambil suatu tindakan mendahului peristiwa-peristiwa yang dapat terjadi menurut perhitungannya?”

“Maksudmu, Sri Rajasa mengambil tindakan terhadap ibundamu dan lebih daripada itu, berusaha untuk mendapatkan keris itu kembali?”

“Demikianlah paman.”

“Memang mungkin Anusapati,” berkata Mahisa Agni, “namun jika demikian, maka persoalannya akan menjadi terbuka. Setiap prajurit di halaman istana ini harus memilih. Dan Sri Rajasa tidak akan berani menghadapi akibat itu pada saat ini.”

Anusapati mengerutkan keningnya. Namun ia masih tetap dibayangi oleh kegelisahan tentang ibunya, “Paman, jika Ayahanda Sri Rajasa tidak dapat mengendalikan kemarahannya, maka yang pertama-tama akan mengalami akibatnya adalah ibunda. Apakah aku dapat berdiam diri jika Ayahanda Sri Rajasa berbuat sesuatu atas ibunda Ken Dedes meskipun ibunda seorang Permaisuri, yang di dalam persoalan keris itu pasti akan mempunyai pertimbangan tersendiri?”

Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Katanya, “Tentu kita tidak dapat membiarkan ibundamu menjadi sasaran kemarahan Sri Rajasa. Tetapi bukankah itu baru merupakan dugaan? Meskipun demikian Anusapati, aku akan pergi kebangsal Permaisuri. Aku akan pura-pura menengoknya dan menungguinya. Jika pada saat itu Sri Rajasa datang, aku akan dapat membantu ibundamu di dalam persoalan keris yang kau bawa itu.” Mahisa Agni berhenti sejenak. Lalu, “tetapi bukankah keris itu sudah bertahun-tahun ada di tangan ibundamu dan Sri Rajasa tidak pernah bertanya sesuatu tentang keris itu? Tentu tidak dengan tiba-tiba saja ia datang hari ini dan mempersoalkannya. Kecuali jika ada seseorang yang melihat keris itu ditanganmu.”

“Aku kira tidak ada seorang-pun yang melihatnya paman.”

“Jika demikian tentu tidak ada pula yang menyampaikannya kepada Sri Rajasa, dan ia-pun tidak akan berbuat apa-apa hari ini.”

“Mudah-mudahan. Tetapi aku berharap agar paman dapat menengok ibunda barang sejenak. Mungkin ada orang yang melihatnya di luar pengetahuanku. Aku akan segera kembali kebangsal. Jika ayahanda langsung mencari keris itu ke bangsal, maka isteriku akan mati ketakutan.”

“Dan jika kau ada di bangsalmu?”

“Tentu aku akan mempertahankan keris itu. Jika ayahanda memaksa apaboleh buat. Seperti kata paman Mahisa Agni, persoalannya akan menjadi persoalan terbuka. Dan aku akan kehilangan baktiku kepada Ayahanda Sri Rajasa. Aku berharap bahwa orang-orang Singasari akan mengetahui bahwa aku berbuat dengan wajar. Bukan berbuat sebagai seorang anak yang durhaka.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Itulah tekad yang sebenarnya yang tersimpan di dada Anusapati. Tetapi Mahisa Agni masih berharap bahwa hal itu tidak akan segera terjadi. Meskipun demikian, Anusapati memang harus berhati-hati menanggapi keadaan yang berkembang dengan pesatnya.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Mahisa Agni ingin melihat keris itu. Apakah benar keris yang diberikan kepada Anusapati itu keris Empu Gandring. Mungkin ibunya hanya sekedar menenangkan hatinya, sementara keris itu masih tetap disimpannya sendiri.

Karena itu, maka Mahisa Agni-pun kemudian berkata, “Anusapati, apakah aku dapat melihat keris itu.”

“Tentu paman. Apabila paman berkenan melihat keris itu, aku persilahkan setiap saat paman datang ke bangsalku.”

“Aku akan datang sore nanti Anusapati. Setelah aku menengok ibundamu, maka aku akan singgah di bangsalmu.”

“Silahkan paman. Aku akan menerima paman dengan senang nati, bahkan aku ingin mendapat keterangan dari paman Mahisa Agni, apakah benar keris itu keris Empu Gandring yang telah mengambil nyawa ayahanda Akuwu Tunggul Ametung.”

Dada Mahisa Agni berdesir. Ternyata Anusapati-pun mempunyai keragu-raguan meskipun tidak terlampau besar.

Demikianlah maka Anusapati-pun kemudian minta diri. Sementara Mahisa Agni-pun kemudian berkemas untuk pergi menghadap Permaisuri.

Dengan dada yang berdebar-debar Mahisa Agni memasuki bilik Ken Dedes. Dilihatnya adik angkatnya itu terbaring di pembaringan berselimut kain panjang yang berwarna kelam. Sementara dua orang emban duduk disebelah pintu bilik yang tidak tertutup rapat, “Kau kakang,” desis Ken Dedes.

“Berbaringlah,” berkata Mahisa Agni sambil melangkah masuk.

Ken Dedes-pun kemudian menyuruh kedua embannya itu meninggalkannya.

“Rasa-rasanya aku benar-benar menjadi sakit kakang,” desis Permaisuri itu, “kepalaku menjadi pening dan badanku menjadi dingin.”

Mahisa Agni-pun kemudian duduk di atas sebuah dingklik kayu yang dialasi dengan kulit domba yang lunak. Sambil memandang wajah Ken Dedes yang buram Mahisa Agni berkata, “Tuan Puteri terlampau memikirkan keadaan yang berkembang dengan cepatnya saat ini. Sebaiknya tuan Puteri mencoba melupakannya.”

Ken Dedes menganggukkan kepalanya. Tetapi ia berkata dengan nada yang dalam dan perlahan-lahan seolah-olah hanya ingin didengarnya sendiri, “Tetapi bagaimana aku akan melupakannya. Baru saja Anusapati datang kepadaku dan minta keris Empu Gandring itu. Aku sudah mencoba untuk mengingkarinya bahwa akulah yang membawa keris itu. Tetapi aku tidak berhasil.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Lalu ia berkata, “Mungkin itu bukan kesalahan Pangeran Pati, akan tetapi hambalah yang bersalah. Namun bukan maksud hamba untuk mendorong Pangeran Pati berbuat sesuatu. Tetapi memang sebenarnyalah bahwa hamba ingin pengamanan yang lebih jauh lagi, karena keris itu akan dapat menjadi bahaya yang sebenarnya bagi Pangeran Pati.”

Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedang Mahisa Agni berkata selanjutnya, “Tetapi hamba masih belum memikirkan bahwa hal itu memang dapat menimbulkan kepedihan pada tuan Puteri. Kegelisahan dan mungkin juga kecemasan, jika kemudian tuanku Sri Rajasa datang untuk mengambil keris itu.”

Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam.....

“Itulah yang ingin hamba tanyakan kepada tuan Puteri apakah hal itu yang membuat tuan Puteri gelisah dan bahkan merasa benar-benar menjadi sakit.”

Ken Dedes menggelengkan kepalanya. Katanya, “Bukan kakang. Aku sudah pasrah kepada Yang Maha Agung. Aku akan mengatakan bahwa keris itu hilang. Aku tidak tahu lagi dimana aku menyimpannya karena sudah bertahun-tahun tidak aku hiraukan lagi.”

“Apakah tuanku Sri Rajasa akan mempercayainya?”

“Mungkin tidak. Tetapi aku bertekad untuk tidak mengatakan yang sebenarnya apa-pun yang akan terjadi atasku.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Pada suatu saat, Ken Dedes memang sampai pada suatu pilihan, bahwa ia harus menyelamatkan anaknya.

“Apakah tuan Puteri benar-benar sudah mengambil keputusan demikian?”

“Ya. Aku sudah mengambil keputusan.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tuan Puteri. Hamba rasa seandainya tuan Puteri berkata demikian, Sri Rajasa tidak akan dapat memaksa. Selama hamba berada di Singasari, sudah tentu hamba akan ikut bertanggung jawab. Jika pada suatu saat Sri Rajasa mengambil sikap yang keras, maka apaboleh buat. Tentu hamba tidak akan membiarkan tuan Puteri mengalami sesuatu akibat keris itu.”

Tiba-tiba saja Ken Dedes bangkit duduk dibibir pembaringan. “Apa yang akan kau lakukan kakang?”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Hamba tidak ingin berbuat apa-apa tuan Puteri. Tetapi adalah kuwajiban hamba melindungi tuan Puteri, karena hamba adalah saudara tua tuan Puteri. Memang yang paling berhak melindungi tuan Puteri adalah suami tuan Puteri, di dalam hal ini adalah tuanku Sri Rajasa. Tetapi jika bahaya itu datang justru dari Sri Rajasa, maka aku masih berhak untuk berbuat sesuatu jika tuan Puteri menghendakinya.”

Ken Dedes memandang Mahisa Agni sejenak. Namun kemudian wajahnya segera tertunduk. Terbayang di dalam rongga matanya Mahisa Agni itu di masa mudanya. Ketika ia hampir saja menjadi korban nafsu Kuda Sempana yang ingin melarikannya dari Panawijen dan mengambilnya langsung dari bendungan ketika ia sedang mencuci. Mahisa Agni yang tiba-tiba muncul dari balik tanggul telah menyelamatkannya, setelah Wiraprana tidak berdaya berbuat sesuatu atas Kuda Sempana, yang saat itu menjadi prajurit Tumapel.

Kemudian dengan penuh tanggung jawab, Mahisa Agni selalu melindunginya. Bahkan kemudian ia mendengar pula, bahwa Mahisa Agni pernah berperang tanding melawan Mahendra dengan menyebut dirinya sebagai Wiraprana, sehingga ia berhasil mengalahkannya. Dan pada saat ia diambil dengan kekerasan dari Panawijen, Mahisa Agni hampir saja terbunuh oleh sebuah keris justru ia berusaha mempertahankannya.

Dan kini, ketika umurnya telah bertambah dengan puluhan tahun, Mahisa Agni masih tetap melindunginya sebagai seorang kakak yang bertanggung jawab, meskipun sebenarnya ia hanyalah seorang saudara angkat.

Namun Ken Dedes tidak dapat melihat tembus kepusat jantung Mahisa Agni. Betapa hati anak muda yang bernama Mahisa Agni itu terguncang ketika ia mendengar dengan telinganya sendiri, bahwa Ken Dedes, gadis padepokan Panawijen itu mencintai seorang anak muda bernama Wiraprana. Pada saat itu Mahisa Agni hampir menjadi gila karenanya, dan bahkan ia serdirilah yang hampir saja membinasakan Wiraprana karena hatinya yang gelap.

Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Masa muda yang penuh dengan khayalan-khayalan yang manis itu kini telah lalu. Panawijen yang hijau subur itu tinggallah kenangan, karena daerah itu kini menjadi kering kerontang. Panawijen telah menjadi kering karena kutuk ayahnya yang tidak dapat menahan luapan kemarahan dan memecahkan bendungan yang sanggup mengairi tanah persawahan. Meskipun kini ada padukuhan baru yang hijau di pinggir padang Karautan, namun padukuhan yang baru ini tidak dapat memberikan kenangan semanis Panawijen yang lama, Panawijen tempat ia dibesarkan sampai saatnya ia menjadi seorang gadis remaja.

Dalam pada itu selagi Ken Dedes tenggelam di dalam dunia kenangan, Mahisa Agni-pun duduk sambil menundukkan kepalanya pula. Dalam keheningan itu-pun ia telah dibayangi oleh berbagai persoalan. Tetapi berbeda dengan Ken Dedes yang mengenangkan masa lalunya, Mahisa Agni sedang mereka-reka apakah yang dapat dilakukan seandainya Sri Rajasa tiba-tiba saja mengambil sikap yang keras dan terbuka.

“Mungkin Sri Rajasa telah mempersiapkan diri,” berkata Mahisa Agni didalam hatinya, “lewat beberapa orang Senapati yang dapat dipengaruhinya untuk menyingkirkan Anusapati, ia sudah menyiapkan sepasukan prajurit untuk bertindak dengan cepat didalam istana ini. Jika persoalannya telah dapat dikuasainya di dalam istana, maka ia akan dapat menyebarkan keterangan sekehendak hatinya, dan memberikan kepercayaan kepada prajurit yang tersebar di seluruh Singasari. Bahkan para Panglima yang ada dipusat pemerintahan ini-pun akan dapat kelabuinya. Sri Rajasa dapat saja menuduh Anusapati melawan kehendaknya dan tidak lagi tunduk kepadanya. Dan ia masih dapat membuat alasan-alasan yang bagaimana-pun juga.”

Namun dalam pada itu, selagi Ken Dedes mengenangkan masa-masa remajanya yang indah, dan yang menjadi semakin indah didalam bayangan masa lampau, dan selagi Mahisa Agni sibuk dengan perhitungan yang mendebarkan, Sri Rajasa sendiri sedang duduk merenung. Semua orang yang mendekatinya diusirnya, seakan-akan ia ingin duduk dalam kesepian. Dalam dunianya yang terasing.

Seperti Ken Dedes dan Mahisa Agni, maka yang bermain didalam diri Sri Rajasa-pun adalah angan-angannya. Angan-angan yang bergeser dari waktu kewaktu. Dari masa lampau kemasa kini dan kemasa yang mendatang.

Dengan nafas yang berat, Sri Rajasa duduk bersandar tiang di serambi belakang bangsalnya yang sepi. Dilihatnya dedaunan yang bergerak ditiup angin. Rasa-rasanya angin yang bertiup perlahan-lahan itu telah mengusap keningnya pula, seperti usapan tangan yang lembut.

Ken Arok, yang bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi itu belum pernah merasakan kelembutan tangan ibunya di masa kanak-anak. Sejak bayi ia sudah tersisih dari keluarganya dan hidup dalam lingkungan yang tidak terpuji.

Dalam suatu dunia yang gelap. Ia hidup dari rumah seorang pencuri, berpindah ke rumah seorang penjudi dan perampok. Kemudian hidup dipandang Karautan dan menghantui sesamanya. Sehingga pada suatu saat ia terlempar kedalam istana yang megah ini.

Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu menarik nafas dalam-dalam. Adalah jauh berbeda dengan angan-angan Mahisa Agni dan Anusapati, bahkan Ken Dedes. Pada saat terakhir, Sri Rajasa seakan-akan mulai mampu melihat kedalam dirinya sendiri. Seakan-akan ia dihadapkan pada sebuah bayangan yang jelas tentang dirinya dan segala perbuatannya.

“Sudah cukup,” tiba-tiba saja ia berdesah, “aku sudah cukup lama menerima kurnia Yang Maha Agung. Mungkin aku memang kekasih dewa-dewa. Tetapi aku tidak dapat ingkar melihat kenyataan pada diri Ken Dedes. Ia adalah perempuan pinunjul yang pantas melahirkan seorang besar di tanah ini.”

Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang ke dalam semak-semak yang rimbun, ia tidak melihat lagi warna bunga-bungaan yang beraneka. Tetapi yang membayang adalah semak-semak di padang Karautan. Semak yang bahkan kadang-kadang berduri. Tetapi ia sama sekali tidak menghiraukan. Apabila ia ingin bersembunyi, maka ia-pun menyusup saja kedalamnya tanpa menghiraukan kulitnya yang berjalur-jalur merah tersangkut duri.

“Betapa hidup ini bagaikan mimpi di malam-malam yang panjang dan terputus-putus,” berkata Ken Arok didalam hatinya. “Seperti hidupnya sendiri bagaikan mimpi yang patah-patah hampir tidak dapat dipercaya. Sebagai seorang anak liar di padang Karautan, kini ia cepat duduk dengan megahnya di atas tahta Singasari.”

“Aku telah menyia-nyiakan kesempatan yang ada padaku. Didalam kamukten ini aku tidak berusaha membersihkan diriku, tetapi aku justru lebih banyak menodai diriku sendiri dengan berbagai macam kesenangan dan cita-cita yang menyimpang dari keinginan Yang Maha Agung,” desisnya ketika terbayang di wajahnya seorang gadis yang ditemuinya dihutan perburuan dan berhasil menjebaknya. Seperti kehidupan liar yang ditempuhnya dimasa mudanya, dengan memperkosa gadis-gadis, maka ia-pun terjebak dalam kehidupan yang liar bukan atas kehendaknya. Maka ia-pun terjebak untuk mengambil Ken Umang menjadi isterinya, sehingga lahirlah anak demi anak. Namun kini ia melihat, bahwa ia tidak dapat lagi mengelakkan pengaruh perempuan itu yang justru semakin lama terasa semakin kuat.

Ken Arok bergeser setapak. Angan-angannya menjadi semakin tajam menyoroti dirinya sendiri. Dan ia-pun melihat dirinya sendiri kini telah berdiri di tengah-tengah arus sungai yang deras. Berhenti atau terus, ia sudah terlanjur basah. “Jika aku harus berjalan terus, aku tidak lagi berbuat karena suatu keyakinan.” ia berkata kepada diri sendiri, “yang aku lakukan hanyalah karena semuanya sudah terlanjur. Dan didalam saat yang paling sulit, tentu aku tidak akan dapat melepaskan Tohjaya yang tamak itu.”

Namun Ken Arok tidak juga dapat menyalahkan Tohjaya. Ia telah ikut membentuk Tohjaya menjadi seorang pemimpin. Seorang yang bercita-cita terlampau tinggi tanpa mengingat alas yang diinjaknya. Jika perlu, ia akan berdiri diatas alas mayat Anusapati dan siapa-pun juga untuk mencapai singgasana Singasari.

Bayangan-angan itulah agaknya yang selalu menghantui Ken Arok. Bayangan-angan yang saling berbenturan antara warna-warna yang bertentangan di dalam hatinya.

Namun dalam pada itu, selagi Ken Arok itu merenung, terdengar desir perlahan-lahan mendekatinya. Ketika ia berpaling dilihatnya dikejauhan, Tohjaya berdiri termangu-mangu. Agaknya ia sudah mendengar dari para prajurit yang bertugas, bahwa Sri Rajasa sedang tidak mau dikunjungi oleh siapapun. Tetapi agaknya Tohjaya masih ingin juga mencobanya.

Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Justru pergolakan di dalam hatinya itulah yang telah mendorongnya untuk memanggil Tohjaya menghadap, karena ia tidak mau dengan tiba-tiba saja bersikap lain.

Dengan dada yang berdebar-debar Tohjaya mendekati Ken Arok. Beberapa langkah daripadanya ia berhenti termangu-mangu. Baru ketika Ken Arok mengangguk, ia maju lagi beberapa langkah.

“Kenapa kau ragu-ragu?” bertanya Ken Arok.

“Ampun ayahanda,” sahut Tohjaya, “para prajurit mengatakan bahwa ayahanda sedang ingin duduk sendiri.”

“Ya, aku tidak ingin diganggu oleh masalah-masalah yang membuat kepalaku bertambah pening. Aku ingin beristirahat barang sejenak, karena badanku-pun terasa kurang enak.”

“Ampun ayahanda. Hamba tidak ingin membicarakan sesuatu. Hamba hanya ingin datang menghadap.”

Sri Rajasa mengangguk-angguk. “Baiklah. Jika demikian, duduklah sebaik-baiknya. Aku agak segan berbicara tentang persoalan-persoalan yang dapat memberati pikiranku hari ini.”

Tohjaya mengerutkan keningnya. Namun ia-pun berkata, “Ampun ayahanda. Hamba memang tidak ingin mempersoalkan sesuatu. Tetapi hamba hanya ingin sekedar bertanya.”

“Apa?”

“Apakah sakit ibunda Permaisuri masih cukup parah ayahanda?”

“O,” Ken Arok merenung sejenak. Lalu, “aku tidak tahu. Mudah-mudahan sakitnya sudah sembuh sama sekali.”

“Sebenarnya ibunda Ken Umang ingin menghadap ibunda Permaisuri untuk sekedar menengoknya. Tetapi ibunda Ken Umang agak merasa takut kalau-kalau ibunda Permaisuri tidak menerimanya.”

“Kenapa tidak menerima?”

“Mungkin karena ibunda Permaisuri ingin beristirahat, tetapi mungkin juga karena ibunda tidak ingin bertemu dan berbicara didalam keadaan itu dengan ibunda Ken Umang.”

“Aku tidak tahu. Aku tidak tahu,” sahut Sri Rajasa.

“Itulah sebabnya maka ibunda mohon pertimbangan ayahanda.”

Sri Rajasa tidak segera menjawab. Sebenarnya ia tidak senang mendengar pertanyaan itu. Ia sedang menenteramkan hatinya dan menerawang hidupnya sendiri. Namun demikian ia tidak sampai hati untuk menolak pertanyaan itu.

Karena itu, maka Sri Rajasa kemudian menjawab, meskipun seakan-akan asal saja terlontar dari mulutnya, “jangan pergi sekarang.”

Tohjaya mengerutkan keningnya. Tetapi menilik sikap Sri Rajasa, Tohjaya-pun sadar, bahwa ayahandanya itu sedang dirisaukan oleh sesuatu yang tidak dimengertinya.

“Mungkin Kakanda Anusapati,” berkata Tohjaya di dalam hatinya. Baginya setiap persoalan yang tidak menyenangkan bagi ayahandanya, adalah persoalan yang ditumbuhkan oleh Anusapati.

Namun jawaban itu sebenarnya bagi Sri Rajasa adalah jawaban yang dapat diucapkannya waktu itu. Dengan demikian maka Tohjaya pasti tidak akan bertanya apa-pun lagi.

Tetapi ternyata bahwa Tohjaya masih tetap tidak beranjak. Bahkan sejengkal ia bergerak maju sambil bertanya, “Ayahanda. Tampaknya ayahanda sedang memikirkan sesuatu. Jika berkenan dihati ayahanda, apakah hamba dapat mengetahuinya dan apakah hamba dapat ikut membantu memecahkannya?”

Sri Rajasa mengerutkan keningnya. Tetapi ia-pun kemudian mencoba tersenyum dan menjawab, “Tidak Tohjaya. Tidak ada apa-apa yang sedang aku pikirkan. Aku hanya ingin beristisahat karena aku terlampau lelah.”

Tohjaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun dihatinya ia masih saja diganggu oleh sikap dan kerut-merut di wajah ayahandanya.

“Tohjaya,” berkata Sri Rajasa, “tinggalkan aku seorang diri. Sebentar lagi aku akan beristirahat dipembaringan. Rasa-rasanya badanku terlampau letih beberapa hari ini.”

Tohjaya memandang ayahanda dengan heran. Biasanya ayahnya tidak pernah tampak begitu letih dan lesu. Sri Rajasa adalah seorang yang penuh gairah menanggapi kehidupan ini. Wajahnya selalu memancarkan luapan perasaan dan matanya bagaikan menyala. Sri Rajasa tidak pernah menjadi tampak terlalu murung dan merasa seperti saat itu.

“Ayahanda,” tiba-tiba saja Tohjaya bertanya, “apakah ayahanda merasa bahwa badan ayahanda tidak enak?”

“Tidak Tohjaya, aku tidak apa-apa. Aku hanya letih. Akhir-akhir ini aku menghadapi banyak persoalan yang menyangkut kelangsungan hidup Singasari.”

“Tetapi ayahanda tidak memberitahukan kepada hamba. Jika hamba mengetahuinya, maka biarlah hamba ikut memikirkannya. Selama ini ayahanda selalu mempersoalkan keadaan Singasari dengan hamba. Dan ayahanda menganggap bahwa pikiran hamba baik juga dipertimbangkan oleh ayahanda.”

“Ya. Aku memang memerlukan bantuan pikiranmu. Aku-pun akan mendengarkan pendapatmu. Tetapi tidak sekarang. Aku ingin beristirahat. Aku ingin tidur senyenyak-nyenyaknya.”

Tohjaya menjadi semakin heran. Tetapi ia tidak mau menimbulkan kegelisahan yang semakin mengganggu ayahandanya, sehingga karena itu ia tidak mendesaknya lagi. Bahkan ia mencoba untuk mengalihkan pembicaraan. Katanya, “Ayahanda. Mungkin ayahanda memang terlampau lelah. Sudah lama ayahanda tidak pergi berburu.”

Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu tidak menyahut.

“Apakah ayahanda tidak ingin berburu? Dengan demikian ayahanda dapat melupakan kelelahan yang agaknya mulai mengganggu.”

Sri Rajasa menarik nafas dalam-dalam.

“Jika ayahanda berkenan, hamba akan ikut serta berburu untuk mendapatkan kesegaran baru.”

Sri Rajasa memandang Tohjaya sejenak. Lalu katanya, “Dalam keadaan serupa ini, aku tidak dapat meninggalkan Istana.”

“Bukankah ada para Panglima yang dapat ayahanda serahi pemerintahan?”

Sri Rajasa menggelengkan kepalanya. Namun tanpa disangkanya Tohjaya berkata, “O, apakah ayahanda berpikir tentang Pamanda Mahisa Agni yang kini sedang berada di istana ini. Ayahanda dapat mengusirnya. Biarlah ia segera pergi dan kembali ke Kediri.”

Sri Rajasa tidak segera menjawab. Dan karena itu Tohjaya berkaca terus, “Ayahanda, kehadiran Pamanda Mahisa Agni memang memberikan pengaruh yang buruk di istana ini. Kakanda Anusapati selalu saja hilir mudik dari bangsalnya sendiri kebangsal ibunda Permaisuri, kemudian ke bangsal Pamanda Mahisa Agni. Bukan hanya sekali dua kali sehari, tetapi berulang kali. Kemudian Pamanda Mahisa Agni pergi mengunjunginya dan kemudian pergi ke bangsal ibunda Permaisuri.”

“Ken Dedes sedang sakit Tohjaya. Adalah wajar sekali jika pamanmu Mahisa Agni menungguinya. Ia adalah saudara tua ibundamu Permaisuri. Kegelisahan Anusapati-pun dapat dimengerti. Bukankah ibunya sedang sakit. Mungkin ia memang diminta oleh ibundanya untuk menghubungi pamannya. Tidak hanya sekali, mungkin sekali dua kali sehari.”

“Tetapi tentu bukan karena sakit ibunda Permaisuri saja ayahanda.”

“Jangan berprasangka terlalu jauh Tohjaya.”

“Tetapi sikap Kakanda Anusapati sudah menjadi semakin memuakkan. Bukankah kita sudah berkeputusan untuk mengusirnya dari kedudukannya dan dari istana ini? Ayahanda, jika ayahanda tidak cepat bertindak di dalam keadaan ini, maka ia akan sempat memperbaiki kedudukannya.”

Dada Sri Rajasa berdesir. Ia memang pernah mengatakan, bahwa sebenarnya Anusapati tidak diperlukannya lagi. Tetapi ketika ia mendengarnya hal itu sekali lagi, rasa-rasanya sesuatu bergetar di hatinya. Sekilas terbayang cahaya yang silau pada diri Ken Dedes. Dan Ken Arok pernah mendengar bahwa cahaya yang demikian adalah pertanda bahwa orang itu akan meneteskan keturunan agung.

Tohjaya memandang wajah ayahnya yang berubah-rubah itu. Kadang-kadang tegang, namun kadang-kadang seolah-olah Sri Rajasa sudah pasrah pada keadaan yang terjadi. Bahkan sekali-sekali ia memejamkan matanya dan melihat di dalam kekelaman, dunia yang tidak dapat dimengertinya membentang dihadapannya.

“Ayahanda,” Tohjaya menjadi cemas.

“Aku memang lelah sekali Tohjaya,” jawab Sri Rajasa, “aku ingin beristirahat sejenak. Apakah keperluanmu sudah selesai?”

“Hamba tidak mempunyai keperluan yang khusus ayahanda. Hamba hanya ingin menghadap ayahanda. Barangkali ada titah ayahanda yang harus hamba lakukan.” Tohjaya berhenti sejenak. Lalu, “atau, jatuhkanlah perintah atas namba ayahanda. Hamba akan melakukannya. Dengan, beberapa orang prajurit, hamba dapat menyelesaikan tugas ini.”

“Maksudmu membunuh Anusapati?”

Dada Tohjaya berdesir. Tetapi ia mengangguk sambil menyahut, “Hamba ayahanda.”

“Ah, kau. Apakah kau masih saja berusaha menyembunyikan kenyataan. Beberapa kali usaha itu dilakukan, tetapi selalu gagal. Kiai Kisi bahkan telah terbunuh. Tidak mustahil bahwa sebenarnya Anusapati telah menciun rencana itu.”

“Aku memang pernah mendengar tentang Kiai Kisi meskipun tidak begitu jelas. Tetapi itu tentu karena kebodohannya.”

“Kemudian sepasukan prajurit yang berusaha membinasakan Kesatria Putih. Namun justru senjata prajurit-prajurit yang menyamar itu tertumpuk dipintu gerbang pada pagi harinya. Apakah kau masih mempunyai rencana lain?”

“Ayahanda, hamba tidak ingin berpura-pura. Jika hamba harus membunuhnya, maka hamba akan datang dengan dada tengadah dan membunuhnya. Melawan atau tidak melawan.”

“Kau akan menjadikan persoalan ini terbuka?”

Tohjaya ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia mengangguk. “Ya. Apaboleh buat.”

“Kau memang bodoh sekali Tohjaya.”

Tohjaya terkejut mendengar kata-kata yang keras itu. Hampir tidak pernah Sri Rajasa mengatakan demikian tentang dirinya. Karena itu untuk beberapa saat lamanya ia tidak dapat berkata apa-pun juga.

“Tohjaya,” berkata Sri Rajasa, “saat ini Mahisa Agni berada di Singasari. Ia dapat berbuat banyak apabila kita terlibat dalam benturan terbuka.”

“Tentu tidak ayahanda. Jika ayahanda menjatuhkan perintah kepada para Panglima untuk menangkapnya. Betapa-pun kuatnya Pamanda Mahisa Agni, namun para Panglima adalah bukan orang kebanyakan pula.”

“Tohjaya,” tiba-tiba suara Sri Rajasa merendah, “tinggalkan aku seorang diri. Aku lelah sekali. Aku sedang segan sekali memikirkan apa-pun juga, termasuk Anusapati dan Mahisa Agni. Bahkan tentang Singasari sekalipun.”

Tohjaya menjadi semakin termangu-mangu. Ia tidak dapat mengerti sikap ayahandanya yang belum pernah dijumpainya itu.

Namun kesimpulan dihatinya adalah, bahwa ayahandanya memang benar-benar sedang terlalu lelah dan benar-benar ingin beristirahat.

Karena itu, maka ia-pun kemudian berkata, “Sudahlah ayahanda. Agaknya ayahanda memang benar-benar harus beristirahat. Perkenankan hamba mohon diri.”

Sri Rajasa mengangguk. “Ya. Aku memang akan beristirahat sama sekali tanpa persoalan apapun.”

“Baiklah ayahanda. Dan hamba akan mengatakannya kepada ibunda Ken Umang, bahwa untuk saat ini ibunda Ken Umang tidak sebaiknya pergi ke bangsal ibunda Permaisuri.”

“Ya,” jawab Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu agar Tohjaya tidak mempersoalkannya lagi.

Tohjaya-pun segera minta diri. Di halaman bangsal Sri Rajasa ia berhenti sejenak. Dilihatnya seorang prajurit berdiri termangu-mangu di kejauhan.

“He,” katanya kepada pengawalnya, “apakah prajurit itu ingin menghadap aku?”

“Hamba akan bertanya kepadanya tuanku,” jawab prajurit itu.

Sejenak kemudian seorang pengawal Tohjaya mendekati prajurit yang termangu-mangu itu. Ketika ia bertanya kepadanya, maka prajurit itu menjawab, “Aku akan menyampaikan sesuatu kepada tuanku Tohjaya.”

“Marilah. Tuanku Tohjaya melihat kau termangu-mangu. Karena itu aku diperintahkannya bertanya kepadamu.”

Prajurit yang termangu-mangu itu-pun kemudian dibawa menghadap. Dengan dahi yang berkerut merut Tohjaya bertanya, “Apa yang akan kau katakan?”

“Ampun tuanku,” berkata prajurit itu dengan ragu-ragu.

“Jangan ragu-ragu. Katakan yang ingin kau katakan. Bahkan seandainya kau mempunyai permintaan sekalipun.”

“Hamba tuanku. Memang ada yang ingin hamba katakan.” ia berhenti sejenak. Lalu, “apakah hamba diperkenankan mengucapkannya.”

“Katakan. Mungkin tentang kuda atau tentang senjata atau kau prajurit yang sering ikut bersamaku berburu?”

“Ya tuanku. Hamba kadang-kadang mengawal tuanku di dalam dan di luar istana.”

“Aku tahu.”

“Hamba, tuanku, sebenarnyalah hamba ingin mengatakan sesuatu tentang Putera Mahkota.”

“He?” Tohjaya terbelalak.

“Tentang kakanda tuanku itu. Kesibukannya luar biasa setelah Pamanda Mahisa Agni ada di halaman istana.”

Tohjaya tidak menyahut. Dibiarkannya orang itu berbicara terus. Katanya, “Apakah tuanku tidak menaruh perhatian terhadap kesibukan kakanda tuanku itu?”

Tohjaya menganguk dan berkata, “Tentu, tentu.”

“Nah, hamba menyaksikan sendiri, tuanku Pangeran Pati itu selalu mondar mandir dari bangsal tuan puteri Ken Dedes ke bangsal pamanda tuanku Mahisa Agni.”

“Aku sudah tahu. Tetapi apa yang akan kau katakan selanjutnya?”

“O,” orang itu menjadi kecewa, “jadi tuanku sudah mengetahuinya.”

“Aku sudah tahu. Sekarang katakan yang ingin kau katakan tentang Kakanda Anusapati,” geram Tohjaya.

“Itulah yang akan hamba katakan tuanku.”

“Hanya itu?”

“Hamba tuanku.”

Wajah Tohjaya menegang sesaat. Namun kemudian sambil mendorong orang itu dengan kakinya sehingga orang itu terjatuh berguling di tanah.

“Pergi kau penjilat bodoh,” bentak Tohjaya yang hatinya memang sedang gelap, “aku tidak perlu keteranganmu itu.”

Orang itu dengan takutnya bangkit dan duduk di tanah. Tetapi ia sama sekali tidak berani memandang lagi wajah Tohjaya yang sedang marah.”

Tohjaya-pun kemudian tidak menghiraukannya lagi. Dengan tergesa-gesa ia-pun pergi meninggalkan prajurit yang duduk dengan kepala tunduk itu diiringi oleh para pengawalnya.

Ketika Tohjaya sudah tidak tampak lagi, maka orang tu-pun segera berdiri sambil mengumpat perlahan-lahan. Tetapi ia tidak berani menunjukkan kemarahannya itu kepada orang lain. Sekali ia berpaling memandang para prajurit yang bertugas di bangsal Sri Rajasa. Ketika ia melihat prajurit-prajurit itu tersenyum, sekali lagi ia mengumpat.

Dengan tergesa-gesa ia-pun kemudian meninggalkan halaman bangsal itu. Mulutnya tidak hentinya mengumpat, meskipun tidak ada seorang-pun yang mendengarnya.

Prajurit itu tertegun ketika ia mendengar suara seseorang yang tertawa dibalik gerumbul. Ketika ia berpaling dilihatnya seorang juru taman yang berjongkok sambil menyiangi sebatang pohon. Namun prajurit itu tahu pasti bahwa orang itulah yang sedang tertawa.

“Kenapa kau tertawa he?” prajurit itu membentak.

Juru taman itu berpaling sambil menjawab, “Aku tidak bermaksud tertawa. Tetapi aku tidak dapat menahannya.”

“Gila. Aku bunuh kau,” orang itu membelalakkan matanya, “kau juru taman yang gila itu. Seharusnya kau benar-benar sudah mati.”

Wajah juru taman itu menjadi pucat.

“Jangan menyesal. Aku memang akan membunuhmu.”

“Jangan.”

“Apa peduliku. Aku akan mencekikmu.”

“Aku akan berteriak.”

“Persetan.”

“Prajurit-prajurit itu akan datang kemari. Dan aku akan berceritera bahwa pada malam hari itu, kau pulalah yang akan membunuhku. Sekarang kau berusaha memfitnah Pangeran Pati dengan mengatakan ceritera-ceritera bohong kepada tuanku Tohjaya. Kau dapat dituduh mengadu domba.”

“Gila, gila kau.”

“Nah, aku akan berteriak sekarang. Matamu menjadi liar. Kau benar-benar akan membunuhku.”

Mata prajurit itu memang menjadi liar. Dipandanginya prajurit-prajurit yang bertugas di depan bangsal. Belum begitu jauh.

Jika juru taman itu berteriak, di antara mereka pasti akan datang dan mengusut persoalannya.

“Aku akan berteriak,” juru taman itu mengulang.

“Jangan, jangan.”

“Apa peduliku. Aku akan berteriak.”

“Jangan, jangan. Aku tidak benar-benar akan membunuhmu. Bukankah aku sudah mengatakan. Aku akan berkunjung ke rumahmu membawa oleh-oleh buat anak binimu.”

“Aku tidak mempunyai anak bini. Aku hidup sendiri.”

“O, jika demikian aku akan membawa oleh-oleh buatmu.”

“Bawalah uang sebanyak-banyaknya. Aku lebih senang kau membawa uang.”

Prajurit itu membelalakkan matanya. Tetapi ia-pun segera memaksa dirinya untuk tersenyum.

“Baik, baik. Aku akan membawa uang buatmu. Aku benar-benar akan datang malam nanti. O, malam nanti adalah malam yang baik untuk berkunjung ke rumahmu.”

“Terima kasih. Aku akan menunggumu.”

Prajurit itu tidak menyahut lagi. Sambil mengkibas-kibaskan pakaiannya yang kotor oleh debu maka ia-pun kemudian meninggalkan juru taman itu sendiri.

Sepeninggal prajurit itu, Sumekar-pun menarik nafas dalam-dalam. Katanya di dalam hati, “Tentu bukan ia sendiri penjilat di dalam istana ini. Tentu masih banyak orang-orang yang berusaha mengambil keuntungan dari setiap perkembangan persoalan. Jika penjilat-penjilat semacam itu masih juga mendapat kesempatan, maka istana ini pasti akan segera terbakar.”

Sejenak Sumekar berdiri termangu-mangu. Kemudian ia-pun meninggalkan pohon yang sedang disianginya. Ia tiba-tiba saja ingin berbicara dengan Anusapati atau Mahisa Agni.

“Mungkin ada perkembangan yang belum aku mengerti,” berkata Sumekar didalam hati.

Sumekar-pun kemudian meninggalkan tempat itu. Sambil membawa alat-alat seorang juru taman, maka ia-pun pergi ke taman di halaman bangsal Mahisa Agni. Ternyata seorang juru taman yang lain sedang membersihkau daun-daun kuning yang berguguran karena angin yang agak kencang.

“He, dimana kau?” bertanya juru taman itu kepada Sumekar.

“Aku sedang menyiangi pohon ceplok piring itu.”

“Halaman ini menjadi sangat kotor. Bukankah ini tugasmu?”

“Ya,” jawab Sumekar, “baiklah, aku selesaikan.”

Juru taman itu-pun kemudian menyerahkan sapu lidinya kepada Sumekar sambil berkata, “Pekerjaanku sendiri sudah selesai. Jika masih sibuk biarlah aku selesaikan pekerjaan ini.”

“Kenapa kau serahkan sapu ini kepadaku?”

Juru taman itu tersenyum. Katanya, “Jadi bagaimana? Apakah aku harus melanjutkannya.”

“Tidak,” jawab Sumekar, “aku akan membersihkannya. Jika bukan aku, tentu tuanku Mahisa Agni akan marah karena tidak akan dapat sebersih bekas tanganku.”

“Macam kau. Coba biarlah aku yang menyelesaikan. Nanti, kita tunggu, apakah tuanku Mahisa Agni akan marah atau tidak. Kita bertaruh. Rangsum makan kita tiga hari.”

Sumekar merenung sejenak, lalu menggelengkan kepalanya, “Tidak mau. Aku tidak tahan untuk tidak makan tiga hari.”

“Nah, jika demikian jangan sombong.”

“Baik. Aku tidak akan sombong.”

Juru taman itu memandang Sumekar dengan kerut-merut dikeningnya. Lalu ia-pun meninggalkannya sambil menggerutu, “Kau sudah mulai kambuh lagi.”

Sumekar tertawa. Dipandanginya saja kawannya itu sampai hilang dibalik gerumbul-gerumbul pohon bunga di sudut halaman, ia memang menghendaki agar orang itu pergi meninggalkan bangsal itu.

Sambil membersihkan halaman Sumekar mendekati dua orang prajurit yang bertugas di regol. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian ia-pun bertanya, “Ki Sanak, apakah tuanku Mahisa Agni ada didalam bangsal?”

“Kenapa?” bertanya prajurit itu.

“Tidak apa-apa. Aku hanya akan membersihkan pohon-pohon bunga sampai ke longkangan samping. Jika tuanku Mahisa Agni sedang beristirahat, aku takut, kalau aku mengejutkannya. Tuanku Mahisa Agni menurut pendengaranku adalah seorang Senapati yang keras hati. Jika sekali aku dipukulnya, maka kepalaku akan dapat lepas karenanya.”

“Tidak,” jawab prajurit itu, “tuanku Mahisa Agni sedang keluar.”

“Kemana?”

“Aku tidak tahu. Tuanku Mahisa Agni tidak pernah membawa seorang pengawalpun. Bukan saja di halaman istana, tetapi juga jika ia pergi keluar. Mirip sekali dengan tuanku Pangeran Pati.”

Sumekar menganggukakan kepalanya. Lalu katanya, “Jika demikian, mumpung tuanku Senapati itu tidak ada, aku akan menyiangi tanaman dilongkangan. Selama tuanku Mahisa Agni ada di Singasari, aku hampir tidak pernah mendapat kesempatan melakukannya, sehingga pohon bunga-bunga di longkangan itu menjadi kurus dan layu.”

“ Lakukanlah.”

Sumekar-pun kemudian pergi kelongkangan samping. Dilihatnya pintu butulan bangsal itu tertutup. Dan ia-pun sama sekali tidak mendekati pintu yang tertutup itu.

Demikianlah untuk beberapa saat lamanya Sumekar berada dilongkangan. Ia memang menunggu sampai Mahisa Agni datang. Ia ingin mendengar sesuatu tentang perkembangan terakhir dari hubungan yang kalut antara Sri Rajasa, Permaisurinya dan Putera Mahkota.

Ternyata dalam pada itu, Mahisa Agni masih duduk merenung di bangsal Permaisuri. Tetapi tidak lama kemudian berkata, “Sudahlah tuan Puteri, hamba akan kembali ke bangsal hamba. Untuk waktu yang sejauh dapat hamba usahakan, hamba akan tetap berada di Singasari. Kecuali jika hamba tidak mempunyai kesempatan lagi karena perintah Sri Rajasa. Tetapi sebelum perintah itu mendesak, hamba masih akan tetap disini.”

“Terima kasih kakang. Awasilah Anusapati. Hatiku selalu cemas bagaikan melepaskan anak yang baru pandai merangkak di pinggir jurang.”

“Baiklah tuan Puteri, hamba akan selalu mencoba mengawasinya. Hamba akan mencoba mengendalikannya agar Putera Mahkota itu tidak bertindak tergesa-gesa.”

“Terima kasih.” suaranya-pun kemudian merendah, “tidak ada orang lain yang kini dapat aku percaya selain kau kakang.”

Terasa dada Mahisa Agni berdesir. Kata-kata itu diucapkan oleh Ken Dedes. Tetapi kini setelah rambutnya hampir berwarna rangkap.

“Tuan Puteri,” berkata Mahisa Agni kemudian, “aku menjunjung tinggi kepercayaan itu. Baik sebagai seorang saudara laki-laki, mau-pun sebagai seorang Senapati Agung di Singasari.”

Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, “Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu.”

Mahisa Agni mengangguk-angguk pula. Namun terasa betapa kecemasan yang sangat selalu membayangi Permaisuri itu.

Sejenak kemudian maka Mahisa Agni-pun mohon diri sambil berpesan perlahan-lahan sekali, “Tuan Puteri. Tuan Puteri harus tetap menyadari, bahwa sesungguhnya tuan Puteri tidak sedang sakit. Jika tuan Puteri tidak menyadarinya, maka akan dapat terjadi, tuan Puteri benar-benar menjadi sakit, atau rasa-rasanya seakan-akan tuan Puteri benar-benar sakit.”

Ken Dedes mengerutkan keningnya. Sambil mencoba tersenyum ia menjawab, “Ya kakang. Kadang-kadang aku lupa bahwa sebenarnya aku hanya berpura-pura saja sakit, sehingga rasa-rasanya aku benar-benar menjadi sakit.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia melihat bahwa sebenarnyalah Ken Dedes sedang menderita sakit. Bukan badannya, tetapi hatinya yang kemudian mempengaruhi jasmaniahnya.

Sejenak kemudian Mahisa Agni-pun meninggalkan bangsal Ken Dedes. Namun agaknya masih terlampau siang untuk singgah di bangsal Anusapati. Karena itu, maka ia-pun berjalan-jalan saja di halaman tanpa tujuan sekedar untuk mengisi waktu.

Tanpa disadarinya ia-pun menyusuri dinding yang membatasi halaman istana Singasari yang lama dengan istana yang dibangun oleh Ken Arok untuk isterinya yang muda Ken Umang. Dan tanpa sesadarnya pula Mahisa Agni melangkah didepan regol yang terbuka.

Mahisa Agni terkejut ketika ia mendengar seseorang-menyapanya, “Kakang Mahisa Agni.”

Mahisa Agni berpaling. Hatinya bagaikan berguncang ketika dilihatnya Ken Umang berdiri di seberang regol yang terbuka itu sambil tersenyum.

“O, ampun tuan Puteri,” sahut Mahisa Agni dengan suara gemetar. “Hamba tidak tahu bahwa tuan Puteri berdiri di situ.”

“Ah, kenapa kau masih saja mempergunakan basa-basi itu? Kita sama-sama berasal dari keturunan orang kecil. Panggil saja aku Ken Umang.”

“Tentu tidak tuan Puteri,” jawab Mahisa Agni, “keturunan kita tidak mempengaruhi kedudukan kita sekarang. Tuan Puteri adalah isteri Maharaja di Singasari.”

“Dan kau adalah Senapati Agung dan sekaligus wakil Mahkota di Kediri. Selisih kedudukanmu dengan Sri Rajasa sendiri hanya selapis.”

“Ampun tuan Puteri Hamba sangat berterima kasih atas kemurahan Sri Rajasa itu. Dan karena itulah>hamba merasa betapa kecilnya diri hamba.”

Ken Umang tertawa. Katanya, “Sikapmu belum berubah kakang. Kau masih saja takut kepadaku. Bukan karena kedudukanku. Aku tahu, bahwa kau menganggapi aku seorang wanita yang sangat rendah. Meskipun aku berkedudukan tinggi, yang kini menjadi perempuan kedua sesudah Permaisuri, tetapi sikapmu dan tatapan matamu tetap tidak ingkar, bahwa setelah aku tinggal di istana ini, aku masih juga mencoba menyeretmu kedalam perbuatan yang tercela itu. Tetapi itu dahulu kakang.”

“Ampun tuan Puteri. Hamba sekali-kali tidak pernah menganggap tuanku sebagai seorang perempuan yang rendah. Sama sekali tidak.”

Ken Umang tertawa. Sekali ia berpaling memandang beberapa orang emban yang duduk agak jauh daripadanya.

Mahisa Agni yang masih berdiri diseberang regol menjadi semakin berdebar-debar. Meskipun umur mereka sudah menjadi semakin tua, tetapi kesan yang ada didalam hatinya tentang Ken Umang-pun masih belum dapat dilupakannya. Agaknya Ken Umang menyadarinya sehingga seakan-akan ia dapat membaca isi hati Mahisa Agni.

“Kakang,” berkata Ken Umang. “sekarang kita sudah merayapi tahun demi tahun. Meskipun tampaknya kau masih lebih muda dari umurmu yang sebenarnya, dan barangkali aku masih juga pantas untuk mengganggumu, tetapi aku kira sekarang aku mempunyai kepentingan yang lain.”

Mahisa Agni menundukkan kepalanya. Katanya, “Sebenarnyalah kata tuan Puteri. Hamba memang sudah tua.”

“Itu tidak penting,” sahut Ken Umang. Lalu, “Kakang Mahisa Agni. Kakang tentu sudah melihat perkembangan istana Singasari sekarang ini.”

“Ya tuan Puteri, perkembangan Singasari benar-benar menggembirakan.”

“Bukan itu yang aku maksud. Tetapi penghuni-penghuni istana ini. Tegasnya keluarga kita, keluarga Sri Rajasa.”

“O,” Mahisa Agni memandang wajah Ken Umang sejenak. Tetapi kepalanya-pun segera tertunduk kembali.

“Kakang Mahisa Agni,” berkata Ken Umang, “bukankah kau adalah paman dari Anusapati?”

“Hamba tuan Puteri,” jawab Mahisa Agni dengam jantung yang berdebaran.

“Sebagai seorang ibu aku senang melihat anak-anak hidup dalam kegembiraan. Apalagi Anusapati sudah mempunyai seorang anak laki-laki yang menjadi semakin besar.” Ken Umang berhenti sejenak. Lalu, “Tetapi alangkah sedih hati seorang ibu bila melihat anak-anaknya bertengkar. Bagiku, Tohjaya dan Anusapati adalah anak-anakku. Aku tidak membeda-bedakannya. Tetapi Anusapati bersikap aneh terhadapku dan terhadap adiknya Tohjaya. Seakan-akan kami berdua adalah musuhnya. Nah, tolong, sampaikan kepada Anusapati, bahwa kami menganggapnya sebagai keluarga yang tidak terpisah. Anusapati adalah anakku dan Tohjaya-pun putera kakanda Permaisuri, dan sebaliknya. Apakah kau mengerti maksudku?”

“Hamba tuan Puteri.”

“Nah, jika demikian, nasehatkan kepada Anusapati, agar ia bisa bersikap lebih baik. Agar ia dapat sedikit mendekatkan diri kepada adiknya.”

Mahisa Agni menarik nafas, tetapi ia tetap menyahut, “Hamba tuan Puteri. Hamba akan memperingatkannya. Anusapati memang harus bersikap baik terhadap tuanku Tohjaya.”

Jawaban itu sama sekali tidak diharapkan oleh Ken Umang. Ia ingin mendengar Mahisa Agni membantahnya agar timbul persoalan untuk memancing pendapat Mahisa Agni yang sebenarnya terhadap keadaan yang sedang berkembang itu.....

Dan justru karena itu maka untuk sesaat Ken Umang terdiam. Dipandanginya Mahisa Agni dengan sorot mata yang aneh. Sebenarnyalah Ken Umang menjadi heran, kenapa Mahisa Agni begitu saja mengiakan kata-katanya tentang Anusapati.

Karena Ken Umang tidak segera menyahut, maka Mahisa Agni melanjutkannya, “Tuan Puteri. Perkenankanlah hamba mohon maaf atas segala kelakuan dan tingkah laku Anusapati sampai saat ini apabila tidak berkenan di hati tuan Puteri Ken Umang.”

Ken Umang masih tetap berdiam diri. Sekali-sekali wajahnya menjadi tegang. Namun sejenak kemudian tampaklah ia menjadi kebingungan.

Baru sejenak kemudian Ken Umang berkata patah-patah, “jadi, jadi kau membenarkan kata-kataku bahwa Anusapati memang anak muda yang tidak tahu diri?”

“Karena hamba tidak berada di Singasari tuanku, maka hamba tidak dapat menyebutkannya. Tetapi karena menurut tuanku, Anusapati telah berbuat kurang baik, maka biarlah hamba memperingatkannya.”

Justru Ken Umanglah yang menjadi jengkel karenanya. Ia tidak berhasil memancing pertengkaran. Jika Mahisa Agni menjadi marah, dan mereka berbantah, maka ada alasan untuk segera minta kepada Sri Rajasa, agar Mahisa Agni segera diperintahkan kembali ke Kediri, karena Mahisa Agni sudah menghinakan isteri Sri Rajasa.

Tetapi usaha itu ternyata belum berhasil. Namun demikian Ken Umang masih juga berusaha. Katanya, “Kakang Mahisa Agni. Siapakah yang bertanggung jawab atas segala perbuatan Anusapati itu?”

“Ampun tuan Puteri. Tentu tanggung jawab Anusapati sendiri. Apalagi Anusapati kini sudah bukan anak-anak lagi. Ia sudah seorang dewasa, bahkan ia sudah seorang ayah. Itulah sebabnya maka ia harus sudah bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Sadar atau tidak sadar.”

“Tetapi ia tidak tiba-tiba saja menjadi dewasa. Tentu ada yang mendidiknya sejak kanak-anak. Orang itulah yang bertanggung jawab atas segala macam tingkah laku Anusapati.”

“Maksud tuanku, apakah yang bertanggung jawab tuanku Permaisuri?”

Ken Umang menjadi ragu-ragu sejenak. Namun untuk memancing pertengkaran ia menjawab, “Ya. kanda Permaisuri dan kau.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang sekilas kesudut halaman itu, dilihatnya beberapa orang prajurit bertugas. Demikian juga didepan regol bangsal Ken Umang.

Karena itu Mahisa Agni harus berhati-hati. Bukan karena ia takut menghadapi tindakan kekerasan, tetapi ia sadar sepenuhnya bahwa Ken Umang memang sedang memancing perselisihan. Jika ia bersikap keras dan berbantah, tentu prajurit-prajurit itu akan menjadi saksi. Demikian juga beberapa orang emban yang duduk tidak begitu jauh dari Ken Umang.

Jika demikian, maka akan timbul berbagai macam akibat yang barangkali terlalu jauh baginya.

Karena kesadaran itulah maka Mahisa Agni tetap pada sikapnya. Ia sekali-sekali membungkukkan kepala dengan tangan bersilang. Sama sekali tidak ada sikap menentang dan melawan setiap kata-kata Ken Umang.

“Apa katamu Mahisa Agni,” Ken Umanglah yang mulai membentaknya.

Sekali lagi Mahisa Agni membungkukkan kepalanya. Jawabnya, “Ampun tuan Puteri. Jika menurut pendapat tuan Puteri hamba ikut bertanggung jawab, maka baiklah hamba akan mencoba membetulkan kesalahan hamba. Sudah hamba katakan, bahwa hamba akan mencegah Anusapati, agar ia kemudian bersikap baik dan tidak memusuhi tuanku Tohjaya. Tetapi tentang sikap dan tanggung jawab tuanku Permaisuri, itu ada diluar kekuasaan hamba. Hamba tidak berhak menegurnya meskipun ia adalah adik hamba.”

“Kenapa kau tidak berhak? Kau adalah saudara tuanya. Meskipun ia seorang Permaisuri, ia tetap adikmu.”

“Hamba tidak berani melakukannya. Hamba takut kepada tuanku Sri Rajasa. Tuanku Permaisuri kini bukan menjadi tanggungan hamba lagi sejak ia bersuami. Segala tingkah laku dan perbuatannya telah menjadi tanggung jawab suaminya.”

“O. jadi kau menyalahkan tuanku Sri Rajasa?”

“Bukan maksud hamba. Tetapi sebaiknya tuanku Sri Rajasalah yang memberinya peringatan. Hamba justru takut kepada Sri Rajasa.”

“Pengecut? Kenapa kau takut? Tentu Sri Rajasa tidak sempat berbuat seperti itu. Tuanku Sri Rajasa adalah Maharaja yang berkuasa di Singasari. Ia tidak sempat mengurusi isterinya saja. Apalagi kakanda Permaisuri yang hampir tidak pernah menarik perhatian Sri Rajasa.”

Terasa dada Mahisa Agni berguncang. Tetapi ia masih harus menahan hati. Sambil membungkukkan kepalanya ia berkata. “Sebenarnyalah hamba akan menjalankan semua perintah karena hamba hanyalah seorang abdi di istana ini. Meskipun hal itu bertentangan dengan kemauan hamba sendiri misalnya, tetapi apabila hal itu harus hamba kerjakan, hamba akan mengerjakannya. Jika memang tuanku Sri Rajasa memerintahkan kepada hamba untuk memberikan peringatan kepada tuanku Permaisuri.”

“Kau memang bodoh sekali,” Ken Umang menjadi marah, “Jika tuanku Sri Rajasa sempat memerintahkan kepadamu, ia tidak memerlukan kau lagi. Mengerti?”

Mahisa Agni menahan nafasnya sejenak. Lalu, “Hamba mengerti tuanku.”

“Jadi kaulah yang bertanggung jawab seluruhnya atas kelakuan Anusapati itu. Mengaku atau tidak mengaku.”

Mahisa Agni menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia masih tetap sadar. Jika ia bersikap seperti Ken Umang pula, maka orang-orang yang melihatnya akan dapat menjadi saksi, bahwa ia telah berani menentang isteri Sri Rajasa.

Karena itu, sambil membungkuk dalam-dalam ia berkata betapa-pun ia menahan hati, “Hamba tuan Puteri. Hamba memang bersalah karena hamba tidak dapat mengajar anak itu bersikap baik. Tetapi hamba berjanji untuk memperbaiki kesalahan itu.”

“O, gila, gila. Kau memang bukan laki-laki jantan. Kau hanya berani merunduk seperti budak yang paling hina. Apakah kau sadar, bahwa sikapmu sama sekali bukan sikap seorang Senapati besar?”

“Mungkin tuan Puteri benar,” jawab Mahisa Agni, “hamba memang tidak dapat bersikap lain kali ini, karena hamba berhadapan dengan junjungan hamba. Memang sangat berbeda dengan sikap seorang Senapati di peperangan.”

Kemarahan Ken Umang sudah sampai ke puncaknya sehingga ia berteriak, “Apakah kau dapat bersikap yang lebih baik dari sikap seorang penjilat.”

Sebenarnya kesabaran Mahisa Agni-pun sudah sampai diujung ubun-ubun. Tetapi ia masih memaksa diri untuk tetap bersabar.

Sementara itu beberapa orang prajurit yang melihat dari kejauhan-pun menjadi heran. Semula mereka memang menjadi berdebar-debar. Jika Mahisa Agni berbantah dengan Ken Umang, meskipun Mahisa Agni adalah seorang Senapati, tetapi ia dapat dianggap bersalah dan ia dapat dengan serta-merta diperintahkan untuk meninggalkan istana Singasari ke Kediri. Tetapi ternyata sikap Mahisa Agni itu diluar dugaan mereka. Mahisa Agni sama sekali tidak menunjukkan sikap menentang. Bahkan sikap hormatnya agak berlebih-lebihan.

“Apakah sebenarnya yang dikehendaki oleh tuan Puteri,” berkata para prajurit itu di dalam hati. Namun sebenarnyalah mereka dengan mudah dapat menduga, bahwa Ken Umang sengaja memancing persoalan agar Mahisa Agni segera diperintahkan meninggalkan Singasari. Tetapi para prajurit itu tidak mengetahui persoalan yang sebenarnya telah terjadi. Mereka hanya menganggap bahwa kehadiran Mahisa Agni itu menguntungkan Anusapati, karena setiap orang-pun mengetahui bahwa Anusapati dan Tohjaya agaknya sukar dirukunkan, dan setiap orang tahu bahwa Sri Rajasa agak berpihak kepada Tohjaya. Bukan kepada Anusapati. Bagi mereka yang mengetahui keadaan Anusapati yang sebenarnya-pun mengerti, bahwa Sri Rajasa ternyata tidak dapat menerima kehadiran anak Tunggul Ametung itu dengan sepenuh hati.

Sedang prajurit yang lain, yang mengetahui persoalan yang sedang dihadapinya itu-pun berkata, “Mahisa Agni memang seorang yang bijaksana. Sebagai seorang Senapati Agung di Singasari ia membiarkan dirinya dicaci maki oleh isteri muda Sri Rajasa. Tampaknya itu suatu kekalahan baginya, tetapi sebenarnyalah bahwa Mahisa Agnilah yang menang, jika ia tetap dapat bertahan.

Prajurit itu terkejut ketika ia melihat tiba-tiba saja Ken Umang menghentak-hentakkan tangannya sambil berteriak, “Pengecut yang paling buruk di seluruh Singasari. Aku akan mengatakannya kepada Sri Rajasa, bahwa kau tidak pantas menjadi seorang Senapati Agung di Singasari. Kau hanya pantas menjadi seorang penjilat yang rendah dan hina. Ternyata kau tidak dapat mempertahankan sikapmu dan mempertanggung jawabkan segala macam perbuatanmu.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia masih harus berlahan sedikit lagi. Ternyata bahwa Ken Umang sendiri sudah kehilangan kesabarannya meskipun ia telah dengan sengaja memancing persoalan.

“Pergi, pergi dari hadapanku penjilat yang rendah,” berkata Ken Umang, “aku tidak mau berhubungan lagi dengan orang semacam kau. Kau hanya pantas berhubungan dengan budak-budakku, dengan hamba-hambaku yang paling rendah.”

Dada Mahisa Agni bagaikan retak karenanya. Tetapi ia masih tetap bertahan dengan segenap kemampuan perasaannya. Rasanya lebih mudah untuk bertahan melawan sepuluh orang prajurit dalam benturan jasmaniah daripada harus bertahan membiarkan dirinya dihinakan.

“Pergi, pergi,” teriak Ken Umang kemudian.

“Hamba tuanku, hamba akan pergi jika memang tuanku kehendaki.”

“Aku tidak mau melihat wajahmu lagi.”

Mahisa Agni membungkuk dalam-dalam. Namun ia-pun kemudian terkejut ketika ia mendengar seseorang berkata, “Paman, kita tetap disini. Aku adalah Putera Mahkota. Paman harus mendengarkan segala perintahku.”

Semua orang yang mendengar suara itu-pun berpaling. Mereka melihat Anusapati berdiri bertolak pinggang dengan wajah yang merah padam.

Ternyata bukan Mahisa Agnilah yang kehabisan kesabaran, tetapi justru Anusapati yang justru sedang mencarinya.

Dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Perlahan-lahan ia mendekatinya dan berbisik, “Tahankan perasaanmu Anusapati. Ingat, kau mempunyai kepentingan yang lebih besar daripada harga dirimu. Aku sudah membiarkan diriku dihinakan dihadapan banyak orang karena kepentingan yang lebih besar itu.”

Anusapati menggeretakkan giginya. Bahkan ia masih juga berkata, “Hanya perintah Ayahanda Sri Rajasa sajalah yang berada diatas perintahku, karena aku adalah Pangeran Pati. Bahkan ibunda Permaisuri-pun tidak dapat mengubah keputusanku.”

Semua orang yang menyaksikan hal itu menjadi berdebar-debar. Para prajurit yang sedang bertugas menjadi termangu-mangu. Prajurit yang bertugas di halaman bagian istana yang lama dan bagian istana yang baru. Kedua pihak tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Yang mereka cemaskan adalah apabila Tohjaya mengetahui persoalan itu. Ia pasti tidak akan tinggal diam.

Sementara itu, wajah Ken Umang menjadi bagaikan menyala mendengar kata-kata Anusapati orang yang paling dibencinya itu. Sehingga justru karena itu, maka mulutnya bagaikan terbungkam karenanya.

Anusapati yang sudah sampai pada batas kesabarannya itu masih juga berkata, “Paman Mahisa Agni. Aku perintahkan paman tetap tinggal disini. Paman harus mengawasi setiap orang yang ada di halaman ini. Seluruh halaman istana Singasari. Yang lama mau-pun yang baru adalah wewenang Ayahanda Sri Rajasa. Dan limpahan kekuasaan Putera Mahkota adalah sama dengan kekuasaan Maharaja.”

“Omong kosong,” teriak Ken Umang. “kau sudah gila. Kau sangka Sri Rajasa senang melihat tampangmu?”

Anusapati sama sekali tidak menjawab kata-kata Ken Umang. Bahkan kemudian dibelakanginya perempuan itu sambil berkata lantang, “Aku akan merobah halaman istana ini. Aku akan menutup regol ini dengan dinding batu.”

Kemarahan Ken Umang bagaikan memecahkan dadanya. Hampir diluar sadarnya ia berteriak, “Emban, panggil Tohjaya. Ada orang gila masuk ke dalam istana.”

Emban itu tidak menunggu lebih lama. Berlari-lari ia pergi ke bangsal Ken Umang untuk memanggil Tohjaya yang ada didalamnya.

“Anusapati,” desis Mahisa Agni kemudian, “kau lihat, akibat dari peristiwa ini akan berkepanjangan.”

“Aku sudah siap paman. Apa-pun yang akan terjadi, aku akan menghadapinya. Meskipun seandainya harus ada pertentangan terbuka dengan Sri Rajasa. Aku akan menyatakan diriku di depan setiap orang, bahwa akulah yang berhak atas tahta ini.”

“Anusapati,” potong Mahisa Agni, “kendalikan perasaanmu.”

“Maaf paman. Aku akan mengendalikan persaanku. Tetapi tidak sekarang.”

Mahisa Agni masih akan menjawab. Tetapi ia terkejut ketika ia mendengar suara Ken Umang, “Nah, itulah orang gila itu Tohjaya. Kau harus mengusirnya. Bukan saja mengusir dari regol itu, tetapi kau harus mengusirnya dari istana dan bahkan dari Singasari.”

Tohjaya tidak menghiraukan apa-pun lagi. Ia tidak rela menyaksikan ibunya yang dihinakan oleh siapa-pun juga, meskipun ia seorang Pangeran Pati. Apalagi ia sadar, bahwa Pangeran Pati ini memang harus disingkirkan.

Karena itu maka ia-pun segera mendekati Anusapati sambil berkata lantang, “Apakah kau memang sudah mulai gila Kakanda Anusapati?”

Anusapati memandang Tohjaya sejenak. Namun kemudian terdengar ia tertawa, “Ha, aku memang menunggu kau adinda. Aku ingin memberitahukan kepadamu, bahwa aku punya hak untuk berbuat apa saja di istana ini, karena aku adalah Pangeran Pati. Jika sampai saat Ayahanda Sri Rajasa tidak lagi memegang pemerintahan, entah karena atas kehendak sendiri, atau karena umurnya yang pendek.”

“Tutup mulutmu,” teriak Tohjaya.

“Anusapati,” Mahisa Agni masih ingin mencegah, “kenapa kau kehilangan akal he? Apakah kau memang benar-benar gila?”

Tetapi Anusapati benar-benar tidak menghiraukannya lagi. Bahkan katanya, “Kau mau apa Tohjaya. Coba berbuatlah sesuatu kalau kau berani.”

Tohjaya benar-benar terbakar mendengar tantangan itu. Karena itu, makan tiba-tiba saja ia meloncat menyerang dengan garangnya. Tetapi Anusapati sudah memperhitungkannya. Karena itu, ia sama sekali tidak terkejut. Bahkan serangan membabi buta itulah yang ditunggu-tunggunya.

Dengan gerak yang lebih cepat dari gerak Tohjaya, maka Anusapati-pun menghindar. Tetapi ia tidak sekedar menghindari serangan Tohjaya. Bahkan sekaligus ia menyerangnya pula.

Serangan itu benar-benar tidak diduga oleh Tohjaya. Apalagi kecepatan bergerak Anusapati jauh melampaui kemampuannya, sehingga karena itu, maka Tohjaya-pun kemudian terlempar dan jatuh terguling di tanah.

Ternyata Anusapati yang sudah kehabisan akal itu tidak dapat mengendalikan dirinya lagi. Ia masih ingin meloncat membunuhnya. Namun ia tidak dapat menghindarkan diri dan sebuah benturan yang dahsyat sehingga Anusapati itulah yang kemudian terlempar dan jatuh terguling.

Dengan serta-merta Anusapati meloncat bangkit. Namun ia tertegun ketika ia melihat, pamannya Mahisa Agnilah yang berdiri dihadapannya.

Sejenak Anusapati melihat Tohjaya tertatih-tatih bangun. Namun kemudian dipandanginya wajah pamannya yang tegang.

“Anusapati,” berkata Mahisa Agni. Betapa tegang wajahnya, namun kata-katanya tetap sareh dan tenang, “Apakah kau memang sengaja ingin membuat tontonan di halaman Istana ini atau kau ingin memamerkan kemampuanmu. Aku berterima kasih bahwa kau mempertahankan martabatku. Tetapi aku kurang senang melihat darahmu yang masih terlampau mudah menyala. Cobalah, tenanglah sedikit. Lihatlah banyak orang yang menonton peristiwa ini, seperti orang melihat ayam bersabung. Padahal kalian adalah bangsawan tertinggi di Singasari saat ini. Apakah kau mengerti?”

Anusapati tidak segera menjawab. Dengan wajah yang tegang dipandanginya pamannya yang berdiri tegak seperti batu karang. Alangkah garangnya. Tentu dipeperangan Mahisa Agni akan tampak lebih garang lagi. Dengan senjata di tangan dan wajah yang tegang.

Ternyata perbawa itu meresap kedalam dada Anusapati. Perlahan-lahan kepalanya tertunduk lesu. Sebuah penyesalan telah merayapi hatinya. Tetapi semuanya sudah terjadi. Dan rasa-rasanya semakin lama semakin banyak mata yang memandanginya.

Perlahan-lahan terdengar suaranya bergumam didalam mulutnya, “maafkan aku paman. Ternyata aku telah kehilangan pengamatan diri. Penghinaan yang tiada batasnya itu membuat dadaku bagaikan terbelah.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi berlega hati ketika dilihatnya bahwa Anusapati sudah mulai berhasil menguasai perasaannya.

Namun selagi Mahisa Agni mulai merasa tenang, setelah ketegangan yang sangat mencengkam hatinya, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara Tohjaya lantang, “Ayahanda, inilah orang gila yang ingin mengacaukan istana itu.”

Dengan serta-merta Mahisa Agni berpaling. Dadanya berdesir ketika dilihatnya Sri Rajasa berdiri tegak diiringi oleh beberapa orang pengawal. Dengan sorot mata yang menyala dipandangnya Mahisa Agni dan Anusapati berganti-ganti.

“Sudah tiba saatnya bagi ayahanda untuk bertindak.”

Tetapi Sri Rajasa masih tetap berdiri diam seperti patung.

Tohjaya menjadi heran sejenak. Demikian ibunya Ken Umang. Perlahan-lahan isteri muda Sri Rajasa itu melangkah maju sambil berkata, “Kakanda Sri Rajasa. Alangkah cemasnya hati hamba melihat ananda Anusapati berbuat di luar sadarnya. Hamba tidak tahu apa yang seharusnya hamba lakukan. Sedangkan kakang Mahisa Agni sama sekali tidak berbuat apa-pun juga untuk menenangkan keadaan. Bahkan ia sama sekali tidak bersikap seperti orang tua.”

Sri Rajasa mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia melangkah maju mendekati Anusapati yang berdiri termangu-mangu di sebelah Mahisa Agni. Beberapa langkah daripadanya berdiri Tohjaya dengan wajah yang tengadah.

“Kakanda,” berkata Ken Umang, “sebaiknya kakanda menimbang dengan adil. Hamba lihat pakaian Tohjaya yang kotor dan kusut itu? Ananda Anusapati lah yang telah melakukannya tanpa disangka-sangka.”

Sri Rajasa menjadi semakin dekat, sehingga dada Mahisa Agni-pun menjadi semakin berdebar-debar.

“Jika semuanya harus terjadi saat ini, apaboleh buat,” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, “meskipun aku tidak dapat memperhitungkan, bagaimana akhir dari setiap persoalkan yang dapat timbul karenanya.”

Agaknya Anusapati-pun mencemaskannya pula. Jika ayahandanya tidak dapat mengekang dirinya pula, maka yang terjadi adalah bencana yang maha dahsyat. Bukan saja bagi pimpinan tertinggi Singasari, tetapi bagi Singasari dan rakyatnya.

Gejolak hati Anusapati itu telah mendorongnya berbisik ditelinga Mahisa Agni, “Paman, Trisula itu aku bawa sekarang.”

“Ah,” Mahisa Agni berdesah. Tetapi ada semacam air yang menitik di jantungnya yang sedang membara. Sadar atau tidak sadar, Mahisa Agni harus mengakui, bahwa Sri Rajasa adalah bukan manusia kebanyakan. Ia memiliki kelebihannya. Ia memiliki kelebihan yang tidak dapat dimengerti oleh sesamanya.

Sejenak Sri Rajasa berdiri dengan tegang. Namun kemudian ia berkata, “Aku mengerti apa yang telah terjadi. Seorang perwira yang melihat peristiwa ini langsung menyampaikannya kepadaku. Dengan tergesa-gesa aku datang kemari, karena yang terjadi adalah sepercik noda yang paling kotor pada keluarga Maharaja di Singasari. Dan aku melihat bagian terakhir dari tontonan yang mengasyikkan ini.”

Semua orang yang mendengar kata-kata itu menjadi gemetar. Suara Sri Rajasa sudah menjadi agak gemetar oleh perasaaan yang tertahan didalam dadanya.

Ken Umang memandang Sri Rajasa tanpa mengedipkan matanya. Seakan-akan ia menunggu, keputusan apakah yang akan diambilnya didalam keadaan itu.

Sementara itu Tohjaya bergeser selangkah mendekati ayahandanya. Dalam ketegangan itu ia berkata, “Ayahanda dapat bertindak sekarang.”

Sri Rajasa mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ya, aku memang dapat bertindak. Dan aku memang akan bertindak sebaik-baiknya.”

“Tentu ayah,” sahut Tohjaya.

Anusapati membeku ditempatnya, sedang wajah Mahisa Agni tidak lagi disaput ketegangan yang dalam membayang di wajah itu.

Sekilas ia memandang berkeliling. Dilihatnya beberapa orang Senapati berdiri tegang. Bahkan Panglima pasukan pengawalnya-pun telah ada di halaman itu pula.

“Benar seperti sabungan ayam,” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, “Tetapi apaboleh buat. Aku tidak dapat menduga, apa saja yang akan dilakukan oleh para prajurit ini.”

Sejenak Mahisa Agni memandang ke kejauhan menembus kesuraman senja yang mulai turun. Seorang juru taman berdiri di sebelah gerumbul yang lebat. Sekali-sekali ia berlindung dibalik gerumbul itu, dan sekali ia menampakkan dirinya jika kebetulan Mahisa Agni memandangnya. Juru taman itu adalah Sumekar.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Juru taman itu akan dapat ikut menentukan akhir dari peristiwa yang tidak diinginkannya apabila hal itu terpaksa terjadi di halaman ini, dibatas antara istana yang lama dan yang baru.

Sejenak orang-orang yang berdiri berpencaran itu termangu-mangu. Mereka memandang Sri Rajasa dan Mahisa Agni berganti-ganti. Tanpa mereka sadari, nafas mereka-pun seakan-akan berkejaran. Yang berdiri dengan tegang itu adalah dua orang Raksasa yang tidak ada bandingnya di Singasari.

Sri Rajasa adalah seorang yang bagi Mahisa Agni adalah orang yang aneh. Orang yang memiliki kelebihan tanpa dicarinya. Karena itulah maka orang mengatakan bahwa Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu adalah kekasih dewa-dewa.

Tetapi bagi Sri Rajasa, Mahisa Agni adalah orang yang aneh. Satu-satunya anak muda yang mampu mengimbanginya selagi ia masih berkeliaran di Padang Karautan. Dan Ken Arok vang bergelar Sri Rajasa itu mengetahui, bahwa Mahisa Agni pada waktu itu, memiliki sebuah pusaka yang baginya sangat mengerikan. Jauh lebih mengerikan dari pusaka yang selama ini dianggapnya pusaka yang paling keramat, Keris Empu Gandring. Dan pusaka itu hanyalah sebuah trisula yang tidak seberapa besarnya. Tetapi dapat bercahaya seperti matahari yang menyilaukan.

Namun Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu memang tidak akan berbuat apa-apa. Setelah beberapa kali ia menarik nafas dalam-dalam, maka ia-pun berkata, “Aku minta kalian kembali kebangsal masing-masing.”

Tohjaya terkejut mendengar perintah itu. Bahkan yang lain-pun tidak kalah terkejut pula. Mahisa Agni yang tegang dan Anusapati yang berdebar-debar saling berpandangan sejenak.

“Aku tidak senang melihat pertengkaran itu,” berkata Sri Rajasa lebih lanjut, “sejak lama aku selalu memperingatkan, sikap bermusuhan itu sangat memalukan. Apalagi kalian adalah Putera seorang Maharaja yang sangat dihormati. Tindakan kalian itu tentu merendahkan martabatku sebagai seorang Raja yang memerintah seluruh Singasari sekarang ini.”

Ken Umang memandang ken Arok dengan sorot mata yang aneh. Memang ia tidak mengerti akan perintah itu. Ia berharap agar Sri Rajasa mengambil tindakan yang paling keras terhadap Anusapati. Hukuman yang dapat merendahkan nilainya sebagai seorang Putera Mahkota. Menghinakannya, dan akan lebih baik lagi jika kemudian mengusirnya dari Istana.

Ken Umang menjadi lebih heran lagi ketika ia mendengar Sri Rajasa itu berkata, “Aku mengucapkan terima kasih kepadamu Mahisa Agni.”

Tohjaya menjadi tegang sejenak. Dan ia mendengar Sri Rajasa melanjutkan, “Aku melihat dari kejauhan apa yang kau lakukan. Ternyata bahwa kau berdiri diatas ikatan keluarga yang ada pada dirimu. Meskipun kau paman Anusapati dari saluran darah ibunya, retapi kau sudah berusaha sebaik-baiknya mencegah pertengkaran ini. jika kau tidak menghalangi Anusapati, maka aku kira Tohjaya akan mengalami cidera yang dapat membahayakan jiwanya. Jika demikian maka tidak akan ada gunanya lagi aku membina daerah ini dengan mempertaruhkan semua yang ada padaku.”

Tidak seorang-pun yang menyahut. Bahkan tidak seorang-pun yang bergerak meskipun hanya sekedar ujung jari kakinya.

“Jika Tohjaya mengalami cedera, apalagi sampai membahayakan jiwanya, maka Anusapati harus dihukum. Dengan demikian aku akan kehilangan kedua-duanya sekaligus. Kehilangan Pangeran Pati yang akan menggantikan kedudukanku, dan kehilangan Tohjaya satu-satunya orang akan dapat menggantikan kedudukan Anusapati apabila terjadi sesuatu dengannya. Memang aku masih mempunyai beberapa orang anak laki-laki. tetapi aku harus membinanya dari permulaan sekali.” Sri Rajasa berhenti sejenak. Lalu, “karena itu tindakan Mahisa Agni memang pantas dipuji.”

Betapa mereka yang mendengar kata-kata Sri Rajasa itu tidak dapat mengartikannya dengan segera. Ada yang heran, ada yang tidak percaya kepada pendengarannya, tetapi ada yang menganggap, bahwa itu adalah sikap yang bijaksana.

“Nah,” sekali lagi Sri Rajasa berkata, “Sekarang kembalilah kebangsal masing-masing. Jangan menjadi tontonan di sini. Semakin cepat semakin baik.”

“Kakanda,” Ken Umanglah yang akan memotong kata-kata Sri Rajasa. Tetapi Sri Rajasa mendahuluinya, “Kau-pun sebaiknya meninggalkan tempat ini. Adalah kurang baik jika kau berada di antara wajah-wajah yang tegang dan sikap bermusuhan.”

Ken Umang menahan gejolak didalam dadanya. Tetapi ia tidak berani membantahnya. Digamitnya Tohjaya dan dengan isyarat diajaknya Tohjaya meninggalkan tempat itu.

Dalam pada itu Mahisa Agni-pun kemudian menggandeng Anusapati meninggalkan tempat itu sambil berkata kepada Sri Rajasa, “Sikap Tuanku sangat bijaksana. Hamba mengucapkan terima kasih.”

“Apakah mungkin aku berbuat lain?” bertanya Sri Rajasa.

Mahisa Agni terkejut mendengar pertanyaan itu. Tetapi ia-pun menjawab, “Memang tidak ada sikap lain bagi seorang yang bijaksana.”

“Bagi yang tidak bijaksana?”

“Tuanku, hamba tidak dapat mengatakannya, karena ternyata yang ada adalah seorang yang sangat bijaksana.”

Sri Rajasa menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak berkata apa-pun lagi. Dipandanginya langkah Anusapati di samping Mahisa Agni, dan di arah yang lain Tohjaya berjalan di belakang ibunya, Ken Umang.

Sri Rajasa menggelengkan kepalanya ketika perasaannya mulai menilai kedua anak muda itu. Ia tidak mau melihat kenyataan bahwa ternyata anak Tunggul Ametung itu mempunyai banyak kelebihan dari anaknya.

“Ibunyalah yang memiliki kelebihan. Adalah bodoh sekali bahwa aku tidak pernah memikirkan dengan sungguh-sungguh kemungkinan yang ada pada Mahisa Wonga Teleng.”

Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu merenung sejenak. Ia mulai membayangkan kemungkinan yang ada pada Mahisa Wonga Teleng. Ia adalah anaknya dan anak Ken Dedes. Jika benar Ken Dedes memiliki kemungkinan yang besar pada keturunannya, maka Mahisa Wonga Teleng-pun pasti memiliki kelebihan dari orang kebanyakan.

“Tetapi sudah terlambat,” ia berkata didalam hatinya, “Anusapati sudah mulai meloncati pagar yang selama ini berhasil aku lingkarkan mengelilingi. Tetapi ternyata pada suatu saat anak itu telah melepaskan dirinya dari semua kungkungan. Sebelumnya ia tidak pernah berani berbuat apa-apa-pun jangankan seperti yang dilakukannya saat ini.”

Tiba-tiba terlintas didalam angan-angannya. Ken Dedes yang sedang terbaring di pembaringannya. Tentu Ken Dedes sudah mengatakan semuanya tentang Anusapati. Tentu Ken Dedes juga mengatakan saat-saat kematian Tunggul Ametung, dan tentu sekarang Anusapati sedang di dalam gejolak yang paling dahsyat yang pernah dialaminya.

Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Seakan-akan ia sudah dihadapkan pada suatu keadaan yang sama-sama. Seakan-akan ia sedang memandang cahaya matahari yang kemerah-merahan, yang sebentar lagi akan turun dan hinggap dipunggung pegunungan. Kesempatan itu adalah kesempatan terakhir untuk memandang wajah bumi karena sebentar lagi matahari itu akan tenggelam.

“Tentu tidak akan mungkin lagi dapat terbit di Timur,” katanya didalam hati, “aku memang bukan matahari. Jika saat tenggelam itu datang, maka biarlah namaku tenggelam pula bersamanya. Tetapi jangan Singasari.”

Ken Arok itu-pun kemudian perlahan-lahan melangkahkan kakinya kembali kebangsalnya. Pengawal-pengawalnya-pun mengikutinya dari kejauhan. Ketika Ken Arok kemudian masuk kedalam bangsalnya, maka para prajurit itu-pun tinggal di gardu penjagaan mereka.

Dalam pada itu, Mahisa Agni membawa Anusapati ke bangsalnya. Ketika mereka berjalan lewat didepan seorang juru taman yang sedang berjongkok, maka Mahisa Agni-pun memberikan isyarat kepadanya sambil berbisik, “Nanti malam aku datang ke gubugmu.”

Sumekar sama sekali tidak menyahut. Justru ia menundukkan kepalanya dalam-dalam. Baru ketika keduanya sudah menjadi semakin jauh. Sumekar itu baru berdiri dan berjalan tergesa-gesa meninggalkan tempat itu.

Dalam pada itu, cahaya matahari memang sudah mulai pudar. Semakin lama semakin suram. Dan sebentar lagi, maka seluruh Singasari itu-pun ditelan oleh kegelapan malam.

Di bangsal Anusapati, Mahisa Agni duduk tepekur dihadap oleh Anusapati. Agak sulit baginya untuk memberikan beberapa nasehat kepada Putera Mahkota itu. Karena ia tahu, bahwa selama ini Anusapati selalu menjaga perasaan isterinya. Ia selalu berusaha untuk menghindarkan semua pembicaraan yang dapat membuat isterinya menjadi semakin berkecil hati. Sebagai seorang perempuan yang hidup dilingkungan yang asing, maka ia memerlukan ketenangan di dalam lingkungannya yang baru itu.

Karena itu, maka Mahisa Agni-pun menunggu hingga pada suatu kesempatan ia dapat mengatakannya.

Ketika Mahisa Agni yakin bahwa isteri Anusapati itu tidak berada di dalam bilik sebelah yang mungkin dapat mendengar suaranya, barulah ia berkata, “Anusapati. Ternyata keadaan sudah menjadi semakin panas dan gawat. Tetapi aku melihat perkembangan lain pada Sri Rajasa itu.”

Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya hampir berbisik, “Aku masih belum yakin paman. Tetapi mudah-mudahan Ayahanda Sri Rajasa dapat melihat kebenaran tentang hubunganku dengan Adinda Tohjaya. Tetapi seandainya demikian, hal itu tentu sudah terjadi beberapa saat lamanya.”

“Pikiran dan perasaan seseorang dapat berkembang Anusapati,” berkata Mahisa Agni kemudian, “dan aku berharap, bahwa Sri Rajasa akan mengalaminya.”

“Mungkin pada suatu saat paman. Tetapi jika ibunda Ken Umang mendapat kesempatan berbicara maka ayahanda tentu akan bersikap lain pula.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Memang sulit bagi Ken Arok untuk berjalan surut. Dan jika ia tetap maju, maka jarak perjalanan itu menjadi semakin dekat.

“Hati-hatilah Anusapati,” berkata Mahisa Agni kemudian, “aku berharap keadaan bertambah baik. Tetapi aku juga berharap agar kau tidak lengah. Sudah sepantasnya kau membawa trisula kecil itu kemana-pun kau pergi. Tetapi ingat, jangan kau pergunakan jika kau tidak dalam keadaan terpaksa. Terpaksa sekali.

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Aku berjanji akan menemui Sumekar. Malam sudah menjadi semakin gelap. Besok aku kembali melihat keris itu. Sekarang waktunya agaknya kurang baik bagiku untuk melihat keris itu. Jika ada satu dua orang yang sempat melihatnya, maka udara yang panas ini tentu akan mendidih. Besok aku akan kembali untuk melihat keris itu.”

“Apakah aku harus membawanya ke bangsal paman?”

Mahisa Agni menggeleng, “Aku tidak mengatakan demikian sekarang. Aku tidak tahu, jika keadaan besok akan berkembang.”

Anusapati menundukkan kepalanya.

“Sekarang, biarlah aku pergi ke gubug Sumekar. Aku perlu berbicara sedikit dengan juru taman itu.”

“Silahkanlah paman.”

“Ingat, dalam keadaan serupa ini, trisula kecil itu jangan terpisah dari dirimu. Bukanlah trisula itu tidak mengganggumu jika kau sembunyikan di dalam lapisan ikat pinggangmu.”

Anusapati menganggukkan kepalanva. Pesan itu menyatakan bahwa Mahisa Agni-pun menjadi sangat cemas terhadap perkembangan keadaan.

Namun Mahisa Agni itu-pun kemudian berpesan, “Tetapi ingat pula Anusapati, bahwa trisula itu bukan senjata dan yang dipergunakan jika itu bukan cara terakhir satu-satunya jalan yang dapat kau tempuh.”

Sekali lagi Anusapati mengangguk sambil menjawab, “Ya paman, aku mengerti.”

“Nah, tinggal sajalah di bangsalmu. Kau dapat sedikit memberikan pesan, meskipun tidak berterus-terang terhadap para pengawal di halaman, agar mereka-pun berhati-hati pula.”

“Ya paman.”

“Nah, biarlah aku pergi sekarang. Bukankah anakmu sudah tidur?”

“Sudah paman.”

“Besok saja aku menemuinya.”

Demikianlah maka Mahisa Agni-pun kemudian meninggalkan bangsal itu. Ia tidak segera pergi kegubug Sumekar tetapi ia berjalan kebangsalnya sendiri. Perlahan-lahan seperti seorang jejaka berjalan di bawah cahaya bulan yang sedang purnama.

Mahisa Agni harus yakin bahwa tidak ada orang yang mengetahui sedap pertemuannya dengan Sumekar, mau-pun Anusapati dengan Sumekar agar Sumekar tidak segera terlibat dalam keadaan yang panas itu. Dengan demikian ada seorang yang kuat, yang masih dapat diharapkan berbuat sesuatu di luar perhitungan Sri Rajasa.

Tetapi jika pertentangan yang tampaknya akan menjadi terbuka itu berkembang, Mahisa Agni memerlukan kekuatan di luar istana itu. Jika kemudian terjadi bentrokan-bentrokan senjata dengan terbuka, dan Sri Rajasa mempergunakan kekuasaan dan haknya sebagai seorang Maharaja, maka dengan sangat terpaksa Mahisa Agni-pun harus menghadapinya dengan cara serupa. Tetapi karena ia tidak berhak memberikan perintah langsung kepada para prajurit yang ada di Singasari, maka ia harus mendapatkan kekuatan lain yang dapat melindungi Anusapati bersamanya. Bukan sekedar melindunginya karena ia takut mati, tetapi melindungi dirinya dan Anusapati bersama segala macam cita-cita dan kemungkinannya.

Setelah malam menjadi semakin gelap, maka Mahisa Agni-pun keluar lagi dari bangsalnya. Kepada prajurit yang mengawal bangsalnya ia berkata, “Udara sangat panas didalam. Aku akan keluar sebentar.”

Prajurit-prajurit itu memandanginya sejenak. Seakan-akan ingin bertanya, kemanakah ia akan pergi didalam keadaan yang bagi para prajurit, agak kalut itu? Meskipun mereka tidak melihat pertentangan sampai keakar hati Mahisa Agni, Anusapati, Tohjaya dan orang-orang yang terlibat lainnya termasuk Sri Rajasa sendiri, namun mereka melihat pertengkaran antara Anusapati dan Tohjaya sebagai anak-anak muda yang kian tidak mau hidup dalam suasana persaingan. Sayang persaingan diantara mereka itu sama sekali tidak mendorong mereka kearah yang lebih baik dari pertengkaran yang kasar. Seperti pertengkaran anak-anak seorang rakyat kebanyakan saja. Bahkan hampir saja mereka berkelahi dalam arti yang sebenarnya di hadapan banyak orang.

Mahisa Agni dapat menangkap dari sorot mata para prajurit itu, pertanyaan-pertanyaan yang bergulat di dalam hati mereka. Karena itu ia-pun tersenyum sambil berkata, “jangan cemas. Anak-anak itu tidak akan berkelahi lagi, apalagi memperluas pertengkaran mereka, meskipun orang-orang tua terpaksa ikut campur.”

Para prajurit itu-pun tersenyum pula. Bahkan tersipu-sipu karena Mahisa Agni dapat menebak pertanyaan didalam hatinya dengan tepat.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar